Home / Romansa / Bukan Sopir Biasa / 4. Sandiwara

Share

4. Sandiwara

Author: Yetti S
last update Last Updated: 2024-07-25 17:46:05

“Ya sudah, Mama tunggu nanti malam. Kalau pacar kamu ternyata nggak datang, itu artinya kamu bohong. Jadi kamu harus nurut apa kata Mama. Ini juga kan demi kebaikan kamu, Mil. Sampai kapan kamu mau jomblo terus? Memangnya kamu nggak mau punya suami dan anak?” ucap Astuti di seberang sana, yang kini nada suaranya mulai melunak. Tak seperti tadi yang berapi-api.

“Iya, Ma,” sahut Armila tak bersemangat. Justru kini dia merasakan kepalanya mulai pening.

“Sekarang Mama tutup ya teleponnya, Mil,” ucap Astuti, dan tak lama sambungan telepon mereka pun berakhir.

Armila membuang napasnya kasar. Dia pijat pelipisnya yang terasa berdenyut-denyut.

“Kira-kira dia mau menolong aku nggak, ya?” gumam Armila seorang diri.

Cukup lama Armila termenung di dalam bilik toilet. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi seseorang. Dia kemudian menyalin nomor telepon dari aplikasi transportasi online, di mana tadi dia berkomunikasi melalui pesan yang tersedia di aplikasi tersebut.

“Kayanya Mas Bagas orangnya baik. Semoga dia mau menolongku, untuk bersandiwara di depan mama dan papa,” gumam Armila seorang diri.

Selanjutnya, Armila mulai mengetikkan suatu pesan untuk dikirimkan pada Bagas.

[Mas Bagas, Aku ingin minta tolong. Apa Mas bersedia menolongku?]

Armila terdiam sejenak dan membaca kembali hasil ketikannya. Setelah meyakinkan dirinya sendiri, dia lantas menekan tombol kirim. Dalam sekejap, pesan tersebut sudah terkirim, tapi masih berwarna abu-abu pada checklist nya.

“Mungkin dia masih narik ojek, jadi belum baca pesanku. Biar saja, aku kerja saja dulu deh sambil menunggu pesan balasan dari dia,” gumam Armila seorang diri. Dia lalu membuka bilik toilet, dan melangkah keluar dari tempat itu menuju ke meja kerjanya.

***

Bagas menghentikan motornya di depan sebuah rumah makan yang menyajikan makanan khas daerah Jawa Tengah, setelah mengantar penumpang terakhir untuk ojek online nya. Setelah makan siang, dia akan beralih menjadi sopir taksi online. Maklum, Bagas tak tahan terkena teriknya sinar mentari. Sehingga jadwal untuk jadi tukang ojek, hanya sampai menjelang makan siang saja.

Di saat dirinya sedang menunggu pesanan makanan, Bagas membuka ponselnya dan melihat sebuah notifikasi pesan masuk yang berasal dari nomor tak dia kenal. Keningnya berkerut ketika melihat nomor yang sama sekali asing baginya.

“Ini nomor siapa, ya? Kok tahu-tahu dia minta tolong? Apa aku yang lupa simpan nomor ini?” gumam Bagas seorang diri.

“Coba aku balas saja deh pesannya, dan tanya siapa sih dia,” imbuhnya.

Bagas dengan cepat mengetikkan kalimat untuk membalas pesan tersebut.

[Halo, ini nomor siapa, ya? Perlu bantuan apa?]

Setelah itu, pesan tersebut langsung dia kirim dan dalam hitungan detik, langsung masuk ke aplikasi pesan. Kemudian dalam sekejap, pesan tersebut segera tercentang dengan warna biru.

“Wih, langsung dibaca lho. Berarti dia memang menunggu pesanku ini. Jadi penasaran aku, siapa dia ya?” gumam Bagas dengan helaan napas panjang.

Sementara itu di tempat yang lain. Armila tampak tersenyum setelah membaca pesan dari Bagas.

“Akhirnya dia baca dan dibalas juga pesanku tadi,” gumam Armila.

Tak ingin berlama-lama, Armila langsung mengirimkan pesan balasan untuk Bagas.

[Ini Armila, Mas. Aku memang perlu bantuan kamu. Tapi, nggak bisa aku sebutkan melalui pesan ini. Kayaknya lebih enak ngomong secara langsung. Bisa kita ketemuan siang ini? Kalau bisa, kita ketemu di bengkel yang semalam saja. Aku izin sama atasanku untuk istirahat lebih awal, karena harus mengambil mobil di bengkel. Bagaimana, bisa nggak?]

‘Semoga dia langsung baca deh, dan langsung kasih jawabannya. Kira-kira dia mau bantu nggak, ya? Sudah deh, sambil menunggu pesanku dibalas. Aku langsung pergi saja ke bengkel. Kebetulan itu ojek online yang aku pesan sudah datang,’ ucap Armila dalam hati.

Armila yang semula sedang berdiri di depan lobi gedung kantornya, lantas berlari kecil menuju ke luar gedung di mana ojeknya sudah menunggu.

Di sisi lain di tempat Bagas berada, tampak pria itu tersenyum sendiri setelah mengetahui yang mengiriminya pesan adalah Armila.

“Oh...ternyata kamu toh yang kirim pesan, Armi. Rupanya dia salin nomor teleponku dari aplikasi. Kamu butuh bantuan apa? Kenapa nggak ngomong dari tadi pagi saja, saat turun dari motor?” gumam Bagas seorang diri. Dia lalu segera mengetikkan pesan balasan untuk gadis itu.

[Ok, aku bersedia membantu. Kamu pasti belum makan, iya kan? Aku sekarang ada di rumah makan ‘Sriwedari’ yang kebetulan lokasinya nggak jauh dari bengkel itu. Kamu kemari saja bisa nggak? Aku sudah terlanjur pesan makanan soalnya. Kalau aku pesankan makanan, mau? Aku foto daftar menunya, biar kamu pilih dan kasih tahu ke aku apa pilihan makanannya. Aku pesankan nanti. Jadi kamu bisa langsung makan saat sampai di sini, bagaimana?]

Bagas lalu memotret daftar menu, dan langsung mengirimkannya tak lama setelah pesannya tadi dia kirim ke Armi.

Beberapa saat kemudian, pesanan makanan Bagas pun tiba. Pria itu yang memang sudah lapar, segera menyantap makanannya.

Di saat dia tengah menikmati makan siangnya, terdengar bunyi notifikasi pesan masuk yang ternyata dari Armi. Di pesannya, Gadis itu menyebutkan menu makanan yang menjadi pilihannya.

Bagas segera memesankan makanan sesuai dengan pilihan Armila.  

***

“Jadi apa yang bisa kubantu?” tanya Bagas setelah mereka selesai makan siang.

Armila tampak ragu-ragu untuk mengatakan idenya pada Bagas. Dia khawatir kalau pria itu justru akan meremehkan dirinya.

“Kok diam? Katanya minta tolong. Saat ditanya, kenapa malah bengong?” imbuh Bagas.

“Aku ingin Mas Bagas membantuku untuk bersandiwara,” sahut Armila dengan suara pelan.

“Hah? Bersandiwara? Sandiwara apa?” tanya Bagas dengan kening berkerut.

“Mas Bagas pura-pura menjadi pacarku. Ini aku lakukan untuk menghindari usaha mamaku untuk menjodohkan aku dengan seorang duda, yang usianya kira-kira mendekati kepala lima. Lelaki itu mestinya lebih cocok menjadi om aku. Bukan malah menjadi suamiku,” sahut Armila lirih.

Bagas tersentak mendengar penuturan Armila. Ada rasa iba saat mendengar penuturan Armila yang melirih. Tampak kedua bola mata gadis itu kini berkaca-kaca.

“Mama nggak mau punya anak yang menjadi perawan tua. Selain itu, mama juga malu karena sering ditanya teman-temannya, mengenai aku yang belum nikah juga. Sedangkan anak-anak teman mama sudah pada nikah dan punya anak. Setiap ada undangan pernikahan, mamaku selalu marah-marah sama aku karena belum punya pacar juga. Sebenarnya sih ada teman kantor yang mendekatiku, tapi aku masih trauma akibat diselingkuhi oleh mantan,” imbuh Armila.

Bagas menghela napas panjang, dan menganggukkan kepalanya.

“Ok, aku akan bantu kamu. Terus bagaimana skenarionya?” ucap Bagas.

“Hari ini, aku rencana pulang nggak terlalu malam seperti kemarin. Paling jam tujuh malam, aku sudah pulang. Jadi terserah Mas, mau langsung datang ke rumah dan tunggu aku di depan rumah, atau kita konvoi saja dari kantor. Maksudku, Mas Bagas datang dulu ke kantor. Terserah saja enaknya bagaimana menurut kamu, Mas,” sahut Armila.

“Kita konvoi saja!” sahut Bagas.

“Ok. Terima kasih sudah mau membantuku, Mas.”

“Sama-sama.”

***

Armila turun dari mobilnya dan bergegas membuka pintu pagar rumahnya lebar-lebar. Setelah itu, dia kembali masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraan roda empat itu, masuk ke halaman rumah.

Bagas sendiri sudah turun dari mobil, dan melangkah masuk ke dalam halaman rumah. Dia lalu menutup kembali pintu pagar rumah Armila, dan melangkah mendekati gadis itu yang menunggunya di samping mobil.

“Ayo, masuk!” ajak Armila, yang diangguki oleh Bagas.

Mereka lalu berjalan beriringan masuk ke dalam rumah.

“Silakan duduk dulu, Mas! Aku panggilkan orang tuaku dulu. Ingat skenario kita tadi, ya,” ucap Armila ketika sudah tiba di ruang tamu.

“Siap.” Bagas tersenyum sambil mengacungkan ibu jarinya.

Lima menit kemudian, Armila muncul kembali di ruang tamu bersama dengan kedua orang tuanya. Bagas langsung berdiri dan mengangsurkan tangannya, untuk bersalaman dengan kedua orang tua Armila.

“Kenalkan, saya Bagas.”

“Saya papanya Mila.”

“Saya mamanya.”

Setelah bersalaman, mereka pun duduk di sofa. Astuti menatap Bagas dari atas hingga ke bawah, mencoba menilai pria yang katanya menjadi kekasih anaknya itu.

“Kamu kerja di mana, Bagas?” tanya Astuti dengan senyuman.

“Saya ini sopir taksi online, Bu, Pak,” sahut Bagas kalem, tapi sukses membuat Arif dan Astuti terkejut.

Bukan hanya Arif dan Astuti saja yang terkejut, Armila pun sama terkejutnya, karena ucapan Bagas tak sesuai dengan skenario yang dia buat. Hal itu membuat Armila menjadi panik.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Sopir Biasa   Bab. 61

    “Bagaimana hasil tes nya, Yah? Apa benar anak yang dilahirkan Santi adalah anaknya Bara?” tanya Bagas setelah Haryo tiba di rumah.Haryo tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Nggak! Entah anak siapa itu? Tapi, Ayah sudah kasih kompensasi kok sama dia sebesar lima milyar. Setelah itu, kita nggak ada hubungan apa-apa lagi dengan dia.”“Syukurlah kalau ternyata anak itu bukan anaknya Bara,” timpal Armila, yang membuat semua yang ada di ruangan itu mengalihkan tatapan padanya.“Kenapa memangnya, Dek?” tanya Bagas dengan kening berkerut.“Ya...dia kan jadi nggak ada akses untuk datang dan masuk ke keluarga besar kamu, Mas. Aku melihat adanya ancaman kalau dia bisa masuk ke dalam keluarga ini,” sahut Armila kalem.“Tenang, Armila. Bunda nggak akan berdiam diri kalau itu terjadi. Cukup satu orang saja yang pernah menjadi duri di keluarga ini. Bunda nggak akan membiarkan duri lain melukai hati menantu Bunda.” Hesti berkata sambil menepuk pelan pundak Armila, berusaha menenangkan hati menant

  • Bukan Sopir Biasa   Bab. 60

    Beberapa menit kemudian, Haryo dan Bayu sudah tiba di depan laboratorium. Di sana juga sudah hadir Santi, yang kali ini ditemani oleh ibunya. Tak lama, petugas laboratorium memanggil nama Haryo dan menyerahkan hasil tes DNA.Haryo lalu kembali duduk di kursi yang ada di depan loket penerimaan hasil tes. Jemari Haryo dengan cepat merobek amplop tersebut, untuk segera tahu hasilnya.Sementara itu, Santi tampak agak cemas menunggu Haryo mengeluarkan kertas tersebut.‘Semoga bayiku memang benar anaknya Bara. Supaya masa depannya terjamin. Tentu akan bangga kalau menjadi bagian dari keluarga itu,’ ucap Santi dalam hati.Jantung Santi kini berdegup kencang kala Haryo mulai membuka lipatan kertas hasil tes DNA. Dia menahan napas kala melihat Haryo menghela napas panjang. Santi dengan sabar menunggu Haryo berkata sesuatu padanya. Tapi hingga lima menit berlalu, Haryo masih bungkam. Hanya hembusan napas kasar yang keluar dari bibirnya.“Bagaimana hasilnya, Om?” tanya Santi yang mulai tak sabar

  • Bukan Sopir Biasa   Bab. 59

    Haryo terdiam. Dia bingung harus menjawabnya, karena hatinya masih meragu. Namun, tatapan Santi yang terus ke arahnya, mau tak mau Haryo berucap juga.“Baiklah, nanti saya akan beri nama kalau sudah tahu hasil tes DNA. Sekarang Bayu sedang mengurus administrasinya, agar saya dan anak kamu bisa melakukan tes DNA, Santi,” sahut Haryo, yang membuat Santi menghela napas panjang.Beberapa menit kemudian, Bayu pun tiba di ruangan itu. Dia lalu meminta Haryo dan bayinya Santi untuk ke laboratorium, untuk melakukan tes DNA.Akhirnya, mereka pun bergegas ke laboratorium.Sementara itu di tempat lain, tepatnya di rumah keluarga Bagas. Tampak di rumah itu kedatangan seorang wanita pemilik event organizer, yang sekaligus sahabat dari Hesti. Wanita itu diminta Hesti datang, untuk membicarakan acara tujuh bulanan Armila.“Wah, cucu kamu sudah mau tambah satu lagi. Selamat ya, Hes. Kebetulan juga kesehatan kamu sudah semakin membaik sekarang,” ucap Indah-sahabat Hesti.“Iya, alhamdulillah. Oh ya, na

  • Bukan Sopir Biasa   Bab. 58

    “Mas, kita pulang sekarang, yuk! Aku capek, mau istirahat,” ajak Armila, yang langsung diangguki oleh sang suami.“Ayo, Dek!” sahut Bagas. Dia lalu menoleh pada Santi yang masih cemberut. “San, aku duluan. Semoga operasi caesar nya nanti berjalan lancar. Nanti aku kasih tahu ayah kalau kamu sudah mau lahiran. Biar ayah mengatur waktunya untuk tes DNA.”Santi mengangguk lemah secara berkata, “Iya, dan terima kasih atas doanya. Oh ya, kasih tahu istri kamu tuh. Jangan ketus-ketus jadi orang.”Bagas hanya tertawa kecil mendengar kalimat terakhir yang Santi lontarkan. Di saat yang sama, Armila hanya tersenyum mendengar kata-kata Santi barusan.“Istriku aslinya nggak ketus kok, San. Dia baik hati orangnya. Makanya aku jatuh cinta sama dia. Selain cantik, dia juga baik. Mungkin tadi itu karena dia capek saja. Maklum saja namanya juga ibu hamil,” sahut Bagas ramah. Dia lalu menggandeng tangan Armila seraya berkata pada sang istri, “Yuk, kita pulang sekarang!”Armila mengangguk dan mengeratka

  • Bukan Sopir Biasa   Bab. 57

    Bagas yang gemas pada sikap sang istri, lantas mendekatinya. “Apa sih yang kamu lihat di situ, Dek? Kayaknya asyik banget sampai nggak mau menoleh ke arah Mas.”“Ini lho, Mas. Aku sedang cari nama bayi perempuan dan bayi lelaki. Soalnya kan anak kita belum ketahuan jenis kelaminnya. Jadi harus siapin dua nama dong.”“Terus sudah dapat?” tanya Bagas kalem.“Belum. Pusing aku jadinya, Mas. Nama-namanya pada bagus semua. Bingung pilih yang mana.”“Sudah, nggak usah bingung. Mas sudah siapin kok nama untuk anak kita nanti. Sekarang kita berangkat saja ke rumah sakit, yuk! Semoga saja USG kali ini bisa kelihatan jenis kelamin anak kita,” sahut Bagas. Dia lalu merangkul pundak Armila dan mengecup kening wanitanya itu.“Siapa namanya, Mas? Jadi penasaran aku.”“Ada saja. Nanti juga kamu akan tahu, Dek.” Bagas senyum-senyum sambil menggandeng tangan Armila keluar kamar.“Ish, kok main rahasia begitu sama istrinya. Siapa namanya, Mas? Kasih tahu dong ke aku sekarang. Kepo kan aku jadinya,” cel

  • Bukan Sopir Biasa   Bab. 56

    “Siapa mamanya Bara, Mil?”“Beliau adalah istri kedua ayahnya Mas Bagas, Ma.”Astuti tersentak dan melanjutkan lagi bisikannya. “Kamu harus hati-hati menjaga Bagas, Mil. Jangan sampai dia menuruni sifat ayahnya yang poligami. Pokoknya kamu harus jagain Bagas biar nggak kecantol sama perempuan lain.”Rupanya bisikan Astuti yang terakhir itu agak keras, sehingga sempat terdengar oleh Bagas.Bagas tersenyum mendengar bisikan ibu mertuanya, yang sempat dia dengar barusan. Dia yang berjalan di depan, lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Armila dan Astuti.“Insya Allah, saya nggak akan berpaling ke lain hati, Ma. Saya sendiri sudah pernah merasakan sakitnya dikhianati. Jadi saya juga nggak akan berbuat hal seperti itu pada istri saya ini. Saya sudah dibuat jatuh cinta pada anak Mama ini, dan itu akan saya jaga agar Dek Armi nggak kecewa sudah menerima saya sebagai suami,” ucap Bagas sungguh-sungguh, dan tentu saja disertai dengan senyumannya yang khas.“Alhamdulillah, kalau kamu suda

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status