Menjelang siang Emily duduk di ruang tamu sambil memijit-mijit pelan kakinya yang sakit. Hm, sudah jauh lebih baik dari pada tadi pagi. Rasanya sudah bisa untuk dipakai beraktivitas, mengerjakan sedikit pekerjaan rumah. Tapi mengerjakan apa, ya? Dapur sudah rapi dibersihkan Abian tadi pagi. Memasak tidak boleh karena siang ini Abian akan pulang membawakan makan siang untuknya. Lantas apa? Mencuci pakaian? Menyetrika? Ah, besok sajalah. Dan akhirnya, Emily kembali duduk santai di tempatnya tanpa melakukan pekerjaan apa-apa.
Tiba-tiba sebuah ucapan salam terdengar dari teras rumah. Emily mengangkat kepalanya melihat ke arah pintu. Tak lama wajah Sinta muncul. Perempuan yang pernah menyebabkan Emily terusir dari rumah Abian itu pun tanpa perasaan bersalah berdiri di depan pintu sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Cari siapa? Saya ada di sini," kata Emily tak senang dengan sikap Sinta yang dirasanya tak sopan.
"Mas Abi ke toko?" tanya Sinta tak peduli de
Emily berbelanja pagi ini. Rencananya dia ingin belajar memasak sayur asem yang inung bilang adalah sayur kesukaan Abian. Karena itulah ketika terdengar seruan nyaring dari tukang sayur barusan, Emily pun bergegas menghampiri.Beberapa orang ibu pun ikut datang menghampiri. Mereka ramai bercanda dan sedikit bergosip. Emily hanya mendengarkan sekilas tanpa berminat untuk menyimak, apa lagi menimpali.Selalu seperti ini, pikir Emily sebal. Selalu gosip jadi menu rutin yang harus ada tiapkali mereka berkumpul untuk berbelanja. Emily tahu jika dia dan Abian pun pasti telah jadi bahan gosip dari ibu-ibu ini. Jika sekarang mereka tak membicarakannya, itu karena dia masih berada di situ. Tunggulah sampai dia selesai berbelanja dan kembali pulang ke rumah. Pastilah dia akan jadi bahan yang empuk untuk digosipkan. Bukan berprasangka buruk, tapi sudah terbukti berita tentang dirinya yang tidak bisa masak saja bisa tersebar secepat kilat dan secara merata sampai ke telinga or
Emily sampai ke toko Abian. Dia langsung duduk dengan raut wajah yang cemberut. Abian, Inung dan Dion yang melihatnya pun saling pandang dengan bingung. Mereka memperhatikan sikap Emily yang tak seperti biasanya itu dan langsung bisa menebak jika ada sesuatu yang telah mengganggu perasaan perempuan cantik itu."Ada apa, Mily? Kok datang-datang cemberut?" tanya Inung segera."Kesal sama ibu-ibu itu," sahut Emily."Ibu-ibu yang mana?""Itu, yang suka belanja sayur di depan rumah.""Kenapa memangnya? Kamu digosipin?"Emily menggeleng. "Bukan. Tapi mereka membanding-bandingkan saya dengan Sinta.""Membandingkan kamu dengan Sinta?""Ya, mereka bilang saya nggak bisa masak. Nggak seperti Sinta yang jago masak.""Lalu?""Mereka bilang Mas Abi nanti bisa direbut Sinta." Emily bicara dengan nada yang kesal.Mendengar itu, Abian pun segera menoleh sedangkan Inung langsung tersenyum lebar menatap pada sepupunya
Abian pulang agak cepat. Entah mengapa pikirannya sejak tadi terpusat pada Emily. Mungkin karena tadi siang Emily pulang dari toko dalam keadaan ngambek, marah padanya karena perkataannya itu. Andai kejadian awalnya berbeda, pasti Abian akan mempertahankan Emily untuk berada di sisinya selamanya. Tapi Abian sadar, pernikahannya dengan Emily tak seperti pernikahan pada umumnya. Bukan karena cinta. Bukan karena ingin membangun rumah tangga bersama. Tapi hanya sekadar memberi jalan buat Emily agar bisa tetap tinggal di sini selama masa pelariannya.Abian tahu, dia tak boleh terbawa oleh perasaannya. Dia harus bisa menjaga semuanya tetap seperti kesepakatan mereka semula. Jika Emily mulai terbawa oleh perasaannya, maka Abian harus bisa mengingatkan. Jangan sampai jika saatnya untuk berpisah tiba, Emily menyesal karena telah berbuat kebodohan bersamanya."Kok, pulang cepat?" tanya Emily yang membukakan pintu."Kenapa memangnya? Nggak boleh kalau saya pulang cepat?" A
Abian berdiri dengan gelisah di depan etalase tokonya. Ketika itu hari masih pagi. Toko roti itu baru saja buka. Belum banyak pembeli yang datang. Dan sejak tadi Abian menghabiskan waktunya dengan melamun dan gelisah di sana.Inung memperhatikan sikap sepupunya yang tidak biasa itu. Sikap dan pembawaan Abian yang biasa selalu terlihat tenang, pagi ini jadi terlihat gelisah dan serba salah. Inung tahu pasti ada yang terjadi dengan sepupunya itu. Sesuatu yang mengganggu pikirannya hingga dia terus merasa resah.Tak lama, Inung pun menghampiri dan ikut berdiri di etalase bersama Abian. Dia melirik memperhatikan Abian yang seolah tak menyadari kehadirannya. Pandangan Abian terus lurus ke depan tapi tak terpusat pada apa pun. Seperti sebuah pandangan kosong seseorang yang sedang dibebani satu masalah. Tapi, masalah apa yang membuat Abian jadi begini? Inung pun mencoba menerka-nerka. Namun tetap dia tak bisa menemukan jawaban dari pertanyaannya itu."Bi." Akhirnya Inu
Emily duduk sendirian di ruang tamu. Entah kenapa kecupan dari Abian semalam masih terasa sampai sekarang. Kecupan itu hanya sesaat. Tapi sungguh terasa begitu indah dan mengesankankan. Bahkan masih begitu hangat rasanya di bibir Emily hingga sekarang.Apakah semua itu karena dia yang terlalu pandai melakukannya? Ataukah karena aku yang telah terpikat oleh pesonanya? Hingga sedikit saja sentuhan darinya bisa sangat berarti untukku?Ah, Emily terus bertanya-tanya kenapa satu kecupan yang sesaat saja bisa begitu berarti untuknya? Jujur saja, kini Emily mulai membanding-bandingkan antara Tomy dan Abian. Mereka sama tampan. Tapi Abian terlihat lebih gagah. Pembawaannya lebih kalem, lebih tegas dan bijaksana. Dan Emily yakin Abian pun pasti lebih bertanggungjawab dari pada Tomy, mantan kekasihnya itu.Duh, Emily jadi bingung. Kenapa semua penilaian untuk Abian selalu lebih bagus? Apa mungkin memang dia adalah laki-laki yang lebih baik dari Tomy? Ya, rasanya begitu. Dulu
Abian dan Inung memperhatikan Emily yang tampak marah memandang Sinta. Mereka tahu, perempuan muda itu sedang diselimuti rasa cemburu. Tapi mereka bisa memakluminya. Sebab apa yang dilakukan Sinta ini memanglah keterlaluan. Istri mana yang tak kan marah jika ada perempuan lain yang mengirim makan siang untuk suaminya? Apa lagi perempuan itu sudah jelas-jelas mencintai suaminya sejak lama. Istri mana pun pasti akan terbakar cemburu dan mengamuk karenanya."Dasar perempuan tidak punya malu! Tidak punya harga diri! Sudah tahu Mas Abi telah menikah, tapi masih dikejar juga! Mestinya kamu tahu kalau Mas Abi itu nggak suka sama kamu! Karena kalau Mas Abi suka sama kamu, pasti sejak dulu dia nikahi kamu, bukannya malah memilih saya untuk jadi istrinya! Mengerti kamu?!" Suara Emily terdengar tajam.Sinta menatap Emily dengan mata membulat marah. Jelas terlihat jika dia sangat tersinggung dengan ucapan Emily tadi."Jaga ucapan kamu, ya! Dasar perempuan sok cantik!"
Monik menghapus peluh yang membasahi wajahnya dengan handuk kecil yang dilingkarkan di lehernya. Sore itu seperti biasa dia mengisi waktu luangnya dengan berolahraga di taman yang ada di tengah komplek rumahnya. Hanya lari santai beberapa putaran dan senam kecil saja. Sekadar menggerakan otot-otot tubuhnya dan membakar lemak agar tak berlebih.Cuaca sore itu cukup cerah. Taman tampak ramai oleh orang-orang yang berolahraga dan anak-anak kecil yang ceria bermain. Monik pun berdiri di pinggir taman dan melakukan sedikit peregangan otot sebagai penutup olahraganya sore itu. Kemudian dia menarik napas dalam-dalam lewat hidungnya dan menghembuskan secara perlahan lewat mulut. Dilakukannya dengan baik beberapakali sebelum dia duduk di bangku taman dan asyik memperhatikan sekeliling."Selamat sore, Monik. Apa kabar?" sapa sebuah suara mengejutkannya.Monik pun menoleh dengan cepat ke asal suara. Dan dia segera mendapati Tomy yang sedang berdiri di belakangnya. Wa
Sudah beberapa hari ini Emily sibuk belajar memasak. Setiap sore dia menunggu Inung pulang dari toko untuk mengajarinya memasak menu makanan kesukaan Abian. Meski sulit tapi Emily tetap tekun mempelajarinya. Banyak ilmu yang Emily dapat dari Inung. Bahkan ada istilah-istilah dalam dunia dapur yang kini baru Emily tahu."Harus diaduk terus, Mily. Sebab kalau nggak, nanti santannya bisa pecah," kata Inung kemarin sore ketika Emily sedang memasak gulai."Huh?" Kening Emily berkerut. Pecah? Jadi santan bisa pecah? Bagaimana bentuknya jika santan pecah?"Kenapa bengong? Bingung, ya?" Senyum Inung mengembang."Apa santan bisa pecah?" tanya Emily dengan wajah yang polos."Ya, Mily. Kalau kita masak santan, harus terus diaduk perlahan sampai santannya itu mendidih. Kalau kita biarkan tanpa diaduk, nanti santannya bisa menggumpal terpisah dengan airnya. Nah, itu namanya santannya pecah. Mengerti, Nona Manis?" kata Inung menjelaskan.Emily mengangguk,