Share

Bab 2 - Salah Paham

Emily tidak langsung turun dari mobil milik Keenan. Dia terdiam sambil melirik lelaki yang kini sibuk membuka sabuk pengaman dan mematikan mesin mobil. Tubuhnya berkeringat dingin. Matanya refleks mengawasi sekitar sembari memasang ekspresi penuh waspada. Sayangnya, saat Emily sibuk mengamati sekeliling, dia tidak menyadari Keenan kini mendekat dan berniat membuka sabuk pengamannya.

"Turunlah, sampai kapan kau akan diam?" bisik Keenan tepat di telinga Emily. Posisinya saat ini, membuat jarak hampir tidak ada di antara mereka.

"Aaakhhhh!"

Sayangnya tak lama setelah Keenan bicara, teriakan melengking disertai sebuah tepukan keras mendarat mulus di pipinya. Tubuh lelaki itu terdiam kaku saat rasa panas mulai menjalar di salah satu pipinya. Keenan dihadapkan pada Emily yang menatapnya dengan mata membulat sempurna. Mata hitam yang terlihat terkejut sekaligus takut. Sangat berlawanan dari ekspresi sebelumnya. Mereka bertatapan untuk sesaat, sampai Keenan segera menjauh dan memutus kontak matanya dengan Emily.

"Tidak perlu berteriak, aku tidak melakukan apa-apa. Keluarlah."

Pintu mobil dibuka oleh Keenan. Lelaki itu keluar dan berjalan ke sisi lain untuk membuka pintu di sebelah Emily. Namun, wanita yang masih terdiam kaku itu, hanya bisa mengedipkan mata. Mata bulat yang penuh kecurigaan dan kebingungan, kini memindai lekat ke arah Keenan.

"Aku tidak mau. Kau membawaku ke sini tanpa izin."

"Keluar," ulang Keenan tanpa peduli kalimat penolakan dari Emily.

"Pada akhirnya kau sama seperti mereka. Berengsek," dengkus Emily kasar. Kedua alis tebalnya berkerut dan nyaris menyatu. Hingga dengan sangat terpaksa, dia turun dan langsung membanting pintu mobil dengan keras sebagai bentuk protes.

Emily mengikuti langkah kaki Keenan yang membawanya menuju ke rumah dalam suasana hati memanas. Dia tidak punya pilihan lain selain mengikuti permainan lelaki asing itu. Matanya melirik sekilas rumah milik Keenan. Seperti yang orang tuanya bilang, lelaki yang berniat dijodohkan dengannya itu adalah anak dari pengusaha dan kini mewarisi perusahaan property. Muda, lajang dan pastinya tampan. Rumahnya pun menunjukkan demikian. Sangat besar, bagaimana bagian dalamnya?

Sesaat Emily lupa diri dan hanya memerhatikan bangunan kokoh di hadapannya. Ukiran-ukiran rumit di pintu, sepertinya dipahat sempurna oleh sang pengrajin. Kini, dia pun mengerti kenapa orang tuanya sangat ingin dirinya berjodoh dan menikah dengan lelaki ini. Mereka pasti ingin uang atau untuk menjalin kerja sama bisnis. Keenan dan keluarganya akan menjadi mitra bisnis paling menjanjikan.

"Sedang apa kau? Masuklah!"

Teguran halus Keenan menyadarkan Emily yang tanpa sadar melamun. Dia tersentak. Mata hitamnya kemudian menatap lekat lelaki itu dan bergegas masuk. Emily tanpa ragu dan memberi jeda sedikit pun, segera menggenggam tangan Keenan. Dia menarik lelaki itu sembari mendorongnya ke dinding, bersamaan dengan pintu rumah yang tertutup.

Keenan terlihat kaget, tapi reaksi lelaki itu tidak terlalu dipedulikan oleh Emily yang kini lantas mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Tubuhnya yang hanya sebatas bahu Keenan, membuat dia harus mendongak agar bisa bertatap muka dengan lelaki itu. "Kau, aku ingin membuat sebuah kesepakatan."

"Emily, menyingkirlah."

Suara bernada berat dan dalam milik Keenan, sedikit menggelitik telinga Emily, tapi dia berusaha tak mengacuhkannya. Dengan nekat, Emily justru memajukan tubuhnya hingga menempel pada lelaki itu, sampai nyaris tak ada jarak. Dia juga membuka tiga kancing teratas bajunya dan memperlihatkan kedua dadanya yang mengintip pada Keenan.

"Ini 'kan yang kaumau? Aku bisa melakukannya, tapi kau harus berjanji untuk membatalkan perjodohan ini. Katakan pada orang tuaku kalau aku bukan tipemu."

"Apa?"

Emily menjawab rasa penasaran Keenan dengan sentuhan lembut di tubuh lelaki itu. Dia menjinjit dan meletakkan bibirnya di leher Keenan. Memberikan cumbuan di sana. Tubuh lelaki itu menegang. Reaksi kaku atas tindakan Emily yang berani. Desisan kasar dan napas yang tercekat masuk ke dalam gendang telinganya. Sepasang tangan kekar merangkul erat pinggangnya dan itu membuat Emily semakin berani memprovokasi Keenan. "Bicaralah. Katakan kau tidak akan menikahiku."

Satu-satunya cara gila yang bisa Emily lakukan hanya ini. Lelaki seperti Keenan, pasti hanya ingin kepuasan. Meski dia merasa tak rela tubuhnya dijamah, tapi apa pun yang terjadi, itu harus dilakukan agar Keenan mau mengurungkan niat untuk menikahinya.

"Keenan, bicaralah," desak Emily saat melihat lelaki itu menatapnya dalam. Namun Keenan tak menunjukkan reaksi seperti ingin melanjutkannya. Itu membuat Emily kebingungan untuk beberapa saat. Apa Keenan setahan itu digoda olehnya? Tidak, ini pasti pura-pura!

"Hentikan. Menjauh sekarang, Em. Kita harus—"

"Bukankah ini maksud tersembunyi saat mengajakku ke rumahmu? Bajingan sepertimu tidak ada bedanya dengan yang lain." Emily meremas kedua pundak Keenan dengan pandangan berapi-api. Dia sudah tahu hampir semua sifat lelaki. Dari yang polos sampai yang paling berengsek sekali pun, dia sudah mencobanya. Keenan sudah pasti tidak jauh beda dari lelaki yang sering ditemuinya dulu.

Mata bulatnya memicing dan tersenyum sinis saat mendapati wajah Keenan memerah. Lelaki yang masih mempertahankan ekspresi datar itu, berusaha mengatur napasnya. Memaksa Emily untuk mau tak mau memberi waktu, hingga hanya kebisuan yang terjadi di antara mereka.

"Bisa tolong menjauh? Kau sepertinya salah paham," ujar Keenan setelah berhasil mengendalikan pikirannya kembali. Dia melepas rangkulan di pinggang Emily dengan cepat. Namun seakan mempermainkannya, wanita di depannya malah semakin menempel dan meletakkan tangannya di dada.

"Ahh, seperti itu. Kau bisa meremasnya, Ken."

Kedua mata Keenan sontak melotot mendengar desahan wanita di depannya. Refleks, dia pun menarik kembali tangannya. "Emily, tutup mulutmu."

"Kenapa? Kau tegang? Aku tahu kau itu yang kauma—"

"Keenan, kamu sudah pulang? Eh?"

Sebuah suara bernada ceria terdengar dari arah belakang Emily. Tangannya yang kini tengah berusaha membuka gesper milik Keenan terhenti dan langsung menoleh. Hingga tubuhnya seketika dibuat membeku begitu mendapati sosok wanita tua yang berdiri memandangnya terkejut. Tubuhnya refleks bergeser, tapi itu malah membuat penampilan Keenan yang dibuat berantakan olehnya jadi terlihat. Apalagi ketika celana lelaki itu telah terbuka dan celakanya, tangan Keenan masih memegang dadanya.

Tak hanya Emily, Keenan pun panik dan langsung memasangkan kembali gespernya sambil mendekati wanita tua tadi. "M-ma, ini salah paham. Aku tidak melakukan apa-apa."

Ma?

Emily melotot dan melirik Keenan serta wanita itu bergantian. Wajahnya langsung pucat ketika melihat wanita yang dipanggil 'ma' itu, menutup wajahnya dan memandangnya berkaca-kaca. Emily hanya bisa mengumpat dalam hati. Dia siap menerima bentakan atau cacian karena telah meraba-raba Keenan. Namun yang terjadi, wanita tua itu justru berbalik dan berlari cepat ke dalam.

"ASTAGA, SAYANG! TERNYATA ANAK KITA NORMAL!"

Teriakan membahana mengisi heningnya rumah. Baik Emily atau Keenan bisa mendengarnya. Namun bagi Emily yang baru pertama kali melihatnya, hanya menyunggingkan senyum aneh. Jelas ibunya tidak pernah seperti itu. Berlari sambil berteriak heboh di malam hari. Keluarga aneh macam apa ini?

"Mama!"

Keenan menatap kepergian ibunya dengan gusar. Mengusap kasar wajahnya. Dia lalu menarik tangan Emily sebelum ibunya membuat kehebohan atau mengabarkan berita memalukan.

"Normal? Apa kau gay? Jangan bilang kau menikah karena kelainanmu ini?" tanya Emily penasaran setelah tersadar dari lamunannya. Melihat reaksi heboh ibunya Keenan, sepertinya lelaki ini memiliki masalah dan itulah alasan kenapa Keenan ingin mereka tetap menikah. Untuk menutupi fakta bahwa lelaki itu mengalami penyimpangan seksual. Sulit dipercaya.

"Jangan bicara sembarangan."

Wajah kesal Keenan dan tatapan sinisnya, membuat Emily spontan menaikkan kedua alisnya. Dari tadi lelaki itu berbicara sopan, tapi kali ini Keenan memperlihatkan sisinya yang sedang kesal. "Kau tersinggung? Sepertinya itu benar. Tuan muda ini mengalami penyimpangan seksual."

"Kau—"

"Keenan, kemarilah. Ajak gadis itu bergabung!" seru wanita yang tadi berteriak heboh, membuat Keenan dan Emily mau tak mau mendekat.

Emily tersenyum canggung saat dihadapkan pada sepasang suami-istri yang duduk di sofa. Keenan sialan, bisa-bisanya lelaki itu mengajaknya langsung bertemu dengan orang tuanya. Jika seperti ini, Emily tidak bisa melakukan apa pun selain duduk di hadapan mereka. Melihat wanita tua tadi tersenyum malu-malu dan menatapnya bergantian. Kubur dia sekarang. Berani sekali dirinya berbuat tak senonoh di sini.

"Selamat datang di rumah kami. Maaf untuk yang barusan. Jadi, siapa namamu, Sayang?" tanya Ibu Keenan pada Emily.

"Saya Emily Aprina Karina, Tante." Emily tersenyum kaku. Dia cukup tegang dan tidak nyaman mendapati wanita tua tadi terus memerhatikannya sambil tersenyum manis.

"Oh, jadi ini Emily, anak Karin dan Dave 'kan? Cantiknya kamu, Sayang. Kenalkan, ini Mama Silvi dan ini Papa Vian. Jangan panggil kami Om atau Tante. Panggil Papa dan Mama, ok?" Nyonya Silvi tidak bisa menyembunyikan rasa antusiasnya saat tahu kalau Emily adalah wanita yang akan dijodohkan dengan putranya. Apalagi setelah melihat apa yang terjadi tadi. Baginya, Emily adalah penyelamat putranya.

"Itu ... hmm, baik Ma, Pa."

"Kau bisa gugup juga ternyata," gumam Keenan sambil melirik wanita di sebelahnya. Namun dia dapat selanjutnya, malah cubitan keras di area paha.

"Tutup mulutmu, sialan." Emily berbisik sambil tersenyum lebar. Dia rasanya ingin menenggelamkan Keenan ke dasar palung terdalam.

"Ahh, kalian sangat romantis. Iya 'kan, Sayang? Jadi kapan kalian mau menikah?"

Suara itu mengalihkan kembali perhatian Emily ke depan dan melihat wanita tua tadi bergelayut manja di lengan pria berwajah tegas di sebelahnya. Tampan, mirip seperti Keenan dalam versi tua. Namun, apa katanya tadi? Menikah?

"Maaf, Tan—eh, Ma, sebenarnya ada kesalahpahaman. Saya dan dia tidak bisa menikah, maksudnya, saya sudah memiliki anak. Jadi saya—"

"Astaga, kamu sudah punya anak? Berapa usianya? Kamu janda?"

"Sayang," tegur Vian saat mendengar istrinya mengorek hal yang cukup sensitif.

"Sekitar enam tahun lebih. Saya belum pernah menikah."

Emily berusaha menjawab setenang mungkin. Tetapi jawabannya itu, membuat suasana hening untuk sesaat. Emily tidak berani menatap langsung pasangan suami istri itu. Dia takut dipandang hina seperti biasa. Melahirkan tanpa memiliki suami adalah aib yang selalu dikatakan orang tuanya. "Saya rasa, saya tidak bisa menikah dengan putra Anda. Maafkan saya."

"Jika itu yang mengganggumu, kami tidak masalah."

Huh?

Emily mendongak dan menatap pria tua yang bersuara. Dia tidak melihat tatapan mengejek atau cemoohan dari pasangan suami-istri itu. Nyonya Silvi tetap tersenyum hangat padanya, seakan itu bukan masalah.

"Iya, Mama juga tidak masalah."

"Keenan, bagaimana denganmu? Kau masalah dengan itu?" tanya Tuan Vian pada anaknya.

Pandangan semuanya kini tertuju pada lelaki yang bersandar di sofa dan meliriknya tanpa emosi. Perkataan itu seolah menjadi penentu nasib Emily kedepannya. Emily yang menyadari itu, memelototi Keenan. Berharap lelaki itu akan menolaknya. Sayangnya, Emily malah mendapat firasat buruk ketika melihat senyum kecil di bibir Keenan.

"Tidak, Pa. Aku akan menikahinya."

"Bagus, kalau begitu Papa akan mengatur pertemuan dua keluarga untuk membahas pernikahan kalian."

Eh, apa? Pertemuan? Pernikahan! Tidak! Emily ingin bicara dan menolaknya, tapi dia tidak bisa mengeluarkan kata-katanya sedikit pun.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status