Lokasi tempat mereka melanjutkan permainan kali ini ternyata tepat di pesisir pantai. Amanda bisa mendengar desiran ombak yang pecah tatakala mengenai batu karang. Wanita itu menmeluk tubuh, mencoba menghalauy angin malam walau itu tidak cukup berpengaruh.
Dari arah utara, Senja memperhatikan pasangannya dengan raut wajah tak terbaca. Laki-laki itu sempat mengembuskan napas, lalu berniat menemani Amanda. Namun salah seorang juru kamera yang datang membuat Senja mengurungkan niatnnya.Karena kali ini mereka tidak ada di dalam rumah, pihak stasiun televisi mengirimkan dua juru kamera untuk merekam interaksi dan kegiatan tiga peserta malam ini.
Pengumuman dengan alat bantu pengeras suara yang baru saja terdengar mengundang atensi Amanda, sejenak wanita itu menyipitkan pandang, lalu merekahkan senyuman begitu mengenali salah satu juru kamera yang ditugaskan oleh ayahnya.Senja mengangkat alis begitu mendapati Amanda berlari menerjang pasir putih pantai dengan flat shoes-nya. Begitu menyadari arah pandang Amanda pada juru kamera, Senja langsung menahan pergelangan tangan kanan wanita itu agar menghentikan langkah kedua kakinya.
“Apa sih!” sentak Amanda. Wanita itu berusaha melepaskan cengkraman senja, tetapi malah berakhir sia-sia. Amanda pasrah saat tangannya ditarik menuju dua peserta pasangan lain yang sudah berdiri pada meja masing-masing.“Senja, lepas!” Amanda berseru, merasa tidak terima saat mendapati Bianca menatapnya dengan pandangan remeh. Pastinya, lawannya itu merasa jika ia sangat sulit diatur, dan itu menyusahkan Senja. Walau memang itu yang terjadi seebnarnya, Amanda enggan mengakuinya.
“Jangan bertingkah kali ini, tolong bantuanamu agar permainan kali ini berjalan dengan baik,” peringat Senja. Mendengar itu, Amanda langsung cemberut. Dengan sangat terpaksa mengikuti langkah kaki Senja yang membawanya menuju meja kosong milik mereka, letaknya berada di tengah antar dua peserta lain.Lima menit lagi rekaman di mulai, dua juru kamera yang ditugaskan hanya meletakan beberapa kamera di sisi-sisi yang bagus, lalu akan ditinggalkan. Ralat, mereka membiarkan kamera bekerja selayaknya CCTV.“Bang Adnan!” Amanda berseru memanggil sembari melambaikan tangan. Senja memutar bola mata, percuma juga ia menahan gadis itu. Pada akhirnya, Manda memanggilnya juga. Dugaan Senja sebelumnya memang seperti ini, Amanda mengenali salah satu pria yang memegang kamera.
Pemilik nama yang merasa di panggil, langsung melambaikan tangan balik, lalu tersenyum manis. Ia tidak balik menyapa Amanda karena ini masih dalam lingkup bekerja.Sebagai juru kamera, Adnan sering diminta untuk menghandle urusan potret memotret keluarga Amanda. Itu yang membuat gadis itu berani mengundangnya. Adnan sendiri tidak bisa bercakap lebih, ia tidak ingin Amanda membuat iri peserta lain karena statusnya sebagai putri tunggal pemilik stasiun televisi pada acara ini.
“Hahaha. Lihat, Manda? Kau baru saja diabaikan,” ejek Bianca. Wanita dengan riasan menor itu menatap Amanda dengan pandangan meremehkan. Ada sedikit tatapan iri yang bisa Amanda lihat, dan itu membuatnya langsung tersenyum miring.
“Katakan saja jika merasa iri,” balasnya kesal.Sebelum perseturuan besar kembali terjadi, Senja langsung mengubah posisi. Kini pria itu berdiri di samping kanan Amanda, memblokir akses pandang kedua gadis yang tak pernah akur itu. Mendapatinya, Amanda mengembuskan napas kesal. Ia menatap lurus ke depan sembari menunggu meja di siapkan.Belum sempat merasa tenang, Amanda tiba-tiba teringat sesuatu. Satu menit sebelum kamera dinyalakan, Amanda mengadahkan wajah menatap Senja yang lebih tinggi di bandingnya.
“Sial, Senja. Aku baru ingat jika aku tidak bisa memasak,” umpatnya kecil. Suara Manda bahkan lebih didengar sebagai sebuah bisikkan.Senja menatapnya tanpa terkejut, ia sudah tahu. Lagipula ia tidak berharap lebih dengan kemampuan nona manja itu. Amanda tidak bisa diajak kerja sama. Jadi Senja memilih untuk bergantung pada dirinya sendiri. Persetan dengan status gadis itu sebagai putri pemilik stasiun televisi, jika tidak bisa diandalkan apa gunanya?“Lalu? Lagipula aku tidak berharap lebih padamu,” balas Senja. Kalimatnya terdengar minat tidak minat. Mendengar balasan tak enak itu, Amanda langsung mendelik. Ia menatap pasangannya dengan raut wajah tidak percaya. Belum sempat ia membalas, suara juru kamera mengintruksi Manda untuk memfokuskan atensinya.
“Oke, baik. Satu menit lagi kamera menyala otomatis, tepat jam tujuh malam. Kami akan meninggalkan kamera, sementara kalian menyelesaikan misi pada permainan kali ini. Dua hidangan dengan bahan utama sayuran, mengerti?” Adnan menjelaskan, lalu mengangkat kedua alis menunggu balasan.Amanda membalas paling kencang, wanita itu begitu bersemangat walau sebelumnya berseteru dengan pasangannya. Lagi-lagi, Senja merasa tidak bisa memahami gadis itu. Perubahan suasana hati Amanda terlalu cepat, dan itu membingungan.
Adnan dan satu juru kamera lain langsung meninggalkan tiga pasang peserta setelah mendengar tanggapan. Masih sisa tiga puluh detik, Manda kembali menatap Senja yang berdiri tepat di sampingnya.“Aku bisa membantu, percayalah,” ujarnya. Amanda berusaha meyakinkan Senja lewat ekspresi wajahnya. Pria itu langsung mengangkat alis untuk dijadikan tanggapan awal.“Membantu dengan cara apa?” tanya Senja sembari mengerutkan dahinya.“Menyalakan kompor.”Senja menatap Amanda dengan raut wajah tidak percaya, menyesal karena sempat percaya jika gadis itu bisa membantunya. Sementara Amanda, ia langsung terbahak tepat saat kamera menyala karena wajah kesal yang Senja perlihatkan.Senja menyadari kamera mulai aktif, jadi ia tidak memperdulikan tawa gadis di sampingnya. Ia langsung menyiapkan wortel untuk dikupas, sebelum direbus bersama bayam yang telah disiapkan.
Sementara Amanda langsung berdeham, sudah cukup tertawa. Wanita itu langsung menuju kompor, lalu menyalakannya dengan penuh hati-hati setelah meletakan panci bersisi air.Ia hanya melakukan apa yang telah tersedia di atas meja. Karena angin pantai, api pada kompor sulit untuk dijinakkan. Amanda berulang kali memundukan tubuhnya sendiri saat dirasa api mencoba mengejarnya.Bahkan seumur hidup, Amanda belum pernah sedekat ini dengan kompor. Sebagai anak tunggal yang selalu dimanjakan, ia selalu menolak melangkahkan kaki ke dapur. Toh, semua kebutuhannya sudah di sediakan oleh pelayan. Ia hanya perlu menikmatinya dengan senang hati.
Jadi seharusnya Senja memaklumi tingkahnya kali ini. Ini api!Melihat itu, Senja mengembuskan napas. Bukankah hanya menyalakan kompor? Mengapa harus berlebihan seperti itu.
“Amanda,” panggil Senja.Panggilan itu sukses mengalihkan pandangan gadis itu dari kompor menyala di atas meja. Ia menatap Senja sembari meringis pelan, lantas menggaruk pipi begitu mendapati pria itu menghela napas panjang.“Masukkan potongan kentangnya,” titah pria itu. Ia memberikan wadah berisi kantung yang telah ia potong dadu. Manda menerimanya dengan sedikit rasa ragu, lalu memasukkan potongan kentang satu persatu sembari memberi jarak dengan kompor.Tentu mengantisipasi air mendidih dalam panci mengenai tangannya sendiri. Melihat itu, Senja bedecak. Jika terus seperti ini, mereka akan tereliminasi di minggu pertama. Dan Senja tidak akan membiarkannya!’Pria dengan lengan kemeja yang ditekuk hingga siku itu mendekat, Senja memposisikan tubuh di belakang Amanda. Mengukung pasangannya lewat dekapan belakang. Pria itu bisa merasa tubuh gadis di hadapannya terjengkit kecil.
Amanda menahan napas sebentar, ia menatap lurus ke depan dengan pandangan linglung. Pipinya merona begitu menyadari tubuh Senja menempel sempurna pada punggung kecil miliknya.“Rileks, Amanda. Jangan terlalu kaku atau kita akan ... minggu ini.”
Dalam permainan lanjutan kali ini, sebenarnya tidak ada pemenang. Hanya tentang siapa pasangan yang paling cepat menyelesaikan dua masakan diantara dua pasangan lain. Dan kini, kerusuhan tengah terjadi pada Amanda. Gadis itu memekik berulang kali saat uap panas mengepul mengenai permukaan kulit, tentunya saat gadis itu sedang berusaha mengaduk sup yang hampir matang.“Ouh, sungguh, Senja. Kulitku terasa terbakar!” keluh Amanda, tetapi suaranya di kecilkan. Ia tidak ingin ada pasang telinga lain yang mendengar keluhannya. Manda juga tetap mempertahankan senyuman saat mengeluh, tentu karena kamera besar yang ada di hadapannya terus menyala. Ia tidak bisa menampilkan ekspresi kesal yang sebenarnya.Senja melirik Amanda sebentar, lalu mengembuskan napas panjang. Pria itu memilih untuk tidak peduli, lantas melanjutkan kegiatannya memotong cabai dan beberapa iris bawang yang akan ia jadikan bumbu membuat tumis kangkung.“Senja, jangan mencoba mengabaikanku. Kau tidak lihat bagaiman serasiny
Amanda tidak langsung menjawab pertanyaan Senja. Tangannya membawa jaket milik pria itu agar menepel sempurna pada punggungnya yang terbuka. Ia tidak menolak atau langsung melepas jaket pemberian pria itu. Sebab pada kenyataanya, ia memang sedang kedinginan sekarang.“Terima kasih,” ujar Amanda. Namun tatapan gadis itu terus tertuju pada hamparan pasir di lantai dasar sana. Ia membiarkan angin malam mengombang-ambingkan rambut panjang yang ia geraikan.Senja menoleh, lalu mengerutkan dahi, “Terima kasih untuk apa?” tanya pria itu. Kini kedua alisnya ikut terangkat, meleengkapi ekspresi bertanyanya saat ini.Amanda tertawa kecil, “Untuk jaketnya,” balasnya. Amanda kembali mengangkat kecil jaket berat milik senja agar tubuhnya tidak kedinginan. Mengingat dress yang ia kenakan masih sama dengan dress saat berada di luar, bahunya terlalu terbuka. Dan itu membuat Amanda merinding kapan saja.“Oh,” balas Senja singkat. Laki-laki itu memilih untuk ikut menatap lurus ke depan. Mencoba untuk m
Sekarang, Senja bisa melihat sifat asli Amanda lewat pergerakan tidurnya. Perlahan ia bangkit dari posisi terbaring, setelahnya meletakan satu kaki dan satu tangan milik Manda yang nangkring tanpa dosa di atas tubuhnya. Pantas saja sepanjang malam memejamkan mata ia merasa ada beban yang tak dikenalinya. Rupanya ini milik Amanda.Senja mengembuskan napas, menatap bantal guling yang semalam Amanda jadikan batas antar tubuh keduanya terjatuh mengenaskan di atas lantai. Pose tidur gadis itu tidak terbilang baik, tidurnya royal dan tidak bisa berhenti bergerak. Sepertinya itu yang membuat tidur Senja sama sekali tidak nyenyak. Ini menyebalkan, tetapi ia ingin tertawa melihat cara tertidur Amanda. Rupannya tidak seanggun saat sadar sepenuhnya.Pergerakan abnormal di sampingnya membuat Senja menoleh. Lantas laki-laki itu menatap Amanda yang kini tengah mengerjapkan mata. Rambut panjang tergerai gadis itu tampak berantakan. Tidak tertata dan mirip seperti rambut singa.Amanda menguap sebenta
“Ya tuhan, punggungku benar-benar terasa pegal!” Amanda mengeluh. Wanita itu baru saja mendudukkan diri pada sofa di teras vila. Tepat setelah menyapu pelataran rumah yang kotor karena daun-daun pohon yang gugur. Ia membiarkan sapu yang ia gunakan terjatuh mengenaskan di atas lantai. Biarlah, ia akan mengambilnya nanti. Yang perlu dilakukannya saat ini adalah mengatur deru napasnya sendiri. Ia memejamkan mata, angin sepoi-sepoi yang sangat jarang ia temukan di pusat kota membuat Amanda larut dalam hening. Mencoba merespi apa yang tengah dirasanya saat ini. Di depan vila, hanya ada satu kamera pengawas, letaknya di atas pintu. Amanda tidak memperdulikan itu. Ia hanya ingin duduk sebentar karena tubuhnya terasa sangat pegal. Perlu diingat kembali, ini adalah kali pertama Amanda menyapu atas kemauannya sendiri. Di rumah, ia selalu mengandalkan semua tugas harian pada pelayan yang ayahnya pekerjakan. Termasuk pakaaian dan kebersihan kamar. Sejak kecil, ayahnya selalu memanjakan putri se
“Apa yang kalian berdua lakukan di depan penginapanku?” Michel bertanya untuk kali keduanya saat mendapati kebungkaman Amanda dan Senja. Pria itu menuruni undagan, lalu berdiri di samping Senja tanpa menurunkan kedua alisnya.Senja menatap Michel balik setelah berdeham singkat, ia melirik ke arah pintu vila, lalu menemukan Marsha baru saja keluar dari dalam sana. Wanita itu mengenakan clemek, sepertinya sedang memasak.“Amanda, sungguh itu kau?” Senyuman Marsha merekah saat mendapati wanita itu. Merasa dipanggil, Amanda mengadahkan wajah. Lalu tersenyum sembari melambaikan tangan kanannya. Senjka Marsha membantunya pulih dari sesak napas tempo hari, Amanda tidak lagi merasa harus menjaga jarak dengan gadis cantik itu. Yang perlu dijadikannya musuh yang benar-benar musuh adalah Bianca, Amanda merasa tidak sudi untuk berdekatan dengannya.“Sebenarnya, kami datang untuk meminta bantuan,” ujar Senja memberitahu Amanda langsung menganggukkan kepala untuk dijadikan tanggapan.Lantas Marsha
Amanda membantu Marsha membersihkan sisa makan siang mereka. Mungkin, jika ia berada di kediaman atau villa yang ditempatinya sendiri, ia akan enggan melakukan hal ini. Sayangnya tatapan tajam Senja membuat Amanda terpaksa ikut membantu Marsha. Mau bagaimanapun, mereka secara kasar baru saja menumpang makan. Jadi harus bersikap dengan wajar.Amanda berulang kali bergelut dengan dirinya sendiri, mengatakan jika apa yang tengah dilakukannya saat ini sangat bertolak belakang dengan apa yang biasanya ia lakukan. Di kediamannya sendiri, setelah makan ia akan meninggalkan bekas piringnya di atas meja. Amanda tidak pernah diminta untuk mencuci atau membereskannya. Selain karena merasa jijik, sudah ada pelayan yang ayah pekerjakan untuk melayaninya. Hidup Amanda begitu sempurna jika diingat.“Amanda, bisakah kau? Kupikir kamu tidak bisa membereskan piring seperti ini, maaf,” ujar Marsha. Wanita itu mempertanyakan kelayakan kemampuan Amanda yang tengah membawa setumpuk piring yang mereka gunak
“Amanda!” Seruan kencang terdengar, itu suara Senja. Sontak tubuh Amanda tersentak, lalu menatap ke arah pintu kamar dengan pandangan was-was. Perasaanya tidak enak sekarang.“Ya, tunggu sebentar!” teriaknya balik. Setelahnya, Amanda langsung bergegas menemui Senja, takut jika pria itu marah karena kesalahan yang belum disadarinya.Muka gadis itu belum selesai dipakaikan masker, hanya separuh masker ini diberikan oleh Marsha, gadis itu memang sangat baik kepadanya. Amanda tidak memiliki persiapan hingga sedetail ini. Ia berada di tempat acara saat bangun pagi, itu pun dengan keterkejutan luar biasa karena menyadari keberadaan Senja.“Amanda!” geraman Senja kembali terdengar. Manda langsung melajukan kedua kaki lebih cepat, apa yang membuat pria itu terus menerus berseru dengan nada yang tidak enak di dengar.Kedua kaki Amanda berhenti tepat di dapur setelah mengikuti insting dimana keberadaan Senja saat ini. Napasnya tersendat karena berlari kencang dari kamar hingga dapur, ia mengatu
Makan malam berakhir dengan situasi canggung luar biasa. Senja hanya bisa melirik beberapa kali ke arah Amanda yang setia duduk di sebelahnya. Gadis itu subuk mengunyah makanan tanpa membuka suara, dan itu membuat suasana menjadi berbeda. Senja tidak terbiasa mendapati Amanda terdiam seperti sekarang ini, ia merasa ini tidak benar.Mungkin karena sudah terbiasa dengan sifat banyak bicara Amanda, lalu terkejut begitu mendapatinya terdiam dalam kurun waktu cukup lama. Senja merasa jika gadis itu sedikit tersinggung dengan apa yang beberapa waktu lalu ia katakan. Dan jika memang benar begitu, ia menyesal.“Aku sudah selesai.” Amanda lantas bangkit dari posisi terduduknya. Ia beranjak tanpa berniat menatap Senja yang kini tengah tengadah guna menatap ke arahnya. Amanda merasa suasana hatinya menurun drastis setelah berdialog panjang dengan pria itu. Perkataan Senja terlalu menamparnya, Amanda tidak siap untuk disadarkan paksa. Walau yang dikatakan pria itu tidak salah, Amanda masih sulit