Pandangan mata Jingga menatap sendu rintik hujan turun di luar sana. Jemari lentiknya dengan cekatan memotong beberapa sayuran untuk dijadikan menu makanan pagi ini. Bukan tak ada pelayan ataupun asisten rumah tangga yang bisa menyediakan makanan untuknya, Jingga hanya enggan merepotkan lebih dari yang telah ia dapatkan.‘Kenapa malah orang lain yang mempercayaiku tanpa syarat, bahkan sampai rela membawaku kerumah mereka dan memikirkan kesehatan psikologisku?! Harusnya, orang terdekatku yang memberikan kepercayaan, bukan malah orang tak dikenal,’ batin Jingga mengeluh dalam lamunan. “Oh ternyata cocok jadi asisten rumah tangga, toh! Aku kira seperti apa orang yang dipercaya Mas Agni?!” seru suara sinis mengejutkan Jingga yang tengah memotong sayuran.“Damn it!” hardik Jingga pada udara kosong seraya menghisap jarinya yang tergores. “Are you yelling at me?”“Kalau mau makan, kamu bisa duduk! Aku nggak punya waktu untuk melayanimu berdebat,” sahut gadis yang lebih muda dua tahun dari K
Sebulan berlalu sejak Jingga memasuki kediaman Dirgantara, sudah selama itu pula ia memiliki profesi sebagai juru masak di rumah tersebut. “Kamu yakin mau kerja, Jingga?” tanya Agni membuka pembicaraan saat makan malam berlangsung. “Memangnya jadi koki di rumah ini kurang buat kamu?” lanjutnya seraya menyuap makanan.“Jadi koki di rumah ini berbeda dengan bekerja di luar, Mas. Aku ingin pengalaman, bukan zona nyaman. Karena aku nggak mungkin untuk berpangku tangan terus,” sahut Jingga yakin. “Aku nggak terlalu masalah dengan kamu stay di rumah ini, kalau memang kamu perlu gaji aku juga bisa memberikan gaji yang sesuai pekerjaan kamu disini. Bu Fatma juga pasti senang.”“Biar sajalah, Mas. Hitung-hitung sekalian Jingga bergaul di luar, nggak ngeram di rumah. Kalau bisa malah aku maunya dia kuliah,” seloroh Ilana. Angkasa yang mendengar pembicaraan ketiganya hanya memutar mata, jengkel. Bisa-bisanya sang Kakak dan calon Kakak Iparnya lebih memperhatikan keadaan orang lain, tetapi tid
Di kediaman keluarga Baskoro, sosok wanita anggun berparas ayu yang berusia 47 tahun tengah mengeluarkan berkarung-karung mantra dan sumpah serapah yang ditujukan untuk sang suami. “Ayah! Ibu sudah nggak tahu lagi harus cari anak kita kemana, kalau Ayah nggak nemuin dia juga, lebih baik kamu nggak usah pulang kerumah!” ancam sosok keibuan dengan suara tinggi nyaring membentak sang suami yang berwajah kusut karena masih juga belum menemukan sang putri bungsu.“Sabar, Bu. Ayah ini sudah cari kesana kemari, juga sudah minta bantuan beberapa orang, Damar juga sudah Ayah hubungi mana tahu Jingga menyusul dia ke jakarta. Tapi, semua masih nihil. Aku juga sudah lapor polisi dan belum ada kabar lebih lanjut,” jawab Pak Dimas menjabarkan semua yang sudah dia lakukan pada sang istri yang masih tegangan tinggi.“Ini semua gara-gara harga dirimu yang terlalu kamu junjung tinggi itu, Mas! Jingga itu anakmu sendiri, kamu malah bisa-bisanya nggak percaya sama dia?!” cerca Ibu Mia. “Demi Tuhan, Mas!
“Apa sih istimewanya cewek itu sampai Mas Agni bela-belain buat berdebat sama aku?!” gerutu Angkasa.Sukma dan Irfan hanya bisa saling tatap mendengar gerutuan Angkasa, karena semenjak kedatangan Jingga di rumahnya, Angkasa menjadi lebih pemarah dan sering menggerutu.“Mbak Lana saja yang terlalu baik sama orang, karena pengaruh dia juga Mas Agni jadi seperti itu. Gara-gara cewek itu juga, Mas Agni jadi makin antipati ke aku, bikin jengkel!” sahut Karina memanasi Angkasa. Gadis itu tahu bagaimana caranya membuat masalah menjadi semakin runyam ketimbang sebaliknya.“Karin! Kamu nggak berhak menilai keluarga orang lain! Jangan menuang bahan bakar ke dalam api!” tegas Irfan memperingatkan.“Fan, apa yang aku katakan itu benar, Mbak Lana itu terlalu ngontrol Mas Agni. “Rin, bisa nggak kamu nggak jelek-jelekin Mbak Lana! Kamu nggak tahu apa-apa tentang dia, jadi jangan seenaknya ngomong!” Tegur Angkasa. “Sorry,” sahut Karina menggigit bibir.Bagaimanapun juga Ilana adalah orang yang sanga
Jingga kembali ke kediaman Dirgantara dengan wajah sembab, saat memasuki pintu utama rumah besar tersebut gadis itu sama sekali tak membalas sapaan orang. Ia hanya berjalan lurus menuju kamarnya.“Non Jingga, kok sudah pulang?” tanya Bu Fatma selaku kepala pelayan di kediaman Dirgantara. Namun tidak mendapat jawaban apa-apa, sangat berbeda dari biasa.“Non!” panggil pelayan lain dengan hasil yang sama. “Bu, itu Non Jingga kenapa?” lanjut sang pelayan pada Bu Fatma.“Sejauh ini dari sudut pandang Ibu, Jingga itu anak yang tahu namanya sopan santun, pasti ada sesuatu yang nggak beres yang membuat dia jadi acuh. Coba kamu ke ruangan Non Lana, bilang sama dia kalau Non Jingga pulang sambil nangis!” perintah Bu Fatma.Sesuai perintah sang atasan, pelayan muda tersebut mendatangi Ilana untuk menyampaikan pesan dari Bu Fatma. Sedang, Jingga sudah berada di kamarnya, mengeluarkan tas dan pakaian dari lemari. “Jingga, kok kamu sudah pulang kerja?! Hari ini katanya kamu pulang jam empat?!” Jin
Suara tamparan keras terdengar menggema di seluruh ruang tamu kediaman Dirgantara. Semua mata terpana melihat pemandangan yang baru pertama kali mereka temui yaitu, Agni menampar Angkasa.“Astaga, Mas Agni!” jerit Ilana panik.Irfan, Karina dan Sukma juga terkejut melihat hal itu. Tak ada yang pernah mengira jika Agni akan menampar adik kesayangannya.“Kamu disekolahkan tinggi-tinggi bukan untuk menjadikan kamu sebagai sampah! Demi Tuhan, Angkasa! Mas tidak mendidik kamu untuk memperlakukan orang lain seperti binatang!” hardik Agni marah. “Mas Agni yang sudah nggak waras! Mas nampar aku demi membela wanita seperti dia?! Orang yang nggak jelas asal usulnya, dia bukan wanita baik-baik, Mas. Dia penjaja cinta!”Baru selesai Angkasa mengucapkan penghinaan, bersamaan itu pula Jingga menampar pria tampan berusia dua puluh dua tahun tersebut. Ilana sudah terkejut ketika Agni menampar Angkasa, namun melihat Jingga sendiri yang menampar calon adik iparnya membuat wanita dua puluh lima tahun it
“Mas Agni! Sakit! Tolong lepasin, Mas!” hiba Karina. “Angkasa! Tolong aku!” “Keluar! Aku nggak butuh orang bermulut sampah di rumah ini!” hardik Agni sambil menghempas Karina keluar.“Mas! Bisa nggak pelan sedikit, dia itu perempuan!” Tegur Angkasa."Lalu kenapa kalau dia perempuan? Memangnya Jingga bukan perempuan? Mulutmu itu yang mirip mulut perempuan, doyannya ngerumpi!” “Salah aku dimana, Mas Agni? Aku cuma mengatakan kejujuran, kalau perempuan itu bukan perempuan baik-baik!” kata Karina membela diri. Susah payah gadis dua puluh tahun itu bangkit sendiri tanpa ada orang yang membantu.Irfan dan Sukma hanya menonton drama, keduanya enggan terlibat terutama ketika Agni sudah marah. Mereka yang berteman dengan Angkasa semasa masih SMA sudah paham dengan karakter Agni yang tidak bisa diganggu saat marah.“Karina, apa pikirmu itu kamu lebih baik dari Jingga? Apa kamu seorang Athena yang tak tersentuh, seorang gadis suci? Jangan munafik kamu!” cecar Agni pada teman dari sang adik, pe
Agni, Ilana dan Lexy kembali berkumpul dalam satu forum, ketiganya bertemu dalam rangka pembahasan masalah Jingga yang masih menjadi tanda tanya, juga pertunangan antara Angkasa dan Jingga yang diputuskan sepihak oleh Agni sendiri.“Hm... rupanya kamu udah jadi gila juga, Ni? Kok ya sempet-sempetnya mikir untuk menunangkan Jingga dan Angkasa, padahal kamu tahu persis kalau mereka itu kalau ketemu mirip anjing dan kucing,” ujar Dokter Lexy membuka pembicaraan.“Aku setuju sama Mas Lexy kalau Mas Agni sudah kehilangan akalnya,” sambung Ilana menyetujui pendapat sang Dokter. “Jingga itu baru saja sembuh, Ni. Panjang lho perjuangan kita buat ngebangun pribadi Jingga yang sekarang. Kamu kok malah bikin semua yang sudah tersusun rapi jadi berantakan lagi?” “Bukan tanpa alasan aku ngambil keputusan ini, cuma mungkin waktunya saja yang kurang pas,” jawab Agni tenang. “Alasannya apa, Mas? Please, cukup Jingga yang bikin aku pusing dengan kalimat-kalimat misteriusnya, kamu nggak usah ikut-ik