“Angkasa! Jaga mulutmu!” tegur Agni cepat mana kala melihat sang adik memasuki pintu rumah diikuti ketiga temannya yang lain. “Dia adalah tamu di rumah ini!” jelas sang Kakak.
“Dia memang tamu, Mas. Sayangnya tamu nggak tahu diri! Sudah biaya rumah sakit dibayarin, makan enak, sampai diberikan tempat tinggal gratis, tapi mulutnya macam orang nggak berpendidikan, nggak tahu terima kasih!”“Kamu boleh saja nggak mempercayai Jingga, tapi aku dan Mbakmu percaya sama dia!” tegas sulung Dirgantara.Agni memang biasa memberikan panggilan yang menyatakan keluarga pada Ilana untuk Angkasa, karena Agni ingin bila calon istrinya dihormati seperti keluarga sendiri. Begitu berartinya Ilana bagi seorang Agni karena hanya wanita itu yang bisa ia sebut sebagai keluarga, orang yang menginginkan Agni sebagai Agni, bukan sebagai pewaris Dirgantara Group.“Jelas nggak percayalah, Mas. Dia sendiri saja nggak percaya kok sama kita, buat apa Mas Agni repot-repot ngebangun kepercayaan dia? Cuma buang-buang waktu, Mas!” cerca Angkasa memperjelas keadaan yang memang sudah jelas.“Enough, Angkasa! Jingga akan tinggal disini mau kamu suka ataupun nggak, karena aku sendiri yang secara pribadi mengundang dia untuk tinggal,” Agni tidak membiarkan sang adik untuk berkata seenaknya mengenai orang lain.“Mas, aku nggak ada masalah dengan pernyataan Angkasa, dia benar tentangku. Aku tidak mempercayai Mas Agni ataupun Kak Ilana....”Belum selesai Jingga mengutarakan pendapatnya, Ilana lebih dahulu menggeleng, memberi isyarat pada remaja tersebut untuk tidak menginterupsi. “Kita keatas duluan!” ajak Ilana dengan suara pelan sedikit berbisik.Ilana segera mengambil kesempatan untuk membawa Jingga naik ke lantai satu meninggalkan Agni dan Angkasa yang tengah berdebat disaksikan tiga sahabat Angkasa lainnya.“Kalau kamu tidak bisa mempercayai dia, setidaknya hormati dia sebagai seorang tamu!”“Tapi, Mas!”“Tidak ada tapi, Angkasa! Lebih baik kamu main dengan teman-temanmu dari pada kamu ngurusin urusan orang lain! Kamu tahu nggak dampak dari sikap kamu barusan pada Jingga?”“Apa peduliku tentang dampak buat dia, toh aku nggak kenal dia,” jawaban Angkasa membuat sang Kakak geram bukan kepalang, seandainya bukan adik, mungkin sudah diusir dari rumah.“Mas nggak pernah tahu kalau ternyata kamu lebih tidak berperasaan, yang kamu lakukan saat ini hanya membuat lukanya semakin lebar dan berdarah.”“Bukan masalah punya perasaan atau nggak, aku ini realistis. Mas nolongin dia tanpa pamrih, bahkan sampai ngasih tempat tinggal, tetapi dia malah nggak tahu terima kasih. Orang itu ada yang perlu ditolong dan ada yang nggak.”“Ndasmu realistis, Sa!” hardik Agni keras. “Kamu sendiri hanya tahu menolong orang atas dasar kemauan dan penilaianmu sendiri, tanpa berfikir bila orang itu akan menempel layaknya parasit,” sindir Agni sambil melirik tajam pada wanita yang berdiri disisi Angkasa.“Teman bukan parasit, Mas!” tegas Angkasa yang paham kemana arah pembicaraan sang Kakak.“Tidak semua teman adalah parasit, tetapi selalu ada parasit dalam kehidupan yang kita jalani. Kita tahu semua itu dan kita juga sudah mengalami banyak mimpi buruk!”“Lalu buat apa Mas bawa parasit kerumah?”“Kamu nanya ke aku masalah membawa orang kerumah?” sindir Agni sambil mengarahkan dagu pada beberapa orang yang berdiri tak jauh dari sang adik. “Kamu sendiri bagaimana? Kamu tahu Mas nggak terlalu suka sama salah satu teman kamu, tapi kamu masih dengan santainya membawa dia kesini, lalu kenapa aku nggak bisa melakukan hal yang sama seperti yang kamu lakukan?”“Bisa Mas nggak mendesak temanku atau bawa-bawa mereka dalam masalah kita? Aku lebih mengenal temanku dibanding Mas mengenal mereka, sedangkan dia? Mas cuma nemuin dia di jalanan. Buat apa juga Mas berkorban bahkan berdebat demi dia?”“Sa! sudah, Sa! Please! Aku nggak mau terlibat dalam perdebatan kamu sama Mas Agni,” pinta Karina yang tahu siapa orang yang dimaksud Agni.“Bagus kalau kamu sadar diri,” cerca Agni jengkel pada wanita yang menurutnya berkepala dua tersebut.“Mas! Karin itu teman aku! Mas nggak bisa memperlakukan temanku seperti itu! Mas bisa bantu orang tanpa pandang bulu, tetapi Mas malah mendiskriminasi Karin. Padahal secara harfiah seharusnya Mas lebih respek ke Karina yang yatim-piatu, dia berdiri dengan usahanya sendiri untuk bisa berada di tempat dia sekarang.”“Lalu, kenapa kamu nggak bisa melihat dari sisi yang sama pada Jingga?”“Nggak bisa, Mas. Dia dan Karina berbeda,” kilah Angkasa masih membela temannya. “Lagi juga apa bedanya cewek itu tinggal di luar sana atau di sini? Kalau Mas mau membandingkan dia dengan Karin, Karin itu hidup sendiri, Mas. Kenapa juga Mas Agni repot-repot bawa dia pulang?”“Karena kemanusiaan, Sa. Sama seperti yang kamu lakukan untuk teman kamu. Mas masih punya nurani untuk nggak membiarkan dia tergeletak di jalanan, sama seperti kamu yang nggak tega melihat orang yang kamu anggap teman harus putus pendidikan. Terlepas dari dia percaya atau tidak padaku dan Mbakmu, dia adalah tamuku dan kamu harus menghormatinya, sama seperti aku yang tidak mempermasalahkan kedatangan teman-temanmu, walau aku nggak menyukai salah satunya. Satu hal yang harus kamu ingat, dia bukan parasit,” tegas Agni dengan argumentasi yang tidak bisa dibantah.“Kenapa Mas bisa begitu yakin dengan pandangan Mas ke cewek itu ketimbang ke aku? Mas bahkan nggak kenal siapa dia dan dari mana asalnya.”“Apa Masmu ini sebodoh itu sampai tidak tahu dari keluarga seperti apa dia? Hanya butuh dua jam bagiku untuk menyelidiki asal usul Jingga, dari mana dia, seperti apa keluarganya dan apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu. Mas diam hanya karena Mas nggak ingin Mbakmu khawatir berlebih yang membuat dia salah dalam menangani Jingga,” tutur Agni.“So, where does she come from?”“Bukan masalah dari mana dia berasal, yang menjadi masalah sekarang ini adalah sikap antipatimu terhadap dia! Menilai seseorang secara subjektif bukan hal yang baik untuk dilakukan.”“Tapi....”“Cukup, Angkasa! Aku nggak mau berdebat lebih dari ini. Mas ini hanya ingin kamu menilai seseorang dengan menempatkan dirimu dalam posisinya,” sela sang Kakak sebelum Angkasa kembali mengeluarkan argumen yang hanya berputar-putar di tempat yang sama.“Dengerin pendapat aku dulu, Mas!”“Sejak tadi kita memperdebatkan pendapat kita masing-masing tanpa ada titik temunya, kamu bersikeras dengan pendapat kamu sendiri tentang benar dan salah, tanpa mempertimbangkan pendapat Mas tentang dia.”“Masalahnya, Mas dan Mbak lebih mengedepankan nurani dari pada logika. Mas Agni selalu saja membiarkan Mbak Lana menolong orang yang nggak jelas. Aku nggak masalah kalau kalian mau melakukan kegiatan sosial, panti banyak, Mas. Masih banyak orang yang lebih membutuhkan bantuan dari pada dia.”Agni memijit pelipisnya yang pusing karena berdebat dengan sang adik, entah bagaimana lagi dia harus memberikan pengertian pada Angkasa agar tidak serta merta menilai seseorang hanya karena penampilan atau masa lalunya.“Mas capek berdebat, lebih baik kamu ke ruanganmu sendiri untuk bermain dengan ketiga temanmu dan jangan coba-coba mengganggu Jingga! Selama dia berada di rumah ini, dia adalah tanggung jawab Mas. Jadi kamu jangan coba-coba untuk mengganggu dia, titik!”Dari ruang kamar yang di datangi oleh Ilana dan Jingga, keduanya tak lagi mendengar perdebatan diantara kakak-beradik Dirgantara. Namun, Jingga masih bingung bagaimana harus mengambil sikap. “Maaf, ya. Bukan maksud aku melarang kamu untuk mengutarakan pendapat, hanya saja ketika Mas Agni dan Angkasa bertengkar, lebih baik jangan dipotong.”“Kenapa, Kak? Nggak baik yang namanya saudara bertengkar karena orang lain.”“Yang sedang Agni lakukan adalah mendidik adiknya, satu saat Angkasa akan paham alasan mengapa Agni melakukan semua itu.”“Mas Agni memiliki alasan untuk bertengkar dengan adiknya? Aku nggak paham maksudnya, Kak?!” tanya Jingga masih bingung.“Anak laki-laki berbeda dengan perempuan, Jingga. Mereka akan belajar dari sebuah pertengkaran, perselisihan dan perdebatan. Pengalaman memberikan makna tersendiri yang bisa membuat mereka memahami keadaan,” jelas Ilana lembut. “Pengalaman tidak serta merta membuat seseorang berubah menjadi dewasa, Kak. Kenyataannya hidup tidak semuda
Pandangan mata Jingga menatap sendu rintik hujan turun di luar sana. Jemari lentiknya dengan cekatan memotong beberapa sayuran untuk dijadikan menu makanan pagi ini. Bukan tak ada pelayan ataupun asisten rumah tangga yang bisa menyediakan makanan untuknya, Jingga hanya enggan merepotkan lebih dari yang telah ia dapatkan.‘Kenapa malah orang lain yang mempercayaiku tanpa syarat, bahkan sampai rela membawaku kerumah mereka dan memikirkan kesehatan psikologisku?! Harusnya, orang terdekatku yang memberikan kepercayaan, bukan malah orang tak dikenal,’ batin Jingga mengeluh dalam lamunan. “Oh ternyata cocok jadi asisten rumah tangga, toh! Aku kira seperti apa orang yang dipercaya Mas Agni?!” seru suara sinis mengejutkan Jingga yang tengah memotong sayuran.“Damn it!” hardik Jingga pada udara kosong seraya menghisap jarinya yang tergores. “Are you yelling at me?”“Kalau mau makan, kamu bisa duduk! Aku nggak punya waktu untuk melayanimu berdebat,” sahut gadis yang lebih muda dua tahun dari K
Sebulan berlalu sejak Jingga memasuki kediaman Dirgantara, sudah selama itu pula ia memiliki profesi sebagai juru masak di rumah tersebut. “Kamu yakin mau kerja, Jingga?” tanya Agni membuka pembicaraan saat makan malam berlangsung. “Memangnya jadi koki di rumah ini kurang buat kamu?” lanjutnya seraya menyuap makanan.“Jadi koki di rumah ini berbeda dengan bekerja di luar, Mas. Aku ingin pengalaman, bukan zona nyaman. Karena aku nggak mungkin untuk berpangku tangan terus,” sahut Jingga yakin. “Aku nggak terlalu masalah dengan kamu stay di rumah ini, kalau memang kamu perlu gaji aku juga bisa memberikan gaji yang sesuai pekerjaan kamu disini. Bu Fatma juga pasti senang.”“Biar sajalah, Mas. Hitung-hitung sekalian Jingga bergaul di luar, nggak ngeram di rumah. Kalau bisa malah aku maunya dia kuliah,” seloroh Ilana. Angkasa yang mendengar pembicaraan ketiganya hanya memutar mata, jengkel. Bisa-bisanya sang Kakak dan calon Kakak Iparnya lebih memperhatikan keadaan orang lain, tetapi tid
Di kediaman keluarga Baskoro, sosok wanita anggun berparas ayu yang berusia 47 tahun tengah mengeluarkan berkarung-karung mantra dan sumpah serapah yang ditujukan untuk sang suami. “Ayah! Ibu sudah nggak tahu lagi harus cari anak kita kemana, kalau Ayah nggak nemuin dia juga, lebih baik kamu nggak usah pulang kerumah!” ancam sosok keibuan dengan suara tinggi nyaring membentak sang suami yang berwajah kusut karena masih juga belum menemukan sang putri bungsu.“Sabar, Bu. Ayah ini sudah cari kesana kemari, juga sudah minta bantuan beberapa orang, Damar juga sudah Ayah hubungi mana tahu Jingga menyusul dia ke jakarta. Tapi, semua masih nihil. Aku juga sudah lapor polisi dan belum ada kabar lebih lanjut,” jawab Pak Dimas menjabarkan semua yang sudah dia lakukan pada sang istri yang masih tegangan tinggi.“Ini semua gara-gara harga dirimu yang terlalu kamu junjung tinggi itu, Mas! Jingga itu anakmu sendiri, kamu malah bisa-bisanya nggak percaya sama dia?!” cerca Ibu Mia. “Demi Tuhan, Mas!
“Apa sih istimewanya cewek itu sampai Mas Agni bela-belain buat berdebat sama aku?!” gerutu Angkasa.Sukma dan Irfan hanya bisa saling tatap mendengar gerutuan Angkasa, karena semenjak kedatangan Jingga di rumahnya, Angkasa menjadi lebih pemarah dan sering menggerutu.“Mbak Lana saja yang terlalu baik sama orang, karena pengaruh dia juga Mas Agni jadi seperti itu. Gara-gara cewek itu juga, Mas Agni jadi makin antipati ke aku, bikin jengkel!” sahut Karina memanasi Angkasa. Gadis itu tahu bagaimana caranya membuat masalah menjadi semakin runyam ketimbang sebaliknya.“Karin! Kamu nggak berhak menilai keluarga orang lain! Jangan menuang bahan bakar ke dalam api!” tegas Irfan memperingatkan.“Fan, apa yang aku katakan itu benar, Mbak Lana itu terlalu ngontrol Mas Agni. “Rin, bisa nggak kamu nggak jelek-jelekin Mbak Lana! Kamu nggak tahu apa-apa tentang dia, jadi jangan seenaknya ngomong!” Tegur Angkasa. “Sorry,” sahut Karina menggigit bibir.Bagaimanapun juga Ilana adalah orang yang sanga
Jingga kembali ke kediaman Dirgantara dengan wajah sembab, saat memasuki pintu utama rumah besar tersebut gadis itu sama sekali tak membalas sapaan orang. Ia hanya berjalan lurus menuju kamarnya.“Non Jingga, kok sudah pulang?” tanya Bu Fatma selaku kepala pelayan di kediaman Dirgantara. Namun tidak mendapat jawaban apa-apa, sangat berbeda dari biasa.“Non!” panggil pelayan lain dengan hasil yang sama. “Bu, itu Non Jingga kenapa?” lanjut sang pelayan pada Bu Fatma.“Sejauh ini dari sudut pandang Ibu, Jingga itu anak yang tahu namanya sopan santun, pasti ada sesuatu yang nggak beres yang membuat dia jadi acuh. Coba kamu ke ruangan Non Lana, bilang sama dia kalau Non Jingga pulang sambil nangis!” perintah Bu Fatma.Sesuai perintah sang atasan, pelayan muda tersebut mendatangi Ilana untuk menyampaikan pesan dari Bu Fatma. Sedang, Jingga sudah berada di kamarnya, mengeluarkan tas dan pakaian dari lemari. “Jingga, kok kamu sudah pulang kerja?! Hari ini katanya kamu pulang jam empat?!” Jin
Suara tamparan keras terdengar menggema di seluruh ruang tamu kediaman Dirgantara. Semua mata terpana melihat pemandangan yang baru pertama kali mereka temui yaitu, Agni menampar Angkasa.“Astaga, Mas Agni!” jerit Ilana panik.Irfan, Karina dan Sukma juga terkejut melihat hal itu. Tak ada yang pernah mengira jika Agni akan menampar adik kesayangannya.“Kamu disekolahkan tinggi-tinggi bukan untuk menjadikan kamu sebagai sampah! Demi Tuhan, Angkasa! Mas tidak mendidik kamu untuk memperlakukan orang lain seperti binatang!” hardik Agni marah. “Mas Agni yang sudah nggak waras! Mas nampar aku demi membela wanita seperti dia?! Orang yang nggak jelas asal usulnya, dia bukan wanita baik-baik, Mas. Dia penjaja cinta!”Baru selesai Angkasa mengucapkan penghinaan, bersamaan itu pula Jingga menampar pria tampan berusia dua puluh dua tahun tersebut. Ilana sudah terkejut ketika Agni menampar Angkasa, namun melihat Jingga sendiri yang menampar calon adik iparnya membuat wanita dua puluh lima tahun it
“Mas Agni! Sakit! Tolong lepasin, Mas!” hiba Karina. “Angkasa! Tolong aku!” “Keluar! Aku nggak butuh orang bermulut sampah di rumah ini!” hardik Agni sambil menghempas Karina keluar.“Mas! Bisa nggak pelan sedikit, dia itu perempuan!” Tegur Angkasa."Lalu kenapa kalau dia perempuan? Memangnya Jingga bukan perempuan? Mulutmu itu yang mirip mulut perempuan, doyannya ngerumpi!” “Salah aku dimana, Mas Agni? Aku cuma mengatakan kejujuran, kalau perempuan itu bukan perempuan baik-baik!” kata Karina membela diri. Susah payah gadis dua puluh tahun itu bangkit sendiri tanpa ada orang yang membantu.Irfan dan Sukma hanya menonton drama, keduanya enggan terlibat terutama ketika Agni sudah marah. Mereka yang berteman dengan Angkasa semasa masih SMA sudah paham dengan karakter Agni yang tidak bisa diganggu saat marah.“Karina, apa pikirmu itu kamu lebih baik dari Jingga? Apa kamu seorang Athena yang tak tersentuh, seorang gadis suci? Jangan munafik kamu!” cecar Agni pada teman dari sang adik, pe