Share

6

“Angkasa! Jaga mulutmu!” tegur Agni cepat mana kala melihat sang adik memasuki pintu rumah diikuti ketiga temannya yang lain. “Dia adalah tamu di rumah ini!” jelas sang Kakak.

“Dia memang tamu, Mas. Sayangnya tamu nggak tahu diri! Sudah biaya rumah sakit dibayarin, makan enak, sampai diberikan tempat tinggal gratis, tapi mulutnya macam orang nggak berpendidikan, nggak tahu terima kasih!”

“Kamu boleh saja nggak mempercayai Jingga, tapi aku dan Mbakmu percaya sama dia!” tegas sulung Dirgantara.

Agni memang biasa memberikan panggilan yang menyatakan keluarga pada Ilana untuk Angkasa, karena Agni ingin bila calon istrinya dihormati seperti keluarga sendiri. Begitu berartinya Ilana bagi seorang Agni karena hanya wanita itu yang bisa ia sebut sebagai keluarga, orang yang menginginkan Agni sebagai Agni, bukan sebagai pewaris Dirgantara Group.

“Jelas nggak percayalah, Mas. Dia sendiri saja nggak percaya kok sama kita, buat apa Mas Agni repot-repot ngebangun kepercayaan dia? Cuma buang-buang waktu, Mas!” cerca Angkasa memperjelas keadaan yang memang sudah jelas.

“Enough, Angkasa! Jingga akan tinggal disini mau kamu suka ataupun nggak, karena aku sendiri yang secara pribadi mengundang dia untuk tinggal,” Agni tidak membiarkan sang adik untuk berkata seenaknya mengenai orang lain.

“Mas, aku nggak ada masalah dengan pernyataan Angkasa, dia benar tentangku. Aku tidak mempercayai Mas Agni ataupun Kak Ilana....”

Belum selesai Jingga mengutarakan pendapatnya, Ilana lebih dahulu menggeleng, memberi isyarat pada remaja tersebut untuk tidak menginterupsi. “Kita keatas duluan!” ajak Ilana dengan suara pelan sedikit berbisik.

Ilana segera mengambil kesempatan untuk membawa Jingga naik ke lantai satu meninggalkan Agni dan Angkasa yang tengah berdebat disaksikan tiga sahabat Angkasa lainnya.

“Kalau kamu tidak bisa mempercayai dia, setidaknya hormati dia sebagai seorang tamu!”

“Tapi, Mas!”

“Tidak ada tapi, Angkasa! Lebih baik kamu main dengan teman-temanmu dari pada kamu ngurusin urusan orang lain! Kamu tahu nggak dampak dari sikap kamu barusan pada Jingga?”

“Apa peduliku tentang dampak buat dia, toh aku nggak kenal dia,” jawaban Angkasa membuat sang Kakak geram bukan kepalang, seandainya bukan adik, mungkin sudah diusir dari rumah.

“Mas nggak pernah tahu kalau ternyata kamu lebih tidak berperasaan, yang kamu lakukan saat ini hanya membuat lukanya semakin lebar dan berdarah.”

“Bukan masalah punya perasaan atau nggak, aku ini realistis. Mas nolongin dia tanpa pamrih, bahkan sampai ngasih tempat tinggal, tetapi dia malah nggak tahu terima kasih. Orang itu ada yang perlu ditolong dan ada yang nggak.”

“Ndasmu realistis, Sa!” hardik Agni keras. “Kamu sendiri hanya tahu menolong orang atas dasar kemauan dan penilaianmu sendiri, tanpa berfikir bila orang itu akan menempel layaknya parasit,” sindir Agni sambil melirik tajam pada wanita yang berdiri disisi Angkasa.

“Teman bukan parasit, Mas!” tegas Angkasa yang paham kemana arah pembicaraan sang Kakak.

“Tidak semua teman adalah parasit, tetapi selalu ada parasit dalam kehidupan yang kita jalani. Kita tahu semua itu dan kita juga sudah mengalami banyak mimpi buruk!”

“Lalu buat apa Mas bawa parasit kerumah?”

“Kamu nanya ke aku masalah membawa orang kerumah?” sindir Agni sambil mengarahkan dagu pada beberapa orang yang berdiri tak jauh dari sang adik. “Kamu sendiri bagaimana? Kamu tahu Mas nggak terlalu suka sama salah satu teman kamu, tapi kamu masih dengan santainya membawa dia kesini, lalu kenapa aku nggak bisa melakukan hal yang sama seperti yang kamu lakukan?”

“Bisa Mas nggak mendesak temanku atau bawa-bawa mereka dalam masalah kita? Aku lebih mengenal temanku dibanding Mas mengenal mereka, sedangkan dia? Mas cuma nemuin dia di jalanan. Buat apa juga Mas berkorban bahkan berdebat demi dia?”

“Sa! sudah, Sa! Please! Aku nggak mau terlibat dalam perdebatan kamu sama Mas Agni,” pinta Karina yang tahu siapa orang yang dimaksud Agni.

“Bagus kalau kamu sadar diri,” cerca Agni jengkel pada wanita yang menurutnya berkepala dua tersebut.

“Mas! Karin itu teman aku! Mas nggak bisa memperlakukan temanku seperti itu! Mas bisa bantu orang tanpa pandang bulu, tetapi Mas malah mendiskriminasi Karin. Padahal secara harfiah seharusnya Mas lebih respek ke Karina yang yatim-piatu, dia berdiri dengan usahanya sendiri untuk bisa berada di tempat dia sekarang.”

“Lalu, kenapa kamu nggak bisa melihat dari sisi yang sama pada Jingga?”

“Nggak bisa, Mas. Dia dan Karina berbeda,” kilah Angkasa masih membela temannya. “Lagi juga apa bedanya cewek itu tinggal di luar sana atau di sini? Kalau Mas mau membandingkan dia dengan Karin, Karin itu hidup sendiri, Mas. Kenapa juga Mas Agni repot-repot bawa dia pulang?”

“Karena kemanusiaan, Sa. Sama seperti yang kamu lakukan untuk teman kamu. Mas masih punya nurani untuk nggak membiarkan dia tergeletak di jalanan, sama seperti kamu yang nggak tega melihat orang yang kamu anggap teman harus putus pendidikan. Terlepas dari dia percaya atau tidak padaku dan Mbakmu, dia adalah tamuku dan kamu harus menghormatinya, sama seperti aku yang tidak mempermasalahkan kedatangan teman-temanmu, walau aku nggak menyukai salah satunya. Satu hal yang harus kamu ingat, dia bukan parasit,” tegas Agni dengan argumentasi yang tidak bisa dibantah.

“Kenapa Mas bisa begitu yakin dengan pandangan Mas ke cewek itu ketimbang ke aku? Mas bahkan nggak kenal siapa dia dan dari mana asalnya.”

“Apa Masmu ini sebodoh itu sampai tidak tahu dari keluarga seperti apa dia? Hanya butuh dua jam bagiku untuk menyelidiki asal usul Jingga, dari mana dia, seperti apa keluarganya dan apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu. Mas diam hanya karena Mas nggak ingin Mbakmu khawatir berlebih yang membuat dia salah dalam menangani Jingga,” tutur Agni.

“So, where does she come from?”

“Bukan masalah dari mana dia berasal, yang menjadi masalah sekarang ini adalah sikap antipatimu terhadap dia! Menilai seseorang secara subjektif bukan hal yang baik untuk dilakukan.”

“Tapi....”

“Cukup, Angkasa! Aku nggak mau berdebat lebih dari ini. Mas ini hanya ingin kamu menilai seseorang dengan menempatkan dirimu dalam posisinya,” sela sang Kakak sebelum Angkasa kembali mengeluarkan argumen yang hanya berputar-putar di tempat yang sama.

“Dengerin pendapat aku dulu, Mas!”

“Sejak tadi kita memperdebatkan pendapat kita masing-masing tanpa ada titik temunya, kamu bersikeras dengan pendapat kamu sendiri tentang benar dan salah, tanpa mempertimbangkan pendapat Mas tentang dia.”

“Masalahnya, Mas dan Mbak lebih mengedepankan nurani dari pada logika. Mas Agni selalu saja membiarkan Mbak Lana menolong orang yang nggak jelas. Aku nggak masalah kalau kalian mau melakukan kegiatan sosial, panti banyak, Mas. Masih banyak orang yang lebih membutuhkan bantuan dari pada dia.”

Agni memijit pelipisnya yang pusing karena berdebat dengan sang adik, entah bagaimana lagi dia harus memberikan pengertian pada Angkasa agar tidak serta merta menilai seseorang hanya karena penampilan atau masa lalunya.

“Mas capek berdebat, lebih baik kamu ke ruanganmu sendiri untuk bermain dengan ketiga temanmu dan jangan coba-coba mengganggu Jingga! Selama dia berada di rumah ini, dia adalah tanggung jawab Mas. Jadi kamu jangan coba-coba untuk mengganggu dia, titik!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status