“Nyonya Kayla?” panggil Edwin dengan sopan namun terdengar ragu, membuat Kayla yang tengah termenung di depan salah satu etalase butik menoleh pelan.“Ada apa, Edwin?” tanyanya dengan suara lemah, mencoba tersenyum namun tak berhasil menutupi sorot matanya yang sayu.Edwin melirik sekeliling mall yang sudah berkali-kali mereka kelilingi.Dia memperhatikan tas-tas belanja di tangan pengunjung lain yang lalu-lalang, kontras dengan Kayla yang tak membawa apa pun.“Apa Anda tidak ingin membeli barang yang Anda inginkan?” tanyanya hati-hati.Sejak tadi mereka hanya berjalan tanpa tujuan pasti, berpindah dari satu toko ke toko lain tanpa satu pun barang yang dibeli.Kayla tersenyum kecut. Dia menggeleng pelan, menyandarkan punggungnya pada dinding kaca butik.“Tidak, Edwin. Aku hanya … sedang menunggu sampai Xavier menghubungiku dan memintaku pulang. Atau setidaknya … dia datang menjemputku kemari.”Nada suaranya lirih dan terdengar penuh harapan yang rapuh. Matanya menerawang, menatap laya
“Di mana Kayla?” tanya Anthony tajam saat melihat Xavier keluar dari kamarnya.Suaranya dalam dan penuh tekanan, seperti biasanya—menuntut, bukan bertanya.Xavier berjalan santai menuju ruang tengah lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa. Dia bersandar santai, namun sorot matanya tetap dingin saat menatap pria yang telah membesarkannya itu.“Bertemu dengan sahabatnya,” jawab Xavier tenang. “Di café tempat dia dulu bekerja.”Anthony mengangkat alisnya, keningnya langsung berkerut curiga. “Kau membebaskan dia berteman dengan siapa pun sekarang?”“Ya,” jawab Xavier ringan. “Aku sudah menyelidiki sahabatnya itu. Namanya Julia. Mereka sudah berteman sejak SMA. Dia bukan ancaman.”Nada bicara Xavier terdengar acuh, tapi tetap tegas. Sorot matanya tajam, menandakan bahwa dia sudah memperhitungkan semuanya.Anthony menyipitkan mata, matanya memindai gerak-gerik anaknya. “Kenapa kau begitu santai membiarkan dia keluar? Kau lupa kalau status perempuan itu menentukan segalanya dalam keluarga kita?” N
“Astaga!” Julia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, matanya mengerjap tidak percaya dengan semua yang baru saja didengarnya.“Ini benar-benar sulit, Kayla. Jika ayahmu sampai bangkrut, kau pasti akan dihantui rasa bersalah seumur hidupmu.”Kayla hanya tersenyum lirih, senyum yang lebih mirip perih yang tertahan di sudut bibirnya. “Sayangnya tidak, Julia,” jawabnya pelan, namun penuh ketegasan yang getir.Julia mengerutkan keningnya, tidak paham dengan maksud sahabatnya itu. “Maksudmu apa? Kau tidak akan merasa bersalah kalau itu terjadi?”Kayla menghela napas panjang, menarik udara dalam-dalam seolah ingin mengusir sesak di dadanya. Tatapannya menunduk, fokus pada jari-jarinya yang saling menggenggam erat.“Karena sebenarnya, orang tuaku sudah sepakat untuk membuangku. Mereka tidak peduli dengan nasib hidupku. Jika aku gagal, mereka memang sudah berniat menyingkirkanku.”
“Oh my God, Kayla!” pekik Julia dengan suara melengking penuh kegembiraan begitu pintu ruang kerjanya terbuka dan melihat sosok sahabatnya itu berdiri di ambang pintu.Tanpa menunggu aba-aba, Julia langsung berlari memeluk Kayla erat-erat seolah takut wanita itu akan menghilang lagi.“I miss you so much, you know?” lanjut Julia dengan penuh semangat. “Ke mana saja kau selama ini, huh? Kau tahu aku sampai nyaris menyatroni rumah keluargamu untuk mencarimu!”Pelukan itu begitu hangat hingga membuat dada Kayla sedikit bergetar. Ada perasaan lega sekaligus perih yang bercampur saat dia merasakan kehangatan seorang sahabat yang begitu tulus mencarinya.Kayla tersenyum tipis, berusaha menghapus rasa sesak yang diam-diam menumpuk.Dia kemudian membalas pelukan Julia sebentar sebelum akhirnya keduanya duduk di sofa empuk yang berada di sudut ruang kerja Julia yang estetik itu—dihiasi rak buku, tanaman hias kecil, dan foto-foto kenangan mereka berdua.“Aku bahkan berpikir kalau aku tidak akan
Kayla hanya diam menatap Xavier, tubuhnya kaku sementara pikirannya bergemuruh hebat. Perkataan Xavier seperti palu besar yang menghantam jantungnya, menimbulkan rasa sakit yang menusuk-nusuk tanpa ampun.Dia menggeleng pelan, seolah menolak semua yang baru saja dia dengar.“Tidak mungkin …,” bisiknya lirih dan suaranya tercekat. “Kau … bercanda, kan?” tanyanya nyaris putus asa, sorot matanya penuh harap bahwa semua ini hanyalah bualan dari pria di depannya.Namun Xavier hanya mengangkat kedua bahunya dengan acuh, tatapannya tetap datar tanpa empati.“Tergantung padamu. Mau percaya atau tidak, itu bukan urusanku. Aku hanya memberitahumu apa yang kutahu selama ini,” sahutnya santai.“Aku selalu melarangmu bertemu dengan mereka karena mereka sudah menutup pintu untukmu, Kayla. Mereka tidak akan menyambutmu kembali, bahkan jika kau memohon.”Kata-kata Xavier bagaikan cambuk yang menc
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi ketika sinar matahari mulai menerobos masuk melalui celah tirai kamar yang sedikit terbuka.Begitu matanya terbuka sepenuhnya, rasa pening langsung menyerang kepalanya. Berat dan berdenyut seperti dihantam benda keras semalaman.Tangannya otomatis meraih pelipis, mengurutnya perlahan sembari mengerang kesal.“Ah, sial ... aku mabuk lagi,” gerutunya dengan suara serak. Ia memejamkan mata sebentar, berharap rasa berat di kepala itu segera mereda, namun sia-sia.Xavier kemudian menoleh ke kanan dan kiri, mencari keberadaan sang istri. Kasur di sebelahnya sudah kosong, selimut yang tadinya membungkus tubuh Kayla sudah terlipat rapi di sisi tempat tidurnya.Kening Xavier berkerut, sorot matanya penuh tanya. “Apa dia sudah bangun? Siapa yang membawaku kemari? Bukannya aku pergi sendiri? Tidak mungkin Kayla … tubuhnya terlalu mungil untuk membawaku sampai ke sini.”Dengan gerakan