Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi ketika sinar matahari mulai menerobos masuk melalui celah tirai kamar yang sedikit terbuka.Begitu matanya terbuka sepenuhnya, rasa pening langsung menyerang kepalanya. Berat dan berdenyut seperti dihantam benda keras semalaman.Tangannya otomatis meraih pelipis, mengurutnya perlahan sembari mengerang kesal.“Ah, sial ... aku mabuk lagi,” gerutunya dengan suara serak. Ia memejamkan mata sebentar, berharap rasa berat di kepala itu segera mereda, namun sia-sia.Xavier kemudian menoleh ke kanan dan kiri, mencari keberadaan sang istri. Kasur di sebelahnya sudah kosong, selimut yang tadinya membungkus tubuh Kayla sudah terlipat rapi di sisi tempat tidurnya.Kening Xavier berkerut, sorot matanya penuh tanya. “Apa dia sudah bangun? Siapa yang membawaku kemari? Bukannya aku pergi sendiri? Tidak mungkin Kayla … tubuhnya terlalu mungil untuk membawaku sampai ke sini.”Dengan gerakan
Sudah pukul dua belas malam dan Xavier belum juga kembali, membuat Kayla mondar-mandir di kamar dengan hati yang tak tenang.Berkali-kali dia menatap layar ponselnya, berharap ada pesan atau telepon masuk dari Xavier.Namun, tak ada satu pun kabar. Panggilan yang dia lakukan hanya berakhir di nada tunggu yang sia-sia, atau langsung mati begitu saja.“Ke mana Xavier? Kenapa dia tidak bisa dihubungi? Bahkan dia sudah tidak ada sejak makan siang itu,” gumam Kayla cemas, kedua tangannya saling menggenggam erat, sementara giginya menggigit bibir bawahnya dengan gelisah.Bayangan-bayangan buruk mulai menari di kepalanya. Apa Xavier mengalami kecelakaan? Apa dia terlibat masalah dengan seseorang?Atau ... apakah dia memang sengaja menghindari pulang? Pikiran itu membuat perasaannya makin terombang-ambing.Tiba-tiba suara pintu utama yang terbuka membuyarkan lamunannya. Kayla buru-buru keluar dari kamar, langkahnya terburu-buru menuruni
“Aku tidak peduli,” ucap Xavier seraya menatap Richard dengan dingin tanpa ekspresi.Sorot matanya seperti jurang yang dalam dan gelap, tak ada satu pun celah untuk simpati atau kompromi. “Mereka hanya masa laluku yang tidak berhak masuk lagi ke dalam masa depanku.”Richard menghela napas panjang, kasar, seperti sedang menahan amarah sekaligus kekecewaan.Dia menggeleng dengan pelan, tahu bahwa keras kepala Xavier bukan perkara baru.Tetapi tetap saja, sebagai sahabat sekaligus orang yang sudah lama mengenalnya, Richard merasa tak tenang.“Aku hanya mengingatkanmu, Xavier,” katanya dengan suara lebih berat.“Karena tidak semua masa lalu sudah berdamai di masa sekarang. Contohnya adalah Bianca. Apa kau yakin, dia tidak akan tinggal diam begitu saja setelah berkali-kali kau tolak? Kau pikir wanita seperti itu akan menyerah?”Nada peringatan dalam suara Richard seolah tak dihiraukan. Xavier
Hari itu, kantor terasa sibuk seperti biasa. Langkah Kayla menyusuri koridor lantai eksekutif terasa berat, apalagi setelah semua kejadian sejak semalam hingga pagi ini.Ia masih belum benar-benar bisa memahami sikap Xavier yang selalu berubah sesuka hati.Setelah brutal di ranjang, lalu menyiapkan sarapan, dan kini kembali dingin tanpa sepatah kata pun saat mereka sampai di kantor.Kayla baru saja keluar dari ruang kerjanya saat tak sengaja berpapasan dengan Richard di depan lift. Pria itu langsung tersenyum lebar saat melihat Kayla.“Hei, Kayla. Sendirian saja? Tidak diantar sang suami?” sapa Richard dengan nada santai dan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya, sikapnya seperti biasa—akrab dan sedikit menggoda.Kayla hanya membalas dengan senyum tipis, tak banyak berkata-kata. Ucapan Xavier semalam masih terngiang jelas di kepalanya."Kalau aku tahu kau bicara apa pun lagi dengan Richard tentang urusan kita, aku a
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Cahaya pagi mulai menerobos masuk melalui celah tirai kamar. Sinar hangatnya menyapu perlahan wajah Kayla yang masih terlelap di ranjang besar itu.Tubuhnya terasa berat, nyeri, dan letih seperti usai berperang semalaman.Setiap gerakan kecil di pinggang dan pahanya langsung mengingatkannya pada bagaimana Xavier memperlakukannya tadi malam—brutal, tak kenal ampun, namun tetap meninggalkan bekas kehangatan yang membingungkan di dada.Kayla membuka matanya perlahan, mengerjap-ngerjap sambil mengatur napas. Tangannya meraba sisi ranjang di sebelahnya—kosong. Tidak ada Xavier di sana.“Di mana pria bengis itu?” gumamnya dengan suara serak. Dia mendengarkan suara percikan air di kamar mandi, berharap pria itu ada di sana. Namun, tidak ada juga, semuanya terdengar sepi.Dia lantas berusaha duduk, tapi segera meringis. Kakinya lemas, otot-otot tubuhnya seolah tidak bersahabat.&l
Tapi alih-alih takut, ada kemarahan yang kembali membara di dada Kayla.“Kalau begitu, kurung saja aku sekalian sekarang, Xavier,” tantangnya dengan suara yang bergetar namun penuh keberanian. “Apa bedanya? Di sini pun aku seperti tahananmu.”Xavier diam. Matanya menusuk Kayla lama sekali, seperti sedang menahan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kemarahan.Untuk sesaat, tak ada yang bicara. Hanya detak jantung mereka yang berdentum keras di dada masing-masing.Tatapan Xavier tajam mengunci Kayla yang masih bergeming di tempatnya, wajahnya menunduk, tapi napasnya masih memburu.Ada sesuatu yang mengikat dalam udara di antara mereka—campuran dari kemarahan yang belum usai dan hasrat yang tak pernah Xavier akui, bahkan pada dirinya sendiri.Beberapa detik Xavier hanya menatap, tapi kemudian langkah kakinya membawa tubuhnya mendekat.Berat, perlahan, seolah setiap langkah adalah peringatan bagi Kayla untuk kabur. Tapi Kayla tetap berdiri di sana, tidak bergerak.Begitu tiba di hadapan