Pagi datang dengan malas. Sinar matahari sudah menembus tirai, tapi Kayla belum membuka mata.
Udara di kamar yang nyaman membuat tubuhnya enggan beranjak. Alarm di sisi tempat tidur sudah berbunyi—tiga kali, dan ketiganya diabaikan begitu saja.
Namun ketika akhirnya dia menggeliat dan melirik jam dinding, matanya membelalak kaget.
“Astaga! Jam delapan dua puluh?”Jantungnya seolah langsung naik ke tenggorokan. Panik. Panas dingin. Oksigen seolah tidak cukup untuk memenuhi paru-parunya.
Dia melompat dari ranjang dengan setengah berteriak, “Aku bisa mati dibunuh tatapan Xavier kalau terlambat begini!”
Tanpa pikir panjang, Kayla berlari ke kamar mandi. Waktu terasa menertawakannya. Sikat gigi dilakukan sambil berdiri satu kaki—yang lainnya sibuk mencari celana panjang yang bisa dikenakan. Wajahnya bahkan tidak sempat dilirik di cermin. Makeup? Lupakan.
Bajunya kusut, rambutnya hanya diikat asal—sek
Setibanya di restoran yang cukup mewah di lantai atas sebuah gedung pencakar langit, Kayla mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Meja-meja disusun dengan jarak yang lega, menciptakan privasi bagi setiap pengunjung. Suara musik klasik mengalun lembut di latar belakang, menambah suasana yang tenang dan eksklusif.Kayla menoleh ke kanan dan kiri sebelum akhirnya duduk di hadapan Xavier yang lebih dulu mengambil tempat di kursinya.Dia duduk dengan anggun, namun di dalam dirinya penuh rasa penasaran. Tidak biasanya Xavier mengajaknya makan siang seperti ini, terlebih setelah suasana rumah mereka yang sempat terasa dingin.“Kenapa tiba-tiba kau mengajakku makan siang bersama?” tanya Kayla memecah keheningan di antara mereka.Pandangannya menatap lekat wajah pria itu, berusaha mencari petunjuk di balik sikapnya yang mendadak ini.Xavier t
“Jangan melamun!” tegur Richard tajam, membuyarkan lamunannya.Kayla tersentak lalu buru-buru menoleh ke arah Richard yang duduk berhadapan dengannya di kafe kecil yang mereka kunjungi sore itu.Wajah Richard tampak kesal bercampur khawatir karena sedari tadi Kayla hanya diam menatap kosong pada gelas kopinya yang bahkan belum disentuh sama sekali.“Maaf, Richard. Aku tidak fokus,” jawab Kayla dengan suara yang pelan.Richard bersandar ke sandaran kursinya, lalu menyilangkan tangan di dada, menatap Kayla dengan tatapan menginterogasi.“Kali ini melamun karena apa? Masih soal Bianca atau Cindy? Atau jangan-jangan, karena mertuamu?” tanyanya tajam, mencoba menebak.Kayla mengembuskan napas berat, menunduk sejenak sebelum akhirnya menggeleng pelan.“Kedua wanita itu bukan hal yang harus aku pikirkan, Richard. Aku yakin, Xavier tidak akan mengindahkan kehadiran mereka,” ucapnya mantap, meski nadanya terdengar sedikit lelah.Richard terkekeh pelan, senyumnya mengembang di wajahnya yang pen
Setibanya di rumah, atmosfer hening langsung menyergap seisi ruangan. Tidak ada percakapan, tidak ada suara selain langkah kaki mereka yang menggema pelan di lantai marmer.Xavier langsung berjalan menuju ruang tengah tanpa memedulikan Kayla yang masih berdiri di ambang pintu, memeluk erat paper bag berisi belanjaan yang nyaris tidak berarti baginya.Pria itu berhenti di depan jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Pemandangan senja yang seharusnya terlihat indah, kini hanya tampak abu-abu di mata Xavier.Dia berdiri tegap, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana, bahunya kaku, dan tatapannya kosong menerawang jauh ke luar.Kayla memperhatikan punggung tegap itu dari kejauhan. Ada beban berat yang jelas terpikul di sana, tapi tak pernah Xavier biarkan terucap.Kayla menggenggam paper bag lebih erat, hatinya diliputi kegelisahan yang semakin menjadi.“Xavier?” panggil Kayla akhirnya, suaranya lembut namun penuh keraguan. Dia melangkah perlahan, menghampiri suaminya yang mas
Xavier menghela napas panjang, sorot matanya tak lepas dari wajah Kayla yang tampak canggung di hadapannya.“Kalau sudah tahu kedatangan dia ke rumah untuk apa, kenapa masih bertanya?” tanyanya dengan suara datar, dingin tanpa nada.Kayla menelan salivanya dengan perlahan, menunduk tanpa sanggup menatap mata suaminya. “Hanya ingin memastikan bahwa apa yang aku pikirkan tadi benar. Maaf kalau aku sudah bertanya soal itu padamu,” ucapnya lirih.Xavier masih menatap istrinya tanpa ekspresi, namun tangannya tiba-tiba bergerak mengambil paper bag yang sedari tadi digenggam erat oleh Kayla. Gerakan mendadak itu membuat wanita itu tersentak kaget.“Aku saja yang bawa, Xavier—” Kayla refleks menahan tangannya, berusaha mengambil kembali tas belanjaannya.Namun, belum sempat dia merebutnya, Xavier menatap tajam ke dalam matanya. Tatapan itu gelap, menusuk, seolah-olah hendak melahap keberadaan Kayla bulat-bulat.Sorot mata itu membuatnya otomatis ciut, dan tangannya perlahan-lahan melemah, mem
“Nyonya Kayla?” panggil Edwin dengan sopan namun terdengar ragu, membuat Kayla yang tengah termenung di depan salah satu etalase butik menoleh pelan.“Ada apa, Edwin?” tanyanya dengan suara lemah, mencoba tersenyum namun tak berhasil menutupi sorot matanya yang sayu.Edwin melirik sekeliling mall yang sudah berkali-kali mereka kelilingi.Dia memperhatikan tas-tas belanja di tangan pengunjung lain yang lalu-lalang, kontras dengan Kayla yang tak membawa apa pun.“Apa Anda tidak ingin membeli barang yang Anda inginkan?” tanyanya hati-hati.Sejak tadi mereka hanya berjalan tanpa tujuan pasti, berpindah dari satu toko ke toko lain tanpa satu pun barang yang dibeli.Kayla tersenyum kecut. Dia menggeleng pelan, menyandarkan punggungnya pada dinding kaca butik.“Tidak, Edwin. Aku hanya … sedang menunggu sampai Xavier menghubungiku dan memintaku pulang. Atau setidaknya … dia datang menjemputku kemari.”Nada suaranya lirih dan terdengar penuh harapan yang rapuh. Matanya menerawang, menatap laya
“Di mana Kayla?” tanya Anthony tajam saat melihat Xavier keluar dari kamarnya.Suaranya dalam dan penuh tekanan, seperti biasanya—menuntut, bukan bertanya.Xavier berjalan santai menuju ruang tengah lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa. Dia bersandar santai, namun sorot matanya tetap dingin saat menatap pria yang telah membesarkannya itu.“Bertemu dengan sahabatnya,” jawab Xavier tenang. “Di café tempat dia dulu bekerja.”Anthony mengangkat alisnya, keningnya langsung berkerut curiga. “Kau membebaskan dia berteman dengan siapa pun sekarang?”“Ya,” jawab Xavier ringan. “Aku sudah menyelidiki sahabatnya itu. Namanya Julia. Mereka sudah berteman sejak SMA. Dia bukan ancaman.”Nada bicara Xavier terdengar acuh, tapi tetap tegas. Sorot matanya tajam, menandakan bahwa dia sudah memperhitungkan semuanya.Anthony menyipitkan mata, matanya memindai gerak-gerik anaknya. “Kenapa kau begitu santai membiarkan dia keluar? Kau lupa kalau status perempuan itu menentukan segalanya dalam keluarga kita?” N