Elle perlahan membuka mata dan terkejut kala menemukan dirinya terbangun di tempat yang asing baginya.
Terlebih, saat menoleh ke samping dan menemukan Lucas yang sedang tertidur tanpa atasan.Wanita itu tercekat.Mendadak, ia ingat betapa panasnya pergulatan mereka. Apalagi, miliknya kini terasa tidak nyaman dan sakit, sudah pasti ia melakukannya dengan Lucas."Aku pasti sudah gila!" erang Elle frustasi.Melihat ke arah jam dan menemukan bahwa kini sudah pukul 4 pagi, Elle memilih segera mengemas barang-barangnya dan pergi sebelum Lucas terbangun."Kau benar-benar bodoh, Emanuelle Carl!" desisnya seraya berjalan keluar untuk menyetopkan taksi yang lewat.Di sisi lain, Lucas terbangun begitu mendengar suara dering ponselnya.Ia berdecak sebelum mengangkatnya. "Halo?""Kau di mana? Ini sudah jam 9 pagi.""Jam 9?" ulang Lucas terkejut."Ya, kau lupa jika hari ini ada rapat mengenai peluncuran produk baru? Mereka semua sudah berkumpul.""Atur ulang jadwal saja, aku sedang di hotel.""Astaga, kau ini benar-benar! Gadis mana lagi yang kau tiduri, ha?"Lucas tersenyum. Adegan panas semalam bersama Elle mampir kembali di otaknya.Rasanya, ia ingin melakukannya lagi sekarang berhubung masih di dalam hotel."Juru masakku.""Juru masakmu? Elle? Kau yang benar saja, dia sudah ada di sini sejak pagi."Mendengar itu, Lucas sontak bangkit dan menyadari jika Elle sudah hilang di sampingnya.Pria itu mematikan panggilan sepihak, tampak geram.Elle benar-benar melukai harga dirinya. Wanita itu meninggalkan Lucas di pagi hari–seperti dulu."Sial, aku sudah memberimu kenikmatan, makanan mahal, tempat yang mewah, tapi kau memperlakukanku seperti ini. Emanuelle Carl, kau berada dalam pengawasanku sekarang," marahnya.***Elle masuk ke dapur dengan jalan gontai.Sarapan Lucas untuk hari ini tidak ada.Hanya makan siang saja. Jelas, Elle tahu apa alasan pria itu datang terlambat.Sesekali matanya terpejam, ia sangat mengantuk sekarang. Bahkan, ia belum menemui Ares.Sebenarnya, menjauhi Lucas adalah sebuah tekad yang sudah sejak lama Elle umumkan. Tapi, melihat pria itu lagi membuat hatinya kembali goyah.Elle tidak bohong jika setiap kali memikirkan pria itu, Elle terkadang membayangkan sentuhan-sentuhan seduktif yang dulu Lucas berikan padanya."Ah, kau bodoh, Elle," lirihnya mengutuk diri sendiri.Lagipula, apa maksud Lucas yang menjebaknya hingga berakhir di hotel?Tangan Elle sontak mengepal kala mengingat pria itu sudah bertunangan. Bahkan, Elle melihat jelas panasnya ciuman mereka. Sangat menandakan keduanya saling mencintai!Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore.Elle pun kembali bersiap untuk memasak makan malam. Namun, ia tiba-tiba mendapat kabar bahwa tidak ada makan malam.Wanita itu menghela napas. “Syukurlah, aku juga belum bisa bertemu Lucas lagi”Elle bahkan menitip makan siang Lucas pada sekretarisnya dengan alasan lain.Merasa tidak ada kerjaan lagi, Elle memilih berkunjung ke club sahabatnya.Dia butuh “menenangkan” pikiran dan hatinya yang sedari tadi masih bergulat tidak tenang.Elle juga belum siap bertemu Ares karena anak itu pasti akan menginterogasinya karena tadi malam tak pulang.***Dentuman musik keras terdengar memenuhi isi club ditambah pencahayaan remang-remang dari lampu diskotik.Banyak pria kaya raya masuk ke dalam Club Diamonix yang dikelilingi gadis berpakaian terbuka menggoda mereka.Sementara Elle, ia memilih duduk di belakang pantry sambil meminum whiskey favoritnya.Sialnya, itu tidak mampu membuat Elle menghilangkan Lucas dalam pikirannya. Yang ada, semakin ia meneguk minumannya, bayangan persetubuhan mereka semakin jelas."Sial, kenapa aku tidak bisa melupakannya?" gumam Elle, kembali meneguk minumannya. "Kau sudah gila, Emanuelle Carl."Terus begitu, hingga tak terasa mata Elle memberat.Ia bahkan tak sadar jika waktu semakin larut dan club itu semakin ramai."Elle, bangunlah! Kau ingin menjadikan club ini sebagai tempat tidurmu, hah?!" bentak Eric–sahabatnya–mendadak.Elle mengerjapkan mata. Namun, alkohol sudah menguasai dirinya. "Saranmu bagus, Eric! Aku akan tinggal disini! Lagi pula tidak buruk juga!"Kening pria itu berkerut. "Astaga, ternyata kau lebih buruk jika kau mabuk! Ayolah, pulang sekarang! Kau membawa kendaraan?""Kau pikir sejak kapan aku kaya dan bisa memiliki mobil?" tanya Elle balik."Aish, tapi kau tidak bisa tidur di sini, Emanuelle Carl! Pulanglah!""Hm? Sebentar saja." Elle mengatakan dengan suara yang mulai menurun di akhir. Ia benar-benar tidak bisa menahan matanya untuk tertidur.Eric memijit keningnya. Perlahan, ia menuntun Elle keluar club dan kembali masuk saat seorang pegawai memanggilnya.Merasakan angin menerpa wajahnya, kesadaran wanita itu sedikit pulih.Dikeluarkan ponselnya untuk memesan taksi online.Meski mahal, tetapi ia sudah tak sanggup bila harus menggunakan transportasi umum.Hanya saja, ketika Elle sedang menelpon taksi, tiba-tiba ponselnya diambil oleh orang di belakangnya.“Hei–”Ucapan Elle terhenti. Ia begitu terkejut begitu menemukan Lucas sedang menatapnya. Tak hanya itu, Lucas tiba-tiba menggendong Elle ke mobilnya dan pergi dari club.Adrenalin sontak membuat Elle tersadar."Bisakah kau mengantarku pulang? Ada yang menungguku," ucapnya."Menunggumu?” tanya Lucas balik, “siapa?""Kau tidak perlu tahu."Mendengar penjelasan ambigu itu, rahang Lucas mengeras–menahan kesal.Namun, ia tetap mengantar Elle sekaligus menduga-duga sosok yang dimaksud wanita itu.Tak sampai satu jam, mereka sudah tiba di bawah gedung apartemen Elle.Baru saja pintu terbuka, Elle sudah memuntahkan cairan alkohol. Ia keluar dari mobil dan berjalan masuk setelah mengucapkan terima kasih.Lucas yang kepalang penasaran terus mengikuti Elle hingga wanita itu tersadar."Kenapa kau mengikuti? Pergilah!"Lucas bergeming. Ia membiarkan Elle jalan lebih dulu, hingga keduanya tiba di sebuah kamar bernomor 397.Elle mengusap rambutnya kasar saat melihat Lucas ada di belakangnya."Kenapa kau masih di sini? Pergilah. Jangan mengikutiku lagi!" bentaknya. Namun, Luca tak peduli sampai atensinya teralihkan kala suara anak laki-laki terdengar bersamaan pintu yang terbuka."Ibu?"Elle panik. Ia pun mendorong Ares segera ke dalam. "Masuk!"Lucas terkejut. Ia masih terbayang dengan anak laki-laki yang figurnya mirip dengan dirinya.Ia hendak bertanya pada Elle. Namun, tidak jadi saat dering ponselnya berbunyi."Shit!” umpatnya, “Elle, kau utang penjelasan padaku."Esok paginya, Elle sepenuhnya menghindar dari Lucas. Tidak ia pedulikan pria itu yang kerap kali menelpon untuk komplain masakan atau ingin dibawakan sesuatu. Karena itu, hal remeh seperti laporan absensi pegawai–yang seharusnya bukan jobdesc Elle–diprotes pria itu.Jadi, Elle terpaksa menebalkan mukanya kala berhadapan dengan sekretaris yang selalu membuang muka saat dirinya menitipkan makanan. Buk! Setelah menutup pintu, Elle langsung melempar diri ke sofa empuk sambil meluruskan kakinya yang pegal.Wanita itu memijat dahi, berusaha mengurangi rasa sakit kepala yang diderita.Berusaha untuk menghindari atasan sambil tetap mempertahankan performa kerja bukan pekerjaan mudah. Untung saja, di rumah, Ares tidak banyak tanya mengenai kejadian semalam. Meski demikian, Elle tahu jika anaknya itu jelas menaruh curiga padanya. Drrrt!Dering telepon berbunyi memecah lamunan wanita berusia 28 tahun tersebut. Elle langsung berdiri tegak dan berjalan ke arah telepon internal kantor. "Se
Elle goyah. Tatapan tajam Lucas benar-benar menyiutkan nyalinya. Lagi, mau tak mau harus mengangguk."Baiklah."Namun, Elle segera menyesali keputusannya itu setibanya di ruangan miliknya.Wanita itu terus mondar-mandir di depan komputer yang menyala. Ia sedang memikirkan bagaimana meninggalkan Ares tanpa pengawasan. Terlebih lagi, jika asmanya sedang kambuh. "Apa yang harus kulakukan?"Elle yakin, Lucas tidak mungkin menghabiskan satu hari saja di Bangkok. Hal ini membuat Elle bertambah cemas.Seketika, Elle menyesal telah mengiyakan begitu saja. Ingin menolak lagi, sudah tidak ada waktu."Ah, Eric?!" Apapun masalahnya, Elle tetap bergantung pada Eric, sahabatnya. Toh, tidak ada lagi yang bisa membantunya.Jadi, Elle segera mengeluarkan ponselnya dan men-dial nomor Eric. Memberitahu maksud dan tujuannya."Berapa hari?" tanya pria itu langsung."Aku tidak tahu dengan pasti. Maka dari itu, aku sangat membutuhkan bantuanmu menjaga Ares. Aku tidak mungkin membawanya ikut.""Baiklah. A
Pukul 15.25 waktu Bangkok, mereka akhirnya tiba di hotel. Mendapatkan kunci kamar, Elle segera berjalan cepat meninggalkan Lucas yang sedang mengobrol dengan sekretarisnya di belakang sana. Sungguh, berlama-lama dengan Lucas sangat tidak baik bagi kesehatan jantungnya.Sampai di kamar, Elle menjatuhkan tubuhnya diatas kasur. Ia benar-benar lelah, kepalanya juga berdenyut sakit akibat jetlag.Namun, baru sepuluh menit ia memejamkan mata, pintu kamarnya terketuk. Elle mendengus sebelum membukakan pintu dan kembali dongkol saat melihat Lucas sudah ada didepannya."Aku akan melangsungkan meeting pada pukul tujuh malam. Aku ingin kau menyiapkan olahan daging Secreto Iberico. Aku ingin membuat kolega bisnisku kali ini terkesan dengan jamuan makan malam.""Secreto Iberico? Tapi, daging itu-""Apa kau ingin aku memotong uang gajimu? Kau selalu membantah ucapanku. Bersikaplah profesional, Ms. Carl."Elle terdiam. Ia tiidak bohong jika aura Lucas saat ini sangat menyeramkan."Ba-baiklah," gu
Ares melirik ke arah Eric yang sedang tertidur disampingnya. Film How To Train Your Dragon masih terputar di layar laptop, tapi fokus Ares bukan ke sana.Memanfaatkan kesempatan, Ares mengambil alih laptop dengan was-was. Ia ingin melanjutkan hal tadi siang yang sempat tertunda. Tangannya lihai mencari satu persatu artikel yang memuat Lucas Smith hingga menemukan sebuah nomor perusahaan yang ia cari-cari dan langsung mencatatnya. "Akhirnya dapat." Ares kembali meletakkan laptop ke tempat semula dan bertingkah seolah tidak terjadi apapun saat Eric mulai menggeliat dan terbangun dari tidurnya. "Oh, astaga. Paman ketiduran. Sudah jam berapa ini?""Jam 11 malam, Paman.""Baiklah, kita lanjut menontonnya besok saja. Ini sudah larut malam kau harus tidur."Ares mengangguk dan bersiap ke kamarnya."Oh ya, Paman. Aku ingin bertanya sesuatu." Eric menguap, "Ada apa?""Apa Ibu pernah bercerita mengenai Ayahku?"Eric terdiam, menatap Ares yang kini menunggu jawabannya."Tidak, seingat Pama
Lucas keluar dari walk in closet dengan setelan jas hitamnya lalu berjalan menuju ruang tamu. Di sana sudah ada beberapa dokumen yang diberikan asistennya. "Ambilkan aku teh yang Ibuku bawa dari China," perintah Lucas pada Henry. Sembari menunggu teh siap, Lucas mengambil tablet yang memang selalu berada di ruang tamu, gunanya agar ia tidak perlu mencari susah-susah.Di sana ia melihat perkembangan saham yang ia punya. Seperti tidak ada masalah, pria itu menutupnya kembali dan meletakkannya di tempat asal. Ia menghela nafas sebentar dan menatap dokumen di hadapannya."Aku akan mengurusnya nanti." gumam Lucas kecil."Ini teh Anda." Henry meletakkan gelas di hadapan Lucas. Henry itu perlahan pergi dari ruang tamu dan melanjutkan pekerjaan lain. Sebelum Henry pergi semakin jauh, Lucas kembali memanggilnya, ia perlu menanyai sesuatu."Kau masih ingat anak laki-laki yang aku beritahu terakhir kali?"Henry mengangguk. "Ingat. Ada apa?""Aku ingin kau mencari tahu tentangnya.""Tapi, kau
Ares menutup panggilan telepon dengan seulas senyum diwajahnya. Menghubungi pria bernama Lucas Smith membuat rasa penasarannya sedikit terjawab."Kau sudah menghubungi Ibumu? Bagaimana kabarnya?"Ares mengangguk, "Baik."Tentu saja, ia harus berbohong. Mengandalkan alasan merindukan Elle membuatnya leluasa meminjam ponsel Eric."Astaga, kenapa kau selalu senyum seperti itu? Sini, kita makan siang. Paman sudah belikan pasta dan pizza." Eric menyiapkan bingkisan yang ia bawa di atas meja makan, Ares mengikuti."Setelah ini, Paman harus kembali ke bar. Tak lama, hanya sekitar satu sampai dua jam. Kau bisa sendiri dulu dirumah?""Tak apa, Paman. Aku bisa.""Baiklah."Mereka lanjut dengan makan siang diselingi obrolan ringan."Oh ya, Paman. Aku ingin menanyakan sesuatu."Eric hanya berdeham dengan mulut penuh makanan."Sebelum ada di New York, apa Ibu pernah tinggal di suatu tempat?""Setahu Paman, Ibumu pernah tinggal di Chicago bersama nenekmu sebelum wafat.""Chicago?""Ya. Dulu, nene
Esok paginya.Ares sedang sarapan di depan televisi saat Eric baru saja kembali."Paman! Aku ingin menonton film How To Train Your Dragon lagi!"Eric berjalan mendekat."Maaf, Ares. Paman sedang tidak membawa laptop. Tertinggal di bar. Paman lupa membawanya lagi."Pipi Ares mengembung lucu. Memutar otak agar ia bisa menghubungi Lucas. Ada satu pertanyaan lagi yang ingin ia ketahui."Kalau begitu, boleh aku meminjam ponsel Paman saja?"Eric terdiam. Tentu saja, ia mengingat ucapan Elle kemarin. "Ponsel, ya? Sepertinya, tidak bisa, Ares.""Kenapa? Aku hanya ingin melanjutkan film How To Train Your Dragon saja.""Lebih baik kau segera sarapan lalu berangkat ke preschool. Paman akan mengantarmu."Ares tidak bodoh. Ia tentu menyadari keanehan ini. Elle atau Eric pasti telah mengetahui jika ia berbohong."Baiklah, Paman."Setelahnya, Ares memilih pasrah. Jika, tidak ada ponsel Eric, semuanya akan sulit.Sementara di sisi lain, Elle sedang mengemas barang-barangnya. 5 menit yang lalu, ia me
Elle melemparkan dirinya ke atas kursi dan menyandarkan punggung di sana sambil merilekskan diri.Wanita itu merasa kakinya gemetar. Ia mengingat kembali apa yang sudah dilakukan tadi dan merasa sesak. Lagi-lagi, ia berulah di hadapan Lucas, atasannya, dengan menolakpemberian pria itu.Sambil menopang kepala dengankedua tangan di atas meja, Elle memijat keningnya yang terasa pening. Mungkin seharusnya dia menerima saja, anting itu paling sedikit bernilai ratusan dolar, uangnya bisa ia pakai untuk kehidupan sehari-hari.Tidak!Elle menggelengkan kepala. Ia tidak suka tatapan Lucas yang terkesan merendahkannya, merasa yakin bahwa tidak ada wanita yang sanggup menolak pesona CEO tampan itu. Tubuh Mysha meremang. Lucas memang memiliki aura yang membuat siapa pun wanita ingin melemparkan diri dalam pelukan kokohnya, menyerahkan tubuh seutuhnya pada pria itu. Tidak terkecuali dirinya, Elle mengingat dalam hati.Mati-matian dia harus menahan hasratnya agar tidak terlihat lemah dan mudah d