Share

Ketidakberdayaan

Author: Els Arrow
last update Last Updated: 2024-07-19 14:02:11

Gerald sampai di kantor dan langsung keluar dari mobil, ia menyerahkan kunci mobil kepada bodyguard yang akan memarkirkan mobilnya.

Kakinya melangkah menuju ruang HRD, menanyakan tantang surat lamaran Dinara.

"Apa kau tidak melihat kalau dia sarjana marketing? Seharusnya dia tidak melamar untuk posisi office girl. Meksipun bukan fresh graduate, tapi masih bisa dipertimbangkan," cecar pria itu.

"Saya melihat, Pak. Tapi saat ini tidak ada lowongan untuk staf pemasaran," jelas HRD ber-name tag Bayu tersebut.

"Panggil Dinara untuk interview, kalau kemampuannya mumpuni, tempatkan dia di staf pemasaran," ucap Gerald.

"Bak, Pak. Saya akan melakukannya."

Gerald menaruh map berisi surat lamaran kerja Dinara ke atas meja. "Tapi jangan langsung dipindahkan tugas, biarkan selama satu bulan dulu dia jadi office girl. Aku mau lihat apakah dia sombong, atau tetap rendah hati."

"Baik, Pak." Bayu mengangguk hormat, selanjutnya Gerald bangkit dan beranjak keluar.

Pria itu menemui Bu Lina di ruangannya, kemudian menjelaskan niatnya untuk mengangkat Dinara sebagai staf pemasaran.

"Awasi kinerja Dinara selama satu bulan ke depan, Bu. Kalau dia besar kepala, maka aku tidak jadi memindahkan tugas. Tapi, kalau dia tetap bersikap baik, bulan depan dia akan dipindahkan tugas," jelasnya.

"Baik, Pak. Saya akan melaporkan perkembangannya kepada Anda."

Gerald mengangguk. "Bagus. Setelah ini panggil Dinara untuk ke ruang HRD, dia harus interview."

"Baik, Pak."

Pria itu segera keluar dan berjalan menuju ruangannya, ia berpura-pura tidak melihat Dinara saat melewati wanita itu.

Membuat Dinara semakin yakin kalau Gerald membencinya, sekarang ia hanya bisa pasrah kalau memang dipecat.

"Dinara, ikut saya ke ruang HRD."

Dinara tersentak dari lamunannya, tubuhnya bergetar mendapati Bu Lina menatapnya dengan raut datar.

Apa hari ini akan menjadi hari terakhirnya bekerja? Apakah ia disuruh mengambil surat pemecatan di ruang HRD?

"Ayo, Din," ajak Bu Lina saat melihat Dinara yang masih diam sejak tadi.

"B-baik, Bu."

Dinara melangkah gontai dengan kepala tertunduk, sehingga tidak tahu kalau Gerald mengintip dari jendela.

"Aslinya takut juga, tapi sok jual mahal saat di depanku." Sudut bibirnya menyeringai, menatap remeh punggung Dinara yang semakin menjauh. "Aku tidak akan melepaskanmu, Dinara!"

"Masuklah, Din. Pak Bayu sudah menunggu di dalam," kata Bu Lina.

"Baik, Bu."

Dinara menarik napas dalam, tangannya membuka pintu dengan keringat dingin yang mulai bercucuran di pelipis.

Bayangan wajah Azka langsung memenuhi kepalanya, ia takut gagal membahagiakan putranya.

"Duduklah, Dinara," ucap Bayu.

Pria paruh baya itu langsung mengajukkan beberapa pertanyaan, Dinara juga diminta mengisi data diri dan mengerjakan soal.

Awalnya wanita itu bingung, apalagi tes ini mirip seperti saat ia melamar jadi staf pemasaran dulu. Dinara merasa dejavu, tetapi saat Pak Bayu mengatakan ini hanya tes biasa, ia pun bisa sedikit tenang.

Mungkin, kalau ia bisa mengerjakan tes ini, ia tidak jadi dipecat. Begitu pikir Dinara. Sehingga ia mengerjakannya dengan sungguh-sungguh.

"Sudah selesai, Pak," ucap Dinara setelah berkutat selama satu jam dengan soal-soal itu.

"Baiklah, kamu bisa keluar sekarang dan kembali bekerja. Terima kasih," sahut Bayu.

"Terima kasih, Pak."

Dinara keluar ruangan setelah mengangguk hormat, wanita itu melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul dua belas siang.

"Sudah jam istirahat, tapi aku belum selesai mengepel lantai atas. Bagaimana, ya?" gumamnya bingung.

Gerald tidak suka saat sedang makan, ada orang yang mondar-mandir di lorong. Akhirnya Dinara memilih menghampiri Nada, mengajak sahabatnya itu untuk makan siang bersama.

"Kamu baik-baik saja 'kan, Din? Aku khawatir saat kamu dipindahkan ke lantai atas, mana sendirian lagi," ucap Nada.

Keduanya bersama-sama menuju kantin, sepanjang perjalanan Nada menggamit lengan Dinara dengan lembut.

"Aku nggak papa, tapi memang capek banget. Lantai seluas itu ... aku sendirian yang bersihin," keluh Dinara.

Nada mendudukkan sahabatnya ke kursi, ia memesan dua mangkok soto dan dua gelas es jeruk.

"Makan dulu, Din. Biar nggak lemes kalau mau cerita." Nada menyeruput kuah soto, kemudian kembali bertanya, "tadi diajak Pak Gerald ke mana?"

Dinara tidak jadi menyuapkan soto ke dalam mulut, ia menaruh lagi sendoknya, netranya berembun menatap Nada.

Mau sekuat apapun, nyatanya Dinara tetap lemah. Hatinya sudah menangis sejak tadi, hanya saja masih ditahan. Ia ingin terlihat tegar, meskipun batinnya tersiksa.

Dinara menceritakan semuanya dari keberangkatannya bersama Gerald, hingga ia diturunkan di tepi jalan. Semuanya ia jelaskan dengan runtut, tanpa ada yang ditambah atau kurangi.

"Jadi kamu tadi tadi naik taksi?" tanya Nada, ia juga tidak sanggup melihat sahabatnya yang sudah menitikkan air mata.

"Iya, Nad. Tadi aku mampir rest area buat ganti baju, terus cari taksi. Sekarang aku bingung cara kembaliin baju ke Pak Gerald," sahut Dinara.

Wanita itu menghela napas panjang, lantas bertanya, "apa aku salah, Nad? Meskipun hanya pura-pura, tapi sama saja aku mengkhianati pernikahanku. Meskipun ... Mas Reno nggak setia, sebisa mungkin aku tetap menjaga kesetiaan sampai bisa keluar dari rumah itu."

Nada semakin terhenyak mendengarnya. "Nggak setia?! Maksudnya?"

"Iya, Nad. Semalam aku lihat Mas Reno video call sama wanita lain, mereka panggil sayang-sayangan. Dan wanita itu tanya kapan Mas Reno menceraikan aku, sudah pasti mereka menjalin hubungan 'kan?"

Kedua mata Nada melotot lebar, tanpa sadar wanita itu meremas sendoknya.

"Kamu b0d0h banget masih mau bertahan. Reno pelit 'kan selama ini? Kamu saja uang harus cari sendiri, sekarang malah diselingkuhi. Kamu bertahan, tuh, buat apa?!" pekik Dinara dengan suara tertahan.

Dinara menunduk, lantas menyahut, "Azka deket banget sama papanya. Kalau sakit saja, selalu manggil-manggil papanya, Nad. Mas Reno memang kasar, tapi kalau di depan Azka dia jadi lembut. Makanya Azka ngganggep papanya tetap baik. Dan juga ... aku nggak punya cukup uang buat mengajukan perceraian, pasti prosesnya juga ribet. Kalau soal ini, aku mengaku kalah, Nad. Aku nggak bisa banyak berbuat, mungkin aku akan menunggu Mas Reno duluan yang menceraikan. Nggak papa meskipun namaku jadi jelek."

Nada sontak menggeleng, tidak setuju dengan sahabatnya.

"Gimana kalau Reno ambil hak asuh Azka? Terus katanya dia mau bikin fitnah, yang ada kamu akan berakhir mengenaskan. Din ... kamu sudah sangat kuat melawan ketidakadilan selama ini, jadi jangan nyerah gitu aja. Kamu harus tetap berusaha! Seperti kamu memperjuangkan kebahagiaan Azka, kamu juga harus memperjuangkan kebahagiaanmu sendiri," tutur Nada.

Dinara tidak bergeming, tetapi otaknya membenarkan ucapan Nada. Sia-sia ia membangun benteng kokoh, kalau akhirnya mengalah juga.

"Lalu, apa yang pertama kali harus aku lakukan? Aku belum bisa mikir, Nad. Masih sakit hati banget sama Mas Reno."

Nada tersenyum miring, tangannya menggenggam lembut tangan Dinara.

"Target awal kita adalah Reno dan selingkuhannya, Din. Kita balas mereka!" ucapnya dengan tatapan penuh keyakinan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Wanita Simpanan    Bab 87 — End

    Gerald menatap jendela besar di ruang kerjanya. Sudah berbulan-bulan ia mencoba melupakan Dinara, tetapi bayangan wanita itu terus menghantui pikirannya. Sejak Dinara meninggalkan pekerjaannya, Gerald merasa kehilangan sesuatu yang tidak pernah ia sadari sangat berarti baginya. Bukan hanya staf yang setia dan profesional, tetapi juga seseorang yang membuat hatinya lebih hidup. Hari itu, Gerald memutuskan untuk berhenti menghindar dari kenyataan. Ia mencari tahu keberadaan Dinara melalui seorang kolega yang pernah dekat dengannya. Ketika akhirnya ia menemukan alamat Dinara di sebuah kota kecil, hatinya berdebar. Ia tahu ini adalah kesempatan terakhirnya untuk memperbaiki semuanya. Sesampainya di kota itu, Gerald melihat Dinara dari kejauhan. Wanita itu tampak sederhana, mengenakan gaun panjang. Dinara sedang menuntun seorang anak kecil, yang kemudian Gerald ketahui adalah Azka. Gerald berhenti sejenak, mengamati mereka. “Dinara!” panggil Gerald dengan suara bergetar ketika akhirnya

  • Bukan Wanita Simpanan    Chapter 86

    Gerald melangkah cepat keluar dari kantor, benaknya dipenuhi kecemasan. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban yang tak tertahankan di dadanya. Dia tahu bahwa hubungan dengan Dinara hanyalah kesepakatan sementara, tetapi saat bayangan Dinara menghilang dari pandangannya, rasa takut menggerogoti hatinya. Setibanya di rumah Nada, Gerald mengetuk pintu dengan penuh harap, tapi tidak ada jawaban. Ketika suara detak jam di dalam rumah itu teramat jelas, Gerald merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Dinara!” teriaknya, berusaha mengatasi rasa panik yang mulai menyergapnya. “Kau di mana?” Tak ada sahutan. Hanya kesunyian yang mengisi ruang. Gerald merasa kakinya mulai lemas. Ia berbalik dan melihat ke arah jalan setapak yang sudah gelap. “Dia benar-benar pergi,” bisiknya, suaranya serak. Gerald meremas rambutnya, kebingungan dan ketidakpastian membanjiri pikirannya. “Kenapa aku merasa seperti ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Dia bukan siapa-siapa bagiku. Hanya wanit

  • Bukan Wanita Simpanan    Chapter 85 || Ingin Pergi

    Bella masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya melayang saat ia menatap bayangan dirinya di kaca lemari. Pandangannya kosong, tapi di balik tatapan itu pikirannya dipenuhi bayangan tentang malam-malamnya bersama Arga. Ia ingat betul suasana di hotel, malam panjang yang mereka habiskan bersama, yang kini justru membuatnya terjebak. Arga, pria yang pernah ia anggap hanya sebagai teman dekat, ternyata menyimpan maksud lain. Bella baru menyadari betapa buruknya situasi itu ketika melihat video yang direkam Arga tanpa sepengetahuannya. Sebuah bukti yang membuatnya tak bisa berbuat banyak, sesuatu yang bisa menghancurkan reputasi dan harga dirinya. “Kalau kamu menolak, Bella, maka video ini akan tersebar, dan aku yakin semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya.” Ancaman Arga terngiang di telinganya. Bella mengepalkan tangan, menahan perasaan takut yang terus menghantuinya. Bagaimana bisa ia begitu lengah? Kini, dirinya terjebak dalam permainan Arga,

  • Bukan Wanita Simpanan    Chapter 84 || Pulang

    Pagi harinya, di ruangan yang masih terasa sunyi, Dokter datang dengan kabar yang membuat Dinara sedikit menghela napas lega.“Baik, Bu Dinara, saya sudah tinjau hasil pemeriksaan,” ucap Dokter itu sambil menatap Dinara dengan senyum tipis. “Kondisi Ibu sudah membaik. Ibu boleh pulang hari ini.”Wajah Dinara seketika bercahaya. “Terima kasih, Dok,” balasnya lirih.Gerald yang berdiri di belakang Dokter hanya diam, menyimak. Begitu Dokter pergi, Dinara segera turun dari tempat tidur dan mulai merapikan barang-barangnya, memasukkan barang-barang ke dalam tas tanpa banyak bicara. Gerald mengamati dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Saya bisa naik taksi sendiri,” ujar Dinara saat mereka selesai berkemas.“Kamu masih lemah,” jawab Gerald singkat, mengambil tas Dinara dan berjalan ke arah pintu tanpa memedulikan penolakannya. “Aku yang antar kamu pulang.”Dinara mendengus kesal, tapi akhirnya hanya bisa mengikuti. Baginya, perdebatan panjang hanya akan membuatnya semakin lama di dekat Gera

  • Bukan Wanita Simpanan    Chapter 83 || Mau Pulang!

    Malam itu, di kamar rumah sakit yang sepi, seorang petugas datang membawa nampan berisi makanan untuk Dinara. Gerald mengambil alih nampan dari petugas, lalu duduk di tepi ranjang, menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke bibir Dinara. Setiap kali Dinara membuka mulut, wajahnya tampak menegang, jelas bahwa ini adalah sesuatu yang tidak mudah baginya. Namun, Gerald tetap telaten, tak mengindahkan pandangan tajam Dinara yang seolah ingin menghancurkan segala harapan yang ia miliki. Dinara akhirnya berbicara, suaranya parau dan penuh kepedihan, “Saya rindu anak saya, Pak ….” Ia menelan ludah, mencoba menguasai dirinya meski air mata nyaris tumpah. “Anda tahu, Pak Gerald? Saya nggak pernah mau ada di sini, di tempat ini. Dan ini semua karena Anda.” Nada suaranya semakin tajam, mengandung kemarahan yang mendalam. “Kalau Anda nggak pernah menyentuh saya, kalau Anda nggak pernah … melecehkan saya, saya nggak akan berakhir begini." Gerald berhenti sejenak, sesendok makanan ter

  • Bukan Wanita Simpanan    Chapter 82 || Ashley

    Gerald terdiam lama di tempatnya setelah panggilan itu berakhir. Sebagian dirinya masih terpaku pada suara lembut yang baru saja ia dengar, suara yang pernah ia rindukan selama bertahun-tahun. Ashley. Nama itu adalah bagian dari masa lalu yang tak pernah sepenuhnya hilang dari hidupnya. Dalam diam, kenangan-kenangan bersama Ashley mulai menyeruak di benaknya. Masa-masa kuliah di luar negeri, di mana mereka berdua selalu bersama, adalah salah satu fase terbaik dalam hidupnya. Mereka dulu tak terpisahkan. Saling mendukung, saling menyemangati untuk meraih mimpi-mimpi besar mereka. "Apakah masih ada harapan untuk kami?" batinnya bertanya tanpa sadar. Ia mengingat senyum Ashley, tawa lepasnya saat mereka menghabiskan waktu di kampus atau saat menjelajahi kota-kota baru. Mereka pernah begitu yakin bahwa mereka akan menjalani masa depan bersama, bahwa mereka akan kembali ke Indonesia sebagai pasangan yang kuat. Namun, semuanya berubah saat Ashley memutuskan untuk meraih mimpinya seb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status