*Happy Reading*
"Tidak lihat, Pak."
"Begitu, ya? Terima kasih."
Sean kembali ke dalam mobil, kemudian melajukan kembali benda besi itu setelah untuk kesekian kalinya berhenti, hanya demi menghampiri kerumunan orang dan bertanya tentang keberadaan Ina.
"Ina kamu di mana, sih?" geram Sean, mulai kesal pada keadaan ini.
Ini sudah menjelang sore, tapi keberadaan Ina masih belum dia temukan. Padahal, dia sudah berkeliling Jakarta, juga di bantu orang-orang kepercayaannya dalam mencari istrinya yang kabur itu.
Semuanya nihil! Tidak ada satu pun dari mereka yang bisa menemukan Ina. Terlebih, minimnya informasi tentang Ina, juga tidak adanya media yang bisa membantu mereka melacak Ina dengan cepat.
Ina bukan hanya tidak punya uang, tapi juga tidak punya ponsel. Karena itulah, mereka sulit melacak keberadaan Ina. Seharian ini pencarian itu hanya berbekal sebuah photo, yang sebenarnya agak blur, karena di ambil tanpa adanya kesiapan
*Happy Reading* "Sebenarnya apa saja kerja kalian? Kenapa mencari seorang gadis saja tidak bisa?! Payah!" maki Sean lantang, sambil menggebrak meja, saat lagi-lagi mendapat laporan tidak sesuai harapanya. Ini sudah hari ke lima belas sejak Ina menghilang. Semua orang-orangnya, polisi, bahkan detektif swasta sudah dia kerahkan dalam mencari istrinya. Namun, semuanya masih nihil! Tidak ada satu orang pun yang bisa menemukan gadis itu, dan semuanya seakan menemukan jalan buntu dalam pencariannya. Kemana Ina sebenarnya? Kenapa susah sekali mencarinya? Gadis itu tidak ditelan bumi, kan? Atau diculik makhluk asing, dan sebagainya? "Maaf, tuan. Tapi kami sudah mengerahkan segala cara untuk mencari Nona Zaina. Bahkan, tim terbaik pun sudah kami turunkan. Tapi--" "Alasan!" bantah Sean tegas. "Kalau kalian memang sudah melakukan yang terbaik, lalu di mana hasilnya? Di mana istri saya? Kenapa masih belum ditemukan?" cecar Sean kemudian.
*Happy Reading*"Istri anda memang bukan yang pertama dalam kehidupan anda, tapi tidak harusnya dia dijadikan bayangan Istri sebelumnya? Coba anda bayangkan jika anda di posisi istri anda yang sekarang. Apa anda akan baik-baik saja hidup dalam bayangan masa lalu?""Saya tidak tahu atas dasar apa anda menikah dengan istri anda yang sekarang. Tapi apapun alasannya, seharusnya saat anda mengucapkan janji pada Tuhan atas namanya, anda sudah meninggalkan masa lalu dan bersiap melangkah maju dengan orang baru.""Sejatinya masa lalu. Harusnya di simpan dibelakang. Jangan dilihat lagi, apalagi terus diingat. Karena kita hidup untuk masa sekarang dan masa depan. Jangan sampai, karena masa lalu yang belum selesai, anda kehilangan masa depan yang harusnya berakhir indah.""Masa lalu itu ada untuk pembelajaran diri, bukan untuk membelenggu diri.""Selain itu, apa anda yakin Almarhumah ingin anda terus mengingatnya, dan terpuruk dalam kenangan terus menerus? Sa
*Happy Reading*"Ya ... Mau gimana lagi? Dari dulu sampai sekarang, semua barang yang ada di sini kan milik Mama Sulis dan Audy. Tidak ada jejak Ina sama sekali, bahkan ... photonya saja tidak ada satu pun. Padahal, harusnya dia memiliki tempat, meski hanya sedikit di rumah ini, karena dia sekarang nyonya besar di rumah ini."Antara lega dan kesal, tangan Sean pun mengepal kuat di sisi tubuhnya tanpa dia sadari. Karena di sisi lain, dia merasa tertohok dengan ucapan Ken barusan.Kemarin Kairo, sekarang Ken. Dua kembar ini ternyata sangat berbakat dalam menyerang mental seseorang. Kata-kata yang mereka ucapkan selalu tepat sasaran, dan sukses menamparnya berkali-kali."Maksud anda apa? Kenapa seenaknya bicara seperti itu, padahal anda sendiri tidak tinggal di sini?"Sean masih membela diri.Sayangnya, bukan persetujuan yang Ken berikan. Melainkan senyum miring dengan alis terangkat satu, yang sangat menyebalkan di mata Sean."Saya memang tidak
*Happy Reading*Kiranya, setelah mendapat teguran dan beruntun dari Ken dan Kairo. Sean akan benar-benar berubah, bahkan langsung membuang semua barang kenangan di Rumahnya.Sayangnya, yang terjadi malah pria itu hanya kembali ke ruang kerjanya setelah Ken pergi, dan lagi-lagi berpikir untuk semua masalah yang tengah dia hadapi.Entah apalagi yang dipikirkan Sean. Yang jelas, Sean masih terus berpikir keras dan malah larut dalam lamunannya, hingga hari berganti keesokannya tanpa melakukan tindakan apapun.Ibarat pelajaran, Sean itu sudah paham teorinya, tapi tidak mau praktek. Itulah bodohnya Sean. Karena apalah arti teori tanpa adanya pembuktian."Den, Makanan sudah siap." Pemberitahuan itu membuat lamunan Sean buyar, saat lagi-lagi larut dalam lamunan pagi itu.Mendesah panjang sekali lagi, Sean kembali menatap photo berbingkai emas di tangannya, sebelum kemudian meletakkannya kembali ke atas meja kerja.Tenang. Ka
*Happy Reading*"Bapak! Buruan!" seru Ina sekali lagi, saat tidak menemukan gerakan apapun dari Sean.Pria itu pun akhirnya tersentak kaget, dan dengan cepat membantu Ina mengangkat lemari di bagian sisi lain dengan mudahnya.Tentu saja, Lemari itu tidak akan menyulitkan Sean sedikit pun, karena baik dari badan atau pun gender Sean lebih unggul dari Ina. Lebih dari itu, lemarinya sendiri terbuat dari plastik, dan isinya tidak terlalu banyak. Namun tetap saja, untuk anak sekecil Kean akan lumayan sakit jika tertimpa."Kamu bantu Bik Suti saja, biar saya yang angkat ini." Kali ini Sean yang memberi perintah. Seraya menekan gejolak dalam dada, yang sebenarnya ingin sekali segera mengintrogasi Ina tentang keberadaannya di sini.Ina tidak membantah, mengikuti titah Sean dengan senang hati, dan membawa Kean ke dalam pelukannya dengan setelah itu menjauh dari lemari yang jatuh tadi."Cup ... cup ... udah ya, jangan nangis jagoan. Kamu u
*Happy Reading*"Meminjam? Apa maksud kalian?" tukas Sean sengit, setelah akhirnya mau diajak bicara baik-baik.Itupun, harus Rara yang bicara. Karena jika Ken yang buka suara, kepala tangan Sean langsung saja melayang ke arah Dokter Obygn itu. Sean benar-benar menempatkan Ken sebagai dalang di dalam situasi yang tengah menimpanya.Maka dari itu, Rara pun terpaksa harus berdiri di tengah-tengah Sean dan Ken, Agar pria itu berhenti memukuli suaminya. Rara yakin, sejahat apapun Sean. Pria itu tidak akan menyakitinya. Apalagi dengan kondisi Rara saat ini, yang tengah berbadan dua. Sean pasti sebisa mungkin menahan emosinya. Lagipula, Kepalan tangan tidak akan menyelesaikan apapun, kan?"Ya! Kami hanya meminjam Ina beberapa hari. Sampai pesta ulang tahun Kean selesai.""Cih! Mana ada meminjam tanpa minta ijin. Bahkan sengaja membuat orang-orangku kesulitan mencari Ina," sahut Sean, masih tidak terima alasan yang diberikan Rara.Meminjam Ina, kat
*Happy Reading*Ina dan Ken akan menikah?Tidak! Itu tidak mungkin! Bagaimana bisa? Ini gila!"Rara, apa maksud kamu? Apa kamu sudah gila, hingga menyuruh suami kamu menikah lagi?!" tukas Sean tidak terima."Itu lebih baik untuk kita semua," jawab Rara tenang.Baik katanya. Baik dibagian mananya? Baik untuk siapa? Fix Rara sepertinya sudah gila."Baik apanya Rara? Kamu lupa atau bagaimana? Kamu sendiri pernah di poligami. Pernah jadi istri kedua dan tahu bagaimana rasa sakitnya, kan?!" terang Sean menggebu-gebu. Mencoba mengingatkan Rara akan kisah pilu mereka di masa lalu."Semua akan berbeda, jika Ken yang melakukan poligami," jawab Rara lagi, masih dengan mode santai. Namun mampu membuat Sean ketar-ketir ditempatnya.Meski menyebalkan, tapi entah kenapa bilik hati kecil Sean mengaminkan ucapan Rara barusan. Karena meski suami baru Rara itu itu selalu membuatnya naik darah tiap bertemu, tapi Sean akui Ken memang pria baik yan
*Happy Reading*"Ya ampun, Den Sean, Non Ina, apa yang terjadi?" pekik Mbok Darmi kaget, saat menyambut kedatangan Sean dan Ina di Rumah."Ceritanya Panjang, Bik. Nanti aja cerita. Sekarang tolong bantu Ina bawa Pak Sean ke kamarnya ya, Bi?" Ina berusaha menjawab seadanya, disela usahanya menahan tubuh Sean yang bertopang padanya sebelah sisi. Sementara sisi lainnya ada sang sopir, yang siap siaga membantu Ina.Sebenarnya, Sean diharuskan istirahat barang dua atau tiga hari di Rumah sakit. Karena ternyata, ada rusuk yang patah akibat perkelahiannya dengan Ken tadi.Sayangnya, Sean yang keras kepala menolak semua itu. Memaksa pulang dan meminta rawat jalan di Rumah. Tidak perduli seberapa besar bujukan para Dokter dan perawat. Pria itu seakan enggan berlama-lama di Rumah sakit yang memang milik Ken.Mungkin Sean masih marah pada Ken?"Iya, iya, Non. Hayu atuh." Mbok Darmi memberi jalan."Di kamar bawah saja," pinta Sean tib