Share

Bab 10

Hans berdecak kesal. Dia melempar gawai mahalnya sembarang. Emosinya bukan tanpa alasan melainkan setelah mendapat info dari Sesil sore tadi. 

[Mas Hans, nomor istrinya Andra sejak siang gak bisa dihubungi! Sudah kukirim foto yang tadi itu tapi hanya centang satu sampai sekarang!] tulis Sesil.

[Coba lagi nanti! Terus ponsel Andra masih ada di kamu ‘kan? Kasih ke saya nanti!] balasnya.

[Aku cuma ambil nomor istrinya saja, setelah itu ponselnya kubuang di pinggir jalan depan kantor tadi! Aku takut terlacak dan disangka maling nanti!] tulis Sesil.

[Sesil, kenapa harus dibuang … kan bisa tinggal copot sim cardnya saja sama matikan gps!] geram Hans. 

[Gak ada bayaran untuk mengambil risiko sebagai maling! Jadi maaf, aku hanya cari aman untuk diriku sendiri!] tulis Sesil. 

Setelah itu semua pesannya pun pada wanita itu centang satu. Memang ibu-ibu hamil cepat tersinggung. 

Hans menjatuhkan kembali tubuhnya ke atas kursi goyangya. Demi menghalangi sepak terjang Andra untuk mendapatkan pekerjaan. Dia standby di kantor hingga malam dan memantau orang-orangnya yang mengintai Andra. 

Selain itu, Hans sibuk mencari list nama beberapa rekanan perusahaan yang dulu dihandle oleh Andra. Dia memastikan akan menghalangi sang Adik mendapat pekerjaan dengan mudah. 

“Tari … Tari … Tari!” Hans mengacak rambutnya kesal. 

“Andai dulu kamu tidak menolakku mentah-mentah di depan umum. Mungkin aku tidak akan seniat ini menghancurkan rumah tangga kalian. Beruntung mama selalu mempercayai setiap apa yang kukatakan … termasuk percaya jika kamu hanya pelacur murahan!” Seringai di bibir Hans mengembang. 

Tiba-tiba reka adegan beberapa waktu silam terbayang jelas. Sosok gadis yang tampak malu-malu dan kaku ketika mengantarkan minuman beralkohol yang mereka pesan untuk ke sekian kalinya. 

Dalam remang club malam dan hingar bingar musik yang memekakan telinga. Hans yang setengahnya sudah hilang kesadaran karena minuman beralkohol justru lebih tertarik pada sosok gadis penyaji minuman itu dari pada gelayutan para wanita seksi yang mengajaknya beranjak ke dance floor. 

“Manis, kamu kerja di sini cari uang kan?” Gadis itu mundur ke belakang dengan gugup ketika Hans berbisik begitu dekat di telinganya. 

“Mari, Pak!” Gadis itu memutar tubuh dan hendak menjauh. Bukan hanya sekali ada lelaki hidung belang yang mengganggunya karena memang itu risiko yang dulu tidak dipertimbangkannya.

“Satu malam, berapa? Kamu malu-malu gini pasti masih perawan ‘kan ya?” Melihat gadis yang malu-malu menggemaskan justru membuat Hans semakin tertantang. Tangannya menarik lengan gadis itu hingga berada dalam jarak hampir tanpa celah dengannya. Tangan Hans beralih meraih pinggangnya ketika sang gadis tetap menolak dan meronta. 

Bagaimanapun gadis itu tidak bisa berlari begitu saja. Bekerja di club malam ini bukan tanpa alasan. Dia terlilit hutang pada Madam Siska sang pemilik club malam. Hutang berbunga yang semakin hari semakin membengkak karena bunganya tetap berjalan. 

Semakin gadis itu meronta, semakin Hans bersemangat. Akal sehatnya sudah hilang akibat pengaruh minuman. Suasana hingar bingar membuat teriakan apapun hanya samar. Tanpa bisa melawan banyak karena kalah tenaga akhirnya Hans sudah berhasil merenggut ciuman pertama dari gadis itu. Dia melakukannya dengan beringas dan penuh nafsu. 

Namun tiba-tiba seorang pria berhidung mancung menariknya dengan mata menyala. 

“Lepas! Dia wanitaku!” teriaknya di samping telinga Hans. Pria jangkung itu menatap penuh kemarahan. 

Hans sudah hendak menjatuhkan bogem pada lelaki bule tersebut, tapi teman-temannya yang mengetahui siapa dia menariknya ke belakang. 

“Hans, gadis itu incaran Michael … jangan coba-coba berurusan dengannya atau bisnis kita terancam!” bisik salah satu temannya yang otaknya masih waras. 

Hans yang sudah setengah kehilangan kesadaran tetap melayangkan satu bogem mentah ke wajah sang Bule. Namun dia berhasil menghindar, tubuh Hans terhuyung dan langsung ditarik oleh teman-temannya ke table mereka. 

***

“Hastari … gadis pelacur yang sok alim … wanita yang menolakku tapi mau berkencan dengan bule itu dan sekarang menikah dengan adikku sendiri! Semua wanita yang menolak Hans, harus merasakan penyesalan seumur hidupnya!” umpat Hans sambil duduk kembali di meja kerjanya. 

“Andra … anak kesayangan papa … tidak pantas kamu mendapatkan kehidupan yang menyenangkan dalam keluarga Herlambang! Sejak kehadirannya, diriku di mata Papa selalu terabaikan … saatnya kini tiba kalau Andra harus merasakan semuanya! Andra kenapa kamu selalu lebih dipentingkan daripada aku di mata Papa?!” Hans menatap kosong ke arah dinding ruangannya. 

Bunyi gawainya berdering. Satu panggilan masuk dari seseorang segera dia terima.

“Hallo, Sri! Gimana sudah kamu sampaikan permintaan saya pada Pak Hengki!” tanya Hans.

“Sudah, Pak! Dia berkenan melaksanakan perintah Bapak! Surat undangannya akan segera dikirimkan katanya!” suara seorang staff wanitanya memberikan laporan. 

“Ok, terima kasih!” Seringai licik di bibir Hans mulai berkembang.

“Kita lihat, permainan berikutnya buat kamu adikku tersayang!” gumamnya. 

Lelaki itu mengambil tas kerjanya kemudian beranjak meninggalkan ruangan. 

*** 

Tari sibuk membereskan gelas dan piring bekas mereka makan. Obrolan ringan diantara keduanya yang terjadi selama makan ternyata mampu membuat mood mereka membaik. 

“Sayang, kamu buatin Mas kopi gih! Biar piring sama gelas kotor, mas yang cuciin!” ujar Andra sambil berdiri menghampiri sang istri yang sedang menyimpan piring dan gelas kotor ke wastafel. 

“Aku buatin kopi dulu kalau gitu! Piring kotor biarin aja, nanti aku cuci! Kamu seharian sudah capek wara-wiri cari kerja! Istirahat aja, Mas!” ujar Tari. 

Tangannya mengambil cangkir dan gelas, kemudian mengambil kopi dan dituangnya. Lalu dia memanaskan air agar kopi yang diseduhnya panas dan rasanya sempurna. 

“Gak apa-apa sesekali bantuin kerjaan istri, biar dapat pahala!” 

Andra tidak menghiraukan larangan sang istri. Kini tangannya sudah dipenuhi busa dan mencuci piring dan gelas itu satu persatu. 

“Ladang pahala aku sudah mulai berkurang, dong, Mas!” seloroh Tari sambil menuang air panas ke dalam gelas. 

“Nanti malem aku ajakin kamu beribadah dengan pahala yang besar!” bisik Andra pada Tari yang tengah berdiri di sampingnya sambil mengaduk kopi. 

Seketika wajah Tari merona. Dia hanya menggeleng-geleng kepala. Kemudian memindahkan gelas kopi itu ke meja makan yang sudah bersih sambil menyembunyikan senyum yang dikulumnya. 

Andra terkekeh melihat sang istri yang tampak malu-malu. Ia membilas tangannya setelah piring dan gelas tersebut bersih dan ditatanya. Dipeluknya tubuh tari dari belakang. 

“Makasih, ya, Sayang kopinya!” 

“Iya, Mas! Diminum dulu, gih!” Tari menepuk lembut tangan Andra yang melingkar di perutnya. 

“Di ruang tengah saja, Sayang! Sambil nonton TV!” ujar Andra setelah melepas pelukannya. 

Tari mengangguk dan mengambil cangkir itu. Mereka berjalan beriringan. Cangkir kopi itu disimpannya diatas meja depan sofa. Tari menggelar karpet dan duduk berselonjor. Dinyalakannya televisi sambil melepas penat dan lelah siang itu. 

“Eh, katanya mau ngopi?” tegur Tari. 

Andra malah merebahkan tubuhnya dan tidur di pangkuannya. 

“Nanti, masih capek, Sayang!” ujar Andra. 

“Mas belum tarawih juga, ya?” Tari mengelus rambut sang suami. Andra mengangguk sambil memejamkan mata. 

“Nanti aku tarawih sendiri saja, salat isya saja belum! Mau ditemenin kamu dulu biar capeknya hilang!” ujar Andra.

Tiba-tiba Tari teringat pesan sang Ibu tadi siang untuk menceritakan sesuatu pada suaminya. Sebetulnya Tari ragu, awalnya dia akan menyimpan semua kenangan buruk masa lalu itu sendirian. Namun setelah mendengar petuah sang Ibu, akhirnya Tari memberanikan diri untuk memberitahu Andra sesuatu hal yang belum dia ketahui. 

“M-Mas! Aku ingin cerita sesuatu … boleh? T-tapi kamu jangan marah, ya!” ucap Tari dengan ragu. 

Setiap mengingat semua peristiwa itu membuatnya seolah merasa tidak memiliki harga diri. Ya, seperti yang sang ibu katakan. Semua itu karena selama ini dia hanya berpikir sendiri dan menyimpulkan sesuatu sendirian. Dalam hati, Tari membenarkan jika dia tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama. 

“Ya Allah, semoga Mas Andra bisa menerima penjelasanku tentang Hans, di masa laluku! Namun kalau dia marah, lalu tidak terima dengan semua ini bagaimana?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status