Hans berdecak kesal. Dia melempar gawai mahalnya sembarang. Emosinya bukan tanpa alasan melainkan setelah mendapat info dari Sesil sore tadi.
[Mas Hans, nomor istrinya Andra sejak siang gak bisa dihubungi! Sudah kukirim foto yang tadi itu tapi hanya centang satu sampai sekarang!] tulis Sesil.
[Coba lagi nanti! Terus ponsel Andra masih ada di kamu ‘kan? Kasih ke saya nanti!] balasnya.
[Aku cuma ambil nomor istrinya saja, setelah itu ponselnya kubuang di pinggir jalan depan kantor tadi! Aku takut terlacak dan disangka maling nanti!] tulis Sesil.
[Sesil, kenapa harus dibuang … kan bisa tinggal copot sim cardnya saja sama matikan gps!] geram Hans.
[Gak ada bayaran untuk mengambil risiko sebagai maling! Jadi maaf, aku hanya cari aman untuk diriku sendiri!] tulis Sesil.
Setelah itu semua pesannya pun pada wanita itu centang satu. Memang ibu-ibu hamil cepat tersinggung.
Hans menjatuhkan kembali tubuhnya ke atas kursi goyangya. Demi menghalangi sepak terjang Andra untuk mendapatkan pekerjaan. Dia standby di kantor hingga malam dan memantau orang-orangnya yang mengintai Andra.
Selain itu, Hans sibuk mencari list nama beberapa rekanan perusahaan yang dulu dihandle oleh Andra. Dia memastikan akan menghalangi sang Adik mendapat pekerjaan dengan mudah.
“Tari … Tari … Tari!” Hans mengacak rambutnya kesal.
“Andai dulu kamu tidak menolakku mentah-mentah di depan umum. Mungkin aku tidak akan seniat ini menghancurkan rumah tangga kalian. Beruntung mama selalu mempercayai setiap apa yang kukatakan … termasuk percaya jika kamu hanya pelacur murahan!” Seringai di bibir Hans mengembang.
Tiba-tiba reka adegan beberapa waktu silam terbayang jelas. Sosok gadis yang tampak malu-malu dan kaku ketika mengantarkan minuman beralkohol yang mereka pesan untuk ke sekian kalinya.
Dalam remang club malam dan hingar bingar musik yang memekakan telinga. Hans yang setengahnya sudah hilang kesadaran karena minuman beralkohol justru lebih tertarik pada sosok gadis penyaji minuman itu dari pada gelayutan para wanita seksi yang mengajaknya beranjak ke dance floor.
“Manis, kamu kerja di sini cari uang kan?” Gadis itu mundur ke belakang dengan gugup ketika Hans berbisik begitu dekat di telinganya.
“Mari, Pak!” Gadis itu memutar tubuh dan hendak menjauh. Bukan hanya sekali ada lelaki hidung belang yang mengganggunya karena memang itu risiko yang dulu tidak dipertimbangkannya.
“Satu malam, berapa? Kamu malu-malu gini pasti masih perawan ‘kan ya?” Melihat gadis yang malu-malu menggemaskan justru membuat Hans semakin tertantang. Tangannya menarik lengan gadis itu hingga berada dalam jarak hampir tanpa celah dengannya. Tangan Hans beralih meraih pinggangnya ketika sang gadis tetap menolak dan meronta.
Bagaimanapun gadis itu tidak bisa berlari begitu saja. Bekerja di club malam ini bukan tanpa alasan. Dia terlilit hutang pada Madam Siska sang pemilik club malam. Hutang berbunga yang semakin hari semakin membengkak karena bunganya tetap berjalan.
Semakin gadis itu meronta, semakin Hans bersemangat. Akal sehatnya sudah hilang akibat pengaruh minuman. Suasana hingar bingar membuat teriakan apapun hanya samar. Tanpa bisa melawan banyak karena kalah tenaga akhirnya Hans sudah berhasil merenggut ciuman pertama dari gadis itu. Dia melakukannya dengan beringas dan penuh nafsu.
Namun tiba-tiba seorang pria berhidung mancung menariknya dengan mata menyala.
“Lepas! Dia wanitaku!” teriaknya di samping telinga Hans. Pria jangkung itu menatap penuh kemarahan.
Hans sudah hendak menjatuhkan bogem pada lelaki bule tersebut, tapi teman-temannya yang mengetahui siapa dia menariknya ke belakang.
“Hans, gadis itu incaran Michael … jangan coba-coba berurusan dengannya atau bisnis kita terancam!” bisik salah satu temannya yang otaknya masih waras.
Hans yang sudah setengah kehilangan kesadaran tetap melayangkan satu bogem mentah ke wajah sang Bule. Namun dia berhasil menghindar, tubuh Hans terhuyung dan langsung ditarik oleh teman-temannya ke table mereka.
***
“Hastari … gadis pelacur yang sok alim … wanita yang menolakku tapi mau berkencan dengan bule itu dan sekarang menikah dengan adikku sendiri! Semua wanita yang menolak Hans, harus merasakan penyesalan seumur hidupnya!” umpat Hans sambil duduk kembali di meja kerjanya.
“Andra … anak kesayangan papa … tidak pantas kamu mendapatkan kehidupan yang menyenangkan dalam keluarga Herlambang! Sejak kehadirannya, diriku di mata Papa selalu terabaikan … saatnya kini tiba kalau Andra harus merasakan semuanya! Andra kenapa kamu selalu lebih dipentingkan daripada aku di mata Papa?!” Hans menatap kosong ke arah dinding ruangannya.
Bunyi gawainya berdering. Satu panggilan masuk dari seseorang segera dia terima.
“Hallo, Sri! Gimana sudah kamu sampaikan permintaan saya pada Pak Hengki!” tanya Hans.
“Sudah, Pak! Dia berkenan melaksanakan perintah Bapak! Surat undangannya akan segera dikirimkan katanya!” suara seorang staff wanitanya memberikan laporan.
“Ok, terima kasih!” Seringai licik di bibir Hans mulai berkembang.
“Kita lihat, permainan berikutnya buat kamu adikku tersayang!” gumamnya.
Lelaki itu mengambil tas kerjanya kemudian beranjak meninggalkan ruangan.
***
Tari sibuk membereskan gelas dan piring bekas mereka makan. Obrolan ringan diantara keduanya yang terjadi selama makan ternyata mampu membuat mood mereka membaik.
“Sayang, kamu buatin Mas kopi gih! Biar piring sama gelas kotor, mas yang cuciin!” ujar Andra sambil berdiri menghampiri sang istri yang sedang menyimpan piring dan gelas kotor ke wastafel.
“Aku buatin kopi dulu kalau gitu! Piring kotor biarin aja, nanti aku cuci! Kamu seharian sudah capek wara-wiri cari kerja! Istirahat aja, Mas!” ujar Tari.
Tangannya mengambil cangkir dan gelas, kemudian mengambil kopi dan dituangnya. Lalu dia memanaskan air agar kopi yang diseduhnya panas dan rasanya sempurna.
“Gak apa-apa sesekali bantuin kerjaan istri, biar dapat pahala!”
Andra tidak menghiraukan larangan sang istri. Kini tangannya sudah dipenuhi busa dan mencuci piring dan gelas itu satu persatu.
“Ladang pahala aku sudah mulai berkurang, dong, Mas!” seloroh Tari sambil menuang air panas ke dalam gelas.
“Nanti malem aku ajakin kamu beribadah dengan pahala yang besar!” bisik Andra pada Tari yang tengah berdiri di sampingnya sambil mengaduk kopi.
Seketika wajah Tari merona. Dia hanya menggeleng-geleng kepala. Kemudian memindahkan gelas kopi itu ke meja makan yang sudah bersih sambil menyembunyikan senyum yang dikulumnya.
Andra terkekeh melihat sang istri yang tampak malu-malu. Ia membilas tangannya setelah piring dan gelas tersebut bersih dan ditatanya. Dipeluknya tubuh tari dari belakang.
“Makasih, ya, Sayang kopinya!”
“Iya, Mas! Diminum dulu, gih!” Tari menepuk lembut tangan Andra yang melingkar di perutnya.
“Di ruang tengah saja, Sayang! Sambil nonton TV!” ujar Andra setelah melepas pelukannya.
Tari mengangguk dan mengambil cangkir itu. Mereka berjalan beriringan. Cangkir kopi itu disimpannya diatas meja depan sofa. Tari menggelar karpet dan duduk berselonjor. Dinyalakannya televisi sambil melepas penat dan lelah siang itu.
“Eh, katanya mau ngopi?” tegur Tari.
Andra malah merebahkan tubuhnya dan tidur di pangkuannya.
“Nanti, masih capek, Sayang!” ujar Andra.
“Mas belum tarawih juga, ya?” Tari mengelus rambut sang suami. Andra mengangguk sambil memejamkan mata.
“Nanti aku tarawih sendiri saja, salat isya saja belum! Mau ditemenin kamu dulu biar capeknya hilang!” ujar Andra.
Tiba-tiba Tari teringat pesan sang Ibu tadi siang untuk menceritakan sesuatu pada suaminya. Sebetulnya Tari ragu, awalnya dia akan menyimpan semua kenangan buruk masa lalu itu sendirian. Namun setelah mendengar petuah sang Ibu, akhirnya Tari memberanikan diri untuk memberitahu Andra sesuatu hal yang belum dia ketahui.
“M-Mas! Aku ingin cerita sesuatu … boleh? T-tapi kamu jangan marah, ya!” ucap Tari dengan ragu.
Setiap mengingat semua peristiwa itu membuatnya seolah merasa tidak memiliki harga diri. Ya, seperti yang sang ibu katakan. Semua itu karena selama ini dia hanya berpikir sendiri dan menyimpulkan sesuatu sendirian. Dalam hati, Tari membenarkan jika dia tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama.
“Ya Allah, semoga Mas Andra bisa menerima penjelasanku tentang Hans, di masa laluku! Namun kalau dia marah, lalu tidak terima dengan semua ini bagaimana?”
Marni tengah duduk di salah satu restoran ternama. Sudah beberapa bulan terakhir dia ikut pengajian bersama Tari dan Aisha. Dia mulai belajar memakai penutup aurat yang dulu dipakainya hanya sekedar mengikuti trend mode. Kini dia melakukannya dengan keinginan untuk hijrah. Marni yang dulu sudah lenyap bersama teguran-teguran beruntun yang diterimanya.“Ma, maaf kami baru datang!” Andra datang bersama sang istri yang perutnya sudah mulai membesar. Kini kehamilan Tari sudah menginjak bulan ke Sembilan. Hari perkiraan lahirnya bahkan sudah terlewat dua hari.“Iya, gak apa-apa!” Marni menoleh pada sang anak menantu.“Mbak Mela belum sampe, Ma?” Andra menarik satu kursi untuk sang istri. Marni menggeleng kepala.“Belum, kakakmu tadi WA
BUKBER DI RUMAH MERTUA (30)Waktu bergulir cepat. Beberapa hari dilalui dengan baik. Progress internal audit dengan menggunakan jasa konsultan terpilih membuahkan hasil. Banyak sekali abnormal dan penyelewengan wewenang dari dua departemen itu yang dibongkar.Andra saat ini tengah meminta bagian HRD untuk mengurus semua proses pemberhentian dua orang bermasalah itu ke PHI.“Maafkan saya … semua harus saya lakukan agar ratusan karyawan saya yang jujur bisa terus bertahan!” gumam Andra dalam dada setelah menutup gagang telepon.Bukan hal mudah baginya Ketika harus mem-PHK dua manager baru tersebut. Namun sebagai pucuk pimpinan memang harus tegas. Andra sadar jika laju perusahaan kini sepenuhnya akan mengikuti hasil keputusannya. Terlebih beban utang yang
(29)Obrolan ringan berlanjut. Hingga terdengar suara MC yang membuka acara. Semua mata kini terarah ke atas panggung. MC memanggil kedua calon mempelai yang akan bertukar cincin.Tampak dari salah satu sudut panggung seorang lelaki bertubuh jangkung. Rambutnya berwarna putih pucat, langkahanya mengayun tegap. Hidung mancung dan lesung pipi sebelah kirinya menambah indah mata yang menatapnya. Seulas senyum terus terkulum ketika tampak dari arah berlawanan seorang wanita berkerudung lebar menghampirinya.“Wah, inilah ta’aruf modern, Pemirsa! Di mana tidak hanya seorang yang mengerti agama dan hukum Islam yang melakukannya, tapi seorang muallaf pun bisa! Applause untuk sang calon mempelai pria!” ujar MC memandu acara.Riuh tepuk tangan Ketika lelaki bule it
(28)Andra sudah berada di lorong rumah sakit Hasanudin. Langkahnya terayun cepat, khawatir setengah mati jika sang istri terluka berat.Namun matanya memicing, menangkap sosok yang baru saja keluar dari poli kandungan. Iya, wanita itu Sesil. Tampak berat membawa beban di perutnya. Andra mengurungkan niat untuk menyapanya tapi wanita itu melihatnya.“Mas!”Dengan perut yang sudah membesar wanita itu berjalan menghampirinya. Andra menarik napas panjang. Bagaimana ceritanya, sehari ini bertemu dengan dua orang dari masalalunya.“Kamu sedang check kandungan?” Andra menyapa Sesil karena sudah kadung bertemu. Wanita itu mengangguk.“Iya, Ma
“Mari silakan, masuk, Dok!” Tari mempersilakan dokter cantik itu masuk.Dokter wanita itu berjalan mengikuti Tari. Belum sempat melakukan pemeriksaan apa-apa, Inah muncul.“Neng, ini tespecknya! Eh sudah manggil dokter juga?” tanyanya.“Mama yang panggilin, Bi!” ucap Tari.“Alhamdulilah!” Netra Inah berkaca-kaca mendapati jika sang majikan mulai memperhatikan menantunya.Tari tersenyum. Ada perasaan berbunga juga di hatinya. Ternyata semua kejadian kemarin ada hikmahnya. Kini Marni seperti sudah mulai bisa menerimanya.Dokter tersebut mulai melakukan pemeriksaan. Beberapa pertanyaan diajukan. Kemudian setelah mendapatkan diagnosa
(26)Andra tengah berkutat dengan memaksimalkan kembali kapasitas produksi. Butuh kerja keras ekstra untuk bisa beroperasi secara normal. Cashflow perusahaan kini tidak stabil.“Pak, Andra … karyawan kita ada yang kecelakaan kerja! Kondisinya cukup parah! Lalu ada yang aneh juga dengan pergerakan beberapa proyek yang existing, harga jual makin tidak seimbang dengan harga produksi ditambah biaya overhead!” Keano seorang GM yang baru saja dipekerjakan kembali setelah posisinya kemarin digantikan Ivana untuk sementara memberikan laporan.“Pak Kean … apakah menurut Anda ada hal abnormal di sini?” selidik Andra.Dia mencoba meminta pertimbangan orang yang sudah cukup lama bekerja di perusahaan Herlambang Grup itu. 
(25)Andra memijat pelipisnya. Satu cangkir teh hangat buatan sang istri menemani sore yang terasa penat itu. Permasalahan yang dibuat Hans ternyata cukup rumit. Dia meminjam uang atas nama perusahaan dengan nominal yang sangat besar. Sementara orderan dari beberapa customer sudah banyak yang beralih ke perusahaan lain. Beberapa penurunan kualitas dari produksi dan delivery cukup berpengaruh terhadap kestabilan order.“Mas, apa ada masalah?” Tari keluar dari dalam rumah menghampirinya yang tengah duduk di teras.Andra menoleh pada sang istri dan memasang senyum termanisnya.“Sedikit!” ucapnya. Meskipun sebetulnya hatinya menentangnya, karena itu bukan masalah yang sedikit sebetulnya.
(24)"Ibu Anda mengalami gegar otak ringan ... lebih baik dirawat dulu di sini sambil melihat perkembangan kondisinya!" Dokter Harun menjelaskan pada Andra yang duduk di depan meja kerjanya."Apakah bisa pulih seperti sedia kala, Dok?" tanya Andra. Seburuk apapun perlakuan Marni, tidak akan ada yang bisa mengubah hubungan darah antara Ibu dan anak. Andra tetap berharap sang ibu baik-baik saja."Semoga! Kami akan melakukan perawatan terbaik sambil melakukan observasi atas kondisi kesehatannya!" ujar Dokter Harun lagi."Baik, makasih, Dok!"Andra berjalan keluar dari ruangan dokter Harun. Langkahnya tertuju pada dua ruang rawat yang berdampingan. Satu kamar terisi oleh Melati---kakak keduanya, sem
(23)“Hallo, Ma! Assalamu’alaikum!”Andra mengangkat panggilan masuk dari Marni.“Wa’alaikumsalam! Andra, besok tolong datang ke rumah! Ada hal yang mau mama bicarakan!”“Hal apa, Ma?”“Datang saja lah dulu! Mama tunggu!”Panggilan diputusnya begitu saja.“Mama, Mas?”Tari menoleh.“Iya!”“Ada apa?”“Besok kita di suruh ke rumah, oke kan, Sayang?”Tari mengangguk. Andra mengusap lembut pucuk kepala Tari. Satu kecupan mendarat pada dahi sang istri.“Belum keramas, ya?” goda Andra sambil mengkerutkan hidungnya.