Share

Bab 9

DIPANDANG SEBELAH MATA (9)

"Astagfirullah ...."

“Kemana istriku, Ya Allah?”

Andra masih terduduk lemas di lantai dapur sambil bersandar pada dinding rumahnya ketika terdengar derit pintu depan. Dia bangkit dan berjalan gontai menuju ke ruang tengah.

“Assalamu’alaikum!” 

“W*’alaikumsalam!”

Mata Andra membulat. Dia memburu wanita dengan gamis krem yang berdiri sambil menenteng plastik di tangan kanannya. Andra berhambur memeluknya. 

“Sayang, kamu habis dari mana?” Andra mencakup kedua pipi istrinya setelah melepas pelukannya.

“Maafin aku, Mas! Aku habis dari rumah ibu! Tadi aku coba hubungi kamu  tapi gak diangkat terus!” ucap Tari tampak merasa bersalah. 

“Kamu habis dari rumah Ibu? Kenapa Ibu?” Andra tampak khawatir. 

“Ibu kepleset di tangga masjid waktu lagi kerja bakti beres-beres masjid, Mas! Tadi siang Mbok Salma---tetangga sebelah rumah yang nelepon, aku khawatir kalau gak ke sana! Nelpon kamu gak di angkat-angkat,” ujar Tari. 

“Sekarang gimana keadaannya?”  

“Alhamdulilah sudah diurut juga tadi, Mas! Sudah baikan!” 

“Syukurlah!” 

“Kamu bau keringat sih, Mas? Emang baru pulang juga? Belum mandi, ya?” ucap Tari sambil mencubit pinggang Andra yang berdiri hampir tanpa celah.

“Mas baru sampe, Sayang!” ujar Andra sambil mengulas senyum. 

“Lain kali jangan pergi ke mana-mana sebelum Mas pulang, ya!” ujar Andra lagi.

“Hmm, kalau kayak tadi gimana, Mas? Aku 'kan panik sama khawatir sama Ibu! Nelpon kamu gak diangkat-angkat, Mas!” jawab Tari mengulangi lagi penjelasannya. 

“Iya, maafin aku juga!” ujar Andra.

Mereka berjalan beriringan menuju sofa. Tari meletakkan kantong plastik yang dibawanya. 

“Mas, aku siapin air hangat buat mandi, ya!” 

Andra mengangguk sambil menyandarkan tubuhnya pada sofa. Tari langsung menuju ke belakang dan menyiapkan air untuk sang suami. 

Mata Andra terpejam. Lelah sekali hari yang dia jalani. Berkali-kali menarik napas panjang, dihembuskannya perlahan. 

“Mas, Mas! Airnya sudah siap!” Tepukan lembut tangan Tari membuatnya mengerjap. Andra tersenyum menatap wajah sang istri. 

Andra beringsut bangkit dan menggeliatkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Satu kecupan mendarat di pipi sang istri sebelum dia berlalu ke kamar mandi. 

Andra tersenyum melihat wajah sangat istri yang bersemu merah. Namun Tari mengalihkan fokusnya pada makanan dalam kantong plastik yang dibawanya. 

Dia dengan cekatan memindahkan makanan dari dalam plastik ke wadah. Ditatanya di meja makan. Sementara gawainya disimpan di atas magic com.

Tidak berapa lama, Andra sudah keluar dengan wajah yang tampak lebih segar. Satu handuk kecil dia gunakan untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Sementara handuk lebar melilit di pinggangnya. 

“Malem-malem keramas, sih, Mas!” Tari yang tengah memeriksa gawainya melirik sang suami yang beranjak menuju kamar. 

“Iya, hari ini otak Mas berasa mendidih makanya mesti disiram air,” ujar Andra sambil terkekeh. 

Dia berjalan menuju ke dalam kamar. Namun sekilas melihat istrinya yang tampak sibuk dengan gawai di dekat magic com. 

“Itu HP kenapa disimpan di atas tempat penanak nasi?” Andra menoleh pada sang istri yang tengah membolak balikan gawainya. 

Tari mengerucutkan bibirnya. 

“Tadi waktu di rumah Ibu, HP-nya masuk ke bak mandi … mana bak mandi di rumah Ibu kan dalam! Jadinya agak kerendem lama! Susah ngambilnya tadi, Mas!” 

“Mati?” 

“Iya!” 

“Jangan taro situ, buka aja tutup belakangnya! Ambil batterynya, keringkannya pake kipas aja atau dijemur!” 

“Udah dibuka juga tadi siang, udah dipasang lagi tapi masih mati!” 

“Kalau simpan di situ bukan jadi bener, nanti malah mateng!” Andra terkekeh sambil berlalu. 

“Masa?” Tari menatap punggung sang suami yang bergerak menjauh. 

“Iya!” jawab Andra yang sudah tiba di depan pintu kamar. 

“Dari siang coba hubungi kamu kenapa gak diangkat-angkat, sih, Mas?” Pertanyaan Tari membuat tangan Andra yang hendak mendorong pintu kamar terhenti. 

“HP aku juga ilang!” jawab Andra sambil menoleh. 

“Eh!” Tari termangu mendengar jawaban sang suami. 

Andra tersenyum tak melanjutkan lagi perkataannya. Dia masuk ke dalam kamar dan gegas berganti pakaian. 

“Mas, ayo makan!” Suara Tari terdengar memanggilnya. Pintu kamar sedikit terbuka menampakan sosok cantiknya. 

“Ayo!" Andra menyimpan sisir yang tadi dia gunakan untuk merapikan rambutnya. 

Lelaki itu berjalan keluar kamar mengikuti sang istri. 

“Maaf, ya, Mas! Kamu pulang, aku gak ada di rumah! Tadi gimana cari kerjanya?” ujar Tari sambil menyendokan nasi ke piring Andra. Diambilkan juga beberapa lauk untuknya. 

“Ya, baru sehari Mas keliling … belum ada lampu hijau … besok kita cari sepeda motor bekas dulu ya, Sayang ke sorum! Benerin HP kamu terus cari HP bekas juga buat aku!” ujar Andra.

“Iya, Mas! Tapi kirim lamarannya banyakin lewat email aja, Mas! Nanti aku bantu carikan di lapak-lapak lowongan kerja online juga!” ujar Tari. 

“Ok, Sayang!” ucap Andra. 

“Eh, tadi aku ketemu Sesil di depan kantornya si Asril temen aku, Sayang!” ujar Andra sambil menyuap nasi ke mulutnya. 

“Oh, ya? Terus?” Tari menoleh. Beberapa detik dia memperhatikan wajah suaminya. 

“Ya, cuma tegur sapa biasa aja!” jawab Andra santai. 

“Udah nikah dia, Mas?” tanya Tari. 

Andra menggeleng kepala. 

“Kurang tahu sih, Sayang! Harusnya sudah nikah, soalnya dia lagi hamil!” ujar Andra menjelaskan. 

Tari terdiam mendengarkan penjelasan sang suami. Tidak ada garis kebohongan pada wajahnya. Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Ada sebuah beban yang berangsur berkurang. 

“Kamu emang gak kenal suaminya, Mas?” Tari masih mencoba menyelidik. 

Andra menggeleng. Dia tetap bersemangat menyuap untuk menghempaskan semua rasa lelah dan lapar yang mendera. 

“Aku sudah lama gak pernah berhubungan lagi sama dia, baru tadi ketemu lagi! Dulu waktu terakhir bareng aku  ... katanya mau nerusin S2 ke luar negeri! Tapi entahlah, setelah itu gak ada kabar lagi!” Andra kembali menjelaskan. 

Ada rasa bersalah di hati Tari mengingat beberapa hari ini dia sedang memendam curiga dan sedang menyelidiki semua kebenaran itu diam-diam. Tari menatap lekat pada wajah Andra. 

“Mas, anak itu … bukan anak kamu, kan?” Akhirnya pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. Tentunya setelah menguatkan hati dan mendapat petuah-petuah dari sang Ibu siang tadi. Masih terngiang jelas semua petuahnya yang panjang lebar. 

“Rumah tangga itu tidak cukup jika hanya berlandaskan cinta … tanpa rasa saling percaya dan keterbukaan maka akan cepat karam meski hanya diterjang gelombang kecil!” Begitulah sang ibu menasihatinya siang tadi. 

“Tapi tari takut, Bu! Takut andai semua itu benar, andai Mas Andra mengakui jika itu anaknya, andai dia ternyata masih menyimpan cintanya untuk wanita itu!” Tari kembali meluahkan semua rasa ketakutannya pada sang ibu. 

“Jangan pernah menyimpulkan sesuatu secara sepihak, itu bisa jadi fitnah dan berakibat fatal! 

Coba pengandaian itu kamu balik! Andai suamimu tidak bersalah, andai ada orang yang ingin menghancurkan pernikahanmu, andai dia tahu kamu mencurigainya diam-diam?

 Berpikirlah dewasa, Nak! Kamu sudah besar! Jangan mengulangi kesalahan yang sama dengan mencoba menanggung beban itu sendirian dan menyimpulkannya dalam diam! 

Ingat … dulu kamu terjerumus ke tempat seperti itu karena sikap tertutup dan pengandaianmu sendiri … jika kamu bercerita, bukan tidak mungkin … solusi akan datang dari siapa saja! 

Jangan pernah mengulangi dua kesalahan yang sama meski dalam kasus yang berbeda!” ujar wanita sepuh itu sambil meringis ketika Tari memijit kakinya yang terkilir.

“Apa kamu sudah cerita juga terkait Hans pada suamimu?” Wanita itu bertanya. Tari menggeleng sambil menghela napas. 

“Aku belum bercerita, Bu!” 

“Ceritakanlah … jangan sampai ada pihak lain yang menyampaikan padanya dengan ditambah-tambahi bumbu! Jangan pernah memelihara lagi sifat mendem seperti itu! Itu hanya akan jadi blunder, Nak! Percaya pada Ibu!”

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status