(17)
Hans berdecak kesal ketika hari ini kembali mendengar sebuah berita kegagalan yang dibawa Febriana. Bahkan baru beberapa hari Andra bergabung dengan Fahrezi grup perusahaan mereka sudah kehilangan dua project penting.
“Apa, perusahaan yang di Bandung itu juga membatalkan project kerja sama dengan kita?!” Mata Hans membulat sambil menatap Febri.
Gadis itu mengangguk takut-takut.
“Andra lagi?” selidik Hans.
Anggukan Febri kali ini menyulut emosinya. Sontak tangannya membabat semua yang ada di atas mejanya sehingga bunyi berdentingan dan gelas yang terjatuh menambah kacau suasana.
Febri memutar tubuh hendak meninggalkan sang atasan yang sedang mengumbar kemarahanny
(18)“Ayo, Sayang mulai baca!” Andra berbisik ketika menatap Tari masih termenung menatap deretan tulisan dalam Al-qur’an tersebut. Tari memejamkan mata sejenak kemudian menarik napas sebelum mamulai bacaan. Dia mengumpulkan ingatan bagaimana Tari kecil dulu bisa memenangkan lomba MTQ di sekolah. Meski sudah lama tidak lagi mengasah suara tapi dia meyakinkan diri kalau dia masih bisa.Setelah hatinya cukup yakin, terdengar suara lantunan ayat suci itu mulai dibacakan. Suara yang jernih mengalir. Bacaan yang tartil, tajwid yang tertata apik dan makhraj yang hampir sempurna. Andra bahkan tercengan ketika mendapati istrinya bisa membaca Al-qur’an sebaik itu. Biasanya dia memang mendengar sang istri bertadarrus tapi hanya dengan bacaan yang biasa.Beberapa orang menatap kagum. An
(19)“Tunggu saat kehancuranmu, Bajingan!” geramnya sambil menyeka air mata.Wanita itu berjalan gontai dan mencari angkutan umum. Dia tak henti menyeka air mata. Keputusannya mempercayakan hidup pada Hans ternyata kesalahan besar. Lelaki itu bahkan kini tak lagi pernah mengunjunginya semenjak keributan hari itu.Ditatapnya lekat foto-foto yang berhasil diambilnya tadi. Dia masih mencari waktu yang tepat kapan untuk mempublikasikan foto itu ke sosial media. Karena dia sangat tahu, sebelum membuat keributan maka dia harus mengamankan diri terlebih dulu. Hans itu lebih licik dari pada ular. Atau mencari celah lain agar foto itu bisa terkuak tanpa harus dirinya sendiri yang mempublikasikannya.Sesil masih membutuhkan waktu untuk berda
(20)Andra mengendarai sepeda motornya menjemput Aisha. Dari jauh tampak wanita bergamis panjang dengan kerudung lebar menjuntai itu sudah berdiri di depan toko Sentra. Ada dua paper bag ditentengnya.“Assalamu’alaikum!” Andra mengucap salam.“Wa’alaikumsalam!”Gadis itu bergegas naik ke jok motor Andra.“Maaf, Mas merepotkan!” ujar Aisha sambil naik ke sepeda motor milik Andra.“Iya, gak apa-apa! Untung kamu ingetin, Sha! Aku lupa belum siapin slide presentasi” ujar Andra sambil menyalakan sepeda motornya.&
(21)Sementara itu, Andra bergegas ke rumahnya. Melihat sang istri naik ke mobil dengan lelaki lain membuat darahnya terasa mendidih. Namun Andra tetap harus mengedepankan akal sehatnya bukan hanya mengikuti emosi.Setibanya di rumah. Andra bergegas mengganti pakaian kerja dengan pakaian santai. Barang-barang bawaannya disimpan ke dalam lemari dan dikuncinya.Andra ke luar rumah kembali. Dia segera menyalakan sepeda motor dan melaju mencari-cari jalan pintas agar bisa memangkas waktu. Rumah orang tua Tari tidak dekat, butuh masa untuk tiba di sana.Dalam pikiran Andra berkecamuk beragam pertanyaan. Apa yang terjadi dengan sang istri? Kenapa tiba-tiba minta pulang ke rumah ibunya, bahkan dia mengirimi pesan untuk menunggunya
(22)“Maafkan aku, Mas! Bahkan ketika kita belum bicara pun kamu masih sibuk bertelpon ria dengan Aisha. Aku merasa semakin kecil, minder dan rendah diri, Mas! Mungkin aku butuh waktu memantaskan diri … karena setiap berdiri di dekatmu aku merasa begitu hina bahkan di mata ibumu!” jerit batin Tari ketika sang suami baru saja kembali dan menutup telepon setelah berbicara dengan Aisha.Masa itu memang sudah berlalu, tapi selalu saja setiap kali mengingat itu hatinya terasa pedih, malu dan merasa rendah diri.Ramadhan sebentar lagi berakhir. Tari benar-benar sudah memutuskan untuk menata hatinya. Dia tidak sanggup kalau tiba-tiba mendapati kenyataan sang suami akan menikah lagi dengan wanita yang pastinya lebih baik darinya---Aisha.
(23)“Hallo, Ma! Assalamu’alaikum!”Andra mengangkat panggilan masuk dari Marni.“Wa’alaikumsalam! Andra, besok tolong datang ke rumah! Ada hal yang mau mama bicarakan!”“Hal apa, Ma?”“Datang saja lah dulu! Mama tunggu!”Panggilan diputusnya begitu saja.“Mama, Mas?”Tari menoleh.“Iya!”“Ada apa?”“Besok kita di suruh ke rumah, oke kan, Sayang?”Tari mengangguk. Andra mengusap lembut pucuk kepala Tari. Satu kecupan mendarat pada dahi sang istri.“Belum keramas, ya?” goda Andra sambil mengkerutkan hidungnya.
(24)"Ibu Anda mengalami gegar otak ringan ... lebih baik dirawat dulu di sini sambil melihat perkembangan kondisinya!" Dokter Harun menjelaskan pada Andra yang duduk di depan meja kerjanya."Apakah bisa pulih seperti sedia kala, Dok?" tanya Andra. Seburuk apapun perlakuan Marni, tidak akan ada yang bisa mengubah hubungan darah antara Ibu dan anak. Andra tetap berharap sang ibu baik-baik saja."Semoga! Kami akan melakukan perawatan terbaik sambil melakukan observasi atas kondisi kesehatannya!" ujar Dokter Harun lagi."Baik, makasih, Dok!"Andra berjalan keluar dari ruangan dokter Harun. Langkahnya tertuju pada dua ruang rawat yang berdampingan. Satu kamar terisi oleh Melati---kakak keduanya, sem
(25)Andra memijat pelipisnya. Satu cangkir teh hangat buatan sang istri menemani sore yang terasa penat itu. Permasalahan yang dibuat Hans ternyata cukup rumit. Dia meminjam uang atas nama perusahaan dengan nominal yang sangat besar. Sementara orderan dari beberapa customer sudah banyak yang beralih ke perusahaan lain. Beberapa penurunan kualitas dari produksi dan delivery cukup berpengaruh terhadap kestabilan order.“Mas, apa ada masalah?” Tari keluar dari dalam rumah menghampirinya yang tengah duduk di teras.Andra menoleh pada sang istri dan memasang senyum termanisnya.“Sedikit!” ucapnya. Meskipun sebetulnya hatinya menentangnya, karena itu bukan masalah yang sedikit sebetulnya.