Share

Bab 8

Namun ketika pintu kaca diketuk, wajah Andra terasa memanas menatap seseorang yang sedang bersama Asril di sana. 

Seringai merendahkan itu terlontar seketika, bahkan sebelum ada tegur sapa. 

“Tuan Andra yang terhormat, apakah gerangan yang membawa Anda kemari? Apakah Anda sedang mencari pekerjaan?” Hans menyeringai sambil bersedekap penuh kesombongan. 

Asril yang hendak menyapa mendadak salah tingkah. Dia hanya mematung menatap perubahan raut wajah Andra. 

“Bapak Hans, saya bermaksud bertemu dengan rekan saya---Pak Asril, bukan dengan Anda!” Andra masih mencoba melindungi harga dirinya. Meskipun memang benar apa yang dituduhkan oleh Hans---kakaknya. 

Hans tertawa. Kemudian menilik penampilan Andra dari atas ke bawah. Tak lama, lelaki itu menoleh pada Asril. 

“Bapak Asril! Saya pastikan Kerjasama project kita akan berjalan lancar dan perusahaan Anda akan mendapat banyak keuntungan … tapi dengan satu persyaratan dari saya!” Hans menggantungkan ucapannya. Andra sedang mencoba menstabilkan emosi yang tiba-tiba hendak meluap. 

“Apa itu, Bapak Hans?” Asril bertanya sambil menatap lelaki yang berdiri dengan angkuh yang ada di sebelahnya. 

“Syaratnya gampang … pastikan tidak ada karyawan yang bernama Gunandra Herlambang di perusahaan Anda! Itu saja! Saya permisi!” Hans menepuk pundak Asril dua kali kemudian dengan angkuhnya berlalu melewati Andra begitu saja. 

Seperginya Hans, suasana canggung sedikit pudar. Andra menutup pintu ruangan Asril. 

“Andra apa kabar?” tanyanya. 

“Baik, Ril!” Andra duduk pada kursi goyang di depan meja kerja rekannya itu. 

“Ada perlu apa? Sudah lama kita tidak bertemu!” ujar Asril tampak berbasa-basi. 

Andra menarik satu sudut bibirnya. Dia menatap Asril---teman kuliah seangkatannya. 

“Hans ada bicara apa saja sama kamu? Dia bilang kalau aku sudah keluar?” tanya Andra. 

Asril kali ini menghela napas. Dia menatap mantan teman kuliahnya itu. 

“Dia bilang bukan saja ke aku, tapi ke beberapa rekan lainnya yang memungkinkan akan kamu datangi untuk mencari pekerjaan!” ujar Asril tampak tak tega. 

“Ck! Pantesan!” 

Andra berdecak kesal. 

“Pantesan kenapa?” Asril mencari tahu. 

“Ferdi sama Hengki gak bisa ditemui!” ujar Andra sambil menyandarkan tubuh lelahnya pada sandaran kursi. 

“Kami diberikan pilihan sulit, Ndra! Mungkin bisa kamu cari list nama yang tidak terlalu dekat dengan kamu! Karena mungkin Hans akan mendatangi satu persatu kantor dan mengajaknya bersama mengerjakan project selama dia tahu orang itu ada keterlibatan denganmu di masa lalu!” Asril mencoba memberikan solusi. 

Andra berpikir sejenak. Dia merenung setelah mendengarkan saran dari Asril.

“Ok, thanks, Bro sarannya! Aku coba pikirkan siapa saja kemungkinan yang tidak akan didatangi Hans!” 

Andra berdiri, menyalami temannya itu. Dia tidak hendak menyalahkannya, terlebih memang dia tahu selama ini kondisi perusahaan Asril cukup tergantung terhadap jumlah order perusahaan yang kali ini dipimpin Hans. 

Andra melangkah meninggalkan lobi. Waktu sudah bergeser cepat. Dia berniat hendak pulang dulu karena tubuhnya sudah sangat penat. 

Dia saat dia tengah berdiri menunggu angkutan umum yang lewat, tangan seseorang menepuk bahunya. 

“Ndra! Lagi ngapain kamu di sini?” Seorang wanita tampak anggun sudah mematung didekatnya. Perutnya tampak sedikit buncit. 

“Hey, Sil! Biasa lagi jalan-jalan!” jawab Andra sekenanya. Kemudian dia kembali tak acuh. 

“Udah lama ya, kita gak ketemu,” ujar Sesil.

Andra hanya mengangguk. Sementara matanya tetap mencari-cari angkutan umum lewat. 

“Iya, lama!” ujarnya kemudian. 

“Eh, kamu udah nikah belum? Lihat nih perut aku sih udah besar! Ada bayinya di sini!” Wanita itu tanpa izin meraih tangan Andra dan meletakkannya ke perutnya. 

Andra terkejut, kemudian menarik tangannya dari genggaman jemari Sesil. 

“Hush, jangan gitu Sil! Nanti ada yang salah faham!” ujar Andra. 

Wanita itu tertawa memperlihatkan deretan gigi putihnya. Kemudian menepuk bahu Andra dua kali. 

“Aku duluan, ya, Ndra! Ada perlu! Salam saja buat istrimu!” ujarnya sambil melenggang pergi. 

Andra mengangguk. Beberapa saat masih berdiri di sana hingga akhirnya dia mendapati sebuah angkutan umum lewat. 

Dia duduk sambil menyandarkan tubuhnya. Guncangan kendaraan membuat tubuh lelahnya perlahan hilang kesadaran. Andra tertidur tanpa memberitahukan dulu pada sang sopir terkait tujuannya. Entah berapa lama dia tertidur. Ketika dia mengerjap tampak hari sudah gelap. Samar terdengar dari pengeras suara pemberitahuan waktu buka akan segera tiba. 

“Ya ampuuun, ketiduran ternyata!” Andra mengerjap sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. 

“Pak, Perumahan Citra Kenangan udah kelewat, ya?” tanyanya sambil menggisik mata. Ada beberapa penumpang juga di sana yang masih tersisa. 

“Wah sudah jauh, Pak! Tapi kita mau putar balik juga setelah sampai pangkalan nanti!” ujar sang sopir. 

“Pak, saya turun di sini saja!” Andra merogoh sakunya kemudian memberikan pecahan recehan dari kantong kemejanya.

Dia berjalan menuju masjid terdekat untuk salat magrib dan buka pausa dulu di sana. Andra membeli air mineral dan satu gelas plastik kolak. 

Masjid kecil itu tidak terlalu ramai. Di situ tidak ada juga orang yang berbagi takjil gratis dan lainnya. Andra berselonjor di teras masjid. Dia sandarkan tubuhnya sambil menunggu adzan yang akan tiba beberapa menit lagi. 

Dia merogoh saku celana hendak mengambil gawai untuk mengabari Tari. 

“Astagfirulloh! Ponselku kemana?”

Andra tampak sibuk mencari-cari gawainya. Namun memang tidak ada. Hanya di saku baju dan celana tempatnya. 

“Ya Allah! Gimana aku mengubungi Tari … dia pasti khawatir!” Andra menarik napas panjang. Dia tenangkan hatinya agar bisa berpikir jernih. 

Kumandang adzan terdengar. Maghrib sudah tiba. Andra membuka botol air mineral yang dibelinya. Setelah mengucap doa dia meneguk tetesan demi tetesan pelapas dahaga. 

“Alhamdulilah!” 

Seluruh penat, panas dan haus yang luar biasa seketika sirna. Hampir setengah botol air mineral tandas diminumnya.

Dia beralih pada gelas plastik yang berisi kolak. Namun belum sempat dia menyuap. Tampak di sudut halaman masjid seorang kakek tua sedang berselonjor. Wajahnya tampak lelah, melebihi dirinya. 

Andra merogoh sakunya, bermaksud hendak membelikan lelaki tua itu makanan. Namun ternyata uang di sakunya sudah tidak ada, begitu juga dalam dompet kulitnya. 

Andra berdiri dan menghampiri sang Kakek. Dia berjongkok di depannya. 

“Kek, ini silakan!” Andra menyodorkan gelas plastik kolak miliknya untuk Kakek itu. 

Mata lelaki tua itu terbuka. Dengan tangan gemetar dia menerima kolak itu dari Andra. 

“M-makasih, Nak!” ucapnya.

Anggukan dari Andra mengakhiri percakapan mereka. Meski perutnya sudah keroncongan tapi menatap sang kakek menyantap kolak dengan lahapnya membuat Andra bisa tersenyum.

“Ya Allah ... lapangkanlah rizkiku agar bisa menyisihkan untuk orang-orang seperti mereka!” bisiknya dalam dada. 

Andra bergegas mengambil wudhu dan menunaikan salat maghrib dengan khusuk. Doa mengalun lembut setelah zikir terlantun.

“Ya Allah ... aku tahu setiap ujian itu adalah untuk kenaikan kelas ... aku hanya memohon padamu, kuatkan aku agar jiwaku lebih tangguh dari pada masalahku ... mampukan aku menghadapi semuanya! “

Doanya terus mengalun dari hati. 

Setelah salat selesai dan tenaganya pulih, Andra segera berjalan meninggalkan masjid kecil itu dan mencari tukang ojek pangkalan. 

Menjelang isya, dia tiba di rumah. Namun keadaan rumah masih gelap. Hatinya sudah berdebar karena tidak biasanya seperti ini. Andra membuka kunci tergesa kemudian masuk dan menyalakan lampu. 

“Assalamu’alaikum! Sayang!” 

“Sayang!” 

Berulang tapi masih tidak ada jawaban. Gegas melangkah ke kamar tapi sang istri juga tidak ada. Dia segera mengambil uang dari dalam laci dan membayar tukang ojek yang masih menunggunya. Setelah itu bergegas masuk kembali ke dalam. 

Andra mencari ke dapur, ke kamar mandi juga ke kamar satu lagi, tapi Tari masih tidak ditemukannya.

Lututnya lemas tak lagi bertenaga. Tubuhnya luruh ke lantai sambil terus mengucap istighfar. 

"Astagfirullah .... "

“Kemana istriku, Ya Allah?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status