Pukul tujuh belas lima menit, David sudah menunggu Adelia di parkiran gedung perkantoran yang tadi siang ia datangi. Para pekerja satu persatu sudah mulai meninggalkan kantor. Beberapa menghampiri pasangannya yang menunggu di parkiran sama seperti David. Ada yang tengah hamil, ada yang dijemput oleh suami dan anak-anaknya. Sebuah pemandangan yang membangkitkan harapan David akan kejadian masa depan yang mungkin akan dilaluinya bersama Adelia.
Dari lobi gedung tampak Adelia keluar sambil membawa tas jinjing dan beberapa berkas dalam map berwarna biru. Ia tampak melambaikan tangan pada rekan kerjanya, lalu melangkah dengan ringan ke arah mobil David. Wajahnya masih segar seperti tadi siang. David menduga sebelum pulang ia merias ulang lagi riasannya. Sama seperti rekan guru David pada umumnya.
“Udah lama ya?” ujar Adelia begitu membuka pintu.
“Ah, enggak ... paling sepuluh menit,” jawab David sembari mengenakan sabuk pengaman. “Ini langung ke rumah atau kemana
Pukul dua puluh lewat empat puluh menit David pamit pulang. Pak Ruslan mengingatkan lagi tentang permintaannya menjadikan temu keluarga sekaligus proses lamaran. Bu Ratri dan Adelia mengantarkannya sampai ke teras. Calon ibu mertua David itu mengusap-usap bahu David seolah memberikan dukungan atas sikap dingin suaminya. Sekaligus menguatkan David agar tetap bersedia mendampingi putrinya.Lambaian tangan dan senyuman dua ibu dan anak itu mengakhiri makan malam tak nyaman David bersama calon mertuanya. Bau kerumitan kehidupan rumah tangga dalam hal hubungan dengan keluarga istri sudah tercium sejak dini. Seandainya dulu ia tidak menyerahkan sepenuhnya hal ini pada Adelia, mungkin ceritanya tak akan seperti ini. Mereka berdua seolah melompati sebuah proses untuk melewati proses lain yang lebih berat sebelum mencapai tujuan yang sama.David membelokkan mobilnya ke sebuah minimarket yang sering bersebelahan dengan kompetitornya. Minimarket franchise bermaskot lebah ini menj
[“Assalamualaikum, Bu. Sehat ya, Bu?”] sapa David setelah Laras memberikan sambungan telepon pada Ibunya. [“Wa’alaikumussalam ... Alhamdulillah sehat, Vid.”] [“Begini, Bu ... untuk sabtu ini aku dan Adelia minta ijin gimana kalo langsung lamaran aja, jadi cukup sekali aja Bapak dan Ibu ke sana. Terus kita datang lagi waktu akad,”] David mencoba merangkai kata sesopan mungkin agar Ibunya tak tersinggung. [“Kenapa, Vid? Apa yang terjadi sama Mamanya Adelia?”] suara Bu Maryam terdengar panik. [“Aku nggak tahu persis, Bu. Tapi ini permintaan orang tua Adelia, mungkin takut terjadi apa-apa. Infonya kondisi Mamanya beberapa hari ini kurang stabil.”] David dengan berat hati berbohong pada Ibunya. [“Ooh, kalo kami di sini nurut aja, Vid. Sebenarnya nggak ada istilah temu keluarga di keluarga kita dari dulu. Cuma kemarin kan kalian ke rumah bilangnya mau temu keluarga dulu, ya Bapak Ibu nurut aja. Ibu pikir itu adat keluarganya Adelia,”] terang Bu Mary
Jumat pagi, David bertukar kendaraan dengan Andra sampai siang hari. Andra merencanakan kencan pertama dengan orang baru, seorang mahasiswi semester tiga, belum menyentuh usia dua puluh. Ia begitu bersemangat mencoba menjalin hubungan baru. Sementara David memilih untuk berolahraga bersama Adelia sejak pukul enam. Hari ini mereka berdua sama-sama ambil cuti untuk persiapan lamaran esok. Adelia berhenti terengah-engah setelah menyelesaikan satu putaran lapangan sepakbola. Ia tampak menunduk menyandarkan kedua tangan pada lutut dan berusaha mengatur napasnya. David yang sudah berlari lebih dulu, kembali lagi menghampiri kekasihnya itu. “Mau istirahat?” “Kamu?” “Aku sekali lagi ya? Nggak apa kan?” “Aku tunggu di sini aja ya?” Adelia langsung duduk dengan meluruskan kakinya. Napasnya masih tersengal, belum dapat ia atur. David melanjutkan jogging memutari lapangan sepakbola itu sekali lagi. Banyak juga orang-orang yang berolahraga di temp
“Gimana kencan Lu, Bro?” “Ah, susah kalo masih bocah, Vid,” keluh Andra. Ia meletakkan kunci mobil David di atas meja, lalu menyandarkan diri di bean bag seketika menghembuskan napas panjang. “Lah kenapa?” David meraih kunci motor Andra di sling bag-nya dan melemparkan ke samping Andra. “Masa kencan temen-temen satu gengnya ikut semua. Kan tiba-tiba merasa dimiskinkan gue. Untung bensin Lu banyak,” lanjut Andra. “Jadi?” “Ya udah, nggak gue lanjutin dah pedekate-nya,” Andra melenguh pasrah. “Bukan, bensin gue ... Lu isi nggak?” “Ya ... enggak lah, kan gue udah miskin tadi,” kilah Andra. Ia menoleh ke arah David, lalu cepat-cepaat mengambil kunci mobil dan pergi meninggalkan kost. David tersenyum namun juga miris melihat sahabat langkanya itu. Jika boleh David sempat terpikir untuk mengkarantina Andra, dan mengembangbiakkannya agar tidak punah. Persahabatan mereka berdua sudah pada tahap tidak mengenal s
“Halo, Pa. Cepat pulang, Mama jatuh di kamar mandi.” Suara Adelia terdengar begitu panik.“Hah? Iya, Nak. Papa pulang, kondisi Mama gimana ini?” jawab Pak Ruslan, ia masih disibukkan dengan banyak pesanan furniture.“Masih nggak sadar, Pa.”“Sementara hubungi dokter Zul tetangga kita. Dia mau kok datang ke rumah, darurat ini. Papa segera pulang, Nak,” tutup Pak Ruslan.Pak Ruslan meneguk kopi terakhirnya. Ia segera meraih kunci mobil yang tergantung di dinding ruang kerja. Beberapa konsumen yang sudah buat janji untuk datang, ia batalkan via pesan singkat. Ia mempercayakan semua pekerjaan pada seorang pekerja senior kepercayaannya. Kini yang ada di benaknya hanyalah Ratri Kecil, panggilan sayangnya untuk sang istri.Istrinya dulu adalah teman sepermainan di kampung. Teman saling ejek dan teman mengaji di surau. Ratri sangat mirip dengan ibunya. Itulah asal panggilan Ratri Kecil. Sedang ibunya
David dan keluarganya sudah memasuki batas kota. Tidak ada rombongan besar, hanya ada keluarga inti ditambah Andra. Agar orang tuanya nyaman karena juga membawa bingkisan dan buah tangan, David memutuskan untuk menyewa mobil tiga baris. Andra menawarkan diri untuk mengemudi dari pada duduk di baris ketiga bersama barang bawaan. Sepanjang perjalanan ia sengaja banyak berkelakar, terutama dengan Bapak untuk menghilangkan ketegangan dan mencairkan suasana. Lima menit lagi mereka akan tiba di rumah Pak Ruslan. Perasaan David jadi semakin tak menentu. Dia antusias, tapi juga sekaligus cemas. Ia khawatir Pak Ruslan akan tak terkendali. Wajar saja yang ia tahu anak gadisnya telah dinodai. Jika memang akhirnya ia mengatakan perihal kehamilan Adelia, David hanya bisa pasrah. Kemarahan orang tuanya sudah pasti akan meledak. “Vid, santai aja lah ... tegang amat kaya mau disunat,” ledek Andra. “Hush! Andra, kamu jangan ngeledek terus, kamu ini belum merasakan lho!” ujar
“Maaf, Vid....”“Apa ini termasuk rencanamu dan Mama?” bisik David.“Nggak, Vid. Ini murni rencana Papa,” jawab Adelia.“Del, sini....” Bu Maryam melambai pada Adelia memintanya mendekat.Sesungguhnya Adelia merasa tak nyaman dengan permintaan Papanya. Apalagi tempo hari atas nama Papanya juga ia meminta untuk langsung melakukan lamaran alih-alih temu keluarga. Tapi untuk berargumen di depan orang tua David tentulah tak mungkin. Berisiko untuk menimbulkan pertanyaan lanjutan.“Kamu mau mas kawin apa, Nak?” tanya Pak Ahmad.Adelia terhenyak, ia bahkan belum membicarakan hal ini dengan David. Ia tentu ingin mas kawin yang spesial. Yang kekinian semisal uang berjumlah tanggal pernikahan atau tanggal ulang tahun. Sepertinya keinginan itu harus disimpan dalam-dalam. Dengan keputusan Papanya yang mendadak ini, hal yang paling mungkin adalah meminta mas kawin yang mudah dan bisa disanggupi
“Hai, Daud Vikri Darussalam bin Ahmad Darussalam.” “Ya, saya!” “Saya nikahkan putriku, Adelia Putri binti Ruslan Zain kepadamu, dengan mas kawin cincin emas seberat 5 gram dibayar tunai!” Pak Ruslan menghentakkan tangannya ke bawah. “Saya terima nikahnya, Adelia Putri binti Ruslan Zain dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” jawab David lantang. “Bagaimana saksi? Sah?” tanya Pak Zakaria. “Sah!” jawab Andra dan Pak Syahrul, paman Adelia kompak. “Alhamdulillah....” Pak Zakaria kemudian memimpin doa, melafalkan syukur dan pujian bagi Allah atas terlaksananya akad nikah David dan Adelia. David mengadahkan tangannya mengamini doa Pak Zakaria yang entah sudah berapa ayat. Tak ada kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaannya kini. Gadis cantik di sebelahnya kini sudah sah menjadi istrinya. Ia mengadahkan tangan dan mengamini doa yang sama. Sudah banyak hal yang mereka lewati penuh debar tak beraturan. Dan kini mereka akan memul