Aku tersentak dari tidur dengan jantung berdegup kencang. Bulir keringat dingin meluncur dari dahi. Pandanganku mendelik,fokus ke pojok lemari. Tidak ada apa pun. Aku mengurut dada yang terasa sesak. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan panjang.
"Cuman mimpi." Aku bergumam. "Tapi, seperti nyata," lanjutku.Lamat-lamat terdengar suara azan subuh. Aku memilih pergi berwudhu. Sebelum melaksanakan salat, aku mengetuk pintu kamar Ibu. Namun, Ibu tidak membukanya. Mungkin beliau masih tidur. Aku memilih untuk salat terlebih dahulu.Ketika sedang berzikir sembari menutup mata, rentetan wajah Kak Nayla muncul di pikiran. Berawal dari jasadnya yang dibawa oleh ambulans. Luka kering serta memar di wajahnya. Ketika dimandikan, perutnya yang terlihat membuncit serta bekas jari di lengannya.Terlebih lagi, mimpi yang baru saja kualami. Kak Nayla meminta tolong kepadaku. Ia seperti ingin memberiku sebuah petunjuk. Mataku sontak melebar, ketika mengingat segumpal daging mirip janin meluncur dari bagian tengah sosok Kak Nayla di mimpiku tadi."Apa yang terjadi denganmu selama di kota, Kak?" lirihku bertanya pada udara. Hati terasa perih ketika membayangkan jika Kak Nayla benar-benar hamil.Siapa yang menghamilinya? Benarkah kematiannya karena kecelakaan, atau disengajai oleh seseorang demi menutupi sebuah kejahatan?Kata Bu Inah di telepon kemarin malam, Kak Nayla kecelakaan saat ke pasar. Kak Nayla menjadi korban tabrak lari. Katanya juga, di rumah majikannya ada salah satu anak sang majikan yang menjadi anggota kepolisian. Pemuda tersebut sudah memenjarakan pelaku yang menabrak Kak Nayla. Majikan mereka juga membayar biaya kepulangan jenazah Kak Nayla, serta memberikan pesangon yang banyak untuk mengurus segala keperluan."Benarkah apa yang disampaikan oleh Bu Inah itu?" Perasaan bimbang dengan apa yang terjadi.Firasatku mengatakan, Kak Nayla bukan meninggal karena kecelakaan, tetapi disengajai oleh seseorang. Terlebih lagi, ketika mengingat perut Kak Nayla yang membuncit."Apakah benar Kak Nayla hamil? Siapa yang telah menghamilinya?"Dadaku terasa memanas, tangan mengepal erat."Astaghfirullah-ala'azim ...." Aku berusaha menetralkan perasaan yang memanas. Aku memang sangat cepat dikuasai emosi."Ya Allah, kumohon kepada-Mu, berikanlah Kak Nayla tempat ternyaman di sisi-Mu. Ampuni segala dosa-dosanya selama hidup di dunia. Dan kumohon kepada-Mu, bukalah tabir jika memang kematianya disebabkan oleh seseorang. Berilah diriku petunjuk agar jiwanya bisa tenang di alam sana."Selesai salat, aku keluar kamar. Kembali mengetuk pintu kamar Ibu. Dia akhirnya keluar dengan mata sembab. Ibu pasti menangis semalam."Ibu mau makan apa? Biar Nilfan buatkan, deh," ucapku berusaha menghiburnya.Ibu hanya menggeleng lemah. Sorot matanya kosong. Aku kasihan melihat beliau seperti itu. Jika aku Kak Nayla, pasti sudah berhasil membuat Ibu tersenyum. Aku tidak sepandai Kak Nayla yang bisa berkata-kata manis untuk menghibur seseorang."Nilfan mau ke kebun dulu periksa sayuran, Ibu mau ikut?" Ucapanku lagi-lagi hanya ditanggapi gelengan olehnya.Napas kasar kuembuskan. "Ibu jangan seperti ini, Kak Nayla pasti akan sedih jika melihat Ibu begini terus!"Tiba-tiba Ibu mendongak, menatapku dengan nyalang juga berkaca-kaca. "Na-Na ... Nayla, datang. Dia mi-minta tolong ...." Ibu terisak-isak.Apa Ibu memimpikan Kak Nayla juga?"Tenang, Bu. Nilfan pasti akan bantu Kak Nayla!" Aku memeluknya. Memberi dia kekuatan.**Setelah Ibu merasa lebih baik, aku memilih untuk ke kebun. Memeriksa sayuran.Hari sudah mulai siang. Aku pulang dengan membawa sekeranjang sayuran yang kupanen hari ini. Jarak antara rumah dan kebun sekitar 50 meter. Aku mengayunkan kaki dengan malas, otakku dipenuhi tanda tanya kematian Kak Nayla."Nilfan, Nilfan, i-ibumu ...!" Andy datang tergopoh dengan wajah panik."Ada apa dengan Ibu?" Aku pun dibuat ketakutan oleh ekspresinya itu. Tanpa sadar, aku menjatuhkan bakul keranjang dan langsung lari ke rumah, tanpa mendengarkan penjelasan Andy.Sampai di depan rumah, tubuhku menegang. Pandangan terpaku pada seorang wanita yang terbaring di teras dengan kepala banjir darah.Rasanya bagai disambar petir di siang bolong dengan apa yang kulihat. Dada terasa panas dan tubuh gemetaran ketakutan. Air mata meluncur begitu saja."Ibuu!" Aku menghambur di pelukannya. "Apa yang terjadi dengan Ibu? Kenapa kalian diam saja, tolong panggilkan ambulans!" teriakku bagai kesetanan."Pria itu yang menabraknya!" Seseorang menunjuk pemuda yang sedang dipegang oleh warga.Mataku langsung menatap nyalang pada pria yang sedang menatap dengan nanar itu. Seorang pria asing berpakaian seperti berandalan. Ber-alis tebal dan bermata elang. Dia ikutan menatapku dengan mata elangnya tersebut."Kurang ajar, beraninya kau!"Aku langsung berlari ke arahnya, melayangkan bogem mentah yang sukses mendarat di hidung mancungnya. Dia yang sedang dipegang oleh beberapa warga tidak bisa menghindari pukulanku. Terlihat hidungnya meleleh cairan kental kemerahan.Aku mencengkeram kerah jaket jeans-nya, menatap dia tajam."Kalau sampai terjadi apa-apa sama ibuku, kau tidak akan saya lepaskan!" Aku mengempaskannya."Ibu lo yang salah, dia tiba-tiba aja nongol di depan mobil gue!" Pria tersebut berbicara dengan gaya khas anak kota. Jika diperhatikan, memang pria itu terlihat asing.Ambulans datang, beberapa tetangga membantu mengangkat tubuh Ibu masuk ke ambulans. Aku ikutan naik, tetapi pandangan tetap melirik tajam ke pria kota tersebut. Jika sampai Ibu kenapa-napa, maka tidak akan aku lepaskan pria itu!Terdengar beberapa bapak-bapak mengusulkan membawa pemuda itu ke kantor polisi. Sang pemuda memberontak, tidak ingin dibawa ke kantor polisi. Dia menatapku tajam yang perlahan mulai menjauh dibawa mobil ambulans."Ya Allah, jangan sampai ibuku kenapa-napa, tolong selamatkan dia, Ya Allah." Aku tidak henti-hentinya berdoa kepada Tuhan."Cukup Kak Nayla saja yang meninggalkanku, jangan ambil malaikat tak bersayapku juga ini." Air mata tidak berhenti mengalir. Aku sangat dilanda ketakutan. Bayang-bayang ditinggalkan oleh orang tersayang, menari-nari di kepala.Jarak ke rumah sakit memang lumayan jauh. Butuh waktu sekitar satu setengah jam untuk sampai.Mobil ambulans berhenti di pekarangan gedung berlantai tiga dengan tulisan di atasnya, 'Rumah Sakit Paramitha'. Sebuah rumah sakit yang baru berdiri sekitar 5 tahun yang lalu. Fasilitasnya pun sangat lengkap, seperti rumah sakit besar yang ada di kota.Aku membantu mendorong brankar Ibu, membawanya masuk ke UGD.Andy datang untuk menguatkanku. Dia selalu ada di saat aku butuhkan. Layaknya seorang abang kepada adiknya."Kamu yang sabar, yah, Nil. Do'ain aja, semoga ibumu baik-baik saja." Andy mendaratkan tangannya di pundakku. Memberi kekuatan.Aku mengembuskan napas kasar, lalu memandang Andy dengan mata basah. "Bagaimana bisa Ibu sampai kecelakaan?" tanyaku dengan suara parau."Tadi, di saat lewat depan rumahmu, aku melihat ibumu yang sedang bertengkar dengan para ibu-ibu di warung Bu Patmi. Biasalah, mereka sedang bergosip. Yang jadi masalah dan sampai buat ibumu marah ialah, karena mereka menggosipkan kakakmu ...." Andy menggantung kalimatnya. Dia menatapku dengan ekspresi ragu."Apa?" desakku."Emm, mereka bilang, kalau kakakmu ... hamil." Andy menundukkan kepala di saat mengucapkan itu.Aku menatapnya tajam dengan tangan yang mengepal erat. Napasku naik turun dengan cepat disertai kepala yang kian memanas. Bukan ingin menghajar Andy, tetapi ingin menghajar ibu-ibu yang sudah bergosip tentang Kak Nayla dan menjadi penyebab Ibu kecelakaan.Bunyi pintu yang berderit, membuatku mengesampingkan emosi terlebih dahulu. Gegas aku mendekati sang dokter."Bagaimana keadaan Ibu saya, Dok?" tanyaku cepat."Ibu Anda dalam keadaan kritis. Ada pendarahan di otaknya, harus segera dilakukan operasi. Segera bayar biaya administrasinya, agar kami bisa melaksanakan operasi!" terang sang dokter yang membuatku terhuyung.Andy menahan diriku agar tidak terjatuh."Anda baik-baik saja?" Dokter menampakkan raut khawatir."Hmm." Aku mengangguk pelan. "Kira-kira, berapa biaya operasinya, Dok?" lirihku."Sekitar 100 juta."Mataku membulat disertai napas yang tercekat di tenggorokan. Aku mundur perlahan dengan mata berembun. Sontak rasa takut menyelimuti hati. Bagaimana caranya aku membayar biaya operasi Ibu? "Kalau begitu, saya permisi dulu. Mohon untuk segera diurus administrasinya, agar ibu Anda segera dioperasi!" Sang dokter kembali masuk ke dalam ruangan Ibu. Aku memijit pelipis, kepala terasa berat. Aku benar-benar tidak tahu harus mencari uang sebanyak itu di mana. "Kamu yang sabar, Nil, saya pasti membantumu.""Bagaimana caranya saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu, Andy?" Pikiran ini kalut. "Saya akan coba cari beberapa pinjaman. Saya juga akan gadai motorku, yang penting kita bisa selamatkan ibumu," ucap Andy mantap. "Ayahmu pasti nggak akan mengizinkannya. Dia pasti akan memarahimu jika melakukan hal itu." Rasanya dadaku seperti dihimpit baru besar. "Jagalah ibuku sebentar, saya mau pergi cari pinjaman dulu." Aku bangkit melangkah keluar. Namun, Andy mencekal lenganku. "Kamu mau ke m
Setelah dua minggu pasca pemulihan Ibu, aku memutuskan untuk segera ke kota. Bu Inah terus-terusan menelepon, menanyakan kapan aku akan ke sana. Aku naik kereta menuju ke ibu kota Jakarta. Melambaikan tangan ke arah Ibu dan Andy. Mereka mengantarku sampai ke stasiun. Senyum paksa terpatri di bibir ini. Jujur, aku berat meninggalkan Ibu sendirian. Namun, aku harus menyelidiki kasus kematian Kak Nayla juga membayar utang operasi. Dengan matanya yang berkaca-kaca, Ibu menatap putri bungsunya ini yang perlahan menjauh dibawa kereta."Cepatlah kembali, Nil. Hati-hati!" Berulang kali Ibu mengatakan hal itu tadi. Sedari di rumah sampai aku menjauh dibawa oleh kereta. Andy merangkul Ibu, lalu mereka pergi dari stasiun. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu meniup poni hingga tersibak. "Semangat, Nilfan! Demi Ibu, demi Kak Nayla!" ucapku menguatkan diri agar tidak mewek. Ini pertama kalinya aku keluar kota. Sedari kecil, aku selalu di samping Ibu, bermanja-manja dengannya. Namun, sekarang a
Mataku melotot melihat wajah si pemuda. Kepalan yang tadinya hendak kudaratkan di wajahnya, terhenti di udara. Pemuda itu menatapku dengan nyalang serta rahang yang mengeras. Hidung mancungnya itu, kembali meleleh cairan kental kemerahan. "Ada apa ini?" Suara seorang wanita dari arah belakangku, mengalihkan keterpakuan di antara kami berdua. Sontak aku melepaskan cengkeraman dari lengan si pemuda. Menjauh darinya, sedangkan dia masih menatapku penuh amarah. Dia, pemuda yang sudah menabrak Ibu beberapa minggu yang lalu. "Di mana pencurinya?" Lagi, wanita itu bersuara. Bertanya kepadaku. Aku menghadapnya, terlihat seorang wanita seumuran ibuku berdiri di hadapan dengan mengenakan piama berwarna ungu. Di samping wanita itu, berdiri seorang pria yang sedikit memiliki uban di pelipis. Mereka berdua memandangku dengan alis bertaut. Di belakang mereka sana, Bi Inah tergopoh datang kemari. "Astaga ... Zhafran! Kamu nggak apa-apa, Nak?" Wanita itu memegang dagu si pemuda yang kupukul ta
Pikiranku seketika melayang ke beberapa minggu yang lalu, tepatnya setelah sehari dikebumikannya Kak Naila. Aku teringat dengan Zhafran yang datang ke kampung waktu itu. Ada urusan apa ia sampai datang ke kampungku? "Nilfan, sudah selesai belum?" tanya Bi Inah membuyarkan lamunanku. Segera aku memberikan sayurannya. "Ini, Bi.""Lanjutkan, Nil. Masak sayurannya sana!" ucap Bi Inah tanpa menoleh. Dia tetap fokus membuat ayam goreng. "Bi, emm ...." Ragu-ragu aku berucap. "Apa?" Bi Inah menoleh, mengahadapku. "Kak Naila ... punya pacar enggak, Bi?" tanyaku mencoba memancing, kira-kira Kak Naila ada hubungan dengan Zhafran atau tidak. Seketika raut wajah Bi Inah berubah. Tadinya wajah itu terlihat santai, tetapi sekarang berubah tegang. Mataku menatapnya tajam, menyelisik wajah Bi Inah. Melihatku yang menatapnya tajam, wanita itu langsung melirik kiri-kanan, seperti orang yang sedang berusaha mencari sebu
Zhafran mengempaskan tanganku ketika sudah berada di dalam kamar. Dia beralih untuk menutup pintunya. Pandanganku mengedar ke sekiling. Kamar bernuansa hitam putih yang luasnya sekitar 10×10 ini, penuh dengan dekorasi rock and roll di setiap pojok dan sudut dindingnya.Terlihat di atas nakas sana, foto pria berandalan itu terpajang. Ternyata ini kamar Zhafran. Kenapa dia mengajakku ke kamarnya? Pikiran buruk langsung melintas, memenuhi kepalaku. Setelah menutup pintu, Zhafran mendekatiku dengan raut datar. Tidak ada ekspresi di wajah tampan itu. Eh, tunggu, apa aku barusan bilang dia tampan? Cih! Aku menelan saliva dengan susah payah, menatap pemuda itu dengan waspada. Lantas, pandangan melirik kiri-kanan, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk senjata. Aku bukan Kak Naila yang selalu menyelesaikan masalah dengan cara yang lembut. Akan kuberi pria itu pelajaran, jika sampai berani kurang ajar! Zhafran terus mend
Tangan kanan yang menjadi pegangan terlepas. Membuat kedua kakiku juga tergelincir. Aku terjatuh."Kyaaak!"Sempat kulihat Zhafran berlari ke arahku dengan ekspresi tegang, sesaat sebelum aku menutup mata. Tidak berani melihat akan seperti apa tubuhku nanti terhantam oleh tanah. Pasti akan sangat menyakitkan dengan tulang-tulangku yang akan patah.Puluhan detik berlalu, belum juga kurasakan tubuhku menghantam tanah atau kesakitan. Aku masih sama, menutup mata dengan tubuh menegang. Belum berani untuk membuka mata. "Naila ...."Suara lembut seseorang menyapa telingaku. Perlahan, aku membuka mata. Menampilkan pria berwajah oval, alis tebal, hidung mancung, serta berahang tegas. Mata cokelatnya dinaungi oleh bulu mata yang tebal. Untuk sesaat, aku merasa nyaman berlama-lama memandang mata teduhnya. Mata itu juga memandangku penuh binar, entah kenapa? Aku beralih memandang ke atas, tempat di mana aku terja
Sontak aku mengangkat kepala, alis kembali mengernyit mendengar perkataan Bryan. Dari mana dia tahu misiku yang sebenarnya ke rumah ini? Mataku mendelik, menatap mata teduh Bryan dengan tajam, sedangkan dia tetap menatapku lekat. Berekspresi santai. 'Apakah saya harus jujur atau mengelak?' batinku bertanya-tanya. Aku menghela napas dalam. "Untuk bekerja," jawabku kemudian. "Ok." Bryan hanya menyahut singkat, lalu melanjutkan makan. Aku pikir akan gampang menemukan pelaku yang bertanggung jawab atas kepergian Kak Naila, tetapi ternyata aku salah. Terlalu banyak tanda tanya. Terlalu banyak teka-teki di rumah ini. Keluarga ini juga menurutku sedikit aneh. Bagaimana mungkin seorang petugas kepolisian bisa seatap dengan seorang berandalan. Kakaknya anggota kepolisian, sedangkan si adik seperti berandalan. "Semoga betah bekerja di sini."Selesai makan, Bryan berucap. Melirikku sekejap, lalu pergi dari
Aku ingin sekali melihat keadaan di dalam. Namun, celah pintu ini begitu kecil, aku tidak bisa melihat siapa pun di dalam sana. Hanya bisa mendengar suara mereka berdua. Tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang menepuk pundak. Karena masih sibuk menguping pembicaraan di dalam, aku hanya menempelkan telunjuk di bibir seraya berkata, "shuut!" Tanpa menoleh untuk melihat siapa yang menepuk pundakku. Orang itu kembali menepuk pundakku, bertambah keras. Aku kesal padanya yang menganggu acara mengupingku. Segera aku berbalik dengan ekspresi kesal. "Apa s---" Aku menggantung kalimat dengan mata membulat, melihat Zhafran yang berada di belakangku. Aku menelan saliva dengan susah payah. Sangat malu karena ketahuan sedang menguping, sedangkan Zhafran seperti biasa, menatapku datar. "Lo ngap---"Belum sempat Zhafran menyelesaikan kalimatnya, gegas aku berjinjit dan membekap mulutnya. Menempelkan kepalanya ke dinding. "Pliss, shuutt, diam." Mata elang Zhafran membulat mendapat serangan ti