Share

Bab 2: Kemalangan Menimpa Ibu

Aku tersentak dari tidur dengan jantung berdegup kencang. Bulir keringat dingin meluncur dari dahi. Pandanganku mendelik,fokus ke pojok lemari. Tidak ada apa pun. Aku mengurut dada yang terasa sesak. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan panjang.

"Cuman mimpi." Aku bergumam. "Tapi, seperti nyata," lanjutku.

Lamat-lamat terdengar suara azan subuh. Aku memilih pergi berwudhu. Sebelum melaksanakan salat, aku mengetuk pintu kamar Ibu. Namun, Ibu tidak membukanya. Mungkin beliau masih tidur. Aku memilih untuk salat terlebih dahulu.

Ketika sedang berzikir sembari menutup mata, rentetan wajah Kak Nayla muncul di pikiran. Berawal dari jasadnya yang dibawa oleh ambulans. Luka kering serta memar di wajahnya. Ketika dimandikan, perutnya yang terlihat membuncit serta bekas jari di lengannya.

Terlebih lagi, mimpi yang baru saja kualami. Kak Nayla meminta tolong kepadaku. Ia seperti ingin memberiku sebuah petunjuk. Mataku sontak melebar, ketika mengingat segumpal daging mirip janin meluncur dari bagian tengah sosok Kak Nayla di mimpiku tadi.

"Apa yang terjadi denganmu selama di kota, Kak?" lirihku bertanya pada udara. Hati terasa perih ketika membayangkan jika Kak Nayla benar-benar hamil.

Siapa yang menghamilinya? Benarkah kematiannya karena kecelakaan, atau disengajai oleh seseorang demi menutupi sebuah kejahatan?

Kata Bu Inah di telepon kemarin malam, Kak Nayla kecelakaan saat ke pasar. Kak Nayla menjadi korban tabrak lari. Katanya juga, di rumah majikannya ada salah satu anak sang majikan yang menjadi anggota kepolisian. Pemuda tersebut sudah memenjarakan pelaku yang menabrak Kak Nayla. Majikan mereka juga membayar biaya kepulangan jenazah Kak Nayla, serta memberikan pesangon yang banyak untuk mengurus segala keperluan.

"Benarkah apa yang disampaikan oleh Bu Inah itu?" Perasaan bimbang dengan apa yang terjadi.

Firasatku mengatakan, Kak Nayla bukan meninggal karena kecelakaan, tetapi disengajai oleh seseorang. Terlebih lagi, ketika mengingat perut Kak Nayla yang membuncit.

"Apakah benar Kak Nayla hamil? Siapa yang telah menghamilinya?"

Dadaku terasa memanas, tangan mengepal erat.

"Astaghfirullah-ala'azim ...." Aku berusaha menetralkan perasaan yang memanas. Aku memang sangat cepat dikuasai emosi.

"Ya Allah, kumohon kepada-Mu, berikanlah Kak Nayla tempat ternyaman di sisi-Mu. Ampuni segala dosa-dosanya selama hidup di dunia. Dan kumohon kepada-Mu, bukalah tabir jika memang kematianya disebabkan oleh seseorang. Berilah diriku petunjuk agar jiwanya bisa tenang di alam sana."

Selesai salat, aku keluar kamar. Kembali mengetuk pintu kamar Ibu. Dia akhirnya keluar dengan mata sembab. Ibu pasti menangis semalam.

"Ibu mau makan apa? Biar Nilfan buatkan, deh," ucapku berusaha menghiburnya.

Ibu hanya menggeleng lemah. Sorot matanya kosong. Aku kasihan melihat beliau seperti itu. Jika aku Kak Nayla, pasti sudah berhasil membuat Ibu tersenyum. Aku tidak sepandai Kak Nayla yang bisa berkata-kata manis untuk menghibur seseorang.

"Nilfan mau ke kebun dulu periksa sayuran, Ibu mau ikut?" Ucapanku lagi-lagi hanya ditanggapi gelengan olehnya.

Napas kasar kuembuskan. "Ibu jangan seperti ini, Kak Nayla pasti akan sedih jika melihat Ibu begini terus!"

Tiba-tiba Ibu mendongak, menatapku dengan nyalang juga berkaca-kaca. "Na-Na ... Nayla, datang. Dia mi-minta tolong ...." Ibu terisak-isak.

Apa Ibu memimpikan Kak Nayla juga?

"Tenang, Bu. Nilfan pasti akan bantu Kak Nayla!" Aku memeluknya. Memberi dia kekuatan.

**

Setelah Ibu merasa lebih baik, aku memilih untuk ke kebun. Memeriksa sayuran.

Hari sudah mulai siang. Aku pulang dengan membawa sekeranjang sayuran yang kupanen hari ini. Jarak antara rumah dan kebun sekitar 50 meter. Aku mengayunkan kaki dengan malas, otakku dipenuhi tanda tanya kematian Kak Nayla.

"Nilfan, Nilfan, i-ibumu ...!" Andy datang tergopoh dengan wajah panik.

"Ada apa dengan Ibu?" Aku pun dibuat ketakutan oleh ekspresinya itu. Tanpa sadar, aku menjatuhkan bakul keranjang dan langsung lari ke rumah, tanpa mendengarkan penjelasan Andy.

Sampai di depan rumah, tubuhku menegang. Pandangan terpaku pada seorang wanita yang terbaring di teras dengan kepala banjir darah.

Rasanya bagai disambar petir di siang bolong dengan apa yang kulihat. Dada terasa panas dan tubuh gemetaran ketakutan. Air mata meluncur begitu saja.

"Ibuu!" Aku menghambur di pelukannya. "Apa yang terjadi dengan Ibu? Kenapa kalian diam saja, tolong panggilkan ambulans!" teriakku bagai kesetanan.

"Pria itu yang menabraknya!" Seseorang menunjuk pemuda yang sedang dipegang oleh warga.

Mataku langsung menatap nyalang pada pria yang sedang menatap dengan nanar itu. Seorang pria asing berpakaian seperti berandalan. Ber-alis tebal dan bermata elang. Dia ikutan menatapku dengan mata elangnya tersebut.

"Kurang ajar, beraninya kau!"

Aku langsung berlari ke arahnya, melayangkan bogem mentah yang sukses mendarat di hidung mancungnya. Dia yang sedang dipegang oleh beberapa warga tidak bisa menghindari pukulanku. Terlihat hidungnya meleleh cairan kental kemerahan.

Aku mencengkeram kerah jaket jeans-nya, menatap dia tajam.

"Kalau sampai terjadi apa-apa sama ibuku, kau tidak akan saya lepaskan!" Aku mengempaskannya.

"Ibu lo yang salah, dia tiba-tiba aja nongol di depan mobil gue!" Pria tersebut berbicara dengan gaya khas anak kota. Jika diperhatikan, memang pria itu terlihat asing.

Ambulans datang, beberapa tetangga membantu mengangkat tubuh Ibu masuk ke ambulans. Aku ikutan naik, tetapi pandangan tetap melirik tajam ke pria kota tersebut. Jika sampai Ibu kenapa-napa, maka tidak akan aku lepaskan pria itu!

Terdengar beberapa bapak-bapak mengusulkan membawa pemuda itu ke kantor polisi. Sang pemuda memberontak, tidak ingin dibawa ke kantor polisi. Dia menatapku tajam yang perlahan mulai menjauh dibawa mobil ambulans.

"Ya Allah, jangan sampai ibuku kenapa-napa, tolong selamatkan dia, Ya Allah." Aku tidak henti-hentinya berdoa kepada Tuhan.

"Cukup Kak Nayla saja yang meninggalkanku, jangan ambil malaikat tak bersayapku juga ini." Air mata tidak berhenti mengalir. Aku sangat dilanda ketakutan. Bayang-bayang ditinggalkan oleh orang tersayang, menari-nari di kepala.

Jarak ke rumah sakit memang lumayan jauh. Butuh waktu sekitar satu setengah jam untuk sampai.

Mobil ambulans berhenti di pekarangan gedung berlantai tiga dengan tulisan di atasnya, 'Rumah Sakit Paramitha'. Sebuah rumah sakit yang baru berdiri sekitar 5 tahun yang lalu. Fasilitasnya pun sangat lengkap, seperti rumah sakit besar yang ada di kota.

Aku membantu mendorong brankar Ibu, membawanya masuk ke UGD.

Andy datang untuk menguatkanku. Dia selalu ada di saat aku butuhkan. Layaknya seorang abang kepada adiknya.

"Kamu yang sabar, yah, Nil. Do'ain aja, semoga ibumu baik-baik saja." Andy mendaratkan tangannya di pundakku. Memberi kekuatan.

Aku mengembuskan napas kasar, lalu memandang Andy dengan mata basah. "Bagaimana bisa Ibu sampai kecelakaan?" tanyaku dengan suara parau.

"Tadi, di saat lewat depan rumahmu, aku melihat ibumu yang sedang bertengkar dengan para ibu-ibu di warung Bu Patmi. Biasalah, mereka sedang bergosip. Yang jadi masalah dan sampai buat ibumu marah ialah, karena mereka menggosipkan kakakmu ...." Andy menggantung kalimatnya. Dia menatapku dengan ekspresi ragu.

"Apa?" desakku.

"Emm, mereka bilang, kalau kakakmu ... hamil." Andy menundukkan kepala di saat mengucapkan itu.

Aku menatapnya tajam dengan tangan yang mengepal erat. Napasku naik turun dengan cepat disertai kepala yang kian memanas. Bukan ingin menghajar Andy, tetapi ingin menghajar ibu-ibu yang sudah bergosip tentang Kak Nayla dan menjadi penyebab Ibu kecelakaan.

Bunyi pintu yang berderit, membuatku mengesampingkan emosi terlebih dahulu. Gegas aku mendekati sang dokter.

"Bagaimana keadaan Ibu saya, Dok?" tanyaku cepat.

"Ibu Anda dalam keadaan kritis. Ada pendarahan di otaknya, harus segera dilakukan operasi. Segera bayar biaya administrasinya, agar kami bisa melaksanakan operasi!" terang sang dokter yang membuatku terhuyung.

Andy menahan diriku agar tidak terjatuh.

"Anda baik-baik saja?" Dokter menampakkan raut khawatir.

"Hmm." Aku mengangguk pelan. "Kira-kira, berapa biaya operasinya, Dok?" lirihku.

"Sekitar 100 juta."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status