Buncitnya Jenazah Kakakku

Buncitnya Jenazah Kakakku

Oleh:  Ngolo_Lol  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 Peringkat
112Bab
1.5KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Siapa yang menghamilinya? Benarkah kematiannya karena kecelakaan, atau disengajai oleh seseorang demi menutupi sebuah kejahatan? Seorang gadis emosian yang suka bertindak nekat, dia harus bekerja sebagai ART di rumah majikan di mana kakaknya pulang dalam keadaan tak bernyawa dan hamil. Demi membayar biaya operasi ibunya, dia menerima tawaran untuk bekerja di rumah tersebut, sekaligus ingin mencari tahu siapa yang menghamili kakak tercintanya. Tanpa dia sadari, dia terjebak dalam emosinya sendiri.

Lihat lebih banyak
Buncitnya Jenazah Kakakku Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Elis Rosita
ceritanya ada konyol konyol nya kadang sedih, kadang lucu
2024-02-21 19:39:57
1
112 Bab
Bab 1: Jenazah dari Kota
Beberapa petugas ambulans turun, menuju ke belakang mobil, membuka pintunya. Lantas, mengeluarkan brankar yang tertutupi oleh kain putih. Meletakkan brankar tersebut di depan kaki Ibu. Wanita paruh baya itu menggeleng cepat, menyangkal apa yang datang. Terlihat bulir air mata jatuh menggenang di pipi tirusnya. "Kenapa ambulans berhenti di depan rumah Bu Nina?""Siapa itu?""Mereka membawa siapa?"Para tetangga saling bertanya-tanya. Aku ikut menatap brankar yang tertutupi oleh kain putih tersebut. Sama seperti reaksi Ibu, aku juga menggeleng, berusaha menyangkal apa yang terlintas di pikiran. Angin berembus kencang, membuat kain penutup brankar itu tersibak. Menampakkan gadis berumur 23 tahun, berambut panjang, hidung mancung, dan berpipi tirus. Namun sayang, bibirnya sangat pucat, bahkan seluruh wajahnya sepucat kapas. Terdapat luka kering di kening dan lebam di tulang pipinya. Gadis yang terkenal dengan kecantikan dan kesantunannya itu, sekarang terbaring tidak bernyawa. "Tidaak
Baca selengkapnya
Bab 2: Kemalangan Menimpa Ibu
Aku tersentak dari tidur dengan jantung berdegup kencang. Bulir keringat dingin meluncur dari dahi. Pandanganku mendelik,fokus ke pojok lemari. Tidak ada apa pun. Aku mengurut dada yang terasa sesak. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan panjang. "Cuman mimpi." Aku bergumam. "Tapi, seperti nyata," lanjutku. Lamat-lamat terdengar suara azan subuh. Aku memilih pergi berwudhu. Sebelum melaksanakan salat, aku mengetuk pintu kamar Ibu. Namun, Ibu tidak membukanya. Mungkin beliau masih tidur. Aku memilih untuk salat terlebih dahulu. Ketika sedang berzikir sembari menutup mata, rentetan wajah Kak Nayla muncul di pikiran. Berawal dari jasadnya yang dibawa oleh ambulans. Luka kering serta memar di wajahnya. Ketika dimandikan, perutnya yang terlihat membuncit serta bekas jari di lengannya. Terlebih lagi, mimpi yang baru saja kualami. Kak Nayla meminta tolong kepadaku. Ia seperti ingin memberiku sebuah petunjuk. Mataku sontak melebar, ketika mengingat segumpal daging mirip j
Baca selengkapnya
Bab 3: Bantuan dan Syarat Sang Majikan
Mataku membulat disertai napas yang tercekat di tenggorokan. Aku mundur perlahan dengan mata berembun. Sontak rasa takut menyelimuti hati. Bagaimana caranya aku membayar biaya operasi Ibu? "Kalau begitu, saya permisi dulu. Mohon untuk segera diurus administrasinya, agar ibu Anda segera dioperasi!" Sang dokter kembali masuk ke dalam ruangan Ibu. Aku memijit pelipis, kepala terasa berat. Aku benar-benar tidak tahu harus mencari uang sebanyak itu di mana. "Kamu yang sabar, Nil, saya pasti membantumu.""Bagaimana caranya saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu, Andy?" Pikiran ini kalut. "Saya akan coba cari beberapa pinjaman. Saya juga akan gadai motorku, yang penting kita bisa selamatkan ibumu," ucap Andy mantap. "Ayahmu pasti nggak akan mengizinkannya. Dia pasti akan memarahimu jika melakukan hal itu." Rasanya dadaku seperti dihimpit baru besar. "Jagalah ibuku sebentar, saya mau pergi cari pinjaman dulu." Aku bangkit melangkah keluar. Namun, Andy mencekal lenganku. "Kamu mau ke m
Baca selengkapnya
Bab 4: Memulai Misi
Setelah dua minggu pasca pemulihan Ibu, aku memutuskan untuk segera ke kota. Bu Inah terus-terusan menelepon, menanyakan kapan aku akan ke sana. Aku naik kereta menuju ke ibu kota Jakarta. Melambaikan tangan ke arah Ibu dan Andy. Mereka mengantarku sampai ke stasiun. Senyum paksa terpatri di bibir ini. Jujur, aku berat meninggalkan Ibu sendirian. Namun, aku harus menyelidiki kasus kematian Kak Nayla juga membayar utang operasi. Dengan matanya yang berkaca-kaca, Ibu menatap putri bungsunya ini yang perlahan menjauh dibawa kereta."Cepatlah kembali, Nil. Hati-hati!" Berulang kali Ibu mengatakan hal itu tadi. Sedari di rumah sampai aku menjauh dibawa oleh kereta. Andy merangkul Ibu, lalu mereka pergi dari stasiun. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu meniup poni hingga tersibak. "Semangat, Nilfan! Demi Ibu, demi Kak Nayla!" ucapku menguatkan diri agar tidak mewek. Ini pertama kalinya aku keluar kota. Sedari kecil, aku selalu di samping Ibu, bermanja-manja dengannya. Namun, sekarang a
Baca selengkapnya
Bab 5: Dia, Pemuda yang Sama
Mataku melotot melihat wajah si pemuda. Kepalan yang tadinya hendak kudaratkan di wajahnya, terhenti di udara. Pemuda itu menatapku dengan nyalang serta rahang yang mengeras. Hidung mancungnya itu, kembali meleleh cairan kental kemerahan. "Ada apa ini?" Suara seorang wanita dari arah belakangku, mengalihkan keterpakuan di antara kami berdua. Sontak aku melepaskan cengkeraman dari lengan si pemuda. Menjauh darinya, sedangkan dia masih menatapku penuh amarah. Dia, pemuda yang sudah menabrak Ibu beberapa minggu yang lalu. "Di mana pencurinya?" Lagi, wanita itu bersuara. Bertanya kepadaku. Aku menghadapnya, terlihat seorang wanita seumuran ibuku berdiri di hadapan dengan mengenakan piama berwarna ungu. Di samping wanita itu, berdiri seorang pria yang sedikit memiliki uban di pelipis. Mereka berdua memandangku dengan alis bertaut. Di belakang mereka sana, Bi Inah tergopoh datang kemari. "Astaga ... Zhafran! Kamu nggak apa-apa, Nak?" Wanita itu memegang dagu si pemuda yang kupukul ta
Baca selengkapnya
Bab 6: Tak Sengaja Mencari Masalah
Pikiranku seketika melayang ke beberapa minggu yang lalu, tepatnya setelah sehari dikebumikannya Kak Naila. Aku teringat dengan Zhafran yang datang ke kampung waktu itu. Ada urusan apa ia sampai datang ke kampungku? "Nilfan, sudah selesai belum?" tanya Bi Inah membuyarkan lamunanku. Segera aku memberikan sayurannya. "Ini, Bi.""Lanjutkan, Nil. Masak sayurannya sana!" ucap Bi Inah tanpa menoleh. Dia tetap fokus membuat ayam goreng. "Bi, emm ...." Ragu-ragu aku berucap. "Apa?" Bi Inah menoleh, mengahadapku. "Kak Naila ... punya pacar enggak, Bi?" tanyaku mencoba memancing, kira-kira Kak Naila ada hubungan dengan Zhafran atau tidak. Seketika raut wajah Bi Inah berubah. Tadinya wajah itu terlihat santai, tetapi sekarang berubah tegang. Mataku menatapnya tajam, menyelisik wajah Bi Inah. Melihatku yang menatapnya tajam, wanita itu langsung melirik kiri-kanan, seperti orang yang sedang berusaha mencari sebu
Baca selengkapnya
Bab 7: Hukuman dari Zhafran
Zhafran mengempaskan tanganku ketika sudah berada di dalam kamar. Dia beralih untuk menutup pintunya. Pandanganku mengedar ke sekiling. Kamar bernuansa hitam putih yang luasnya sekitar 10×10 ini, penuh dengan dekorasi rock and roll di setiap pojok dan sudut dindingnya.Terlihat di atas nakas sana, foto pria berandalan itu terpajang. Ternyata ini kamar Zhafran. Kenapa dia mengajakku ke kamarnya? Pikiran buruk langsung melintas, memenuhi kepalaku. Setelah menutup pintu, Zhafran mendekatiku dengan raut datar. Tidak ada ekspresi di wajah tampan itu. Eh, tunggu, apa aku barusan bilang dia tampan? Cih! Aku menelan saliva dengan susah payah, menatap pemuda itu dengan waspada. Lantas, pandangan melirik kiri-kanan, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk senjata. Aku bukan Kak Naila yang selalu menyelesaikan masalah dengan cara yang lembut. Akan kuberi pria itu pelajaran, jika sampai berani kurang ajar! Zhafran terus mend
Baca selengkapnya
Bab 8: Jatuh dari Balkon
Tangan kanan yang menjadi pegangan terlepas. Membuat kedua kakiku juga tergelincir. Aku terjatuh."Kyaaak!"Sempat kulihat Zhafran berlari ke arahku dengan ekspresi tegang, sesaat sebelum aku menutup mata. Tidak berani melihat akan seperti apa tubuhku nanti terhantam oleh tanah. Pasti akan sangat menyakitkan dengan tulang-tulangku yang akan patah.Puluhan detik berlalu, belum juga kurasakan tubuhku menghantam tanah atau kesakitan. Aku masih sama, menutup mata dengan tubuh menegang. Belum berani untuk membuka mata. "Naila ...."Suara lembut seseorang menyapa telingaku. Perlahan, aku membuka mata. Menampilkan pria berwajah oval, alis tebal, hidung mancung, serta berahang tegas. Mata cokelatnya dinaungi oleh bulu mata yang tebal. Untuk sesaat, aku merasa nyaman berlama-lama memandang mata teduhnya. Mata itu juga memandangku penuh binar, entah kenapa? Aku beralih memandang ke atas, tempat di mana aku terja
Baca selengkapnya
Bab 9: Siapa Pelakunya?
Sontak aku mengangkat kepala, alis kembali mengernyit mendengar perkataan Bryan. Dari mana dia tahu misiku yang sebenarnya ke rumah ini? Mataku mendelik, menatap mata teduh Bryan dengan tajam, sedangkan dia tetap menatapku lekat. Berekspresi santai. 'Apakah saya harus jujur atau mengelak?' batinku bertanya-tanya. Aku menghela napas dalam. "Untuk bekerja," jawabku kemudian. "Ok." Bryan hanya menyahut singkat, lalu melanjutkan makan. Aku pikir akan gampang menemukan pelaku yang bertanggung jawab atas kepergian Kak Naila, tetapi ternyata aku salah. Terlalu banyak tanda tanya. Terlalu banyak teka-teki di rumah ini. Keluarga ini juga menurutku sedikit aneh. Bagaimana mungkin seorang petugas kepolisian bisa seatap dengan seorang berandalan. Kakaknya anggota kepolisian, sedangkan si adik seperti berandalan. "Semoga betah bekerja di sini."Selesai makan, Bryan berucap. Melirikku sekejap, lalu pergi dari
Baca selengkapnya
Bab 10: Ketahuan Menguping
Aku ingin sekali melihat keadaan di dalam. Namun, celah pintu ini begitu kecil, aku tidak bisa melihat siapa pun di dalam sana. Hanya bisa mendengar suara mereka berdua. Tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang menepuk pundak. Karena masih sibuk menguping pembicaraan di dalam, aku hanya menempelkan telunjuk di bibir seraya berkata, "shuut!" Tanpa menoleh untuk melihat siapa yang menepuk pundakku. Orang itu kembali menepuk pundakku, bertambah keras. Aku kesal padanya yang menganggu acara mengupingku. Segera aku berbalik dengan ekspresi kesal. "Apa s---" Aku menggantung kalimat dengan mata membulat, melihat Zhafran yang berada di belakangku. Aku menelan saliva dengan susah payah. Sangat malu karena ketahuan sedang menguping, sedangkan Zhafran seperti biasa, menatapku datar. "Lo ngap---"Belum sempat Zhafran menyelesaikan kalimatnya, gegas aku berjinjit dan membekap mulutnya. Menempelkan kepalanya ke dinding. "Pliss, shuutt, diam." Mata elang Zhafran membulat mendapat serangan ti
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status