Beranda / Romansa / Buncitnya Jenazah Kakakku / Bab 3: Bantuan dan Syarat Sang Majikan

Share

Bab 3: Bantuan dan Syarat Sang Majikan

Penulis: Ngolo_Lol
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-15 06:03:13

Mataku membulat disertai napas yang tercekat di tenggorokan. Aku mundur perlahan dengan mata berembun. Sontak rasa takut menyelimuti hati. Bagaimana caranya aku membayar biaya operasi Ibu?

"Kalau begitu, saya permisi dulu. Mohon untuk segera diurus administrasinya, agar ibu Anda segera dioperasi!" Sang dokter kembali masuk ke dalam ruangan Ibu.

Aku memijit pelipis, kepala terasa berat. Aku benar-benar tidak tahu harus mencari uang sebanyak itu di mana.

"Kamu yang sabar, Nil, saya pasti membantumu."

"Bagaimana caranya saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu, Andy?" Pikiran ini kalut.

"Saya akan coba cari beberapa pinjaman. Saya juga akan gadai motorku, yang penting kita bisa selamatkan ibumu," ucap Andy mantap.

"Ayahmu pasti nggak akan mengizinkannya. Dia pasti akan memarahimu jika melakukan hal itu." Rasanya dadaku seperti dihimpit baru besar.

"Jagalah ibuku sebentar, saya mau pergi cari pinjaman dulu." Aku bangkit melangkah keluar. Namun, Andy mencekal lenganku.

"Kamu mau ke mana?" Alisnya bertaut. "Kamu lupa, kalau kita jauh dari desa? Mau cari pinjaman ke siapa kamu di sini? Emang ada orang yang kamu kenal di sini?" Andy memberondongku dengan pertanyaan.

Benar, Rumah Sakit Paramitha letaknya jauh dari desaku. Harus memutari pulau terlebih dahulu untuk bisa mencapai ke sini.

"Terus saya harus bagaimana? Setiap detiknya sangat berharga bagi nyawa ibuku!" Suaraku meninggi.

"Sabar, Nil, kamu jangan sampai dikuasai emosi. Nggak akan ada yang selesai kalau begini." Andy ikutan memijit pelipisnya. "Kamu tunggu saja di sini, biar saya coba carikan pinjaman untuk biaya operasi ibumu!" Dia segera pergi.

Aku merogoh saku sweater, mengeluarkan ponsel. Mencoba menelepon beberapa sanak saudara yang ada di desa, meminta bantuan untuk biaya operasi Ibu. Namun … .

Berbagai alasan kuterima ketika mencoba meminjam uang ke mereka. Entah memang sedang tidak memiliki uang, atau tidak mau membantu.

"Pada siapa lagi?"

Tiba-tiba saja, terlintas di pikiranku untuk menelepon Bu Inah. Walaupun hubunganku dan Bu Inah kurang dekat, dikarenakan beliau yang jarang pulang ke kampung, tetapi semoga saja ia bisa membantu masalahku.

Kontaknya kupencet, melakukan panggilan keluar. Tersambung. Hati bimbang, takut mendapat penolakan seperti tadi.

Tidak terjawab.

Tidak putus asa, aku kembali menelponnya. Lagi dan lagi. Sampai akhirnya Bu Inah menjawab. Aku tersenyum, berharap ia bisa membantuku sedikit.

["Maaf, yah, Nilfan, baru angkat teleponnya, lagi sibuk banget soalnya. Di sini Bibi lagi sibuk, lagi ada tamu, harus bikin ini itu. Bibi cuman sendirian lagi. Kalau masih ada kakakmu--Nayla, pasti dia ikut bantu-bantuin Bibi."] Panjang lebar ucapannya ketika panggilan tersambung.

["Oh, iya, bagaimana pemakaman kakakmu, sudah selesai, 'kan?"] lanjutnya bertanya.

"I-iya, Bi ... udah selesai," jawabku menahan isak. Mengingat kondisi Ibu di dalam ruangan UGD.

["Kamu kenapa, Nil? Masih berduka atas kepergian kakakmu?"] tanya Bu Inah. Suaranya pun terdengar lirih.

"Bi, Ibu, Bi. Ibu ...." Aku menangis.

"Tolong bantu Nilfan, Bi. Ibu tadi kecelakaan dan menyebabkan pendarahan di otaknya. Ibu harus dioperasi. Biaya operasinya sangat besar." Tangisku pecah.

Ini pertama kalinya aku memanggil Bu Inah sebagai Bibi. Sedari aku kecil, wanita itu sudah tinggal di kota. Ia hanya pulang ke desa sekitar tiga atau lima tahun sekali, itu pun hanya sebentar. Palingan hanya seminggu.

Hal itu membuat tali silaturahmi diantara kami kurang dekat, terkhususnya diri ini. Aku memang tidak gampang akrab dengan orang lain, terlebih lagi jika orang itu jarang ketemu.

["Inalilahi ...."] Bu Inah memekik. ["Terus, bagaimana kondisinya sekarang, Nil?"] tanyanya terdengar khawatir.

"Ibu butuh dioperasi, tapi Nilfan nggak punya uang, Bi. Nilfan udah coba minta tolong ke sana-sini, tapi belum ada yang mau minjamin Nilfan uang."

["Memang berapa biaya operasi ibumu, Nil?"]

"Seratus juta, Bi." Aku berucap berat. Tahu, jumlah tersebut sangat susah untuk didapatkan.

["Astaghfirullah aladzim, banyak sekali, Nil. Bibi enggak punya uang sebanyak itu."]

["Uang untuk apa, Bi?"]

Terdengar suara seseorang bertanya pada Bu Inah.

["Eh, Nyonya. Ini keponakan saya, adiknya Nayla kemarin. Mereka lagi ditimpa kemalangan, ibunya kecelakaan dan harus segera dioperasi. Tapi, mereka tidak punya uangnya."] Bu Inah menceritakan masalahku kepada orang yang dipanggilnya Nyonya tersebut.

["Berapa yang dia butuhkan untuk operasi ibunya?"] Wanita itu bertanya lagi. Suaranya terdengar begitu lembut, tetapi juga angkuh.

["Emm, sekitar seratus juta, Nya."] Bu Inah menjawab ragu-ragu.

["Bilang kepada gadis itu, saya mau membayar semua biaya operasi ibunya, asal dia mau bekerja di sini menggantikan kakaknya dan tanpa digaji, bagaimana?"] ucap Wanita itu.

["Baik, Nyonya."]

Aku mendengarkan dengan saksama suara yang timbul dari telepon.

["Bagaimana, Nilfan, kamu sanggup nggak turutin syarat dari Nyonya Arelia?"] tanya Bu Inah.

Aku berpikir sejenak, hanya itu yang bisa menyelamatkan nyawa Ibu. Jika Ibu tidak segera dioperasi, maka segala hal yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Namun, aku tidak bisa meninggalkan Ibu sendirian di desa. Ia hanya punya diriku sekarang.

Aku menarik napas dala-dalam sesaat sebelum menjawab pertanyaan Bu Inah.

"Baiklah, Bi, saya mau," ucapku berat. Demi Ibu.

Di samping itu juga, aku ingin menyelidiki kematian Kak Nayla. Pasti ada hal yang janggal di balik kematiannya dan semua jawaban tersebut ada di rumah majikan Kak Nayla.

Jika benar ada yang menghamili Kak Nayla, maka tidak akan ampuni orang tersebut. Tidak peduli ia anak pejabat atau raja, orang tersebut harus mendapat hukuman atas perbuatannya!

Bu Inah meminta nomor rekening, aku pun memberikannya. Tidak lama kemudian, transfer ratusan juta masuk ke dalam nomor rekeningku. Ucap syukur kupanjatkan, akhirnya Ibu bisa dioperasi. Aku segera menelepon Andy, mengatakan jika uang operasi Ibu sudah dibayar, tidak perlu lagi mencari pinjaman.

****

"Dari mana kamu dapatkan uang sebanyak itu, Nar?" tanya Andy.

Kami sekarang sedang menunggu di depan ruang operasi. Menunggu lampu berwarna merah di atas pintu itu, padam.

"Dari majikannya, Kak Nayla," jawabku, "tapi, ia memberiku syarat untuk bekerja di rumah mereka tanpa digaji."

Alis Andy bertaut. "Jadi, kau akan ke kota?"

"Hmm. Saya mohon kepadamu, Andy, jagalah ibuku. Saya nggak ada pilihan lain, selain menerima tawaran dari majikannya Kak Nayla."

"Baik, Nil, apa pun untuk kamu. Pasti akan saya jaga ibumu seperti menjaga ibuku sendiri." Lembut, Andy berucap. "Jadi, kapan kau akan berangkat ke kota?"

"Setelah Ibu pulih." Aku menjawab berat.

****

Selang beberapa hari, kondisi Ibu mulai pulih. Beliau mencercaku dengan pertanyaan, tentang bagaimana bisa aku mendapatkan uang untuk membayar biaya operasi. Aku berkata sejujurnya, sekaligus dengan syarat yang telah kuterima.

Ibu menatapku nyalang, lalu menitikan air mata. Ibu pasti teringat dengan Kak Nayla.

"Kamu tidak boleh pergi ke kota! Ibu tidak mengizinkanmu! Kita akan mencari cara untuk mengganti uang mereka," ucapnya terdengar skeptis.

Jangankan seratus juta, kami saja tidak punya uang walau sepuluh juta.

"Ibu tidak mau kau bernasib seperti Nayla …." Ibu terisak.

Aku segera memeluknya.

"Selain menuruti syarat yang diberikan oleh majikannya Kak Nayla, Nilfan juga pengen menyelidiki kasus kematian Kak Nayla." Dengan berani, aku berucap.

"Nilfan yakin, Bu, kematian Kak Nayla ada campur tangan seseorang. Akan Nilfan temukan orang tersebut dan menghukumnya!"

Perkataanku sontak membuat Ibu menggeleng cepat.

"Jangan, Nilfan, bahaya! Biar Allah saja yang membalas perbuatan mereka, jika hal itu memang benar."

"Tapi, Nilfan nggak bisa tidur tenang sebelum mengusut tuntas hal ini. Kak Nayla datang ke mimpi Nilfan, ia minta tolong sambil menangis. Apa Ibu tega, jika arwah Kak Nayla nggak tenang di alam sana karena pelakunya masih bebas berkeliaran setelah melakukan tindakan keji?" ucapku menggebu-gebu. Emosi mengendalikanku.

Ibu bungkam, memandangku lekat. Selang beberapa menit, dia menjawab. "Baiklah, Nil, Ibu percaya kepadamu. Berhati-hatilah."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mom's Reyva
pergilah gelap... temukan siapa yg telah menghamili juga meniadakan nyawa kakakmu... harusnya memang divisum dulu kemarin...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 112: Sebuah Perasaan

    Aku menatap langit-langit kamar tanpa berkedip. Sekarang sudah dini hari, tetapi mataku takkunjung tertidur. Pikiranku terngiang-ngiang dengan perkataan yang terlontar beberapa jam yang lalu. “Saya maunya sama kamu, Zhafran. Nggak mau sama yang lain!”Ucapan itu spontan keluar, tidak lupa juga aku memeluk lengannya. Sontak saja hal itu mengundang tawa Bryan dan yang lainnya. Rasanya sangat memalukan saat Zhafran mengatakan aku ‘cewek agresif’. Setelah kejadian itu, aku kabur ke kamar. Namun, beberapa menit kemudian, kembali lagi ke ruang tamu untuk memberikan bantal juga selimut pada kedua saudara itu, tentunya tampa berani menatap wajah Zhafran. Angel dan Kesya kuajak tidur bersama di kamarku. Sementara Bryan dan Zhafran tidur di ruang tengah. Aku meminta mereka untuk menginap saja, sebab tidak ada penginapan di dekat kampungku ini. Dengkuran Kesya membuyarkan lamunanku. Aku memunggunginya, memilih memeluk Angel. Kuharap, m

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 111: Ungkapan Rasa

    Ibu berjalan pelan sambil memandang lekat kedua pemuda yang sebagai anggota kepolisian itu. Tangan Ibu perlahan terangkat ke udara, aku pikir Ibu akan menampar Bryan, tetapi ternyata dia mendaratkan telapak tangannya di bahu sang polisi itu.“Terima kasih, Nak. Kalian begitu baik.” Sebuah usapan kecil, Ibu berikan di pundak yang tegap itu. Aku mengembuskan napas lega. Sepertinya Ibu telah paham dengan semua yang terjadi. Beberapa hari yang lalu saat membantunya memasak di dapur, aku menceritakan garis besar selama kehidupanku di kota. Aku juga bercerita tentang Zhafran dan Bryan yang selalu membantuku dari masalah. Aku juga bercerita bahwa yang menghamili Kak Naila adalah Pak Burhan---ayah tiri kedua pemuda anggota polisi tersebut. Waktu aku bercerita hari itu, Ibu tidak merespon apa pun. Aku maklum, mungkin Ibu masih marah atau entahlah. Tapi malam ini, aku perhatikan kemarahan Ibu sudah sirna semua. Syukurlah. “Nilfan!”Aku tersentak

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 110: Iblis itu Kembali

    Iblis itu, dia yang mengakibatkan tewas dan hancurnya hidup Kak Naila ada di sini. Dia muncul dari balik pintu dengan senyuman sinis yang menjijikkan. Bersama Jaki dan beberapa pria bertubuh tegap khas seorang bouncer. “Apa kabar, Nilfan?” Pak Burhan mendekat. Sementara anak buah Jaki menutup pintu. Aku menelan ludah susah payah, takut mereka sampai menyakiti Ibu. Pandangan ini menoleh ke Angel, hatiku terasa diremas mengetahui para iblis ini dia yang membawanya. Pantasan saja dia meminta alamat rumahku tempo hari. “Maafin gue, Nil. Ketika kami nyari pekerjaan di mall-mall, kami ditangkap sama anak buah Jaki. Mereka nyandra Kesya.” Lirihnya menatapku dengan mata basah. “Gue nggak ada pilihan lain buat nyelametin hidup Kesya.”Aku termenung mendengar penjelasannya. “Terus, sekarang gimana keadaan Kesya?” tanyaku turut prihatin. “Dia sekarang disekap di gudang klub.” Angel menatapku dengan mata basah. Terjawab sudah keanehan y

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 109: Tanggapan Orang-orang

    Pekikan Erlin yang sebab kupelintir tangannya, mengundang beberapa pasang mata untuk melihat. Teman-teman Erlin hanya meringis melihat ketua geng mereka memerah wajahnya menahan rasa sakit yang kuberikan.“Kalau kamu berani bicara sembarangan lagi soal ibuku, saya patahkan tangan kurusmu ini!” Aku menyentak tangan Erlin, membuat wanita itu terempas menubruk para teman-temannya.Seorang ibu-ibu datang mendekat dengan mata mendelik tajam, dia ibunya Erlin. “Heh, Nilfan! Kamu baru pulang kampung, udah bikin ulah aja. Apa itu yang kamu pelajari selama di kota?!” Ucapan ibu itu disahuti beberapa orang tua lainnya. “Iya.” Aku menyahut santai, lalu membuang pandangan. Tidak ada gunanya meladeni mereka semua. Keadaan ibu jauh lebih penting sekarang. **“Asalamualaikum.” Aku mengetuk pintu rumah. Lantas, menerobos masuk. Andy sudah mengirimkan pesan sebelumnya, bahwa rumah ibu tidak dikunci. Andy menungguku pulang d

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 108: Putar Haluan

    Hari sudah menjelang malam, bunyi azan berkumandang merdu dari masjid sekitar. Aku memutuskan untuk menghadap sang Maha Pencipta terlebih dahulu, baru melanjutkan perjalanan ke apartemen Bryan. Setelah berpikir sejenak tadi, aku memutuskan untuk meminta perlindungan pada kepolisian saja, dan masih akan tetap berada di kota. Bekerja dan membayar utang-utangku. "Kalian nggak mau ikut sholat, Kes, El?" Aku menatap kedua sahabatku yang hanya berdiri jauh dari bangunan masjid. Sesekali Kesya menarik rok mininya agar menutupi paha putihnya. Dia terlihat risi datang ke tempat seperti ini dengan pakaian seksinya. "Nggak usah, lain kali aja kami, Nil." Angel menyahut, lalu menarik pergelangan tangan Kesya pergi duduk di warung bakso di seberang jalan.Aku mengembuskan napas panjang. Tidak apa, nanti aku akan usaha membujuk mereka untuk salat. Maklum, pasti mereka malu untuk menghadap Sang Maha Pencipta, seperti aku kemarin. Segera aku melaksan

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 107: Dilema

    "Sialan!" Pak Sopir yang memakai kemeja biru itu mengumpat. Dia kesusahan untuk mengendalikan laju mobilnya. Sementara kami bertiga yang duduk di kursi penumpang, saling pandang ketakutan. Menyadari mobil siapa yang menyerempet taksi ini. Mobil Jaki. "Jalan terus, Pak. Mereka itu para perampok!" Angel mendesak sambil menepuk cepat bahu Pak Sopir. Aku menoleh ke belakang, terlihat di kejauhan sana beberapa kendaraan bermotor juga datang mendekat. Astaga … seaksi inikah nasibku sekarang? Harus kabur seperti seorang buronan. "Stop! Woy, stop!" Kaca mobil dipukul-pukul oleh salah satu pengendara bermotor. "Mereka tau dari mana sih, kalau kita ada di mobil ini?" Kesya sangat panik. "Kemungkinan besar sedari kita ninggalin klub malam tadi, mereka semua udah ngikutin kita." Angel menjawab sambil mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya. Sebuah botol parfum. Lantas, menurunkan kaca mobil dan menyemprotkannya ke pengendara

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status