Share

Bab 3: Bantuan dan Syarat Sang Majikan

Mataku membulat disertai napas yang tercekat di tenggorokan. Aku mundur perlahan dengan mata berembun. Sontak rasa takut menyelimuti hati. Bagaimana caranya aku membayar biaya operasi Ibu?

"Kalau begitu, saya permisi dulu. Mohon untuk segera diurus administrasinya, agar ibu Anda segera dioperasi!" Sang dokter kembali masuk ke dalam ruangan Ibu.

Aku memijit pelipis, kepala terasa berat. Aku benar-benar tidak tahu harus mencari uang sebanyak itu di mana.

"Kamu yang sabar, Nil, saya pasti membantumu."

"Bagaimana caranya saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu, Andy?" Pikiran ini kalut.

"Saya akan coba cari beberapa pinjaman. Saya juga akan gadai motorku, yang penting kita bisa selamatkan ibumu," ucap Andy mantap.

"Ayahmu pasti nggak akan mengizinkannya. Dia pasti akan memarahimu jika melakukan hal itu." Rasanya dadaku seperti dihimpit baru besar.

"Jagalah ibuku sebentar, saya mau pergi cari pinjaman dulu." Aku bangkit melangkah keluar. Namun, Andy mencekal lenganku.

"Kamu mau ke mana?" Alisnya bertaut. "Kamu lupa, kalau kita jauh dari desa? Mau cari pinjaman ke siapa kamu di sini? Emang ada orang yang kamu kenal di sini?" Andy memberondongku dengan pertanyaan.

Benar, Rumah Sakit Paramitha letaknya jauh dari desaku. Harus memutari pulau terlebih dahulu untuk bisa mencapai ke sini.

"Terus saya harus bagaimana? Setiap detiknya sangat berharga bagi nyawa ibuku!" Suaraku meninggi.

"Sabar, Nil, kamu jangan sampai dikuasai emosi. Nggak akan ada yang selesai kalau begini." Andy ikutan memijit pelipisnya. "Kamu tunggu saja di sini, biar saya coba carikan pinjaman untuk biaya operasi ibumu!" Dia segera pergi.

Aku merogoh saku sweater, mengeluarkan ponsel. Mencoba menelepon beberapa sanak saudara yang ada di desa, meminta bantuan untuk biaya operasi Ibu. Namun … .

Berbagai alasan kuterima ketika mencoba meminjam uang ke mereka. Entah memang sedang tidak memiliki uang, atau tidak mau membantu.

"Pada siapa lagi?"

Tiba-tiba saja, terlintas di pikiranku untuk menelepon Bu Inah. Walaupun hubunganku dan Bu Inah kurang dekat, dikarenakan beliau yang jarang pulang ke kampung, tetapi semoga saja ia bisa membantu masalahku.

Kontaknya kupencet, melakukan panggilan keluar. Tersambung. Hati bimbang, takut mendapat penolakan seperti tadi.

Tidak terjawab.

Tidak putus asa, aku kembali menelponnya. Lagi dan lagi. Sampai akhirnya Bu Inah menjawab. Aku tersenyum, berharap ia bisa membantuku sedikit.

["Maaf, yah, Nilfan, baru angkat teleponnya, lagi sibuk banget soalnya. Di sini Bibi lagi sibuk, lagi ada tamu, harus bikin ini itu. Bibi cuman sendirian lagi. Kalau masih ada kakakmu--Nayla, pasti dia ikut bantu-bantuin Bibi."] Panjang lebar ucapannya ketika panggilan tersambung.

["Oh, iya, bagaimana pemakaman kakakmu, sudah selesai, 'kan?"] lanjutnya bertanya.

"I-iya, Bi ... udah selesai," jawabku menahan isak. Mengingat kondisi Ibu di dalam ruangan UGD.

["Kamu kenapa, Nil? Masih berduka atas kepergian kakakmu?"] tanya Bu Inah. Suaranya pun terdengar lirih.

"Bi, Ibu, Bi. Ibu ...." Aku menangis.

"Tolong bantu Nilfan, Bi. Ibu tadi kecelakaan dan menyebabkan pendarahan di otaknya. Ibu harus dioperasi. Biaya operasinya sangat besar." Tangisku pecah.

Ini pertama kalinya aku memanggil Bu Inah sebagai Bibi. Sedari aku kecil, wanita itu sudah tinggal di kota. Ia hanya pulang ke desa sekitar tiga atau lima tahun sekali, itu pun hanya sebentar. Palingan hanya seminggu.

Hal itu membuat tali silaturahmi diantara kami kurang dekat, terkhususnya diri ini. Aku memang tidak gampang akrab dengan orang lain, terlebih lagi jika orang itu jarang ketemu.

["Inalilahi ...."] Bu Inah memekik. ["Terus, bagaimana kondisinya sekarang, Nil?"] tanyanya terdengar khawatir.

"Ibu butuh dioperasi, tapi Nilfan nggak punya uang, Bi. Nilfan udah coba minta tolong ke sana-sini, tapi belum ada yang mau minjamin Nilfan uang."

["Memang berapa biaya operasi ibumu, Nil?"]

"Seratus juta, Bi." Aku berucap berat. Tahu, jumlah tersebut sangat susah untuk didapatkan.

["Astaghfirullah aladzim, banyak sekali, Nil. Bibi enggak punya uang sebanyak itu."]

["Uang untuk apa, Bi?"]

Terdengar suara seseorang bertanya pada Bu Inah.

["Eh, Nyonya. Ini keponakan saya, adiknya Nayla kemarin. Mereka lagi ditimpa kemalangan, ibunya kecelakaan dan harus segera dioperasi. Tapi, mereka tidak punya uangnya."] Bu Inah menceritakan masalahku kepada orang yang dipanggilnya Nyonya tersebut.

["Berapa yang dia butuhkan untuk operasi ibunya?"] Wanita itu bertanya lagi. Suaranya terdengar begitu lembut, tetapi juga angkuh.

["Emm, sekitar seratus juta, Nya."] Bu Inah menjawab ragu-ragu.

["Bilang kepada gadis itu, saya mau membayar semua biaya operasi ibunya, asal dia mau bekerja di sini menggantikan kakaknya dan tanpa digaji, bagaimana?"] ucap Wanita itu.

["Baik, Nyonya."]

Aku mendengarkan dengan saksama suara yang timbul dari telepon.

["Bagaimana, Nilfan, kamu sanggup nggak turutin syarat dari Nyonya Arelia?"] tanya Bu Inah.

Aku berpikir sejenak, hanya itu yang bisa menyelamatkan nyawa Ibu. Jika Ibu tidak segera dioperasi, maka segala hal yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Namun, aku tidak bisa meninggalkan Ibu sendirian di desa. Ia hanya punya diriku sekarang.

Aku menarik napas dala-dalam sesaat sebelum menjawab pertanyaan Bu Inah.

"Baiklah, Bi, saya mau," ucapku berat. Demi Ibu.

Di samping itu juga, aku ingin menyelidiki kematian Kak Nayla. Pasti ada hal yang janggal di balik kematiannya dan semua jawaban tersebut ada di rumah majikan Kak Nayla.

Jika benar ada yang menghamili Kak Nayla, maka tidak akan ampuni orang tersebut. Tidak peduli ia anak pejabat atau raja, orang tersebut harus mendapat hukuman atas perbuatannya!

Bu Inah meminta nomor rekening, aku pun memberikannya. Tidak lama kemudian, transfer ratusan juta masuk ke dalam nomor rekeningku. Ucap syukur kupanjatkan, akhirnya Ibu bisa dioperasi. Aku segera menelepon Andy, mengatakan jika uang operasi Ibu sudah dibayar, tidak perlu lagi mencari pinjaman.

****

"Dari mana kamu dapatkan uang sebanyak itu, Nar?" tanya Andy.

Kami sekarang sedang menunggu di depan ruang operasi. Menunggu lampu berwarna merah di atas pintu itu, padam.

"Dari majikannya, Kak Nayla," jawabku, "tapi, ia memberiku syarat untuk bekerja di rumah mereka tanpa digaji."

Alis Andy bertaut. "Jadi, kau akan ke kota?"

"Hmm. Saya mohon kepadamu, Andy, jagalah ibuku. Saya nggak ada pilihan lain, selain menerima tawaran dari majikannya Kak Nayla."

"Baik, Nil, apa pun untuk kamu. Pasti akan saya jaga ibumu seperti menjaga ibuku sendiri." Lembut, Andy berucap. "Jadi, kapan kau akan berangkat ke kota?"

"Setelah Ibu pulih." Aku menjawab berat.

****

Selang beberapa hari, kondisi Ibu mulai pulih. Beliau mencercaku dengan pertanyaan, tentang bagaimana bisa aku mendapatkan uang untuk membayar biaya operasi. Aku berkata sejujurnya, sekaligus dengan syarat yang telah kuterima.

Ibu menatapku nyalang, lalu menitikan air mata. Ibu pasti teringat dengan Kak Nayla.

"Kamu tidak boleh pergi ke kota! Ibu tidak mengizinkanmu! Kita akan mencari cara untuk mengganti uang mereka," ucapnya terdengar skeptis.

Jangankan seratus juta, kami saja tidak punya uang walau sepuluh juta.

"Ibu tidak mau kau bernasib seperti Nayla …." Ibu terisak.

Aku segera memeluknya.

"Selain menuruti syarat yang diberikan oleh majikannya Kak Nayla, Nilfan juga pengen menyelidiki kasus kematian Kak Nayla." Dengan berani, aku berucap.

"Nilfan yakin, Bu, kematian Kak Nayla ada campur tangan seseorang. Akan Nilfan temukan orang tersebut dan menghukumnya!"

Perkataanku sontak membuat Ibu menggeleng cepat.

"Jangan, Nilfan, bahaya! Biar Allah saja yang membalas perbuatan mereka, jika hal itu memang benar."

"Tapi, Nilfan nggak bisa tidur tenang sebelum mengusut tuntas hal ini. Kak Nayla datang ke mimpi Nilfan, ia minta tolong sambil menangis. Apa Ibu tega, jika arwah Kak Nayla nggak tenang di alam sana karena pelakunya masih bebas berkeliaran setelah melakukan tindakan keji?" ucapku menggebu-gebu. Emosi mengendalikanku.

Ibu bungkam, memandangku lekat. Selang beberapa menit, dia menjawab. "Baiklah, Nil, Ibu percaya kepadamu. Berhati-hatilah."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status