Beberapa petugas ambulans turun, menuju ke belakang mobil, membuka pintunya. Lantas, mengeluarkan brankar yang tertutupi oleh kain putih. Meletakkan brankar tersebut di depan kaki Ibu. Wanita paruh baya itu menggeleng cepat, menyangkal apa yang datang. Terlihat bulir air mata jatuh menggenang di pipi tirusnya.
"Kenapa ambulans berhenti di depan rumah Bu Nina?""Siapa itu?""Mereka membawa siapa?"Para tetangga saling bertanya-tanya.Aku ikut menatap brankar yang tertutupi oleh kain putih tersebut. Sama seperti reaksi Ibu, aku juga menggeleng, berusaha menyangkal apa yang terlintas di pikiran.Angin berembus kencang, membuat kain penutup brankar itu tersibak. Menampakkan gadis berumur 23 tahun, berambut panjang, hidung mancung, dan berpipi tirus. Namun sayang, bibirnya sangat pucat, bahkan seluruh wajahnya sepucat kapas. Terdapat luka kering di kening dan lebam di tulang pipinya. Gadis yang terkenal dengan kecantikan dan kesantunannya itu, sekarang terbaring tidak bernyawa."Tidaak! Ini tidak mungkin. Naylaa ...," tangis Ibu seketika pecah melihat putri sulungnya terbaring kaku. Ibu langsung luruh ke tanah dengan tangisan memilukan. Tangannya menepuk-nepuk tanah di samping brankar sang putri terbaring.Aku mengepalkan tangan hingga bergetar. Napas terasa sesak disertai mata yang kian memanas. Lantas, pandangaku terlihat berkaca-kaca karena menahan bulir air mata yang akan luruh.Ingin rasanya aku menangis, meraung-raung di samping jasad Kak Nayla. Namun, jika aku juga lemah, siapa yang akan menguatkan Ibu nantinya. Ibu hanya punya diriku sekarang. Satu kekuatannya telah berpulang untuk selamanya.Aku mendekati Ibu. "Udah, Bu, ikhlaskan Kak Nayla," ujarku berat. Tangan kudaratkan di punggung Ibu, mengusapnya. Berusaha memberi dia kekuatan."Kenapa bisa seperti ini, Nil? Minta kakakmu untuk bangun!" titah Ibu setengah berteriak.Dia terlihat sangat terpukul atas kepergian Kak Nayla. Putri yang dilepas pergi merantau ke kota, berharap bisa mengubah nasib ekonomi keluarga, tetapi malah pulang dengan keadaan tidak bernyawa."Lebih baik, kita urus jenazah Kak Nayla dulu, Bu. Kasihan kalau dibiarkan terlalu lama," saranku sembari terus mengusap punggung Ibu yang terasa bergetar.Terlihat, pandangan Ibu nanar menatap mayat Kak Nayla. Aku memilih menarik kain putih, menutup kembali jasad Kak Nayla.Para tetangga yang sedari tadi menonton, ikut membantu membawa jasad Kak Nayla ke dalam rumah. Aku memapah Ibu, membantunya berdiri dan masuk ke rumah. Air matanya tidak berhenti mengalir. Ketika baru sampai di ruang keluarga, Ibu terkulai lemas. Beliau pingsan."Ibu, Ibu!" panikku menahan bobot tubuh Ibu agar tidak terjatuh ke lantai tegel."Sini, biar saya bantu." Andy---teman sekampung, mendekat. Membantu menggendong Ibu dan membawanya ke kamar.Untuk sementara, aku membiarkan Ibu terbaring di sana. Dia sangat syok dengan kejadian mendadak ini.Aku mengembuskan napas berat. Rasanya napasku tertahan di tenggorokan, melihat jasad Kak Nayla yang telah terbaring di ruang keluarga. Di kelilingi oleh para pelayat. Memang benar, tidak ada yang tahu umur seseorang.Baru beberapa hari yang lalu, Kak Nayla melakukan video call bersama kami. Terlihat sangat bahagia dengan senyum yang selalu merekah di bibir mungilnya. Walaupun aku melihat matanya yang agak sayu. Mungkin dia kecapekan dan kurang tidur akibat bekerja di rumah majikannya yang besar itu."Kak, kenapa harus secepat ini?" lirihku menatap jasad Kak Nayla dengan mata berembun.Dua tahun yang lalu, Kak Nayla memutuskan untuk pergi merantau ke kota. Alasannya, ingin mengubah nasib ekonomi keluarga.Kami yang hanya tinggal bertiga di rumah peninggalan Ayah, memang sangat terhimpit soal ekonomi. Maka dari itu, Kak Nayla memutuskan untuk bekerja di kota. Berat bagi Ibu melepas kepergian putri sulungnya tersebut, tetapi Kak Nayla tetap pada pendiriannya. Ia ingin sekali mengubah ekonomi keluarga.Waktu itu, Bu Inah---bibiku, yang sudah terlebih dahulu bekerja sebagai ART di kota datang ke kampung. Ia mengatakan, majikannya mencari tambahan ART. Mendengar hal itu, Kak Nayla langsung antusias ingin ikut."Kalau Kakak nanti sudah punya banyak uang, Kakak akan bantu mewujudkan cita-citamu sebagai polwan, Gelap," ujar Kak Nayla di malam sebelum ia berangkat ke kota besok paginya.Ia mengacak puncak rambut sebahu berponiku seraya menyebut 'Gelap', nama panggilannya kepadaku. Itu dikarenakan aku yang takut pada kegelapan, maka dari itu dia menyebutku dengan panggilan demikian.Perkataan Kak Nayla malam itu, terngiang-ngiang di kepala."Nilfan, ayo, bantu! Kita urus permandian jenazah kakakmu." Nek Ani---pemandi jenazah memangil, membuyarkanku dari lamunan.Di saat sedang ikut membantu Nek Ani memandikan jenazah Kak Nayla, alisku mengernyit melihat perut Kak Nayla yang membuncit. Terlihat kontras dengan tubuh Kak Nayla yang kurus. Jika diperhatikan dengan saksama, Kak Nayla terlihat sangat kurus sekarang. Berbeda dengan beberapa bulan lalu yang sedikit berisi. Kepalaku langsung dihinggapi oleh pikiran aneh, tetapi segera kutepis. Hal itu tidak mungkin! Kak Nayla gadis baik-baik.Aku melanjutkan menyiramkan air ke jasad Kak Nayla, lalu menyabuni tubuhnya. Alisku kembali mengernyit, ketika melihat bekas jari di bawah lengan Kak Nayla. Sekejap, aku menghentikan aktivitas memandikan jasadnya. Menatap Kak Nayla dengan lekat, ingin bertanya dan memastikan apa yang kupikirkan ini tidaklah benar."Sudah bersih di bagian situ, Nil?" Nek Ani bertanya.Aku yang tengah melamun, setengah terkejut mendengar pertanyaannya. "Ah, iya, sudah selesai, Nek!" jawabku seraya membersihkan seluruh sabun di tubuh Kak Nayla.Seteleh selesai memandikan jasad Kak Nayla. Lantas, dilanjutkan dengan mengkafaninya. Terlihat beberapa ibu-ibu yang sedang membantu mengkafani jasad Kak Nayla saling berbisik, memperhatikan perut Kak Nayla. Ketika melihatku menatap tajam, mereka sontak membuang pandangan dan salah tingkah. Walaupun masih berumur 20 tahun, tetapi aku lumayan disegani di desa ini.Aku memilih menyadarkan Ibu dari pingsan. Seperti tadi, Ibu kembali menangis pilu melihat jasad putrinya yang telah terbungkus kafan dan disalatin."Nayla ...!" tangis Ibu.Kami mengantarkan Kak Nayla ke peristirahatan terakhirnya. Sembari mengelus punggung Ibu yang tersengguk-sengguk, aku memanjatkan doa untuk Kak Nayla. Berharap ia bisa tenang di alam sana.Matahari sudah condong ke barat sekarang. Sepulang dari makam, Ibu langsung masuk ke kamarnya, mengunci diri. Aku khawatir dengan apa yang ia lakukan, tetapi Ibu meminta untuk tidak menganggunya terlebih dahulu. Aku pun menuruti.Aku memilih kembali ke kamar, merebahkan tubuh. Sebelum Kak Nayla bekerja di kota, kamar ini milik kami berdua. Ya, rumah peninggalan Ayah memang begitu kecil, hanya ada dua kamar. Perlahan kelopak mata mulai berat, aku menutupnya."Huhuhu, hiks, hiks!"Samar-samar terdengar suara seseorang yang menangis lirih. Tangisannya begitu pilu menyapa indra pendengaran.Dengan mata yang masih terpejam, aku bergumam. "Apa Ibu menangis lagi?"Makin lama, suara tangisan tersebut berangsur mendekat. Seperti di dalam kamarku."Huhuhu, hiks, hiks, huhuhu, tolong Kakak, Gelap!"Mataku sontak terbuka lebar kala mendengar nama panggilan Kak Nayla untukku. Gegas aku bangun mencari sumber suara itu. Terlihat lampu di kamar berkedap-kedip. Pandanganku langsung terpaku ke arah pojok lemari.Berdiri di sana, sesosok berambut panjang yang menutupi sebelah wajahnya dengan pakaian putih menjuntai panjang hingga ke lantai. Ia menunduk sembari terdengar tangisan pilu darinya."K-Kak, Nayla ...?" ucapku tercekat. Aku beringsut mundur sambil menahan debaran jantung yang bertalu-talu. Aku sangat ketakutan.Sosok itu perlahan mendongak, memperlihatkan sebelah wajahnya yang seputih kapas. Matanya yang hitam dan tajam, berhasil membuatku merinding.Ia perlahan mendekat sembari menelengkan kepalanya dengan cepat ke kiri dan ke kanan. Seiring bergeraknya kepala itu, terdengar pula seperti bunyi mengkriuk tulang dipatahkan. Sungguh, sangat membuat ngilu bagi yang mendengarkan. Aku menahan napas di tenggorokan ketika tangan Kak Nayla terjulur kepadaku."Jangan ganggu Nilfan, Kak ...." Aku memohon."Tolong Kakak, Gelap!" rintihnya terdengar menyakitkan.Tiba-tiba saja, meluncur segumpal janin dari tengah-tengah pakaian putih Kak Nayla. Mata Kak Nayla melotot, menatapku penuh amarah. Lantas, dia berteriak keras menusuk indra pendengaranku."Kyaaak!"Aku tersentak dari tidur dengan jantung berdegup kencang. Bulir keringat dingin meluncur dari dahi. Pandanganku mendelik,fokus ke pojok lemari. Tidak ada apa pun. Aku mengurut dada yang terasa sesak. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan panjang. "Cuman mimpi." Aku bergumam. "Tapi, seperti nyata," lanjutku. Lamat-lamat terdengar suara azan subuh. Aku memilih pergi berwudhu. Sebelum melaksanakan salat, aku mengetuk pintu kamar Ibu. Namun, Ibu tidak membukanya. Mungkin beliau masih tidur. Aku memilih untuk salat terlebih dahulu. Ketika sedang berzikir sembari menutup mata, rentetan wajah Kak Nayla muncul di pikiran. Berawal dari jasadnya yang dibawa oleh ambulans. Luka kering serta memar di wajahnya. Ketika dimandikan, perutnya yang terlihat membuncit serta bekas jari di lengannya. Terlebih lagi, mimpi yang baru saja kualami. Kak Nayla meminta tolong kepadaku. Ia seperti ingin memberiku sebuah petunjuk. Mataku sontak melebar, ketika mengingat segumpal daging mirip j
Mataku membulat disertai napas yang tercekat di tenggorokan. Aku mundur perlahan dengan mata berembun. Sontak rasa takut menyelimuti hati. Bagaimana caranya aku membayar biaya operasi Ibu? "Kalau begitu, saya permisi dulu. Mohon untuk segera diurus administrasinya, agar ibu Anda segera dioperasi!" Sang dokter kembali masuk ke dalam ruangan Ibu. Aku memijit pelipis, kepala terasa berat. Aku benar-benar tidak tahu harus mencari uang sebanyak itu di mana. "Kamu yang sabar, Nil, saya pasti membantumu.""Bagaimana caranya saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu, Andy?" Pikiran ini kalut. "Saya akan coba cari beberapa pinjaman. Saya juga akan gadai motorku, yang penting kita bisa selamatkan ibumu," ucap Andy mantap. "Ayahmu pasti nggak akan mengizinkannya. Dia pasti akan memarahimu jika melakukan hal itu." Rasanya dadaku seperti dihimpit baru besar. "Jagalah ibuku sebentar, saya mau pergi cari pinjaman dulu." Aku bangkit melangkah keluar. Namun, Andy mencekal lenganku. "Kamu mau ke m
Setelah dua minggu pasca pemulihan Ibu, aku memutuskan untuk segera ke kota. Bu Inah terus-terusan menelepon, menanyakan kapan aku akan ke sana. Aku naik kereta menuju ke ibu kota Jakarta. Melambaikan tangan ke arah Ibu dan Andy. Mereka mengantarku sampai ke stasiun. Senyum paksa terpatri di bibir ini. Jujur, aku berat meninggalkan Ibu sendirian. Namun, aku harus menyelidiki kasus kematian Kak Nayla juga membayar utang operasi. Dengan matanya yang berkaca-kaca, Ibu menatap putri bungsunya ini yang perlahan menjauh dibawa kereta."Cepatlah kembali, Nil. Hati-hati!" Berulang kali Ibu mengatakan hal itu tadi. Sedari di rumah sampai aku menjauh dibawa oleh kereta. Andy merangkul Ibu, lalu mereka pergi dari stasiun. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu meniup poni hingga tersibak. "Semangat, Nilfan! Demi Ibu, demi Kak Nayla!" ucapku menguatkan diri agar tidak mewek. Ini pertama kalinya aku keluar kota. Sedari kecil, aku selalu di samping Ibu, bermanja-manja dengannya. Namun, sekarang a
Mataku melotot melihat wajah si pemuda. Kepalan yang tadinya hendak kudaratkan di wajahnya, terhenti di udara. Pemuda itu menatapku dengan nyalang serta rahang yang mengeras. Hidung mancungnya itu, kembali meleleh cairan kental kemerahan. "Ada apa ini?" Suara seorang wanita dari arah belakangku, mengalihkan keterpakuan di antara kami berdua. Sontak aku melepaskan cengkeraman dari lengan si pemuda. Menjauh darinya, sedangkan dia masih menatapku penuh amarah. Dia, pemuda yang sudah menabrak Ibu beberapa minggu yang lalu. "Di mana pencurinya?" Lagi, wanita itu bersuara. Bertanya kepadaku. Aku menghadapnya, terlihat seorang wanita seumuran ibuku berdiri di hadapan dengan mengenakan piama berwarna ungu. Di samping wanita itu, berdiri seorang pria yang sedikit memiliki uban di pelipis. Mereka berdua memandangku dengan alis bertaut. Di belakang mereka sana, Bi Inah tergopoh datang kemari. "Astaga ... Zhafran! Kamu nggak apa-apa, Nak?" Wanita itu memegang dagu si pemuda yang kupukul ta
Pikiranku seketika melayang ke beberapa minggu yang lalu, tepatnya setelah sehari dikebumikannya Kak Naila. Aku teringat dengan Zhafran yang datang ke kampung waktu itu. Ada urusan apa ia sampai datang ke kampungku? "Nilfan, sudah selesai belum?" tanya Bi Inah membuyarkan lamunanku. Segera aku memberikan sayurannya. "Ini, Bi.""Lanjutkan, Nil. Masak sayurannya sana!" ucap Bi Inah tanpa menoleh. Dia tetap fokus membuat ayam goreng. "Bi, emm ...." Ragu-ragu aku berucap. "Apa?" Bi Inah menoleh, mengahadapku. "Kak Naila ... punya pacar enggak, Bi?" tanyaku mencoba memancing, kira-kira Kak Naila ada hubungan dengan Zhafran atau tidak. Seketika raut wajah Bi Inah berubah. Tadinya wajah itu terlihat santai, tetapi sekarang berubah tegang. Mataku menatapnya tajam, menyelisik wajah Bi Inah. Melihatku yang menatapnya tajam, wanita itu langsung melirik kiri-kanan, seperti orang yang sedang berusaha mencari sebu
Zhafran mengempaskan tanganku ketika sudah berada di dalam kamar. Dia beralih untuk menutup pintunya. Pandanganku mengedar ke sekiling. Kamar bernuansa hitam putih yang luasnya sekitar 10×10 ini, penuh dengan dekorasi rock and roll di setiap pojok dan sudut dindingnya.Terlihat di atas nakas sana, foto pria berandalan itu terpajang. Ternyata ini kamar Zhafran. Kenapa dia mengajakku ke kamarnya? Pikiran buruk langsung melintas, memenuhi kepalaku. Setelah menutup pintu, Zhafran mendekatiku dengan raut datar. Tidak ada ekspresi di wajah tampan itu. Eh, tunggu, apa aku barusan bilang dia tampan? Cih! Aku menelan saliva dengan susah payah, menatap pemuda itu dengan waspada. Lantas, pandangan melirik kiri-kanan, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk senjata. Aku bukan Kak Naila yang selalu menyelesaikan masalah dengan cara yang lembut. Akan kuberi pria itu pelajaran, jika sampai berani kurang ajar! Zhafran terus mend
Tangan kanan yang menjadi pegangan terlepas. Membuat kedua kakiku juga tergelincir. Aku terjatuh."Kyaaak!"Sempat kulihat Zhafran berlari ke arahku dengan ekspresi tegang, sesaat sebelum aku menutup mata. Tidak berani melihat akan seperti apa tubuhku nanti terhantam oleh tanah. Pasti akan sangat menyakitkan dengan tulang-tulangku yang akan patah.Puluhan detik berlalu, belum juga kurasakan tubuhku menghantam tanah atau kesakitan. Aku masih sama, menutup mata dengan tubuh menegang. Belum berani untuk membuka mata. "Naila ...."Suara lembut seseorang menyapa telingaku. Perlahan, aku membuka mata. Menampilkan pria berwajah oval, alis tebal, hidung mancung, serta berahang tegas. Mata cokelatnya dinaungi oleh bulu mata yang tebal. Untuk sesaat, aku merasa nyaman berlama-lama memandang mata teduhnya. Mata itu juga memandangku penuh binar, entah kenapa? Aku beralih memandang ke atas, tempat di mana aku terja
Sontak aku mengangkat kepala, alis kembali mengernyit mendengar perkataan Bryan. Dari mana dia tahu misiku yang sebenarnya ke rumah ini? Mataku mendelik, menatap mata teduh Bryan dengan tajam, sedangkan dia tetap menatapku lekat. Berekspresi santai. 'Apakah saya harus jujur atau mengelak?' batinku bertanya-tanya. Aku menghela napas dalam. "Untuk bekerja," jawabku kemudian. "Ok." Bryan hanya menyahut singkat, lalu melanjutkan makan. Aku pikir akan gampang menemukan pelaku yang bertanggung jawab atas kepergian Kak Naila, tetapi ternyata aku salah. Terlalu banyak tanda tanya. Terlalu banyak teka-teki di rumah ini. Keluarga ini juga menurutku sedikit aneh. Bagaimana mungkin seorang petugas kepolisian bisa seatap dengan seorang berandalan. Kakaknya anggota kepolisian, sedangkan si adik seperti berandalan. "Semoga betah bekerja di sini."Selesai makan, Bryan berucap. Melirikku sekejap, lalu pergi dari