Share

Buncitnya Jenazah Kakakku
Buncitnya Jenazah Kakakku
Penulis: Ngolo_Lol

Bab 1: Jenazah dari Kota

Beberapa petugas ambulans turun, menuju ke belakang mobil, membuka pintunya. Lantas, mengeluarkan brankar yang tertutupi oleh kain putih. Meletakkan brankar tersebut di depan kaki Ibu. Wanita paruh baya itu menggeleng cepat, menyangkal apa yang datang. Terlihat bulir air mata jatuh menggenang di pipi tirusnya.

"Kenapa ambulans berhenti di depan rumah Bu Nina?"

"Siapa itu?"

"Mereka membawa siapa?"

Para tetangga saling bertanya-tanya.

Aku ikut menatap brankar yang tertutupi oleh kain putih tersebut. Sama seperti reaksi Ibu, aku juga menggeleng, berusaha menyangkal apa yang terlintas di pikiran.

Angin berembus kencang, membuat kain penutup brankar itu tersibak. Menampakkan gadis berumur 23 tahun, berambut panjang, hidung mancung, dan berpipi tirus. Namun sayang, bibirnya sangat pucat, bahkan seluruh wajahnya sepucat kapas. Terdapat luka kering di kening dan lebam di tulang pipinya. Gadis yang terkenal dengan kecantikan dan kesantunannya itu, sekarang terbaring tidak bernyawa.

"Tidaak! Ini tidak mungkin. Naylaa ...," tangis Ibu seketika pecah melihat putri sulungnya terbaring kaku. Ibu langsung luruh ke tanah dengan tangisan memilukan. Tangannya menepuk-nepuk tanah di samping brankar sang putri terbaring.

Aku mengepalkan tangan hingga bergetar. Napas terasa sesak disertai mata yang kian memanas. Lantas, pandangaku terlihat berkaca-kaca karena menahan bulir air mata yang akan luruh.

Ingin rasanya aku menangis, meraung-raung di samping jasad Kak Nayla. Namun, jika aku juga lemah, siapa yang akan menguatkan Ibu nantinya. Ibu hanya punya diriku sekarang. Satu kekuatannya telah berpulang untuk selamanya.

Aku mendekati Ibu. "Udah, Bu, ikhlaskan Kak Nayla," ujarku berat. Tangan kudaratkan di punggung Ibu, mengusapnya. Berusaha memberi dia kekuatan.

"Kenapa bisa seperti ini, Nil? Minta kakakmu untuk bangun!" titah Ibu setengah berteriak.

Dia terlihat sangat terpukul atas kepergian Kak Nayla. Putri yang dilepas pergi merantau ke kota, berharap bisa mengubah nasib ekonomi keluarga, tetapi malah pulang dengan keadaan tidak bernyawa.

"Lebih baik, kita urus jenazah Kak Nayla dulu, Bu. Kasihan kalau dibiarkan terlalu lama," saranku sembari terus mengusap punggung Ibu yang terasa bergetar.

Terlihat, pandangan Ibu nanar menatap mayat Kak Nayla. Aku memilih menarik kain putih, menutup kembali jasad Kak Nayla.

Para tetangga yang sedari tadi menonton, ikut membantu membawa jasad Kak Nayla ke dalam rumah. Aku memapah Ibu, membantunya berdiri dan masuk ke rumah. Air matanya tidak berhenti mengalir. Ketika baru sampai di ruang keluarga, Ibu terkulai lemas. Beliau pingsan.

"Ibu, Ibu!" panikku menahan bobot tubuh Ibu agar tidak terjatuh ke lantai tegel.

"Sini, biar saya bantu." Andy---teman sekampung, mendekat. Membantu menggendong Ibu dan membawanya ke kamar.

Untuk sementara, aku membiarkan Ibu terbaring di sana. Dia sangat syok dengan kejadian mendadak ini.

Aku mengembuskan napas berat. Rasanya napasku tertahan di tenggorokan, melihat jasad Kak Nayla yang telah terbaring di ruang keluarga. Di kelilingi oleh para pelayat. Memang benar, tidak ada yang tahu umur seseorang.

Baru beberapa hari yang lalu, Kak Nayla melakukan video call bersama kami. Terlihat sangat bahagia dengan senyum yang selalu merekah di bibir mungilnya. Walaupun aku melihat matanya yang agak sayu. Mungkin dia kecapekan dan kurang tidur akibat bekerja di rumah majikannya yang besar itu.

"Kak, kenapa harus secepat ini?" lirihku menatap jasad Kak Nayla dengan mata berembun.

Dua tahun yang lalu, Kak Nayla memutuskan untuk pergi merantau ke kota. Alasannya, ingin mengubah nasib ekonomi keluarga.

Kami yang hanya tinggal bertiga di rumah peninggalan Ayah, memang sangat terhimpit soal ekonomi. Maka dari itu, Kak Nayla memutuskan untuk bekerja di kota. Berat bagi Ibu melepas kepergian putri sulungnya tersebut, tetapi Kak Nayla tetap pada pendiriannya. Ia ingin sekali mengubah ekonomi keluarga.

Waktu itu, Bu Inah---bibiku, yang sudah terlebih dahulu bekerja sebagai ART di kota datang ke kampung. Ia mengatakan, majikannya mencari tambahan ART. Mendengar hal itu, Kak Nayla langsung antusias ingin ikut.

"Kalau Kakak nanti sudah punya banyak uang, Kakak akan bantu mewujudkan cita-citamu sebagai polwan, Gelap," ujar Kak Nayla di malam sebelum ia berangkat ke kota besok paginya.

Ia mengacak puncak rambut sebahu berponiku seraya menyebut 'Gelap', nama panggilannya kepadaku. Itu dikarenakan aku yang takut pada kegelapan, maka dari itu dia menyebutku dengan panggilan demikian.

Perkataan Kak Nayla malam itu, terngiang-ngiang di kepala.

"Nilfan, ayo, bantu! Kita urus permandian jenazah kakakmu." Nek Ani---pemandi jenazah memangil, membuyarkanku dari lamunan.

Di saat sedang ikut membantu Nek Ani memandikan jenazah Kak Nayla, alisku mengernyit melihat perut Kak Nayla yang membuncit. Terlihat kontras dengan tubuh Kak Nayla yang kurus. Jika diperhatikan dengan saksama, Kak Nayla terlihat sangat kurus sekarang. Berbeda dengan beberapa bulan lalu yang sedikit berisi. Kepalaku langsung dihinggapi oleh pikiran aneh, tetapi segera kutepis. Hal itu tidak mungkin! Kak Nayla gadis baik-baik.

Aku melanjutkan menyiramkan air ke jasad Kak Nayla, lalu menyabuni tubuhnya. Alisku kembali mengernyit, ketika melihat bekas jari di bawah lengan Kak Nayla. Sekejap, aku menghentikan aktivitas memandikan jasadnya. Menatap Kak Nayla dengan lekat, ingin bertanya dan memastikan apa yang kupikirkan ini tidaklah benar.

"Sudah bersih di bagian situ, Nil?" Nek Ani bertanya.

Aku yang tengah melamun, setengah terkejut mendengar pertanyaannya. "Ah, iya, sudah selesai, Nek!" jawabku seraya membersihkan seluruh sabun di tubuh Kak Nayla.

Seteleh selesai memandikan jasad Kak Nayla. Lantas, dilanjutkan dengan mengkafaninya. Terlihat beberapa ibu-ibu yang sedang membantu mengkafani jasad Kak Nayla saling berbisik, memperhatikan perut Kak Nayla. Ketika melihatku menatap tajam, mereka sontak membuang pandangan dan salah tingkah. Walaupun masih berumur 20 tahun, tetapi aku lumayan disegani di desa ini.

Aku memilih menyadarkan Ibu dari pingsan. Seperti tadi, Ibu kembali menangis pilu melihat jasad putrinya yang telah terbungkus kafan dan disalatin.

"Nayla ...!" tangis Ibu.

Kami mengantarkan Kak Nayla ke peristirahatan terakhirnya. Sembari mengelus punggung Ibu yang tersengguk-sengguk, aku memanjatkan doa untuk Kak Nayla. Berharap ia bisa tenang di alam sana.

Matahari sudah condong ke barat sekarang. Sepulang dari makam, Ibu langsung masuk ke kamarnya, mengunci diri. Aku khawatir dengan apa yang ia lakukan, tetapi Ibu meminta untuk tidak menganggunya terlebih dahulu. Aku pun menuruti.

Aku memilih kembali ke kamar, merebahkan tubuh. Sebelum Kak Nayla bekerja di kota, kamar ini milik kami berdua. Ya, rumah peninggalan Ayah memang begitu kecil, hanya ada dua kamar. Perlahan kelopak mata mulai berat, aku menutupnya.

"Huhuhu, hiks, hiks!"

Samar-samar terdengar suara seseorang yang menangis lirih. Tangisannya begitu pilu menyapa indra pendengaran.

Dengan mata yang masih terpejam, aku bergumam. "Apa Ibu menangis lagi?"

Makin lama, suara tangisan tersebut berangsur mendekat. Seperti di dalam kamarku.

"Huhuhu, hiks, hiks, huhuhu, tolong Kakak, Gelap!"

Mataku sontak terbuka lebar kala mendengar nama panggilan Kak Nayla untukku. Gegas aku bangun mencari sumber suara itu. Terlihat lampu di kamar berkedap-kedip. Pandanganku langsung terpaku ke arah pojok lemari.

Berdiri di sana, sesosok berambut panjang yang menutupi sebelah wajahnya dengan pakaian putih menjuntai panjang hingga ke lantai. Ia menunduk sembari terdengar tangisan pilu darinya.

"K-Kak, Nayla ...?" ucapku tercekat. Aku beringsut mundur sambil menahan debaran jantung yang bertalu-talu. Aku sangat ketakutan.

Sosok itu perlahan mendongak, memperlihatkan sebelah wajahnya yang seputih kapas. Matanya yang hitam dan tajam, berhasil membuatku merinding.

Ia perlahan mendekat sembari menelengkan kepalanya dengan cepat ke kiri dan ke kanan. Seiring bergeraknya kepala itu, terdengar pula seperti bunyi mengkriuk tulang dipatahkan. Sungguh, sangat membuat ngilu bagi yang mendengarkan. Aku menahan napas di tenggorokan ketika tangan Kak Nayla terjulur kepadaku.

"Jangan ganggu Nilfan, Kak ...." Aku memohon.

"Tolong Kakak, Gelap!" rintihnya terdengar menyakitkan.

Tiba-tiba saja, meluncur segumpal janin dari tengah-tengah pakaian putih Kak Nayla. Mata Kak Nayla melotot, menatapku penuh amarah. Lantas, dia berteriak keras menusuk indra pendengaranku.

"Kyaaak!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status