Zhafran menarik diriku untuk berdiri. "Lepas!" Sontak aku menepis tangannya, mundur dengan tatapan waspada. Lagi-lagi Zhafran tersenyum smirk. "Abisnya, lo itu benaran polos apa cuman pura-pura polos, sih?" Hal begitu aja enggak tau!"Aku kembali memperhatikan seluruh pakaian. Lantas, menyelisik wajah beralis tebal itu, mencari-cari apakah ada raut kebohongan atau tidak. "Benaran enggak terjadi apa pun, 'kan, semalam?" tanyaku pelan. Zhafran mendengkus seraya membuang muka. "Hmm!" "Lagipula, gue nggak tertarik sama bodi mistar kayak lo." Zhafran memindai diriku dengan tampang remeh. Walaupun dia mengejek, tetapi aku mengembuskan napas lega. Syukurlah tidak terjadi apa-apa"Btw, yang tadi itu manis juga." Zhafran mengulum bibirnya seraya menatapku aneh. Sontak aku mengingat perlakuannya yang tanpa permisi menyambar bibirku tadi. Emosi kembali melandaku. "Dasar mesum!" geramku m
Zhafran ikut menatap ke arahku dengan tajam. Seolah-olah memberi kode agar jangan memberi tahu pria di hadapanku itu, 'kami habis dari mana.' "Dari ...." Aku bingung harus menjawab apa. Alis sambung menyambung yang dimiliki Bryan, berhasil membuatku salah tingkah kala alis tersebut dinaikkan sebelah. "Urusan lo apa?" sela Zhafran menatap malas ke kakaknya. "Ya, aku cuman pengen tau aja kalian habis dari mana? Cuman itu." Bryan tersenyum simpul. Pesonanya itu, selalu mampu membuat hati siapa saja menjadi adem melihatnya. Pagi ini, Bryan yang mengenakan kaus oblong berwarna cokelat dan celana joger loreng, begitu sangat tampan dengan rambut basah yang sesekali masih menetes. Sepertinya, dia terburu-buru hendak ke kantor. Sampai lupa mengeringkan rambutnya. "Jalan-jalan," jawab Zhafran. "Sepagi ini?" Alis tebal Bryan bertaut, membuatnya makin menyatu. "Kamu ngajak anak orang pagi-pagi begini ke mana?""Kenap
Terpampang dalam lemari, di rak bagian tengah ada beberapa daster dengan warna dan motif yang berbeda tersusun rapi di sana. Kak Naila memang sangat suka memakai yang namanya daster. Berbagai ukuran dan jenis ia suka kenakan. Sangat bertolak belakang denganku yang sama sekali dan tidak pernah menyentuh jenis pakaian itu. Menurutku, akan sangat susah bergerak jika memakai daster. Aku tidak akan bisa menendang seseorang, jika ada yang kurang ajar. Aku memilah satu per satu pakaian milik Kak Naila, lalu mencoba mengendusnya. Bau tubuh Kak Naila masih menempel di pakaian tersebut. Seketika saja aku dilanda kerinduan akan sosoknya. Rindu dengan sikap lembutnya yang selalu sabar menghadapi tingkah jailku. "Nilfan kangen Kakak ...." Setetes bulir air mata jatuh begitu saja. Kedua sudut bibirku tertarik dengan paksa ke atas kala melihat sebuah sweater kuning dilipat rapi. Disimpan paling bawah di antara tumpukkan daster. Itu sweater yang kuberikan kep
[𝘚𝘦𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘪 𝘬𝘢𝘮𝘢𝘳, 𝘋𝘦𝘯 𝘉𝘳𝘺𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘴𝘶𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘴𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘫𝘶 𝘨𝘢𝘯𝘵𝘪. 𝘗𝘢𝘬𝘢𝘪𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘣𝘢𝘴𝘢𝘩 𝘬𝘶𝘺𝘶𝘱 𝘥𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘳𝘢 𝘥𝘪𝘨𝘢𝘯𝘵𝘪. 𝘚𝘦𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶 𝘣𝘢𝘫𝘶 𝘨𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨, 𝘋𝘦𝘯 𝘉𝘳𝘺𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘴𝘪𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘶𝘣𝘶𝘩 𝘥𝘪 𝘬𝘢𝘮𝘢𝘳 𝘮𝘢𝘯𝘥𝘪. 𝘓𝘢𝘯𝘵𝘢𝘴, 𝘬𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘯𝘥𝘶𝘬 𝘴𝘦𝘱𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘯𝘨. 𝘔𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘬𝘪𝘬 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘣𝘢𝘥𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘯𝘨𝘢𝘩 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘯𝘫𝘢𝘯𝘨.][𝘚𝘢𝘺𝘢 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘬𝘪𝘬 𝘬𝘢𝘭𝘢 𝘱𝘦𝘵𝘪𝘳 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘮𝘣𝘢𝘳 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘶𝘢𝘳𝘢 𝘳𝘢𝘶𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘨𝘦𝘵𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘫𝘪𝘸𝘢. 𝘛𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘴𝘢𝘥𝘢𝘳, 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘭𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘦 𝘋𝘦𝘯 𝘉𝘳𝘺𝘢𝘯. 𝘔𝘦𝘮𝘦𝘭𝘶𝘬𝘯𝘺𝘢. 𝘋𝘦𝘯 𝘉𝘳𝘺𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘵𝘢𝘱𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘳𝘢𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘴𝘦𝘯𝘺𝘶𝘮 𝘨𝘦𝘭𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯, "𝘴𝘶𝘢𝘳𝘢𝘮𝘶 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘬𝘦𝘯𝘤𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘮𝘣𝘢𝘯?
Bab 32: Dianiaya di PenjaraSemua mata melirik tajam ke arah diri ini, sedangkan aku mundur perlahan seraya mengusap kepala dan kedua pipi. Rasanya begitu perih akibat cengkeraman kuat dari wanita yang sedang terkulai lemas di lantai keramik tersebut. Mendengar keributan yang terjadi di ruang keluarga, membuat Bi Inah ikutan datang kemari. Dia tergopoh dengan wajah panik. Saat melihat salah satu teman arisan Nyonya Arelia terkulai di lantai dengan bersimbah darah, sontak membuat wajah Bi Inah tegang. Dia melirik takut ke arahku, seolah-olah ingin menanyakan bukan aku yang melakukannya. "Kalau sampai Jeng Diana kenapa-napa, awas aja kamu!" Seorang wanita bertubuh agak tambun berdiri sembari mengacungkan telunjuknya. "Jeng Arelia, kok, cari ART yang tidak sopan begini, sih? Liat, Jeng Diana yang jadi korbannya!" Wanita lainnya ikut memanasi keadaan. Mereka semua menatap nyalang ke arahku, sedangkan Nyonya Arelia terdiam di tem
Bab 33: Ditolong oleh BryanSuara lembut seseorang menyapa indra pendengaran, membuat alisku yang menempel pada lutut mengernyit. Dalam hati aku bertanya-tanya, siapa orang tersebut. Siapa yang datang mengunjungikku?"Nilfan ...." Lagi, suara lembut itu memanggil namaku. Tangannya yang diletakkan di pundakku, sedikit diguncangnya. Aku masih sama, menenggelamkan wajah di antara kedua lutut. Belum ingin mendongak melihat siapa si pemilik suara. Pikiranku masih mencari-cari, siapa orang yang datang tersebut. Terdengar seperti familier. "Nilfan, kau mendengarku?" Dia kembali bersuara. Tangannya kembali mengguncang pundakku. Perlahan, aku mendongak. Menatap pria yang sedang berlutut di hadapanku itu dengan tajam dan mata basah. Sang pria yang yang mengenakan pakaian dinas dan dibalut dengan jaket kulit itu langsung tercengang melihat wajahku. Mata cokelatnya itu membulat sempurna kala melihat kondisi wajahku yang pastinya babak be
Air bercampur darah sontak menyembur dari mulutku. Membasahi dashboard mobil Bryan. Aku terbatuk kala minum terlalu cepat. Rasanya kerongkonganku begitu kering pasca penganiayaan tadi. "Hati-hati, Nilfan!" Bryan menyapu-nyapu punggungku. "Ahhk!" ringisku. "Maaf, maaf ...." Bryan menarik tangannya menjauh. "Mereka memukul punggungmu juga?" tanyanya dengan raut kasihan. Aku benar-benar muak melihat wajah teduh yang penuh dengan kemunafikan itu. Memilih hanya untuk mengangguk pelan merespons pertanyaannya. Bryan merogoh saku jaketnya, mengeluarkan sebuah sapu tangan berwarna oranye. Lantas, dia membuka dashboard. Mengeluarkan sebuah botol berisi cairan. Terlihat seperti botol infus, tetapi lebih kecil daripada yang ada di rumah sakit. Bryan menuangkan air dalam botol tersebut ke sapu tangan, lalu dia mendekat pada diri ini. Aku menatapnya waspada yang sedang datang mendekat. "Aku bantu bersihin lukamu, yah?" ucapnya
Mata menyipit kala mendapat sorotan menyilaukan dari lampu LED mobil di depan mobil Bryan. Suara klakson-nya pun belum di hentikan. Justru malah bertambah nyaring, menekan-nekannya beberapa kali, lalu menekannya lama. 'Beep, beep, beep, beeeeppp!'Suara klakson mobilnya begitu memekakkan telinga. Membuatku meringis dengan suara tersebut. Bryan ikutan membunyikan klakson mobilnya seraya menatap tajam di depan sana. Membuat mereka seolah-olah sedang bertarung menggunakan suara klakson. "Berisiiiiik!" Aku meringis panjang seraya menutup kuping. Bryan melirikku yang sedang meringis seraya menutup kuping. Dia menghentikan klakson pada mobilnya. "Kurang ajar! Anak itu suka sekali mengajakku bertarung tanpa lihat kondisi terlebih dahulu!" Bryan berucap kesal, lalu keluar dari mobil. Aku mengangkat telapak tangan, menghalangi silau lampu mobil yang begitu sangat terang tersebut. Lantas, mengintip sedikit. Melihat siapa si