Share

15. Hilang

Pagi buta bergegas aku menuruni tangga, netraku menyapu sekeliling ruangan mencari Syahdu yang biasanya jam segini sedang bersih-bersih di ruang tengah. Tapi pagi ini tak kelihatan batang hidungnya. Kususuri semua ruangan dan halaman tetap tak ada.

"Masak iya jam segini Syahdu belum bangun, tidak biasanya." Lalu aku menuju kamarnya, ternyata dia masih tertidur, meringkuk dengan tubuh menggigil.

"Syahdu! Ya Allah tubuhnya panas sekali. Syahdu, kamu sakit?" Sambil kupegang dahinya yang panas, kubangunkan Syahdu pelan.

"Dinda! Jangan sakiti Dinda!" Dengan suara parau buru-buru dia mendekap Dinda yang terbaring di sampingnya.

"Siapa yang mau menyakiti Dinda, Syahdu? Ini Mas Banyu. Kamu mimpi buruk ya?" Dia hanya menggelengkan kepala dengan tatapan seperti ketakutan.

"Aku nggak mau kehilangan Dinda, jangan sakiti dia!"

"Iya, tidak ada yang akan menyakiti Dinda. Apa yang kamu rasakan? Pusing? Kamu kecapekan ya. Hari ini kamu istirahat dulu. Nggak usah ngerjain kerjaan rumah. Sebentar, Mas Banyu ambil air hangat buat ngompres kamu."

Tak berapa lama, kubawa baskom yang berisi air hangat dan waslap bersih. Kutaruh di bawah ranjang lalu aku kembali lagi ke dapur mengambil teh hangat dan roti.

"Ini, Syahdu, diminum dulu teh hangatnya." Kusodorkan segelas teh hangat lengkap dengan sedotan supaya Syahdu tak perlu bangun untuk meminumnya.

Lalu kukasih roti supaya perutnya terisi makanan, "Makan roti dulu, terus minum obat penurun panas," perintahku sambil terus kukompres dahinya.

"Mas Banyu sudah DO bubur ayam buat sarapan Syahdu dan Dinda. Sebentar lagi juga dateng. Kamu kemarin ngerjain pekerjaan rumah apa, Syahdu, sampai kecapekan dan sakit begini?" Dia hanya menggeleng-geleng dan mendekap Dinda lagi.

"Jangan sakiti, Dinda! Jangan sakiti Dinda!"

"Ada yang mau menyakiti Dinda? Siapa? Bilang sama Mas Banyu!" Tak ada kata-kata dari mulutnya, dia hanya terus mendekap Dinda sambil sesekali menyeka air matanya.

"Nah, tuh. Buburnya sudah datang. Sebentar ya." Bergegas aku keluar mengambil bubur dan langsung kembali ke kamar lagi.

"Kamu bisa duduk kan, Syahdu. Ayo Mas Bantu." Pelan-pelan kubantu Syahdu duduk, tubuhnya kenapa seperti lemas sekali.

"Mas suapin ya, makan yang banyak biar tenagamu pulih lagi." Kusendok sedikit bubur ke mulut Syahdu yang mulanya tertutup rapat, enggan makan.

"Syahdu, ayolah kamu makan dulu. Sedikit saja. Mau sehat nggak? Ayo dibuka mulutnya," setelah kupaksa akhirnya mau juga dia makan meski cuma sedikit.

"Sudah ya, kamu istirahat lagi. Mas Banyu mau siap-siap, mau kerja," pamitku setelah kubaringkan tubuhnya lagi tapi dia menarik lenganku dengan tatapan mengiba.

"Syahdu, kenapa? Ada yang mau kamu ceritakan pada Mas Banyu?" Kuusap dahinya yang mulai reda panasnya dan dia tetap terdiam tak menjawab.

Entahlah, aku merasa ada yang aneh dengan Syahdu. Syahdu yang biasanya berceloteh kekanakan dan manja tapi pagi ini tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

"Ya sudah kalau nggak ada yang mau Syahdu sampaikan, Mas Banyu pergi dulu ya. Itu bubur buat Dinda, suapin kalau sudah bangun. Kalau kamu nggak kuat bangun jangan sungkan minta bantuan Ibu atau Arumi ya."

Tapi belum juga tubuhku beranjak dari tepi pembaringan Syahdu, Arumi dan Ibu sudah berteriak di depan pintu kamar.

"Mas Banyu! Apa yang Mas Banyu lakukan di kamar Syahdu sepagi ini!"

"Syahdu sakit. Badannya panas."

"Tapi Mas Banyu nggak harus menemani di kamarnya kan? Ingat, Mas. Mas Banyu sudah beristri. Apa pantas laki-laki beristri masuk ke kamar perempuan lain?!"

"Ya sudah kalau aku nggak boleh di sini. Sini kamu rawat Syahdu. Jagain dia. Dia butuh perawatan!" teriakku tapi dia tetap mematung di depan pintu.

"Nggak ada yang mau kan?! Aku minta tolong ya, Bu, Arumi. Untuk hari ini bebaskan Arumi dari pekerjaan rumah. Biarkan dia istirahat dulu. Dan tolong nanti siang antar makanan buat Syahdu dan Dinda ke kamarnya. Kalau perlu bantuin suapin Dinda. Juga minta tolong cek suhunya dan beri obat. Kalau kalian tidak mau, berarti aku harus pulang dulu nanti."

"Iya, iya, dia biar kita yang urus. Kamu nggak usah pulang. Fokus urus pekerjaanmu saja!" Akhirnya jawaban Ibu bisa membuatku tenang meninggalkan Syahdu.

***

POV Rangga

Setelah menunggu lama di kejauhan, akhirnya mobil Banyu keluar dari garasi rumahnya. Aku bergegas melajukan mobilku ke arah rumah Banyu. Sengaja aku kesini pagi supaya sebelum model-model yang lain dan crew datang aku bisa puas ngerjain Syahdu dulu. Tuh cewek bikin nagih juga.

"Pagi, Tante, Arumi, wah bisa ikut sarapan, nih." sapaku pada Tante dan Arumi yang baru menikmati sarapan.

"Sini, Rangga. Ayo, sarapan dulu."

"Lho, Syahdu mana, Tant?"

"Hari ini Syahdu tidak bisa ikut kamu untuk pemotretan. Dia sakit."

"Sakit? Wah, nggak bisa, Tant. Jadwal dengan model-model lain nggak bisa dibatalin sepihak dan mendadak. Hari ini harus selesai." Aku terus meyakinkan Tante, rencanaku hari ini tidak boleh batal.

"Orang sakit begitu tetep mau kamu bawa?"

"Iya, Tant. Nggak pa pa. Nanti aku akan menyembuhkannya. Dimana Syahdu?"

"Tapi nanti kalau terjadi apa-apa dengan dia gimana, Ngga. Tante takut sama Banyu."

"Nggak akan terjadi apa-apa, Tant. Rangga akan jaga Syahdu."

"Ya sudah terserah kamu, Ngga. Tapi ingat. Syahdu sudah harus di rumah sebelum Banyu pulang."

"Iya, tenang aja."

"Ayo, Tante anter ke kamar Syahdu."

Baru saja kami membuka pintu kamar, Syahdu langsung mendekap Dinda yang sedang bermain di sampingnya dengan sorot mata ketakutan.

"Jangan sakiti Dinda! Pergi! Jangan sakiti Dinda!

"Kalau kamu pengin Dinda selamat, sekarang juga ikut aku, Syahdu!" bentakku yang membuat dia ketakutan dan hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Aku berusaha merebut Dinda dari dekapannya.

"Jangan ambil Dinda!" Dia terus meronta berusaha mempertahankan Dinda tapi aku tak peduli, aku harus membawa Syahdu.

Dia hanya butuh digertak dan diancam maka akan jinak dengan sendirinya.

"Ya sudah kamu bangun, ganti baju dan ikut aku! Buruan!"

"Pusing! Kepalaku pusing!" rintihnya sambil memegangi kepalanya.

"Kalau begitu aku akan membawa Dinda dan membunuhnya!"

"Rangga!"

"Sst ... Dia harus diancam, Tante!"

"Iya, aku akan ganti baju dan ikut kamu. Jangan sakiti Dinda." Akhirnya dia bangun dengan sempoyongan.

"Tante, tolong bantuin Syahdu ganti baju."

"Iya, sudah kamu keluar sana. Bawa Dinda keluar. Arumi siapin perlengkapan Dinda."

Dengan susah payah dan paksaan akhirnya aku berhasil membawa Syahdu ke tempat pemotretan. Dan sesuai rencanaku. Tempat pemotretan masih sepi. Baru ada si Tiur, OB kita. Aku akan menikmati sarapan istimewa sendirian dengan puas kali ini. Dengan keadaan Syahdu yang lemah begitu bisa dipastikan dia tidak punya kekuatan untuk menyerangku.

"Tiur, kamu jaga anak ini ya, sebentar. Aku dan Syahdu ada perlu." Kuserahkan Dinda pada Syahdu lalu aku menggiring paksa Syahdu yang lunglai masuk ke ruangan khusus kami, tempat biasa ngerjain para model.

Belum diapa-apain dia sudah terkapar diranjang sambil memegangi kepalanya.

"Pusing! Kepalaku pusing!"

Rasanya sudah tidak sabar untuk melucuti satu persatu pakaiannya. Tapi baru saja tangan ini menyentuh dadanya, dia berontak dan mengamuk seperti orang kesetanan. Entah darimana kekuatannya, tubuhnya yang tadinya lemah lunglai tiba-tiba berubah garang. Mencakar, menendang, memukulku sambil berteriak-teriak.

"Pergi! Tolooong! Tolooong!" teriakan dan tangisnya yang justru membuatku semakin bernafsu.

"Teriak aja terus. Nggak bakal ada yang denger. Ruangan ini kedap suara!" Kutahan tangannya kuat dan kurobek robek bajunya.

Tak kuhiraukan jeritannya yang meronta-ronta. Aku mulai menikmati tubuhnya yang putih mulus dan melampiaskan hasrat yang dari tadi sudah menggebu sampai sebuah pukulan sebuah benda keras di kepalaku membuatku tak ingat apapun.

Saat kubuka mataku pelan, aku merasakan sakit yang luar biasa di kepala. Dan Syahdu ... di mana dia. Buru-buru kupakai bajuku dan berlari keluar.

"Tiuuur! Mana Dinda? Mana Syahdu?!"

"Tadi Dinda saya taruh di luar sedang bermain sendiri, Pak. Saya ke dapur sebentar mengambilkan dia air putih. E ... Saya keluar Dinda sudah tidak ada. Sepertinya Dinda di bawa Kak Syahdu. Soalnya kalau dibawa selain ibunya, saya nggak denger suara tangisnya."

"Sialan! Bang***! Cari mereka Tiur! Susuri di semua ruangan. Aku akan cari dia di jalanan."

Tapi dua jam sudah aku menyusuri jalanan tak ada tanda-tanda Syadu ketemu. Dengan tubuh lunglainya kemana dia pergi sebegitu cepat.

***

POV Ibu

Aku mulai cemas. Sudah sore begini kenapa Rangga dan Syahdu belum pulang juga. Sebentar lagi Banyu datang.

"Arumi, tolong kamu telepon Rangga. Suruh cepat pulang. Sebentar lagi Banyu datang."

"Iya, Bu."

"Nih, Bu, Rangga pengin ngomong sama Ibu katanya."

"Ada apa, Ngga? Buruan kamu pulang! Sebentar lagi Banyu pulang!"

"Tante, minta maaf. Ini Syahdu hilang, Tant. Aku lagi nyoba nyari dari tadi pagi tapi nggak ketemu juga ini."

"Apaaaaaa??! Gimana sih, Ngga, kok bisa? Jangan bercanda kamu!"

"Iya, Tant. Ceritanya panjang. Syahdu kabur dari tempat pemotretan tadi."

" Terus gimana Tante ngomongnya sama Banyu?!"

"Bilang aja, Tant. Syahdu kabur dari rumah."

Kututup teleponnya setelah kudengar mobil Banyu datang. Entahlah, bagaimana aku akan menghadapinya. Pasti masuk rumah yang ditanyain Syahdu.

"Gimana ini, Rum?"

"Sudah, Bu, bilang saja seperti kata Rangga tadi, Syahdu pergi dari rumah. Kebeneran malah dia pergi dari rumah ini. Jadi kita tak perlu repot-repot ngurus dia."

"Assallamu'alaikum, Bu, Arumi," Banyu yang baru saja datang lamgsung mencium tanganku tanpa curiga.

"Gimana Syahdu, Bu? Masih panas badannya? Sebentar ya aku mau ke kamarnya lihat kondisinya. Ayo, Rum, temani aku. Nanti kamu cemburu lagi."

"Banyu ... Sebenarnya ... sebenarnya ..."

"Kenapa, Bu? Ada apa?"

"Syahdu hilang, Mas. Dia kabur dari rumah."

"Apaaaaaa?! Hilang bagaimana? Dia sakit kan? Mana mungkin dia bisa kabur dari rumah. Kalian buang dimana Syahdu?!"

"Tega kamu ya, Banyu, menuduh Ibu dan Arumi seperti itu. Kenyataannya dia bisa kabur. Tadi Ibu lihat dia tertidur dengan Dinda. Makanya Ibu dan Arumi akhirnya juga ikut tidur siang. E ... bangun tidur Syahdu sudah nggak ada di kamarnya. Ibu dan Arumi coba cari di sepanjang jalan tapi nggak ketemu." Lega akhirnya aku bisa bercerita lancar meski harus berbohong.

Terlihat raut cemas dan kebingungan di wajah Banyu kemudian dengan terburu-buru

pergi lagi meninggalkan kami.

***

1 tahun kemudian

POV Syahdu

.

.

.

Apa yang terjadi dengan Syahdu selama 1 tahun ya.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Ai komalasari
lnjut thor
goodnovel comment avatar
Ai komalasari
kasian sdh jatuh tertimpa tangga.. sabar syahdu
goodnovel comment avatar
Munqidz Zahrawaani
wah harusnya banyu kasih Intel buat ngawasin dan jgain syahdu drumah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status