Pagi buta bergegas aku menuruni tangga, netraku menyapu sekeliling ruangan mencari Syahdu yang biasanya jam segini sedang bersih-bersih di ruang tengah. Tapi pagi ini tak kelihatan batang hidungnya. Kususuri semua ruangan dan halaman tetap tak ada.
"Masak iya jam segini Syahdu belum bangun, tidak biasanya." Lalu aku menuju kamarnya, ternyata dia masih tertidur, meringkuk dengan tubuh menggigil."Syahdu! Ya Allah tubuhnya panas sekali. Syahdu, kamu sakit?" Sambil kupegang dahinya yang panas, kubangunkan Syahdu pelan."Dinda! Jangan sakiti Dinda!" Dengan suara parau buru-buru dia mendekap Dinda yang terbaring di sampingnya."Siapa yang mau menyakiti Dinda, Syahdu? Ini Mas Banyu. Kamu mimpi buruk ya?" Dia hanya menggelengkan kepala dengan tatapan seperti ketakutan."Aku nggak mau kehilangan Dinda, jangan sakiti dia!""Iya, tidak ada yang akan menyakiti Dinda. Apa yang kamu rasakan? Pusing? Kamu kecapekan ya. Hari ini kamu istirahat dulu. Nggak usah ngerjain kerjaan rumah. Sebentar, Mas Banyu ambil air hangat buat ngompres kamu."Tak berapa lama, kubawa baskom yang berisi air hangat dan waslap bersih. Kutaruh di bawah ranjang lalu aku kembali lagi ke dapur mengambil teh hangat dan roti."Ini, Syahdu, diminum dulu teh hangatnya." Kusodorkan segelas teh hangat lengkap dengan sedotan supaya Syahdu tak perlu bangun untuk meminumnya.Lalu kukasih roti supaya perutnya terisi makanan, "Makan roti dulu, terus minum obat penurun panas," perintahku sambil terus kukompres dahinya."Mas Banyu sudah DO bubur ayam buat sarapan Syahdu dan Dinda. Sebentar lagi juga dateng. Kamu kemarin ngerjain pekerjaan rumah apa, Syahdu, sampai kecapekan dan sakit begini?" Dia hanya menggeleng-geleng dan mendekap Dinda lagi."Jangan sakiti, Dinda! Jangan sakiti Dinda!""Ada yang mau menyakiti Dinda? Siapa? Bilang sama Mas Banyu!" Tak ada kata-kata dari mulutnya, dia hanya terus mendekap Dinda sambil sesekali menyeka air matanya."Nah, tuh. Buburnya sudah datang. Sebentar ya." Bergegas aku keluar mengambil bubur dan langsung kembali ke kamar lagi."Kamu bisa duduk kan, Syahdu. Ayo Mas Bantu." Pelan-pelan kubantu Syahdu duduk, tubuhnya kenapa seperti lemas sekali."Mas suapin ya, makan yang banyak biar tenagamu pulih lagi." Kusendok sedikit bubur ke mulut Syahdu yang mulanya tertutup rapat, enggan makan."Syahdu, ayolah kamu makan dulu. Sedikit saja. Mau sehat nggak? Ayo dibuka mulutnya," setelah kupaksa akhirnya mau juga dia makan meski cuma sedikit."Sudah ya, kamu istirahat lagi. Mas Banyu mau siap-siap, mau kerja," pamitku setelah kubaringkan tubuhnya lagi tapi dia menarik lenganku dengan tatapan mengiba."Syahdu, kenapa? Ada yang mau kamu ceritakan pada Mas Banyu?" Kuusap dahinya yang mulai reda panasnya dan dia tetap terdiam tak menjawab.Entahlah, aku merasa ada yang aneh dengan Syahdu. Syahdu yang biasanya berceloteh kekanakan dan manja tapi pagi ini tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya."Ya sudah kalau nggak ada yang mau Syahdu sampaikan, Mas Banyu pergi dulu ya. Itu bubur buat Dinda, suapin kalau sudah bangun. Kalau kamu nggak kuat bangun jangan sungkan minta bantuan Ibu atau Arumi ya."Tapi belum juga tubuhku beranjak dari tepi pembaringan Syahdu, Arumi dan Ibu sudah berteriak di depan pintu kamar."Mas Banyu! Apa yang Mas Banyu lakukan di kamar Syahdu sepagi ini!""Syahdu sakit. Badannya panas.""Tapi Mas Banyu nggak harus menemani di kamarnya kan? Ingat, Mas. Mas Banyu sudah beristri. Apa pantas laki-laki beristri masuk ke kamar perempuan lain?!""Ya sudah kalau aku nggak boleh di sini. Sini kamu rawat Syahdu. Jagain dia. Dia butuh perawatan!" teriakku tapi dia tetap mematung di depan pintu."Nggak ada yang mau kan?! Aku minta tolong ya, Bu, Arumi. Untuk hari ini bebaskan Arumi dari pekerjaan rumah. Biarkan dia istirahat dulu. Dan tolong nanti siang antar makanan buat Syahdu dan Dinda ke kamarnya. Kalau perlu bantuin suapin Dinda. Juga minta tolong cek suhunya dan beri obat. Kalau kalian tidak mau, berarti aku harus pulang dulu nanti.""Iya, iya, dia biar kita yang urus. Kamu nggak usah pulang. Fokus urus pekerjaanmu saja!" Akhirnya jawaban Ibu bisa membuatku tenang meninggalkan Syahdu.***POV RanggaSetelah menunggu lama di kejauhan, akhirnya mobil Banyu keluar dari garasi rumahnya. Aku bergegas melajukan mobilku ke arah rumah Banyu. Sengaja aku kesini pagi supaya sebelum model-model yang lain dan crew datang aku bisa puas ngerjain Syahdu dulu. Tuh cewek bikin nagih juga."Pagi, Tante, Arumi, wah bisa ikut sarapan, nih." sapaku pada Tante dan Arumi yang baru menikmati sarapan."Sini, Rangga. Ayo, sarapan dulu.""Lho, Syahdu mana, Tant?""Hari ini Syahdu tidak bisa ikut kamu untuk pemotretan. Dia sakit.""Sakit? Wah, nggak bisa, Tant. Jadwal dengan model-model lain nggak bisa dibatalin sepihak dan mendadak. Hari ini harus selesai." Aku terus meyakinkan Tante, rencanaku hari ini tidak boleh batal."Orang sakit begitu tetep mau kamu bawa?""Iya, Tant. Nggak pa pa. Nanti aku akan menyembuhkannya. Dimana Syahdu?""Tapi nanti kalau terjadi apa-apa dengan dia gimana, Ngga. Tante takut sama Banyu.""Nggak akan terjadi apa-apa, Tant. Rangga akan jaga Syahdu.""Ya sudah terserah kamu, Ngga. Tapi ingat. Syahdu sudah harus di rumah sebelum Banyu pulang.""Iya, tenang aja.""Ayo, Tante anter ke kamar Syahdu."Baru saja kami membuka pintu kamar, Syahdu langsung mendekap Dinda yang sedang bermain di sampingnya dengan sorot mata ketakutan."Jangan sakiti Dinda! Pergi! Jangan sakiti Dinda!"Kalau kamu pengin Dinda selamat, sekarang juga ikut aku, Syahdu!" bentakku yang membuat dia ketakutan dan hanya menggeleng-gelengkan kepala.Aku berusaha merebut Dinda dari dekapannya."Jangan ambil Dinda!" Dia terus meronta berusaha mempertahankan Dinda tapi aku tak peduli, aku harus membawa Syahdu.Dia hanya butuh digertak dan diancam maka akan jinak dengan sendirinya."Ya sudah kamu bangun, ganti baju dan ikut aku! Buruan!""Pusing! Kepalaku pusing!" rintihnya sambil memegangi kepalanya."Kalau begitu aku akan membawa Dinda dan membunuhnya!""Rangga!""Sst ... Dia harus diancam, Tante!""Iya, aku akan ganti baju dan ikut kamu. Jangan sakiti Dinda." Akhirnya dia bangun dengan sempoyongan."Tante, tolong bantuin Syahdu ganti baju.""Iya, sudah kamu keluar sana. Bawa Dinda keluar. Arumi siapin perlengkapan Dinda."Dengan susah payah dan paksaan akhirnya aku berhasil membawa Syahdu ke tempat pemotretan. Dan sesuai rencanaku. Tempat pemotretan masih sepi. Baru ada si Tiur, OB kita. Aku akan menikmati sarapan istimewa sendirian dengan puas kali ini. Dengan keadaan Syahdu yang lemah begitu bisa dipastikan dia tidak punya kekuatan untuk menyerangku."Tiur, kamu jaga anak ini ya, sebentar. Aku dan Syahdu ada perlu." Kuserahkan Dinda pada Syahdu lalu aku menggiring paksa Syahdu yang lunglai masuk ke ruangan khusus kami, tempat biasa ngerjain para model.Belum diapa-apain dia sudah terkapar diranjang sambil memegangi kepalanya."Pusing! Kepalaku pusing!"Rasanya sudah tidak sabar untuk melucuti satu persatu pakaiannya. Tapi baru saja tangan ini menyentuh dadanya, dia berontak dan mengamuk seperti orang kesetanan. Entah darimana kekuatannya, tubuhnya yang tadinya lemah lunglai tiba-tiba berubah garang. Mencakar, menendang, memukulku sambil berteriak-teriak."Pergi! Tolooong! Tolooong!" teriakan dan tangisnya yang justru membuatku semakin bernafsu."Teriak aja terus. Nggak bakal ada yang denger. Ruangan ini kedap suara!" Kutahan tangannya kuat dan kurobek robek bajunya.Tak kuhiraukan jeritannya yang meronta-ronta. Aku mulai menikmati tubuhnya yang putih mulus dan melampiaskan hasrat yang dari tadi sudah menggebu sampai sebuah pukulan sebuah benda keras di kepalaku membuatku tak ingat apapun.Saat kubuka mataku pelan, aku merasakan sakit yang luar biasa di kepala. Dan Syahdu ... di mana dia. Buru-buru kupakai bajuku dan berlari keluar."Tiuuur! Mana Dinda? Mana Syahdu?!""Tadi Dinda saya taruh di luar sedang bermain sendiri, Pak. Saya ke dapur sebentar mengambilkan dia air putih. E ... Saya keluar Dinda sudah tidak ada. Sepertinya Dinda di bawa Kak Syahdu. Soalnya kalau dibawa selain ibunya, saya nggak denger suara tangisnya.""Sialan! Bang***! Cari mereka Tiur! Susuri di semua ruangan. Aku akan cari dia di jalanan."Tapi dua jam sudah aku menyusuri jalanan tak ada tanda-tanda Syadu ketemu. Dengan tubuh lunglainya kemana dia pergi sebegitu cepat.***POV IbuAku mulai cemas. Sudah sore begini kenapa Rangga dan Syahdu belum pulang juga. Sebentar lagi Banyu datang."Arumi, tolong kamu telepon Rangga. Suruh cepat pulang. Sebentar lagi Banyu datang.""Iya, Bu.""Nih, Bu, Rangga pengin ngomong sama Ibu katanya.""Ada apa, Ngga? Buruan kamu pulang! Sebentar lagi Banyu pulang!""Tante, minta maaf. Ini Syahdu hilang, Tant. Aku lagi nyoba nyari dari tadi pagi tapi nggak ketemu juga ini.""Apaaaaaa??! Gimana sih, Ngga, kok bisa? Jangan bercanda kamu!""Iya, Tant. Ceritanya panjang. Syahdu kabur dari tempat pemotretan tadi."" Terus gimana Tante ngomongnya sama Banyu?!""Bilang aja, Tant. Syahdu kabur dari rumah."Kututup teleponnya setelah kudengar mobil Banyu datang. Entahlah, bagaimana aku akan menghadapinya. Pasti masuk rumah yang ditanyain Syahdu."Gimana ini, Rum?""Sudah, Bu, bilang saja seperti kata Rangga tadi, Syahdu pergi dari rumah. Kebeneran malah dia pergi dari rumah ini. Jadi kita tak perlu repot-repot ngurus dia.""Assallamu'alaikum, Bu, Arumi," Banyu yang baru saja datang lamgsung mencium tanganku tanpa curiga."Gimana Syahdu, Bu? Masih panas badannya? Sebentar ya aku mau ke kamarnya lihat kondisinya. Ayo, Rum, temani aku. Nanti kamu cemburu lagi.""Banyu ... Sebenarnya ... sebenarnya ...""Kenapa, Bu? Ada apa?""Syahdu hilang, Mas. Dia kabur dari rumah.""Apaaaaaa?! Hilang bagaimana? Dia sakit kan? Mana mungkin dia bisa kabur dari rumah. Kalian buang dimana Syahdu?!""Tega kamu ya, Banyu, menuduh Ibu dan Arumi seperti itu. Kenyataannya dia bisa kabur. Tadi Ibu lihat dia tertidur dengan Dinda. Makanya Ibu dan Arumi akhirnya juga ikut tidur siang. E ... bangun tidur Syahdu sudah nggak ada di kamarnya. Ibu dan Arumi coba cari di sepanjang jalan tapi nggak ketemu." Lega akhirnya aku bisa bercerita lancar meski harus berbohong.Terlihat raut cemas dan kebingungan di wajah Banyu kemudian dengan terburu-burupergi lagi meninggalkan kami.***1 tahun kemudianPOV Syahdu . . .Apa yang terjadi dengan Syahdu selama 1 tahun ya.POV Syahdu Satu tahun kemudian "Mama, Dinda pengin didongengin.""Sst ... jangan berisik, adik sudah bobok.""Tapi Dinda nggak bisa bobok kalau nggak didongengin.""Sini, mama usap-usap punggung Dinda ya biar bisa bobok."Dinda ... Putriku yang selalu menemani hidupku dalam suka dan duka. Ikut terlunta-lunta bersamaku terbawa kejamnya arus kehidupan. Wajah-wajah biadab itu sedikit pun tak akan pernah kubiarkan beranjak dari ingatanku. Terlintas kembali peristiwa setahun yang lalu...Tubuhku yang sudah lemah lunglai dengan kepala pusing tak karuan tertindih tubuh penjajah harga diriku. Tak ada yang bisa kulakukan saat itu selain menangis histeris."Diem kamu, Syahdu. Semakin kamu nangis kenceng, aku akan semakin kasar padamu!" ancam laki-laki biadab itu yang terus saja melampiaskan hasrat setannya tak peduli rintihan kesakitanku sambil terus menampar mulutku.Tiba-tiba dia menjerit kesakitan. Tubuhnya terkulai di atasku. Seseorang telah memukul kepalanya dengan benda keras. Tampak
"Hus! Kamu diajak rembugan malah bikin tambah ruwet saja. Ya sudah kamu cari orang di rumah sakit ini, mungkin ada orang yang mau nampung mereka. Kalau nggak ada udah buang lagi saja di jalanan. Selama ini nyatanya dia bisa hidup di jalanan, kan. Baik-baik saja.""Saya nggak tega, Dok.""Atau taruh di panti asuhan atau panti jompo saja, Dit.""Tapi, Dok, itu bukan tempat yang tepat buat mereka. Jiwa kemanusiaan saya meronta-ronta ini, Dok. Biar mereka kubawa ya.""Kamu jangan bercanda, Dit.""Kali ini saya nggak bercanda, Dok. Saya serius. Mana tega saya membuang perempuan dengan kekurangan seperti itu dan punya anak kecil lagi.""Kamu masih mahasiswa, mana bisa menghidupi mereka, ngasih makan mereka?""Yang penting saya nggak punya istri kan, Dok. Saya masih bebas. Soal makan gampang. Masih cukup kalau buat bertiga. Kan saya dapat gaji dari Dokter.""Kamu nggak bisa bersenang-senang lagi, dong.""Nggak pa pa daripada saya kepikiran mereka terus, terlunta-lunta di jalanan. Mana bisa s
"Gimana, Nak Adit?""Gimana ya, Pak. Saya sebenarnya belum siap menikah. Terlalu muda bagi saya untuk punya istri. Belum bisa terikat, masih pengin menikmati kebebasan. Atau gimana kalau mereka saya titipin di sini saja, Pak? Saya yang akan menanggung hidup mereka, cuma tinggalnya biar di sini saja, di rumah Pak RT.""Waduh, Nak Adit. Kalau yang mau dititipin itu wujudnya masih anak-anak Bapak dengan senang hati menerima dia. Atau kalaupun gadis itu wujudnya buluk gitu, Bapak juga nggak masalah. Tapi ini wujudnya bikin jantung berdebar-debar. Bisa-bisa nanti terjadi perang dunia ketiga di rumah Bapak.""Ada-ada aja Pak RT. Baru ngadepi perempuan model begini udah klepek-klepek. Di mata Adit, nih perempuan biasa saja. Sudah, nanti saya yang jelasin sama Bu RT, Pak.""Nggak, Nak Adit. Bapak yang takut tergoda, takut khilaf. Sudah yang paling pas, Nak Adit saja yang menikahi perempuan ini.""Berarti mau nggak mau saya harus menikah saat ini juga. Ya sudah, Pak, saya minta tolong bantuin
"Dasar perempuan aneh! Memangnya ada orang lain yang mau menikahi kamu? Tentu saja aku Aditya! Orang yang membawamu tadi. Kenapa? Aku ganteng ya?""Bukan! Kamu bukan om Adit! Om Adit gondrong, ada kumisnya, jelek!""Syahduuuuuu ... Kenapa kamu masih memanggilku Om?! Aku bukan Om mu. Aku ini sebentar lagi jadi suamimu! Panggil aku ... Mas Adit! Inget ... Mas Adit! Sekali lagi kamu panggil Om, aku balikin kamu ke jalanan!"Nak Adit, jadi nggak ini nikahnya? Kok malah berantem. Berantemnya nanti saja di kamar. Hayo sekarang dilanjutin ijabnya. Nak Syahdu, maaf ya tadi tidak ijin Nak Syahdu dulu, Bapak yang nyukur rambut Nak Adit dan nyuruh Nak Adit ngabisin kumisnya juga. Tapi jadi tambah ganteng kan, Nak Syahdu?" Aku mengangguk kemudian menunduk malu karena diketawain seisi ruangan.Kemudian laki-laki itu menjabat tangan Pak RT. Dengan lantang mengulang ijab qobul, "Saya terima nikahnya Syahdu binti Fajar ... " Tangisku meraung teringat Bapak."Bapaaaak, Syahdu kangen." Aku terisak sese
Bunga ilalang Part14_Bulan madu 1Dan malam itu, pertama kalinya aku merasa aman, bisa tidur nyenyak tanpa ketakutan dan gelisah.Kebiasaan bangun jam 4 di rumah Mas Banyu membuatku terbangun juga tepat jam 4 di rumah kontrakan Mas Adit. Ada rasa haru melihat Mas Adit terbaring meringkuk di lantai, tanpa alas, tanpa selimut, tanpa bantal karena semuanya untukku dan Dinda. Laki-laki yang tak kukenal tapi dengan ikhlas mau berbagi hidupnya denganku dan Dinda.Semua yang biasa kulakukan di rumah Mas Banyu pun kulakukan di rumah Mas Adit. Aku mulai membersihkan ruangan yang hanya terdiri satu ruangan jadi cepat selesai, lanjut mencuci bajuku dan Dinda karena waktu di rumah Mas Banyu pun bajuku dan Dinda tidak boleh di masukin ke mesin cuci. Tapi dari situ aku jadi bisa mencuci baju sendiri walaupun pertama asal-asalan tapi lama-lama ngerti. Selesai mencuci, aku sikat sekalian kamar mandi yang sudah dekil. Ternyata suara sikatku membangunkan Mas Adit."Syahdu, ngapain pagi buta sudah beri
Bunga Ilalang Part15_Bulan_madu_2Aku pun buru-buru masuk rumah, sedangkan Mas Adit meneruskan menjemur baju sambil teriak-teriak masih saja mengomeli orang-orang di bawah pohon mangga tadi."Sekarang kalian kenapa diam, nggak godain aku, hah? Dasar laki-laki mata keranjang! Seneng amat nggodain bini orang. Godain tuh sana gadis yang masih bebas!" "Ayo, ah, bubar ... bubar ... bubar!" teriak mereka."Syahdu, aku mau cari sarapan dulu ya, kamu kunci pintunya. Jangan keluar-keluar sebelum aku pulang. Di sini banyak buaya liar!""Buaya, Mas? Syahdu takut! Syahdu mau ikut Mas Adit saja!""Nggak usah, pokoknya diam di dalam, jangan keluar. Nonton TV saja."Setelah Mas Adit pergi, aku pun buru-buru mengunci pintu karena ketakutan. Tak berapa lama Mas Adit sudah datang menenteng plastik."Eh, Dinda udah bangun," sapa Mas Adit sambil menciumi Dinda yang sudah duduk menonton TV."Udah dong, Om. Kan Dinda laper mau makan," ucapku mewakili Dinda."Masih manggil Om juga?! Kamu lupa sekarang aku
Bunga ilalang Part16_Bulan madu 3"Balik ke kontrakan, yuk. Aku nggak tahan, ada yang nyesek nih di bawah.""Nggak mau! Syahdu belum puas muter-muter naik motor!""Iya, nanti habis dari kontrakan kita muter-muter lagi. Cuma sebentar saja, kok.""Mau ngapain?""Bikin adiknya Dinda!""Mas Adit, berhenti! Berhenti!" Kupukul pukul punggung Mas Adit supaya berhenti."Apa sih, Syahdu? Bikin kaget saja!" Mas Adit menepikan motornya dan berhenti."Apaan? Ngganggu orang berimajinasi saja! Nafsuku jadi ilang!""Syahdu mau es krim itu!" Kutunjuk gerobak es krim yang berhenti tak jauh dariku."Ih, malu-maluin kamu Syahdu! Kayak anak TK saja. Lihat badan kamu itu! Sudah emak-emak juga masak jajan es krim di pinggir jalan!""Minta duit!" "Belum juga aku dikasih apa-apa, udah malak duluan kamu. Nih, uangnya! Buruan! Aku tinggal, nih!""Tungguin Syahdu, jangan di tinggal."Iya, sana, buru!" Aku pun berlari ke arah gerobak es krim. Entah kapan terakhir kali aku makan es krim. Dulu setiap Bapak ke
Bunga Ilalang Part 17_Akhir bulan madu"Sudah diem nangisnya!""Mereka jahat sama Syahdu! Mereka mau menyakiti Syahdu!" Aku masih saja tergugu walaupun Mas Adit sudah memelukku dan mengusap-usap kepalaku dalam perjalanan kami ke tempat parkir motor."Kamu tadi sudah lihat, kan, orangnya sudah kutonjok! Suamimu ini jago, Syahdu. Kamu tenang saja. Nggak bakal ada yang berani menyakitimu lagi.""Makasih, Mas Adit.""Apa?! Coba ulang, Syahdu! Nggak denger!""Makasiiiih, Mas Adit!" teriakku."Cium!" Dia memegangi pipinya dengan jari telunjuknya tapi aku nggak ngerti maksudnya."Apa?""Kamu cium pipiku sini, Buruuu!" Karena dipaksa, akhirnya kucium juga pipinya dan dia senyum-senyum tak jelas sambil mengusap usap pipinya. "Kamu cepet sembuh, dong, Syahdu.""Memangnya Syahdu sakit.""Nggak, cuma nggak nyambung! Buruan naik ke motor!" Baru saja motor mau jalan, ada yang manggil-manggil Mas Adit dari arah belakang."Tunggu, Dit!""Apa, apa, Sap?""Besok Sabtu rencana anak anak Mapala mau me