Share

14. Syahdu yang malang

"Sayang, Tante, cantik-cantik begitu di jadiin pembantu. Kupinjem ya, Tant, buat model di agencyku."

"Dia itu perempuan begini, Ngga," ucap Ibu sambil memiringkan jari telunjuk di dahinya.

"Ibu! Apa-apaan, sih!" Sungguh, aku tak rela Syahdu dicemooh Ibu.

"Sinting maksud Tante?" tanya Rangga yang sepertinya justru semakin penasaran dengan Syahdu.

"Iya."

"Tapi nggak pa pa, Tante, aku cuma butuh wajah dan tubuhnya. Suka dengan wajah innocent nya. Lihatin deh, Tant. Dia dalam pose begitu saja sudah terlihat fotogenic apalagi kalau dipoles dan diarahin dikit."

"Rangga ... Rangga ... matamu itu normal nggak sih. Perempuan model begitu kamu bilang fotogenic. Coba kamu lihatinnya dari deket sana. Jangan-jangan matamu siwer," cibir Arumi.

Tapi jujur saja, apa yang dikatakan Rangga itu memang benar. Wajah dan tubuh Syahdu itu memang fotogenic.

"Nggak usah repot-repot, Ngga. Syahdu akan tetap jadi pembantu di sini. Kamu kayak nggak ada perempuan lain aja. Pembantu mau kamu embat juga," ujarku, mana rela aku kalau wajah Syahdu dinikmati banyak laki-laki.

"O ... Namanya Syahdu. Tenang, dia akan tetap jadi pembantu di sini. Aku cuma pinjem sebentar, kok."

"Kalau aku bilang nggak ya nggak, Ngga! Aku nggak ngijinin! Awas kamu kalau macem-macem."

"Lha kok jadi kamu yang sewot, Banyu. Memang kamu punya hak ngatur-ngatur Syahdu?"

"Lha iyalah. Sekarang setelah Ayah meninggal, akulah kepala di rumah ini. Aku yang membuat keputusan dan bertanggung jawab atas semua penghuni rumah ini termasuk pembantu di sini!" Untunglah gertakanku akhirnya bisa membuat Rangga diam jadi tak perlu sampai adu otot.

Aku tak akan membiarkan laki-laki mana pun mendekati Syahdu. Kalaupun Syahdu tak bisa kumiliki maka Syahdu pun juga tak akan bisa dimiliki oleh siapapun. Dia akan tetap di sampingku meski tanpa sebuah ikatan. Yang penting aku masih bisa menikmati wajahnya tiap hari.

***

Keesokan hari

Saatnya aku akan memulai bekerja, membenahi usaha Ayah yang sampai sekarang pun aku nggak tahu bentuk dan wujudnya. Hari ini adalah hari pertama aku meninggalkan rumah, meninggalkan Syahdu dan Dinda. Semoga Ibu dan Arumi tetap bersikap baik pada Syahdu selama tidak ada aku di rumah.

"Bu, Arumi, aku mau ke pabrik Ayah dulu ya. Nitip Syahdu sama Dinda."

"Enak aja kamu main titip-titip, memang Ibumu ini baby sister!"

"Jangan digalakin ya, Bu, Syahdu, kasihan."

"Sudah, sudah, kamu berangkat sana. Nggak usah mikirin perempuan sinting itu!"

"Tuh kan, Bu. Gimana Banyu bisa tenang kerja kalau sikap Ibu pada Syahdu begitu."

"Aku ikut ke kantor ya, Mas. Siapa tahu bisa bantu-bantu," rengek Arumi sambil merangkulkan tangannya dibahuku dan sepasang mata Syahdu yang hanya bisa menatap kami.

Ternyata Syahdu bisa menuruti perintahku untuk tidak memelukku di depan Arumi. Dan dia juga membiarkan Arumi memelukku. Tidak lagi berontak dan menyerang Arumi. Tapi aku bisa merasakan tatapan kecemburuan dan amarah dimatanya yang ia coba tahan.

"Nggak, Rum. Besok ya setelah aku bisa beradaptasi dengan kantor dan karyawan Ayah. Iya, aku pasti butuh bantuanmu." Kulepaskan pelukan Arumi pelan saat kulihat mata Syahdu yang mulai berkaca-kaca.

"Ya, sudah, Mas," jawab Arumi terlihat kecewa.

Dan melihat tatapan sedih Syahdu kenapa aku jadi berat meninggalkannya. Meski dia hanya menatap tanpa merengek tapi aku tahu dia tidak mau kutinggal. Dia ketakutan.

"Syahdu, aku kerja dulu. Dijaga Dinda. Jangan lengah. Nanti biar Bulan bantuin jagain Dinda setelah pulang sekolah." Syahdu hanya mengangguk, seperti susah mengucapkan kata.

"Bulan, nanti bantuin Mbak Syahdu jagain Dinda, ya."

"Iya, Mas. Ayo buruan nanti Bulan keburu telat sekolahnya."

"Iya ... iya."

Sampai di kantor, aku baru tahu ternyata Ayah adalah pengepul limbah PT dan hampir semua PT di Bekasi yang tak terhitung jumlahnya bisa Ayah kuasai. Entah bagaimana caranya Ayah meluluhkan orang pribumi sini yang biasa jadi pengepul limbah. Bahkan Ayah pun bisa mengolah limbah jadi barang berguna dan laku dijual dengan harga tinggi.

Setelah kukenalkan diri pada semua karyawan, aku mulai mempelajari seluk beluk usaha Ayah ini dengan dibantu Pak Wardiman, orang kepercayaan Ayah.

Sampai tak terasa, sudah menjelang Magrib. Buru-buru kutinggalkan kantor menuju rumah. Jadi pengin mampir ke toko mainan, membelikan mainan buat Dinda.

Sampai di rumah.

"Ibu, Syahdu dan Dinda mana?"

"Kamu tuh, Banyu, pulang kerja bukannya nanyain istri malah nanyain perempuan sinting itu!"

"Kan Arumi sudah ada di depan mata, Bu. Ngapain ditanyain."

"Ibu tirimu sudah tidur, Mas!"

"Jam segini tidur? Ini baru jam 7 lho, Bu, Rum. Nggak biasanya."

"Kecapean kali!"

"Ah, kemarin-kemarin juga capek nggak seperti ini. Ibu dan Arumi nggak ngerjain Syahdu kan, Bu?! Ibu nggak nambahin kerjaan Syahdu, kan?" tanyaku curiga tapi Ibu hanya menggelengkan kepala sepertinya menyimpan sesuatu.

"Kamu menuduh Ibu, Banyu?! Keterlaluan kamu!"

Kutinggalkan saja mereka menuju kamar Syahdu untuk memastikan dia baik-baik saja.

"Kemana, Mas?"

"Mau naruh ini di kamar Syahdu."

"Apaan itu, Mas?" tanya Arumi melihat plasti yang kutenteng.

"Mainan buat Dinda."

"Segitu perhatiannya Mas Banyu pada Dinda. Sampe dibeliin mainan segala. Aku aja istrimu nggak pernah, Mas, dibeliin apa-apa. Jangan-jangan nanti kalau kita punya anak juga kasih sayang Mas Banyu terbagi sama anak perempuan itu."

"Bagaimanapun Dinda itu adikku, Rum. Walaupun adik tiri tapi kami satu ayah. Aku mulai menyayanginya," jawabku yang membuat Arumi sepertinya sewot lalu beranjak begitu saja meninggalkanku, begitu pun Ibu.

Tentu saja aku sangat menyayangi Dinda karena dia darah dagingku. Sebuah rahasia yang akan aku simpan sendiri.

Pelan-pelan kubuka pintu kamar Syahdu. Benar, dia memang sudah tertidur lelap sekali sampai mendengkur begitu. Sepertinya memang dia sangat kelelahan.

***

POV Ibu.

Rasanya memang nggak enak kalau berbohong. Maafkan Ibu, Banyu. Ibu terpaksa berbohong. Tapi itu Ibu lakukan demi kebaikanmu. Ibu tidak rela perempuan sinting itu akan menjadi beban hidupmu selamanya. Syahdu harus mandiri. Ibu akhirnya menerima tawaran Rangga tadi pagi.

"Ayolah, Tant. Boleh ya pinjam Syahdu sebentar. Nggak nyampe malam. Paling sore selesai. Pokoknya sebelum Banyu pulang, kupastikan Syahdu sudah ada di rumah."

"Kamu yakin, Ngga, menjadikan Syahdu model? Memang dia bisa?"

"Yakin, Tant. Rangga akan sulap Syahdu menjadi supermodel. Orang yang melihat fotonya tidak akan tahu kelemahan Syahdu. Yang terpenting dia tidak akan berontak disuruh pose apapun. Keindahan tubuhnya akan jadi aset berharga."

"Ya, sudah. Terserah kamu, Ngga. Yang penting Syahdu nantinya bisa hidup mandiri dan keluar dari rumah ini. Tidak jadi benalu terus."

"Pasti, Tant. Kami akan membayar Syahdu dan tentunya Tante nanti juga dapat."

"Wah ... begitu? Ya sudah sana bawa Syahdu dan anaknya sana."

Dan ternyata tidak sulit membujuk Syahdu untuk ikut Rangga.

"Iya, mau ... mau. Syahdu seneng difoto. Nanti foto Syahdu sama Dinda ya."

Dan mereka pun akhirnya pergi sampai sore baru pulang. Untunglah mereka pulang sebelum Banyu pulang. Tapi wajah dan tubuh Syahdu terlihat sangat lelah dan matanya kenapa sembab begitu seperti habis menangis.

"Rangga, kamu apain dia? Kok mukanya kucel begitu dan matanya sampai bengkak begitu?"

"Biasa, Tant. Sedikit ada drama tadi. Tapi nggak lama. Syahdu akhirnya bisa jinak juga setelah kuancam akan kusakiti Dinda, kubunuh dan akan kucincang-cincang kalau dia tidak mau menuruti perintahku."

"Dia tidak mau difoto?" tanyaku masih penasaran.

"Mau, Tant. Tapi sudah biasa kan di dunia kami kalau ada barang baru itu sudah gatel pengin nyicipin. Mana tahan kita kalau hanya membidik tubuhnya dengan baju minim bahkan seperti tidak pakai baju dan pose menantang begitu."

"Gila kamu, Rangga! Maksudnya kamu ...?"

"Bukan hanya aku tapi juga teman-temanku, Tant. Syahdu tidak bisa dikendalikan hanya oleh 1 orang. Dia berontak dan menyerangku habis-habisan. Nih, liatin, Tant, sampe habis mukaku dicakar dia. Ya sudah akhirnya kita taklukkan dan nikmati rame-rame."

"Ranggaaaaaa! Bagaimana kalau Syahdu hamil? Bagaimana kalau Banyu tahu? Habislah riwayat Tantemu ini!"

"Tenang, Tant. Sebelum kita kerjain tadi kusuruh minum Pil dulu. Semoga saja aman. Besok Syahdu kujemput lagi ya, Tant. Melanjutkan proses pemotretan yang tertunda tadi."

"Nggak, Ngga. Tante takut ketahuan Banyu. Lagipula setelah apa yang kalian lakukan mana mau Syahdu ikut kamu."

"Tentu saja mau. Ternyata sangat gampang menakhlukkan Syahdu. Dia sangat takut kehilangan Dinda. Nih, uang buat Tante. Pokoknya tugas Tante hanya tutup mulut dan mengijinkanku membawa Syahdu besok."

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nona Bell
dasar banyu serakah tamak menyebalkan,, kan bisa pulangkan syahdu ke rumahnya yg di jonggol dan kasih pembantu baru. kenapa kok malah syahdu yg di jadikan pembantu di rumah ibunya. tak sadar harta yg dia nikmati itu milik syahdu yg seharusnya di kembalikan......
goodnovel comment avatar
Yanyan
ya Allah.. banyu cepet selamatkan syahdu..ketauan banyu tamat kamu rangga
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status