“Dewi.. Hikkss.. Hikkss... Apa yang akan mereka lakukan? Apakah kita akan segera mati?” Tanya Ani dengan terisak-isak. Sepertinya dia sudah mengetahuinya. Dewi tidak menjawab pertanyaan tersebut, dia hanya meneteskan air matanya dengan penuh kesedihan.“Apa yang kalian tangisi wahai anjing-anjing yang malang? Sudahlah, inilah akhir dari riwayat hidup kalian. Anggap saja kalian terlahir ke dunia ini hanya sekedar untuk menjadi binatang pengorbanan kami! Hahahaha.. Hukk hukk” Pak Karay bahkan sampai terbatuk saat menghembuskan asap cerutunya.“Bajingan kau, Karay!” Mati kau bajingan tengik!” Pak Hendri mengutuk pria itu.“Waw waw, luar biasa sekali. Lihatlah si bajingan yang malang ini, biji matanya bahkan sudah terlepas, tapi dia masih punya nyali dan kekuatan untuk mengancamku. Aku akui, kau memang luar biasa, Hendri! Hahaha..” Pak Karay bertepuk tangan sambil tertawa.“Muradi! Bolehkah aku meminjam pisau kecilmu yang tajam itu? Karena pisauku sudah hilang dan mungkin terjatuh di suat
“Sekarang adalah giliranmu lagi, wahai gadis kecil yang malang, hahahaha!” Rameng menyeringai jahat sembari meraih kedua tangan Sindi dengan kasar. Sindi yang keras kepala itu pun langsung memberontak untuk memberikan perlawanan. Meski kesempatan hidupnya itu sudah berada di ujung kuku, namun semangat juangnya sungguh luar biasa. Akan tetapi tak lama kemudian, Sindi pun terpaksa menyerah ketika Rameng menghantam kepalanya dengan sebalok kayu. Penglihatannya seketika langsung redup, ia tak sadarkan diri. Rameng dan Darkis berhasil menggantung tubuh kedua wanita itu ke tiang penggantungan dengan mudah. Eksekusi mati pun akan segera dimulai.“Sekarang adalah giliranmu, manis” Pak Karay memainkan bibir Dewi dengan telunjuknya. Kau tak perlu takut, sebelum tubuhmu menjadi mayat, aku ingin bersenang-senang dulu denganmu sebentar. Hahaha...” Pak Karay tertawa kegirangan. Tak bisa dipungkiri, Dewi memang punya tubuh yang begitu indah.Buah dadanya yang maha besar itu terlihat kokoh dan padat,
Setelah sekian jauh berlari mendaki bukit, tiba-tiba datanglah helikopter yang kemudian menembaki mereka dari atas. Pak Karay yang sudah begitu lelah, akhirnya memutuskan untuk berhenti dan memberikan perlawanan. Ia memerintahkan semua anak buahnya untuk menembaki helikopter tersebut. Namun belum berhasil mengenai helikopter tersebut, mereka semua sudah terlebih dahulu dihujani tembakan dari atas sana. Sehingga membuat Pak Karay dan beberapa anak buahnya itu pun bertekuk lutut. Sebagian mereka ada yang tewas, dan sebagiannya lagi menyerahkan diri, termasuk dengan Pak Karay yang juga menyerahkan diri. Di sisi lain, Rameng dan Darkis masih terus berlari tanpa henti bersama dengan sebagian anak buah Pak Karay yang masih tersisa. Mereka juga terus memberikan perlawanan jika ada Polisi yang berusaha mendekat untuk menyerang mereka. Saat itu, jumlah mereka diperkirakan hanya tersisa belasan orang. Waktu terus berlalu. Hari sudah mulai memasuki sore. Sudah lebih dari empat jam sejak operasi
Sekitar belasan tahun yang lalu, ada tiga rumah tua yang terpencil dan terletak di sekitaran jalan lintas raya yang menghubungkan antara dua provinsi besar. Rumah tersebut tersorok dari jalan raya. Jaraknya sekitar 800 meter dari jalan. Untuk menuju rumah tersebut, maka kita harus berjalan kaki.Rumah-rumah tua itu dihuni oleh tujuh belas orang. Mereka semua sudah lama tinggal di sana, yaitu semenjak tiga pulu tahun yang lalu. Mereka adalah anak dari tiga bersaudara yang pindah ke tempat itu bersama dengan istri-istri mereka. Di sana, mereka hidup tenang tanpa ada gangguan dari orang luar, dengan mata pencarian utama dari hasil kebun karet.Menurut cerita, dahulunya kawasan tersebut sempat menggemparkan banyak orang. Karena ada banyak sekali kasus orang hilang yang terjadi di sana. Di dalam daftar penyelidikan polisi, terhitung ada sekitar empat belas orang korban yang hilang, dan bahkan sampai sekarang pun mereka semua belum juga ditemukan. Mereka menghilang secara misterius. Korban-
Sindi langsung menjerit. Tiba-tiba dia teringat dengan sesuatu."Cepat tolong teman saya, Pak. Mobil kami terpental jauh kedalam semak, di depan sana. Ayo, pak. Kita harus menolong Meri di sana, Pak" Sindi berteriak histeris kepada Pria tersebut. "Ya ampun, di mana dia?" Tanya pria itu dengan setengah panik. "Di sana, Pak. Di dalam semak di bagian kanan jalan" Tunjuk Sindi dengan tangannya."Baiklah, kamu tunggu di sini, ya. Jangan kemana-mana. Saya akan ke sana sebentar untuk menolong temanmu itu dan membawanya ke sini untuk dibawa ke rumah sakit." Sindi pun mengangguk. Pria itu segera berlari keluar bus dengan membawa sebuah senter untuk menjemput Meri yang masih terbaring di dalam mobil.Pria itu semakin lama semakin jauh ke depan sana. Sindi terdiam mengintip dari balik jendela kaca mobil. Suasana di dalam bus terasa begitu sunyi dan senyap. Ada yang aneh. "Kenapa semua penumpangnya tidak ada yang bersuara? Apakah mereka semua sudah tidur?" Tanya
Ternyata di balik meja itu, ada sebuah hal yang tersembunyi. Terdapat sebuah tangga dari semen yang mengarah turun ke bawah sana. Pria itu memberi isyarat dengan tangannya, "Ayo, ikuti aku" kata pria tersebut sembari mengambil langkah. Dia lantas mulai berjalan menurun ke bawah sana dengan membawa sebuah lampu minyak. Sindi yang tidak punya pilihan pun segera menurut. Dia sedikit berlari karena takut ketinggalan jauh di belakang.Benar sekali, ternyata itu adalah sebuah ruangan bawah tanah yang tersembunyi. Tangga itu berakhir dan bertemu dengan sebuah lorong yang panjang. Dinding-dinding lorong itu terbuat dari semen. Lorong itu mengarah lurus ke ujung sana. Seakan tak berujung. Tidak ada cahaya penerang lain yang terlihat selain dari cahaya lampu minyak yang sedikit redup. Ruangan itu gelap. Suasana begitu mencekam. Hawa terasa panas dan pengap. Tidak ada yang terdengar selain dari pada suara dentuman langkah kaki mereka yang berjalan menerobos lorong gelap
Belum sempat kakinya beranjak dari depan ruangan itu, tiba-tiba matanya menangkap sesuatu dari atas langit-langit ruangan. "Ya Tuhan!" Ia menjerit di dalam hati. Dua tubuh manusia tanpa kepala digantung dengan tali. Darahnya menetes seperti air yang keluar dari kain jemuran. Aroma busuk menyeruak tajam ke dalam rongga hidungnya. Beberapa tengkorak kepala manusia terlihat menggantung di dinding. Kepala sapi dan babi tergelatak begitu saja di lantai yang berlumuran darah. Di dalam ruangan itu banyak sekali kandang-kandang besi yang sepertinya mereka gunakan untuk mengurung para korban mereka sebelum disembelih. Benar, ada beberapa ekor babi yang terlihat meringkup di dalam kandang-kandang tersebut. Sindi ketakutan. Ia segera pergi meninggalkan tempat tersebut.Di depan sana, ia bertemu lagi dengan sebuah persimpangan lorong. Ruangan bawah tanah itu sungguh begitu luas. Sepertinya ruangan ini adalah peninggalan dari penjajah jepang. Beberapa langkah kakinya masuk ke dalam loro
Empat orang pria itu menggotong tubuhnya. Meri menjerit dan memberontak berusaha untuk melepaskan diri. Suaranya terdengar histeris memadati lorong yang kumuh itu. Akan tetapi semuanya sia-sia, mereka terus menyeret tubuhnya dan membawanya menuju ke sebuah ruangan yang terletak di lantai bawah. Ketika mereka tiba di depan mulut pintu ruangan tersebut, seketika itu juga aroma busuk langsung menyeruak menusuk ke dalam hidungnya. Sungguh menjijikkan. Tempat itu penuh dengan bangkai-bangkai yang telah membusuk. Tulang-belulang berserakan. Darah merah tersebar di mana-mana melumuri lantai ruangan. Di dalam ruangan tersebut, terdapat banyak sekali kandang-kandang besi yang sengaja dibuat untuk menampung para mangsa mereka sebelum disembelih. Terlihat beberapa ekor babi hutan yang telah mati dan sebagiannya lagi ada juga yang sedang terkurung di balik jeruji. Mereka memasukkan Meri ke dalam salah satu kandang besi tersebut, dan kemudian meninggalkannya begitu saja di te