“Apa katamu? Kamu pikir kami akan percaya kepadamu yang kini bahkan tidak bisa mengenal wajah putramu sendiri” Pak Karay menendang kepala Tanjo ke hadapan wanita tersebut. Terlihatlah wajah Tanjo yang begitu pucat dengan darah yang memenuhi pangkal lehernya.Nenek tua itu tiba-tiba saja memejamkan kedua matanya. Sementara itu, Sindi, Meri, dan Dewi yang terikat di tiang penggantungan hanya bisa melihatnya dengan tatapan bodoh tanpa mengetahui sedikitpun maksud dari itu semua. Nenek tua itu kembali meracau, kali ini dengan suara yang melengking.Oh Tidak! Apakah selama ini suara nyanyian misterius yang hampir selalu dia dengan di setiap malam selama berada di rumah Buk Tiah itu adalah suara Nenek tua itu? Bagaiamana mungkin wanita yang setua itu masih memiliki suara yang sangat indah dan merdu? Meri dan Sindi saling tatap menatap satu sama lain. Takjub setelah mengetahui sosok sebenarnya di balik suara nyanyian misterius yang seringkali menghibur mereka di beberapa malam yang lalu.“Oh
“Rupa-rupanya kau ingin mempermainkanku, hah? RASAKAN INI!” Pak Karay menghantam kepala Hendri dengan tinjunya. Pria itu langsung terkulai dengan tubuh yang terselentang. Seakan masih belum puas, Pak Karay bahkan kambali menaiki tubuh pria malang itu dan menghajarnya berulang-ulang kali.“Ukkkhhh... Ukkhh” Hendri meringis kesakitan. Nafasnya ngos-ngosan.“Aku tidak akan pernah membiarkanmu menyentuh mereka walau sehelai rambut pun!” cecar pria itu sembari bangun dari tubuh Hendri. Pria itu kini bahkan sudah tak mampu untuk bernafas dengan baik, apalagi untuk memprovokasi Pak Karay? Dia benar-benar sudah tidak berdaya.Tulang hidung Hendri benar-benar sudah hancur. Mulutnya telah sobek, dan hanya menyisakan beberapa biji gigi saja. Mata kirinya yang tadi bengkak kini bahkan telah pecah, sehingga membuat biji matanya itu menggantung keluar. Pria malang itu benar-benar babak belur dan nyaris mati.“Jangan sangka aku menghentikan pukulanku hanya karena aku merasa kasihan denganmu, akan te
“Dewi.. Hikkss.. Hikkss... Apa yang akan mereka lakukan? Apakah kita akan segera mati?” Tanya Ani dengan terisak-isak. Sepertinya dia sudah mengetahuinya. Dewi tidak menjawab pertanyaan tersebut, dia hanya meneteskan air matanya dengan penuh kesedihan.“Apa yang kalian tangisi wahai anjing-anjing yang malang? Sudahlah, inilah akhir dari riwayat hidup kalian. Anggap saja kalian terlahir ke dunia ini hanya sekedar untuk menjadi binatang pengorbanan kami! Hahahaha.. Hukk hukk” Pak Karay bahkan sampai terbatuk saat menghembuskan asap cerutunya.“Bajingan kau, Karay!” Mati kau bajingan tengik!” Pak Hendri mengutuk pria itu.“Waw waw, luar biasa sekali. Lihatlah si bajingan yang malang ini, biji matanya bahkan sudah terlepas, tapi dia masih punya nyali dan kekuatan untuk mengancamku. Aku akui, kau memang luar biasa, Hendri! Hahaha..” Pak Karay bertepuk tangan sambil tertawa.“Muradi! Bolehkah aku meminjam pisau kecilmu yang tajam itu? Karena pisauku sudah hilang dan mungkin terjatuh di suat
“Sekarang adalah giliranmu lagi, wahai gadis kecil yang malang, hahahaha!” Rameng menyeringai jahat sembari meraih kedua tangan Sindi dengan kasar. Sindi yang keras kepala itu pun langsung memberontak untuk memberikan perlawanan. Meski kesempatan hidupnya itu sudah berada di ujung kuku, namun semangat juangnya sungguh luar biasa. Akan tetapi tak lama kemudian, Sindi pun terpaksa menyerah ketika Rameng menghantam kepalanya dengan sebalok kayu. Penglihatannya seketika langsung redup, ia tak sadarkan diri. Rameng dan Darkis berhasil menggantung tubuh kedua wanita itu ke tiang penggantungan dengan mudah. Eksekusi mati pun akan segera dimulai.“Sekarang adalah giliranmu, manis” Pak Karay memainkan bibir Dewi dengan telunjuknya. Kau tak perlu takut, sebelum tubuhmu menjadi mayat, aku ingin bersenang-senang dulu denganmu sebentar. Hahaha...” Pak Karay tertawa kegirangan. Tak bisa dipungkiri, Dewi memang punya tubuh yang begitu indah.Buah dadanya yang maha besar itu terlihat kokoh dan padat,
Setelah sekian jauh berlari mendaki bukit, tiba-tiba datanglah helikopter yang kemudian menembaki mereka dari atas. Pak Karay yang sudah begitu lelah, akhirnya memutuskan untuk berhenti dan memberikan perlawanan. Ia memerintahkan semua anak buahnya untuk menembaki helikopter tersebut. Namun belum berhasil mengenai helikopter tersebut, mereka semua sudah terlebih dahulu dihujani tembakan dari atas sana. Sehingga membuat Pak Karay dan beberapa anak buahnya itu pun bertekuk lutut. Sebagian mereka ada yang tewas, dan sebagiannya lagi menyerahkan diri, termasuk dengan Pak Karay yang juga menyerahkan diri. Di sisi lain, Rameng dan Darkis masih terus berlari tanpa henti bersama dengan sebagian anak buah Pak Karay yang masih tersisa. Mereka juga terus memberikan perlawanan jika ada Polisi yang berusaha mendekat untuk menyerang mereka. Saat itu, jumlah mereka diperkirakan hanya tersisa belasan orang. Waktu terus berlalu. Hari sudah mulai memasuki sore. Sudah lebih dari empat jam sejak operasi
Sekitar belasan tahun yang lalu, ada tiga rumah tua yang terpencil dan terletak di sekitaran jalan lintas raya yang menghubungkan antara dua provinsi besar. Rumah tersebut tersorok dari jalan raya. Jaraknya sekitar 800 meter dari jalan. Untuk menuju rumah tersebut, maka kita harus berjalan kaki.Rumah-rumah tua itu dihuni oleh tujuh belas orang. Mereka semua sudah lama tinggal di sana, yaitu semenjak tiga pulu tahun yang lalu. Mereka adalah anak dari tiga bersaudara yang pindah ke tempat itu bersama dengan istri-istri mereka. Di sana, mereka hidup tenang tanpa ada gangguan dari orang luar, dengan mata pencarian utama dari hasil kebun karet.Menurut cerita, dahulunya kawasan tersebut sempat menggemparkan banyak orang. Karena ada banyak sekali kasus orang hilang yang terjadi di sana. Di dalam daftar penyelidikan polisi, terhitung ada sekitar empat belas orang korban yang hilang, dan bahkan sampai sekarang pun mereka semua belum juga ditemukan. Mereka menghilang secara misterius. Korban-
Sindi langsung menjerit. Tiba-tiba dia teringat dengan sesuatu."Cepat tolong teman saya, Pak. Mobil kami terpental jauh kedalam semak, di depan sana. Ayo, pak. Kita harus menolong Meri di sana, Pak" Sindi berteriak histeris kepada Pria tersebut. "Ya ampun, di mana dia?" Tanya pria itu dengan setengah panik. "Di sana, Pak. Di dalam semak di bagian kanan jalan" Tunjuk Sindi dengan tangannya."Baiklah, kamu tunggu di sini, ya. Jangan kemana-mana. Saya akan ke sana sebentar untuk menolong temanmu itu dan membawanya ke sini untuk dibawa ke rumah sakit." Sindi pun mengangguk. Pria itu segera berlari keluar bus dengan membawa sebuah senter untuk menjemput Meri yang masih terbaring di dalam mobil.Pria itu semakin lama semakin jauh ke depan sana. Sindi terdiam mengintip dari balik jendela kaca mobil. Suasana di dalam bus terasa begitu sunyi dan senyap. Ada yang aneh. "Kenapa semua penumpangnya tidak ada yang bersuara? Apakah mereka semua sudah tidur?" Tanya
Ternyata di balik meja itu, ada sebuah hal yang tersembunyi. Terdapat sebuah tangga dari semen yang mengarah turun ke bawah sana. Pria itu memberi isyarat dengan tangannya, "Ayo, ikuti aku" kata pria tersebut sembari mengambil langkah. Dia lantas mulai berjalan menurun ke bawah sana dengan membawa sebuah lampu minyak. Sindi yang tidak punya pilihan pun segera menurut. Dia sedikit berlari karena takut ketinggalan jauh di belakang.Benar sekali, ternyata itu adalah sebuah ruangan bawah tanah yang tersembunyi. Tangga itu berakhir dan bertemu dengan sebuah lorong yang panjang. Dinding-dinding lorong itu terbuat dari semen. Lorong itu mengarah lurus ke ujung sana. Seakan tak berujung. Tidak ada cahaya penerang lain yang terlihat selain dari cahaya lampu minyak yang sedikit redup. Ruangan itu gelap. Suasana begitu mencekam. Hawa terasa panas dan pengap. Tidak ada yang terdengar selain dari pada suara dentuman langkah kaki mereka yang berjalan menerobos lorong gelap