Share

C E O Dingin itu Mantan - Ku
C E O Dingin itu Mantan - Ku
Penulis: Parikesit70

BAB 1 : Panggilan Sang CEO

“Dinda! Kamu panggil bagian HRD sekarang,” pinta seorang lelaki berusia tiga puluh lima tahun bermata elang, berambut lebat, berwajah tampan namun wajahnya yang tampan itu berbalut keegoisan dan kesombongan.

“Baik Pak,” jawab Dinda kalem, seorang sekretaris berusia dua puluh lima tahun yang di minta untuk menghubungi bagian HRD.

Lelaki tampan namun ketus dan super galak itu, anak dari pemilik perusahaan Batu Bara terbesar di Indonesia. Lelaki itu bernama Reynaldi Utomo Gerald Putra Jr adalah Putra tunggal Richard Gerald seorang warga negara Indonesia berkebangsaan Jerman yang telah menikah dengan seorang wanita Jawa bernama Widyawati.

Kurang dari sepuluh menit, seorang HRD bernama Andini berjalan menuju ruang kerja Dinda untuk melaporkan kedatangannya.

“Pagi.., Mbak Dinda,” sapanya berdiri di sisi kanan pintu ruang kerja Dinda.

“Mari Buu.., ikut saya,” ajak Dinda menuju ruang CEO dari PT Batu Bara Gerald Putra Tbk. Sebuah perusahaan yang sudah Go Public dan salah satu perusahaan besar di Indonesia.

Andini mengikuti langkah Dinda memasuki sebuah ruangan sangat dingin. Sepertinya ruangan itu memakai dobel AC. Pada saat membuka pintu pertama, ada satu pintu lagi di balik pintu yang telah di buka oleh Dinda.

Pada ruangan pintu pertama ada sebuah ruangan besar yang berisi sofa tunggal besar dengan spons yang tampak empuk. Berjumlah empat dan berwarna coklat muda dipadu dengan wallpaper pada dinding ruangan itu berwarna cream dengan bunga melati putih.

Pada sisi sofa tunggal berwarna coklat muda itu ada dua pohon asem yang di bonsai menyerupai Water fall. Dan pada dinding ruangan itu terdapat pula photo dalam bentuk sketsa tiga orang yang merupakan photo keluarga dari CEO muda tersebut.

Jarak antara pintu pertama dengan pintu kedua untuk ke ruangan CEO PT Batu Bara Gerald Putra Tbk, berjarak sekitar 8 kaki. Untuk kedua kalinya, Andini bertemu dengan lelaki bermata elang dan berwajah dingin, sejak satu bulan lalu lelaki muda itu, menerima sepenuhnya jabatan tersebut dari sang ayah yang kini sudah tua.

“Pagi.., Pak,” sapa Dinda lembut, tersenyum semanis mungkin pada CEO muda tersebut, namun sedikit pun tidak ada senyuman terlihat dari bibir tipisnya.

Dinda mengantar Andini hingga sampai kursi yang ada di hadapan Reynaldi, seorang CEO muda berwajah tampan dan terlihat dingin. Tanpa diminta Dinda pun pamit undur keluar dari ruangan itu. Usai terdengar pintu utama diruang itu tertutup. Reynaldi sekilas memandang ke arah Andini.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Andini sekilas menangkap kerisauan pada wajah Reynaldi. Dan Andini yang notabene lulusan S1 psikologi, mengetahui jelas tentang karakter serta memahami kerisauan yang tersirat dalam wajah Reynaldi sang CEO muda yang baru menjabat di Perusahaan yang sudah Go Public itu selama dua bulan ini.

“Hemmm.., karena saya baru disini, bisa saya minta data nama seluruh karyawan-karyawati yang bekerja disini?” tanyanya menatap dingin wajah Andini.

“Baik, siap Pak! Ada yang lain?” tantang Andini bertanya kembali.

“Hmmm..., saya rasa cukup!” jawab Reynaldi.

“Permisi, Pak!” Andini menggeser kursi dan menatap lurus Reynaldi yang menganggukkan kepalanya dibalas dengan menganggukkan kepala pula oleh Andini. Sejurus kemudian, Andini balik badan melangkah ke pintu kedua dan menutupnya dengan perlahan.

Di dalam ruangan itu, Reynaldi melirik pada jam tangan Rolex emas yang melingkar pada pergelangan tangannya. Lalu ia terlihat membuka email masuk dan kembali melihat jam tangannya.

Usai sepuluh menit berlalu, Reynaldi menghubungi Dinda kembali, “Hubungi HRD itu! Suruh cepat mengirim data!”

Belum sempat Dinda menjawab telepon direct dari sang CEO, sambungan telepon itu telah ditutup dengan kasar. Dinda yang kesal atas kelakuan dari CEO muda itu seminggu ini, menggerutu sendirian di ruangannya sembari menghubungi Andini selaku HRD.

“Bu Andini, kok Pak Rey nadanya jengkel ke saya. Pesan untuk Ibu, cepat kirim data! Maaf ya Buu, aku cuma meniru ucapan CEO kita. Hehehehehe. Data apa sih Buu? Kok sampai segitunya dia marah,” ungkap Dinda bertanya pada Andini.

“Aduh! Sorry udah dulu yaa, tadi saya mampir ke bagian umum, jadi lupa permintaan si Bos,” sahut Andini menutup hubungan telepon.

Dinda yang tak mendapat jawaban pasti atas data yang diminta sang CEO pada Andini selaku HRD semakin kesal dan tambah ngedumel.

“Sialan..! Semua kagak punya etika. Gue tanya bener-bener malah main tutup teleponnya,” gerutu Dinda.

Setelah itu, Dinda pun menyampaikan pada sang CEO atas apa yang didengar dari Andini selaku HRD di perusahaan itu lewat telepon direct.

“Sudah saya sampaikan Pak, dan Bu Andini lupa karena tadi dia mampir ke bagian umum,” ucap Dinda menyampaikan tugasnya. Dan tanpa diduga, saat Reynaldi menutup teleponnya, ia malah mengantungnya, hingga membuat Dinda mendengar kata yang tak diduga dari CEO muda itu.

SHIT!!!

Dinda pun perlahan menutup sambungan telepon antara ia dan sang bos. Ia menghela panjang napas kala teringat kata-kata lelaki itu. Hingga ia pun bermonolog, “Itu dah.., kalau kelamaan jadi bujang lapuk. Coba kalau dia udah punya bini kagak mungkin begitu kelakuannya.”

Sekitar dua puluh menit kemudian, Andini kembali ke ruangan Dinda, tanpa ada pemberitahuan dari Reynaldi, kalau ia telah menghubungi sendiri HRD itu. Dan terlihat, Andini kembali dengan membawa satu bendel file karyawan yang bekerja disana.

“Mbak Dinda.., saya mau menghadap lagi, nih!” izin Andini tersenyum pada Dinda.

“Ada apa sih Buu?” Dinda beranjak dari kursinya, keluar dari meja kerjanya sembari merapikan rok span, rambut sebahunya dan berjalan perlahan sejajar dengan Andini

“Nggak tahu juga Mbak Dinda. Ini bapak minta beberapa nama karyawan-karyawati berikut file waktu pertama kali melamar kerja disini,” sahut Andini sembari membawa tiga bendel file nama karyawan-karyawati di perusahaan itu.

“Ssttt..., coba saya lihat Buu. Siapa aja sih yang diminta sama si Bos,” Dinda menarik tiga bendel file dari tangan Andini.

“Hey..! Mbak Dinda, nanti bapak ngomel kalau tahu,” bisik Andini sewaktu tiga bendel file telah berada di tangan Dinda.

Dibukanya bendel file tersebut. Ada dua nama wanita dan satu nama pria. Dua wanita itu masing-masing berada di bagian accounting dan bagian resepsionis. Dan satu lagi seorang pria bagian help desk.

“Ada apa sih, Buu?” tanya Dinda melirik ke arah Andini.

“Nggak tahu juga Mbak Dinda.., kalau saya kan cuma siapkan data saja. Mungkin mau di promosikan? Kita kan nggak tahu juga,” ucapnya seraya mengikuti langkah Dinda.

Kali ini Dinda hanya membukakan pintu pertama lalu Andini pun masuk ke dalam ruangan pertama itu dan berjalan menuju pintu kedua ruangan Reynaldi seorang CEO muda yang galak dan tak pernah tersenyum.

Dinda yang sudah membaca nama yang masuk ke dalam ruangan, mengingat wajah dari kedua wanita yang namanya masuk ke dalam meja kerja sang Bos. Karena, Dinda adalah sekretaris baru yang di bekerja baru dua bulan ini. Ia bekerja satu minggu sebelum Reynaldi menjadi CEO.

Sementara itu, Andini yang duduk di hadapan CEO muda itu menyerahkan tiga bendel data dari ketiga nama yang di minta. Tampak Reynaldi membaca sekilas pada bendel pertama dan kedua.

Kemudian, Terlihat sang CEO, membolak-balik satu bendel data terakhir dari seorang karyawati bagian accounting. cukup lama Reynaldi memandang dan tanpa disadarinya ia telah membaca ulang nama pada file data karyawati tersebut. “MEYTA KASTURI”.

Andini melihat raut wajah Reynaldi berubah sendu saat menyebut nama itu. Dan terlihat tangannya terus mengetuk bolpoin pada meja kala mengucap nama karyawati accounting tersebut.

Dalam hati Andini bertanya, ‘Ada apa sih sama si Meyta? Apa dia korupsi duit kantor? Perasaan nggak lah, kapan hari gue di traktir makan bareng dia. Tetapi, kenapa si Bos terlihat mengamati photo si Meyta? Hem, nanti waktu makan siang, gue tanya si Mey deh.’

Andini mengenal Meyta karena mereka sama-sama melakukan tes penerimaan karyawan dan sama-sama pula melakukan wawancara saat akan bekerja pada perusahaan yang kala itu belum di beli oleh keluarga Gerard dua tahun lalu.

“Bisa Ibu sampaikan ke bagian accounting yang bernama Meyta Kasturi untuk menghadap saya?” pinta Reynaldi pada Andini dengan tatapan dingin tanpa tersenyum sedikit pun.

“Baik Pak, boleh saya ambil kembali data awal karyawan-karyawatinya?” tanya Andini, melihat data di meja Reynaldi usai dibacanya.

Dirapikan kembali data di hadapannya lalu diserahkan pada Andini. Lalu Reynaldi kembali mengingatkan Andini, “Segera minta Meyta menghadap saya.”

“Baik Pak! Saya permisi..,” sahut Andini seraya memeluk data file dari ketiga karyawan itu, melangkah lebar ke pintu utama.

Baru saja ia menarik gagang pintu utama ruang sang CEO, Reynaldi kembali berkata padanya, “Bu Andini, pakai saja telepon di ruang Dinda untuk hubungi Meyta, biar Ibu nggak lupa lagi.”

Deg..!

Ada perasaan tak enak dirasa oleh Andini kala dia lupa mengirim data yang diminta secepatnya sesuai dengan permintaan sang CEO hingga membuat Reynaldi, kembali mengingatkan dirinya.

Andini membalikkan tubuhnya dengan kepala mengangguk, ia berucap, “Maafkan saya Pak! Tadi saya mampir ke umum karena sekalian minta nomor kamar di Rumah Sakit Bersalin. Ada salah seorang karyawati di bagian umum melahirkan.”

Tak ada jawaban apa pun atas alasan yang di kemukakan oleh Andini. Hanya ada anggukan kecil, nyaris tak terlihat dari tatapan dingin dan angkuh Reynaldi.

Keluar dari ruangan Reynaldi, Andini pun melangkahkan kakinya ke ruang kerja sang sekretaris untuk meminjam telpon direct nya.

“Mbak Dinda.., saya disuruh pinjam telepon disini saja untuk menghubungi Meyta. Dia soalnya dipanggil sama bapak sekarang.

“Ada apa memangnya Buu? Kok wajah Bu Andini tegang banget..?” tanya Dinda memperhatikan wajah Andini secara serius.

“Di dalam lebih tegang, Mbak!” ucap Andini seraya meraih telepon yang ada di meja kerja Dinda.

“Meyta, sekarang elo ke ruangan Pak Reynaldi? Gue tunggu disini ya,” pinta Andini saat berbicara dengan rekan kerja yang telah jadi sahabarnya.

“Kok cuma segitu aja ngasih tahu nya? Emang ada apa sih Buu?” Dinda melihat ke arah Andini yang tampak tegang sembari berdiri dan berjalan hilir mudik di depan meja kerja Dinda.

“Saya sendiri juga masih bingung, Mbak Dinda. Ada apa dengan bagian accounting. Kalau nanti Meyta habis dari ruangnya pak Rey, tanya sama dia aja,” saran Andini pada Dinda yang serius ingin tahu duduk permasalahannya.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Meyta sampai di ruangan Dinda bersamaan dengan bunyi telepon direct pada meja kerja sang sekretaris itu.

“Dinda..! Apa Andini sudah menghubungi bagian accounting?!” tegas Reynaldi bertanya pada sekretarisnya.

“Sudah Pak, ini Bu Meyta baru saja sampai.”

“Suruh dia masuk! Kamu nggak usah mengantar dia ke ruangan saya!” perintah Reynaldi dengan tegas.

“Siap Pak!” ujar Dinda merasakan hawa ketegangan pada intonasi suara Reynaldi saat memerintahkan Meyta untuk masuk ke ruangannya tanpa diantar olehnya.

“Bu Meyta, diminta Bapak untuk masuk langsung ke ruangannya. Silakan Buu,” Dinda menunjuk ke arah pintu menuju ruang kerja Reynaldi atau Utomo bagi Meytha.

“Ok! Makasih Mbak Dinda, aku masuk dulu ya,” ucap Meyta tersenyum dengan lesung pipi pada kedua wajah putih bersihnya.

“Mey.., nanti kita makan siang bareng yaa, sekalian gue mau denger cerita lengkap dari elo, kenapa sampai di panggil si Bos,” bisik Andini pada telinga Meyta yang akan melangkah ke ruang kerja Reynaldi.

Yang dilakukan pada Meyta hanya tersenyum tipis seraya menggelengkan kepala dan menempelkan telunjuk pada bibir seksinya.

Terlihat Meyta telah siap secara mental untuk bertemu dengan Reynaldi Utomo Gerald putra.

Usai ia tahu, kalau Reynaldi atau Utomo kini adalah anak dari pemilik perusahaan dari tempatnya bekerja. Dan parahnya, kini Reynaldi adalah CEO di perusahaan tersebut. Meyta sadar pertemuannya dengan Reynaldi tidak dapat bisa ia hindari lagi.

Kini detak jantung Meyta serasa seirama sesuai langkah kakinya, saat ia mulai memasuki pintu pertama, sebuah ruang kosong yang hanya berisi empat sofa besar dengan segala furniturnya.

Tepat pada pintu kedua menuju ruang sang CEO, langkah Meyta terhenti sejenak. Ia menarik napas dalam dan perlahan ia keluarkan sembari memejamkan mata indahnya.

‘Aku tahu hari ini akan datang padaku. Dan.., aku harus menemuinya,’ bisik hatinya membuka mata indahnya dan menelan salivanya. Sampai akhirnya tangannya yang sedikit gemetar mengetuk pintu ruang kerja sang CEO.

Tok.. Tok.. Tok..

“Masuk..!” terdengar suara sang CEO begitu dingin menyambutnya.

Mendengar suaranya yang begitu berbeda dibandingkan sepuluh tahun yang lalu, membuat hati Meyta berbisik, ‘Ternyata lelaki itu telah berubah, hmmm.., Baiklah.’

Dengan tangan gemetar ia menarik hendel pada pintu ruang kerja sang CEO dibarengi doa-doa yang terus ia lantunkan usai perpisahan dengan lelaki tampan itu selama hampir sepuluh tahun.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Parikesit70
Salam kenal dari Parikesit70(っ.❛ ᴗ ❛.)っ Untuk kakak semua pembaca Good Novel saya mohon dukungannya dengan memberikan bintang 5 dan komentar pada bagian depan serta tambahkan pada pustaka kakak yaa(◍•ᴗ•◍)... semoga kebaikan kakak dapat pahala Aamiin (✷‿✷) Terima kasih (●’3)♡(ε`●)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status