"Haya, kamu kok pergi sekolah nggak ngajak aku. Kamu kan janji, mau menemui Mama aku," omel Dara saat melihatku sudah sendirian di kamar. Tadi Nek Wid menemaniku dan menyuapiku makan, setelah aku sampai di rumah dan masuk ke dalam kamarku. Makanya dia belum menampakkan wujudnya. Tapi, setelah nenekku pergi dia mulai beraksi menunjukkan wajahnya yang cemberut."Kamu yang kemana aja. Lagian aku tadi kesiangan, mana ingat sama temen yang nggak nampak wujudnya," kataku sambil merebahkan tubuhku. Rasanya sangat lelah. Maklum aja, beberapa hari cuma jadi kaum rebahan, sekarang harus melakukan aktifitas normal lagi. Ditambah dengan kejadian di sekolah tadi."Kamu sakit? Kok pucat banget," tanya Dara. Dia duduk di tepian ranjangku. "Nggak, tadi aku baru ketemu hantu gosong di sekolah." "Ih serem." "Situ hantu tau, masa takut sama hantu juga." Aku mengejek Dara yang menunjukkan ekspresi takut. "Tapi aku kan, nggak serem. Manis malah." "Narsis. Sana gih. Aku mau tidur dulu. Capek banget.
Kapur itu tiba-tiba terjatuh. Setelah alamat itu selesai ditulis. Meti cepat-cepat mengambil buku tulisnya dan mencatat alamat yang tertera."Mungkin kita disuruh ke alamat ini Ya," kata Meti."Mungkin," jawabku."Nanti pulang sekolah kita kesana." "Teman-teman yang lain, bagaimana? Apa kita ajak?" "Iya dong. Bisa ngambek mereka kalau nggak diajak. Dari awal kan, mereka sudah tau tentang misi ini." "Woi, mau ngajak kemana nih." Tau-tau Rindi disusul teman-teman yang lain pada masuk ke kelas. "Ada deh, nanti aja, pas jam istirahat kita bicarakan," sahut Meti. Aku melirik ke papan tulis, teringat kalau tulisan tadi belum kami hapus. Ternyata tulisan itu sudah hilang. Syukurlah, agar tak menjadi tanda tanya teman-teman yang lain. UUUIIIINNGGGGGBel pertanda jam masuk berbunyi. Kami semua menuju ke lapangan sekolah untuk berbaris. Selama seminggu ini, sebagai siswa baru kami harus mengikuti kegiatan baris berbaris di pagi hari. Tak ada kegiatan khusus sih. Hanya perkenalan saja. ★
"Kami akan bantu Ibu untuk mendapat keadilan atas kematian suami Ibu," kataku seraya berusaha menahan pintu itu. Sejenak ibu itu diam menatapku. "Apa maksud kamu?" tanyanya menatapku langsung ke mataku. "Pak Rudi memberi tau semuanya sama saya," kataku. Matanya semakin membulat melihatku."Jangan ngaco kamu. Suami saya sudah meninggal." Dia berusaha mendorong pintu itu lagi. Tapi Andri mendorong pintu itu dengan keras, hingga membuat ibu itu mundur beberapa langkah, bahkan hampir terjatuh. Aku melotot ke arah Andri, dia hanya mengedikkan bahunya. "Ibu, nggak papa?" tanyaku pada Ibu itu, sambil berusaha membantu menyeimbangkan tubuhnya."Jangan sentuh saya!" Dia menepis tanganku dengan kasar. "Darimana kamu tau tentang suami saya?" tanyanya padaku. Tatapannya masih saja dingin seperti tadi."Um, dari Pak Rudi sendiri Bu." "Maksud saya. Bagaimana kamu bisa mengenal suami saya?" "Ibu duduk dulu. Saya akan menjelaskannya." Aku membimbing ibu ini, untuk duduk di sofa sederhana di d
Aku bingung mau jawab apa. Bukti belum ada di tanganku. Aku takut, kalau kubilang siapa pelakunya. Istri Pak Rudi akan bertindak nekat dan melaporkan Bapak pemilik yayasan. Bisa-bisa keadaan berbalik, kami yang akan kena masalah. "Iya, Cila benar juga. Pasti kamu tau pelakunya. Kenapa nggak kita adukan langsung aja ke polisi? Biar polisi menyelidiki ulang kasus ini." Andri juga mulai ikut bersuara."Nggak sesimpel itu juga. Pelaku pasti sudah memikirkan semua ini matang-matang. Apalagi kasus ini sudah bertahun-tahun lamanya. Tentunya dia sudah punya alibi yang menentang kalau dia ada di lokasi kejadian." Fuhh. Sukurlah ada Rindi yang sangat rasional. "Rindi benar juga. Tapi kami boleh tau kan pelakunya, Haya? Orangnya ada di sekolah kita nggak? Biar kita bisa mengawasi gerak geriknya? Aku disuruh nguntit sampai ke rumahnya juga mau." Hmm, ternyata ada detektif conan kw di antara kami. Siapa lagi kalau nggak si Ray. Memang kecil bodynya, tapi dia memang lebih lincah dari Andri yang
"Itu lemari baju anak saya. Semua kenangan dia tersimpan di situ. Saya nggak mau kenangan itu jadi rusak karena kalian acak-acak.""Kami akan bereskan lagi Bu. Kami pastikan, nggak ada yang akan rusak. Kami akan sangat hati-hati," kata Meti."Ya Bu. Mungkin saja itu harapan terakhir kita. Kalau memang tak ada apa pun. Saya janji, saya nggak akan mengungkit hal ini lagi." Aku memohon pada istri Pak Rudi. Hatiku bilang, ada sesuatu di dalam lemari itu."Ya sudah. Tapi jangan sampai ada yang rusak. Saya nggak akan memaafkan kalian, kalau ada yang rusak." "Iya Bu, kami akan hati-hati," ucap Meti seraya mengulas senyum manis, namun dibalas tatapan dingin oleh istri Pak Rudi. Kami semua sudah berkumpul di sini, di kamar anak Pak Rudi. Kamar ini tampak bersih dan terawat. Berbanding ruangan lain yang terbiar begitu saja. Kamar khas anak remaja putri. Bahkan di meja belajarnya, masih tersusun rapi buku-bukunya. Sebuah laptop berwarna silver tampak ada di atas meja itu.Dengan perlahan aku m
"Bener juga, saya juga sudah lapar. Kita makan disini, ya Bu. Biar saya dan Andri yang beli mi instan ke warung. Para cewek, bantu Ibu membersihkan rumah." Kami semua setuju dengan usul Raya. Mata kami menatap istri Pak Rudi penuh harap. Kami yakin, beliau sedang butuh suasana baru. Kelihatan kesepian hidupnya, makanya sikapnya jadi dingin begitu. "Tapi jangan berantakan." Kami sangat senang, istri Pak Rudi mengizinkan juga. "Bu, kita belum kenalan. Nama saya Rindi, itu Meti, yang pakai kacamata Cila, dia Andri dan yang imut, Raya. Nama Ibu siapa?" Rindi memperkenalkan teman-temanku pada istri Pak Rudi."Ih, aku nggak dikenalin." Aku memasang wajah cemberut pada Rindi. "Kamu kan, udah memperkenalkan diri tadi. Ibu masih ingat kan nama teman kami yang indigo ini?" Senyum mulai menghiasi wajah istri Pak Rudi. "Panggil saya Bu Ayu," kata istri Pak Rudi. Intonasinya bicara tak lagi ketus."Rin, enak aja kamu bilang aku imut," sungut Raya. "Udah deh, nggak usah ngelak. Nyatanya kamu
"Enak banget mienya Buk. Sumpah, baru kali ini makan mi seenak ini. Pantas saja sampai namboh." Andri mengusap perutnya yang kekenyangan. "Emang lu makannya banyak. Makan mi nggak dibumbui, juga bisa habis dua porsi," ledek Rindi sambil mengumpulkan piring bekas kami makan. Cila juga turut membantu Rindi mengangkat piring-piring kotor itu dan meletakkannya di wastafel. "Udah, nggak usah dicuci. Biar nanti Ibu aja yang cuci piring. Sebaiknya kalian pulang, orangtua kalian pasti khawatir," kata Bu Ayu. "Iya, Bundaku udah wa aku nih," kata Cila. "Ya udah, kami pamit ya Bu. Semoga ada titik terang atas kasus ini," kataku. "Kalaupun nanti tidak ditemukan apa-apa. Ibu sudah ikhlas, terima kasih kalian sudah menghibur ibu. Saat meninggal dulu, usia anak ibu, sebaya dengan kalian. Kalian sudah mengobati rasa kangen Ibu." Bu Ayu tampak terharu, matanya sampai berkaca-kaca. Aku jadi ikut terharu juga. Kupeluk Bu Ayu erat. Apa begini ya rasanya, kalau meluk ibu sendiri? "Bunda saya sudah
Sebelum masuk ke dalam mobil Andri, masih sempat aku celingukan, barangkali 'dia' akan menampakkan diri. Nihil. Baru lagi mobil Andri jalan, aku merasa ada yang narik-narik hijab aku dari belakang. Aku menoleh, nggak ada siapa-siapa."Ya, kamu ngerasain nggak?" bisik Meti. "Ngerasain apa?" Aku juga berbisik. "Ada hantu," bisik Meti semakin pelan hampir tak kedengaran, mungkin takut terdengar teman yang lain. Aku diam saja, apa mungkin ada hantu yang ikut naik ke mobil Andri? Apa yang narik-narik hijab aku tadi ya? "Nggak ada ah." "Eh, kalian ngapain sih, dari tadi bisik-bisik?" tanya Raya. Aku duduk persis di belakangnya. Mungkin dia sedikit terganggu dengan suara kami. "Eh, nggak boleh tau, kalau ngumpul begini, bisik-bisik. Ntar ada yang tersinggung," kata Cila ada benarnya juga. "Iya, sorry yang besti," kata Meti sambil nyengir. "Kita kan, udah temenan. Katanya geng, jadi jangan ada rahasia-rahasiaan dong." Rindi ikut menimpali. "Bukan rahasia kok." Aku jadi merasa bersa