“Saya bertemu dan kenal Nurul saat diklat pak.”
“Ouh gitu, terus tempat kerjanya dimana?”
“Di daerah Sumur pak, di Ujung Kulon.”
“Wah jauh banget ya, kamu di Ujung Kulon sedangkan Nurul di Rangkasbitung. Lah nanti gimana?”
“Kami akan membicarakannya pak kalau untuk hal itu.”
“Hemmm, Ujung Kulon ya. Oia baru ingat, saya pernah tuh tugas di Klinik yang ada di Labuan. Kalau dari situ kemana lagi untuk ke tempatmu?”
Ternyata di luar dugaan Alif, ia kini justru lebih banyak menjawab pertanyaan pak Handoko.
“Di Labuan ke arah PLTU pak, nanti masih lurus ke arah Tanjung Lesung, kira-kira sekitar satu jam setengah.”
“Aduh mas maaf ya, ibu kira tadi orang yang mau ambil pesanan kue.”
Bu Hintan bergabung dengan pak Handoko di ruang tamu.
“Oia nggak apa-apa bu. Maaf saya juga tadi seperti orang bingung.”
“
Mas Alif sudah salat dan makan?”“Tadi sudah salat zuhur pak di masjid gang sebelah.”“Kalau gitu kita makan dulu ya.”Pak Handoko bangkit dari duduknya dan meminta izin untuk ke kamar. Nurul dipanggil untuk menemani Alif makan siang.“Gimana mas tadi?”“Mas napas dulu ya de sebentar.”Alif melepas semua ketegangan yang ia tahan. Nurul memberinya air.“Mas sih udah sampaikan ke bapak.”“Terus bapak jawab apa?”“Bapak belum bisa jawab de, ini dijeda katanya makan dulu.”“Hemmmm gitu ya mas.”Nurul menundukan kepalanya.“Belum itu bukan berati nggak boleh loh de.”“Astagfirullah, makasih ya mas selalu jadi mood buster buat aku. Oia, yudah yu makan dulu.”Nurul mengajak Alif ke ruang makan.“De, Inimah nasinya kebanyakan.&rdqu
“Mas aku minta maaf ya.”“Maaf untuk apa de?”Terdengar samar suara Nurul di ujung telepon, suaranya lebih berat dan terisak. Sejak dua hari yang lalu saat Alif menemui orang tuanya, tiap percakapan selalu ada kata maaf yang terlontar dari Nurul.“De, udah berapa kali kamu bilang gitu. Udah dong, ya. Masa tiap hari nangis terus. Biarin dulu bapak sendiri, biarin bapak untuk punya waktu menimbang kondisi saat ini.”“Tapi mas, kenapa sih aku yang jadi korbannya? Kenapa aku yang harus ngikutin kemauan bapak terus-terusan?”“Husst, istigfar de.”Tangis Nurul semakin pecah. Alif tak pernah tenang jika kondisi Nurul demikian, ia mengganti mode panggilan suara menjadi video call.“Udah dong ya, kita udah sepakat kan kemarin. Apa pun yang terjadi, kita bakal cari jalan keluarnya bareng-bareng.”“Maaaass, padahal aku udah nurutin kemauan bapak. Dari d
“Kemana aja mas yang penting sama kamu.”“Iya mas ngerti, maksudnya mas itu, kamu mau makan atau keliling motoran aja kayak gini?”“Ngikut kamu aja mas aku mah, kamu udah makan mas?”Entah memang sudah disetting saat Nurul bertanya atau memang sudah tidak bisa diajak bicara baik-baik, bunyi keroncongan perut Alif kali ini terdengar berulang kali.“Ya ampuuun mas, kamu laper banget ya?”Alif hanya diam sambil terus mengendarai motornya, laparnya mungkin masih bisa ditahan tapi rasa malunya membuat ia salah tingkah.“Kamu jangan-jangan pulang kerja langsung kesini ya mas?”Nurul terus mencecar.“Kalau nggak langsung berangkat nanti sampai sininya malam banget de.”“Kamu mah maaaassss.”Nurul mendekap erat Alif dari belakang, wajahnya ia benamkan di pundak Alif. Alif berbelok kanan di ring road Mandala ke arah Maja. Kondisi jalan yang
Dua minggu setelah pertemuan di Cafe D’Lebak, sudah tidak ada lagi tangis dari Nurul tiap komunikasi dengan Alif. Alif telah berkali-kali meyakinkan bahwa mereka pasti bisa melewati tiap hal yang dihadapi, termasuk jika itu adalah kesulitan yang amat berat.****“Biar mas yang menenangkan badainya ya, kamu cukup percaya sama mas dan kita hadapi semuanya bersama.”****“Mas minggu depan aku mau ke luar kota, mau ke Surabaya.”“Ada acara apa de?”“Mba Sindi mau nikah, jadi aku sama teman-teman aku mau barengan ke sana.”“Kamu nggak apa-apa perginya?”“Aku udah baikan mas, kan kamu yang minta aku untuk selalu kuat. Aku juga capek nangis terus. Ya itung-itung sekalian ngerefresh pikiran aku mas.”“Hati-hati.”“Iya mas, kamu nggak mau ikutan?”“Nggak dulu deh, ini kan acara spesial sahabat kamu. Jadi kamu
“Aku juga nggak tahu mas.”Alif diam sesaat, ia mengatur napasnya. Alif baru tiba dari perjalanan selama empat jam dan langsung menjemput Nurul lalu kemudian mereka bicara serius di alun-alun Rangkasbitung.“Yaudah, kalau kamu udah baikan kabari mas ya.”“Aku nggak tahu sampai kapan mas, kamu nggak usah nunggu aku. Kamu juga kan masih banyak mimpi-mimpi yang ingin kamu capai, aku takut malah ngerusak mimpi kamu.”“Kamu yakin de?”“Aku nggak yakin sih mas, aku juga butuh waktu untuk ngebalikin suasana hati aku karena trauma masa lalu mas.”Ingin sekali rasanya Alif bertanya lagi, trauma dengan masa lalu yang mana yang dimaksud Nurul. Selama ini ia belum pernah bercerita mengenai traumanya. Ingin sekali Alif meyakinkan bahwa ia akan berusaha semaksimal mungkin membantu Nurul merasa baik dari traumanya. Namun, ia urungkan.“Yaudah, kamu baik-baik ya de. Jangan maksain diri
Langit di Sumur Ujung Kulon Banten masih berwarna abu-abu, menyembunyikan hujan yang sebenarnya siap terjun bebas dari pagi. Ombak di sepanjang pantai Sumur hingga Tanjung Lesung tak bersahabat.Alif berjalan kaki dari indekosnya yang terletak di dekat Masjid At Taubah Sumur ke pasar, ia berjalan hingga bertemu simpang tiga Sumur dan berbelok kanan ke arah Tanjung Lesung, letak Pasar Sumur sekitar 600m. Pagi itu nampak beberapa rombongan wisatawan sudah datang, kendaraan ber plat B mendominasi meskti ada beberapa diantaranya berplat F. Di saat akhir pekan wilayah Sumur Ujung Kulon kerap dikunjugi wisatawan dari Jabodetabek, ada yang ingin menikmati pesona pasir putih dan birunya Pantai Daplangu atau ada juga yang menyeberang ke Pulau Umang, Pulau Oar, atau pulau lainnya di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.Alif hendak membeli cumi bayi asin yang menjadi lauk favoritnya. Cumi dari Sumur ini terkenal memiliki rasa yang gurih dengan asin yang sedang. Jika di musim
“Mas, kalau aku banyak kekurangan disana sini, kamu sabar ya bimbing akunya. Aku nggak pandai dalam hal agama, aku nggak bisa masak, aku orangnya nggak punya rencana.”Alif menyandarkan bahunya di tembok kamar, memejamkan matanya dan mengingat perkataan Nurul yang pernah disampaikan kepadanya. Ia kemudian membuka binder yang berisi berbagai rencana hidupnya. Ia tatapi semua lembar demi lembar. Alif menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan, ia rasakan betul tiap oksigen yang masuk ke dalam tubuhnya. Alif meminum teh pahitnya perlahan.Alif menuliskan kendala-kendala yang ia hadapi dari rencana yang telah ia buat dan memikirkan beberapa cara untuk menyelesaikannya lengkap dengan alternatifnya.Saat ini, ia tengah dihadapkan pada keraguan pak Handoko yang belum juga memberikan izin kepadanya untuk memberikan restu menikahi Nurul. Lalu, Alif menuliskan rencana-rencana yanng dapat ia komunikasikan kembali kepada pak Handoko hingga membuatnya y
Commuter line bergerak ke arah Stasiun Jatinegara, meninggalkan Stasiun Tanah Abang dengan segala riuh ramainya yang menjadi saksi pertemuan dua anak manusia yang sedang sama-sama memahami perbedaan diantara keduanya. Deru mesin dan gesekan rel mengiringi keduanya dalam perjalanan kembali ke Balai Diklat Keagamaan Jakarta.Awan berarak dalam beberapa gradasi hitam abu-abu, membisikan angin di sekitarnya untuk membawanya menuju lautan. Meski ada beberapa awan yang enggan berjalan, warna abu-abunya menjadi lukisan kelabu langit Jakarta.“Mas kok kita lewat sini?” tanya Nurul masih dengan kepala yang disandarkan di bahu kiri Alif. Tangannya tetap memegang erat lengan Alif.“Iya, kita aga muter nggak apa-apa ya de, mas nggak akan pernah mau liat kamu desak-desakan lagi di gerbong,” jawab Alif lembut.Kali ini Nurul membenamkan wajahnya ke dada kiri Alif, ia sudah tidak kuat menahan haru yang ia tahan dari tadi. Air matan