Di perjalanan menuju kafe, Louis mulai merasakan efek yang kurang nyaman pada tubuh bagian bawahnya, tetapi dia abaikan itu semua dan memilih untuk melajukan mobil merahnya dengan cepat.
Mustahil dia mabuk, sebab dia itu terkenal sanggup menghabiskan beberapa buah botol bir seorang diri. Tiga buah gelas saja tidak mungkin bisa membuatnya kehilangan kesadaran. Apalagi, ini hanya minum sedikit saja.Sayangnya, dia tak tahu jika ada campuran lain di dalam gelas terakhir yang dia minum. Ini semua adalah perbuatan mereka, orang-orang berpikiran picik yang tak akan segan-segan menghancurkan hidup orang lain demi tujuannya semata.Louis benci sekali dengan orang-orang seperti itu. Akan tetapi, entah mengapa dia lebih membenci dirinya sendiri yang berani mengambil taruhan itu tanpa tahu akibat apa yang akan dia terima.Obat yang masuk ke dalam perutnya itu adalah obat yang akan mengantarkan hidup Maria, keluarganya, serta masa depannya hancur dan menimbulkan sebuah lukaMaria dengan cepat menggeleng. Ini sudah terlalu salah, pikirnya. "Tidak, Louis," ucapnya tegas. Sebelum cinta di antara keduanya semakin membesar, sebelum tuhan mencatat dosanya karena telah melabuhkan perasaan kepada lelaki lain selain suaminya, dia harus segera menghentikan perasaan pemuda ini dan juga perasaannya sendiri.Maria kemudian membalikkan badan, menghadap Louis dan menatapnya dengan tatapan memohon. "Tidak semua orang bisa kau buat nyaman, Louis. Begitu pula aku, karena karakter setiap orang itu berbeda-beda.""Ya, Maria. Tapi kau berbeda. Kau tidak sama dengan mereka yang pernah kutemui ....""Louis, aku tahu," tegas Maria sambil menaikkan nada bicaranya. Wanita itu kembali membalikkan badan, membelakangi pemuda yang terus saja memandanginya tanpa jemu. "Sama halnya denganku, kau bisa saja terus bersamaku, tetapi jika kau terus memaksaku berbuat seperti ini, maka aku tidak akan bisa lagi merasa nyaman denganmu."Maria m
Semuanya terjadi begitu cepat dan tak bisa diprediksi oleh Maria sebelumnya. Louis yang berada di bawah kendali minuman keras membuat kesadarannya seolah mengambang entah kemana. Pemuda yang biasanya tenang, kini berubah menjadi liar dan tak terkendali. Seperti hewan yang hanya mengikuti hawa nafsunya semata. Bertindak agresif dan cepat. Maria tak sanggup jika melawan pemuda itu, meski dia sudah berusaha keras. Louis memang kehilangan kesadarannya. Dia tak bisa berhenti begitu saja meski sebenarnya di dalam hati dia tak ingin menodai wanita yang ia kasihi. Akan tetapi, dari semua kejadian dan penggalan ingatan yang samar-samar itu, yang jelas Louis sendiri pun tahu jika yang saat ini tengah ia paksa berhubungan badan adalah Maria, sang pemilik kafe langganannya. Wanita yang selama ini dengan setia mendengarkan setiap keluh kesah dan cerita hidupnya. Wanita yang beberapa waktu lalu menolak perasaannya. Wanit
"Kumohon ... hentikannn ... hiks!" Erangan, desahan dan jerit tangis seorang Maria pun memenuhi ruangan yang dekat dengan meja dapur tempat biasanya wanita itu menyiapkan pesanan para tamu kafenya. Wanita itu meringkuk dengan tubuh yang dipenuhi keringat dan air mata yang membasahi seluruh wajahnya. Louis terus saja memaksakan nafsu bejatnya terhadap tubuh lemas Maria. Hingga tak menyadari dua pasang mata dua orang anak kecil yang tengah menatap aksi gilanya dengan tubuh mematung. Syok di tempat, sebab tak tahu apa yang harus mereka lakukan ketika melihatnya. Louis sangat mengaguminya, dia terlalu mencintai Maria hingga membuatnya lupa diri. Hingga lupa dengan status yang dia miliki dengan Maria.Lupa dengan batas yang memisahkan dia dengan sang pujaan hati.Cinta pertama yang telah menorehkan luka. Memberikan kenangan manis serta kenangan pahit di saat bersamaan. Cinta yang bertepuk sebelah t
Tak beberapa lama setelahnya, keluarga Leckner pun kembali ke kediaman mereka yang terletak jauh dari kota. Ketika mereka menyalakan televisi, hal pertama yang mereka lihat adalah berita pemerkosaan yang terjadi di sebuah kafe. Hubert mengernyit. Lalu mulutnya terbuka, mengeluarkan pertanyaan. "La-Massiere? Sayang, bukankah itu kafemu?" tanyanya sambil menoleh ke arah sang istri. Dan seketika, hening. Pria itu tak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada anak-anak dan juga istrinya. Akan tetapi, melihat ekspresi ketakutan yang tampak dari wajah Maria yang memucat, saat itu juga, Hubert pun menyadari apa yang telah terjadi kepada wanita yang ia cintai. Dengan deru napas yang cepat, Hubert pun mendekat dan menghampiri sang istri. Menatap wanita itu tidak percaya. "Ma-Maria, katakan berita itu tidak benar! Mustahil kau diperlakukan seperti itu! Selama ini, tak pernah ada yang menganggumu di
Isak tangis Javier bukannya berhenti, malah semakin menjadi. Dengan susah payah, anak kecil itu menyahuti perkataan sang kakak, "Ta-tapi, Kak ... Papa kita sekarang sudah meningg—HUWAAA! PAPA! Huhuuu, jangan tinggalkan Javi, Pa!" Semuanya terjadi begitu cepat. Kehilangan sang papa membuat mereka berdua seperti kehilangan kata-kata. Mereka seolah tak punya lagi penopang di kehidupan yang terasa berat ini. Kita memang tidak pernah tahu dengan skenario tuhan itu akan seperti apa nantinya, tetapi Jacob tak ingin terus-terusan seperti ini. Dia pun merasakan hal yang sama seperti yang Javier rasakan ini. Dadanya terasa sesak, dan juga sakit bersamaan dengan air mata yang tak berhenti mengalir turun dari kedua matanya yang sembap. Di tengah kesedihan dua anak kecil itu, masih ada saja sanak saudara yang datang dari jauh sekadar hanya untuk mengasihani dan berbicara hal yang kurang baik di depan foto mendiang
Perubahan Jacob sekarang ini sedikit banyak membuat Javier merasa sedih. Pasalnya, perubahannya itulah yang membuat sang kakak menjadi jarang berada di rumah. Ditambah lagi, kakaknya itu memiliki seorang kekasih yang sangat suka mengusik sang kakak. Dan Javier, tidak terlalu menyukai gadis itu, meski dia tahu Sylvia adalah seorang gadis yang baik. Hanya saja, baik saja tidak cukup untuk membuat Javier merestui hubungan keduanya. Entah apa yang membuat Jacob menaruh hati kepada gadis itu, Javier sama sekali tidak bisa mengerti apa-apa. Jelas-jelas, Emily Stone jauh lebih baik daripada Sylvia. Kenapa Jacob tak memilih Emily saja? Pagi Minggu yang cerah itu, kakaknya sudah pergi kencan dengan Sylvia. Meninggalkan sang adik yang bangun kesiangan. Sebenarnya, Javier bisa saja menelepon sang kakak dan mendesak remaja itu untuk pulang ke rumah dan menemaninya. Namun, urung dia lakukan. Selain mengganggu, hal itu j
Nara terlalu fokus dengan ponsel di tangan kirinya, hingga tak menyadari, ada seseorang yang sedang berjalan mengendap-ngendap di belakangnya, sambil membawa sebilah kayu berukuran sedang dan cukup panjang. Dan, orang itu sudah berdiri tepat di belakang pria 20 tahun yang sama sekali tak menyadari bahwa ajal akan menjemputnya malam itu juga. Jacob menatap pria yang berdiri membelakanginya itu dengan mata setajam elang yang siap menerkam mangsanya. Hatinya penuh dengan kebencian yang begitu besar dan dalam kepada mereka yang bertanggung jawab atas penderitaannya selama ini.Selama ini, dia sudah berjuang keras untuk mengalahkan orang yang telah menghancurkan kehidupan keluarga kecilnya. Sekarang, dia sudah mempunyai kesempatan itu, untuk membalaskan dendam keluarganya yang telah hancur. Jacob memegang kuat balok kayu di tangannya dengan erat. Dia tak merasa gentar sama sekali, walau dirinya masih mera
Ada yang pernah mengatakan, meminta maaf secara langsung itu memerlukan tekad yang sangat besar dan kuat, hingga tak bisa goyang atau runtuh ketika ada badai keraguan. Agaknya, hal itu pulalah yang menganggu pikiran Javier saat ini, tentang cara meminta maaf kepada seseorang yang tidak disukai. Dia sama sekali tak tahu jika akan ditempatkan di satu sel yang sama dengan sang kakak, Mark, juga sahabat mereka yang satunya lagi, Daniel. Mereka berempat lengkap di satu sel itu. Berkumpul dalam satu tempat seperti kebiasaan mereka sebelum penangkapan ini terjadi. Dan, sepertinya mereka tak akan bisa lagi kumpul bersama dengan penuh sukacita selayaknya dulu ketika mereka baik-baik saja. Javier cemas, karena dia belum meminta maaf lagi kepada sang kakak. Rasa-rasanya, dia sudah melakukan yang satu itu, tetapi di sisi yang lain, dia pun mendadak ragu. Apa dia sudah meminta maaf dengan sungguh-sungguh kepada sang kak