“Hei anak pelacur!”
“Dia sangat mirip sekali dengan pelacur!”“Aku tidak sudi berteman dengan anak pelacur.”Seorang gadis delapan belas tahun membuka matanya lebar-lebar. Bulu matanya yang panjang dan lentik menciptakan bayangan indah di bawah pipi. Dia mengerjap-ngejarp dan mengucek matanya yang bulat. Gadis itu mengangkat kepalanya—melihat suasana kelas yang masih sama dengan tiga puluh menit yang lalu. Dia tertidur karena lelah mendengar guru bahasa Indonesia nya mengoceh panjang lebar. “Lusie!”Gadis dengan rambut panjang yang diikat kuda itu menatap seorang gadis dengan rambut seperti dora dihiasi kacamata besar yang membantunya melihat jelas. “Ada apa Falery?”Lusie bertanya malas pada Falery Matthew. Anak pemegang saham di sekolah itu membuka bukunya di hadapan Lusie.“Kau sudah tidur selama tiga puluh menit dan tidak tahu jika sekarang ada sosialisasi sekolah penerbangan di aula! Lihat, aku sudah mendapat tanda tangan Kapten Hero!”Lusie mengerjap-ngerjap. Dia menangkup pipi Falery yang sangat tirus. Sungguh wajahnya kalah jauh ketimbang Dora the explorer yang tambun itu.“Kapter Hero?! Pilot tampan itu ke sekolah kita?!”“Astaga Lusie, jika kau ingin tahu bergegaslah!”Sebelum Falery menyelesaikan omongannya, Lusie sudah lebih dulu mendorong kursi dan berlari menuju aula. Mimpi buruknya harus diakhiri. Harapan kebahagian dan matahari Lusie sedang menunggu di depan sana.“Kapten Hero!!!”Lusie berteriak lantang setibanya di aula. Kapten Hero yang sedang memberikan sosialisasi berhenti berpidato. Perhatian seluruh audiens mengarah pada Lusie.“Kau ingin menjadi kekasihku?!” Lusie Agatha, siswi akhir di sekolah yang terkenal dengan sikap berandalnya itu membuat onar satu gedung. Gurunya memijiat pelipis dan meminta agar Lusie keluar dengan isyarat pelototan. Tentu saja itu tidak berlaku untuk Lusie.“Maaf, sepertinya ada kesalahan disini.”Murie Albert—guru kesenian Lusie yang selalu menjadi jendral sekolah karena menerapkan hukuman bak kemiliteran membawa Lusie keluar. Murie memberikan tatapan tajam. Lusie mendengus dan berusaha membersihkan tangan. Seakan-akan yang baru saja memeganganya adalah tangan kotor yang berlumpur. Murie menahan kekesalan. Ia sudah berselisih dengan Lusie sejak awal karena sikap Lusie yang sangat kontra dengan peraturannya.“Kau gila?!"“Aku ingin bertemu kapten Hero. Jika itu definisi gila, maka kalian semua yang ada disana adalah orang-orang yang lebih gila karena mendahuluiku.”“Dengarkan ini, Lusie. Kapten Hero datang bukan karena ingin bertemu dengan siswi nakal yang mengharapkan dia untuk menikahinya. Kembali ke kelas atau kau akan mendapatkan hukuman dariku.”Lusie melepaskan kuncirnya. Dia menggelengkan kepala dan membuat rambutnya terurai indah. Beberapa satpam yang melihat terpesona akan kecantikan dari wajah mungil yang bernyali besar itu.“Ibu Murie, aku takkan diam ketika terakhir kali kau memfitnahku karena mencoret lukisanmu. Padahal kau hanya iri aku bisa lebih hebat darimu, kan?”Murie mengepalkan tangan.“Beberapa hari yang lalu kau juga menghukumku dengan cara yang paling ekstrim. Kau menyuruhku membersihkan kandang Dogi-dogi si anjing setengah gila hanya karena aku masuk ke ruanganmu dan melihat foto-foto teman-temanku dengan keadaan telanjang?”Plak! Murie menampar Lusie. “Kau memang sama saja seperti ibumu. Suka mengancam, murahan dan memalukan! Enyahlah, gadis jalang!”Lusie membersihkan ujung bibirnya yang berdarah. Ia tersenyum licik dan menatap Murie penuh kebencian.“Tau apa Anda tentang ibu saya?”Lusie semakin berteriak keras. “Jawab!”Murie ciut dan meninggalkan Lusie sendirian. Murie kembali ke aula. Lusie tak mau tinggal diam. Ia mengikuti Murie dari belakang, lalu melemparkan sepatunya hingga membuat Murie jatuh tersungkur.Suara dalam aula teredam oleh pemandangan itu. Murie bangkit berdiri meskipun kepalanya masih terasa pening. Bug! Ia kembali tersungkur setelah dilempar sepatu lagi.“Lusie!”Falery menarik tangan Lusie dan membawanya pergi dari aula sebelum ia ditangkap oleh satpam. Falery membawa Lusie menuju gedung apoteker. “Jika kau bodoh, setidaknya kau bisa menggunakan hatimu jika sulit menggunakan otakmu.”Falery mengobati darah yang ada di sudut bibir Lusie. Seorang anak lelaki berusia sembilan belas tahun dengan iris mata berwarna hijau keluar dari ruangan apotek.“Dia berbuat ulah lagi?” “Ya, hari ini dia melempar kepala Ibu Murie Albert dengan dua sepatunya.”Lusie bersikap masa bodoh. Dia menghentikan Falery yang sedang mengobatinya. Lusie menatap anak lelaki dengan postur tinggi dan sedikit kurus itu.“Hei tuan muda Hilbert. Berhenti bertanya dan antarkan aku pulang sekarang. Aku mungkin akan mati konyol jika diintograsi hari ini.”Falery tertawa. “Tentu saja. Dia tidak akan mau dijelek-jelekan di depan Kapten Hero.”“Sialan, aku ketahuan.”Setelah berdiskusi panjang, Lusie akhirnya diantar oleh Farel Hilbert menggunakan layanan taksi online. Farel merupakan salah satu siswa yang aktif di bidang kesehatan. Ia sudah gigih dan merencanakan masa depan sebagai seorang dokter umum.Farel mengeluarkan sapu tangan. Ia membersihkan darah di ujung bibir Lusie. Mata Lusie berputar malas dan menurunkan tangan Farel.“Biarkan saja. Aku tidak mau menutupi apapun lagi dari ayah.”“Tapi ayahmu akan marah.”“Itu lebih baik daripada dia terus-terusan sibuk duduk di depan laptop.”Mobil berhenti di perumahan elit kawasan Marciv Swiss. Lusie turun dari mobil dan melambaikan tangan kepada Farel.“Terimakasih! Hati-hati di jalan, ya!”Farel mengangguk. Lusie bersenandung sepanjang jalan. Ia berhenti tatkala melihat renovasi rumah di depannya. Lusie melihat seorang anak berusia empat tahun sedang duduk di atas ayunan sembari memakai kacamata besar. Ia terlihat seperti sedang berjemur.“Hei.”Anak kecil dengan rambut pirang menurunkan kacamatanya. Lusie dapat melihat warna mata coklat yang sangat terang.“Kau siapa?”“Lusie. Kau sendiri, siapa dan kenapa bisa ada di rumah ini?”“Kata ayah, ini rumah baru kita.”“Namamu?”“Anea.”Lusie menyubit pipi gembul Anea. Rambutnya sangat keriting, tapi itu menggemaskan dan membuat Lusie ikut duduk di ayunan sebelah. Sebuah mobil berwarna putih berhenti di depan gerbang. Anea bergegas berlari dan berteriak memanggil nama ‘ayah’.“Ayah!”Lusie tersenyum mungil. Sudah hampir sebulan rumah ini kosong. Akhirnya bisa terjual oleh keluarga yang nampaknya sangat hangat. Lima menit setelahnya, Lusie dibuat terkejut.Seorang lelaki dengan kemeja putih yang dilapisi jas coklat turun dari mobil. Matanya yang biru bak batu safir yang mewah. Dia menggendong Anea ke dalam pelukannya. Lusie berdiri—memastikan matanya dan otaknya masih sinkron.Lelaki itu menoleh ke depan. Ia sama terkejutnya ketika melihat Lusie.“Kapten Hero?”Hero. “…”Lusie berlari dan hendak memeluk Hero.“Kapten!!!”
Hero menatap Lusie dengan sinis. Dia membiarkan Lusie di luar sedangkan ia membawa Anea masuk. Tidak disangka, Lusie justru ikut mengekor di belakang dan membuat Hero berbalik.“Maaf?”“Ya, Kapten?”Anea menarik kerah Hero. “Dia Lusie. Dia cantik, tapi sangat cerewet.”Lusie ingin sekali munutup mulut Anea. Gadis ompong itu sungguh menghancurkan pendekatan Lusie kepada Hero. Lusie mengeluarkan kertas dan pena dari dalam tas. Ia mengacungkan kertas itu depan Hero.“Saya sering melihat Kapten di majalah, internet dan berita.”Hero menurunkan Anea. Ia meminta Anea untuk menunggunya di ruang makan. Hero menarik tangan Lusie ke depan gerbang. Hanya dipegang saja sudah membuat Lusie ingin terbang melayang. Namun, beberapa menit kemudian Hero dengan sengaja menyentak tubuh Lusie hingga gadis itu terhuyung mundur.“Pergi, lha.”Lusie terdiam.“Jangan dekati rumah saya apalagi anak saya!”“Ken
Harusnya ini akan menjadi berita bagus untuk kembali ke rumah. Setidaknya, Lusie sudah bisa mengganti sepatu milik Isabella. Namun, ketenangan itu menguap saat Lusie melihat wajah lebar ayahnya diikuti Isabella yang melipat tangannya di depan dada.Lusie hendak menjelaskan—apa saja yang baru ia lakukan dengan Hero. Lusie menatap Hero, tetapi lelaki itu justru terdiam di tempat. Ia memandang Isabella dengan wajah kaku yang diikuti semburat kemerahan. Lusie menggandeng tangan Hero. Ia refleks melakukannya.“Ayah, aku dan Kapten Hero—““Hanya berbicara biasa tentang insiden di sekolah tadi.” Hero menjelaskan dengan menyalip kalimat Lusie.Isabella melepas tangannya. Ia memandang tangan Lusie dan Hero yang saling bertautan. Eric melepas tautan itu dan menarik Lusie secara paksa. Lusie ingin Hero menolongnya—ia menampilkan wajah memelas dengan mengerucutkan bibirnya yang mungil.“Paman,” panggil Hero.Eric menoleh tajam. “Kenapa?!”
SMA Nusantara menutup gerbangnya pukul tujuh pagi. Lusie membungkuk lelah sebab ia telah berlari dari busway selama lima menit demi mengejar bapak satpam yang terlalu bersemangat menarik gerbang sekolah.“Lus.”Lusie menyelipkan poninya ke samping. Ia menyengir ketika Farel menenteng tas ransel di bahu samping.“Kau hampir terlambat pagi ini.”“Sebab itu aku berlari.”“Kau tidak pernah jera bangun siang.”“Berisik!”Lusie menjulurkan lidah. Sontak saja Farel memukul telah bibir Lusie dengan telapak tangan. Mata Lusie menutup rapat menahan sakit. Farel tergugup, ia kira ia telah menyakiti Lusie terlalu jauh.“Biarkan saja dia.”Falery menyusul dan ikut menambahi. Ia menggandeng tangan Farel sambil sesekali menoleh ke belakang.“Hei, kalian!!!”Lusie berteriak dengan tangan yang mengacung ke udara. Falery segera berlari dengan berpegangan pada tangan Farel. Mereka
Eric tak pernah meminta banyak hal pada Lusie. Ia hanya ingin Lusie menjalani hidupnya dengan benar. Seperti sekolah tepat waktu, tidak pulang terlambat, dan pergi dengan orang yang mau menjaganya.Hari ini Eric meminta sesuatu yang besar. Meskipun Lusie sangat menyukai Hero, tetapi menikah bukan lah suatu hal yang ia inginkan. Lusie bahkan tidak tahu apakah ia hanya suka atau kagum saja.Hero tidak banya berbicara. Sesekali ia hanya melirik Lusie lalu membuang muka. Semua itu terjadi terlalu singkat. Lusie tidak bisa mengelak, bahkan jika ia bisa. Eric terlalu lemah untuk ia bantah.Seminggu setelah itu acara pernikah dibuka secara privat. Hanya beberapa keluarga besar saja yang datang. Minus Isabella sebab ia masih mengadakan tur luar negeri. Tentu saja jika ia sempat ia tak akan datang. Media akan berdatangan dan membuka kehidupan Isabella yang sesungguhnya.Lusie masih diperbolehkan sekolah dengan berbagai diskusi panjang yang harus i
Hero menyapu bersih area mulut usai memakan sarapan pagi. Ia menatao Lusie dan Anea yang bersiap pergi ke sekolah dengan tas merah jambu yang sudah mereka tenteng. Melihat keduanya Hero justru merasa jika ia adalah ayah dari dua gadis tersebut.“Papa, apakah kau memiliki waktu untuk mengantar kami?”“Apa yang kau katakan, Anea? Tentu saja papa punya!” Lusie menyerobot jawaban Hero.Anea menoleh ke arah Hero dengan wajah sumringah. Hero menenteng koper besar yang sudah disiapkan pelayan rumah. Ia kembali mengenakan kacamata hitam dan berjalan ke arah Anea.“Tidak. Papa sangat sibuk hari ini. Mama Lusie akan mengantarmu ke sekolah.”Hero menunduk mensejajari tinggi Anea. Ia mengecup kening Anea yang kini mengerut sedih. Hero seakan tidak peka dengan perasaan Anea. Ia berjalan ke arah mobil putih yang terparkir di pekarangan.Lusie menyusul Hero dan menahan tangan Hero yang hendak membuka pintu mobil. Hero me
“Selamat sore, Kap.”“Sore, Kap.”“Hai, Kapten.”Sekumpulan wanita dengan seragam elegan maskapai penerbangan berkerumun di area bangku tunggu. Mereka tak henti-hentinya mencuri pandang pada seorang lelaki berseragam Pilot, Hero Louis.Seorang anak dari konglomerat di Korea yang memilih karir menjadi seorang pilot. Pesonanya tidak bisa disingkirkan dari kepala begitu saja. Menghantui seperti roh penasaran yang bergentayangan meminta pertanggung jawaban.Hero dengan santai tersenyum membalas sapaan para pramugari di maskapainya. Ia tidak tahu jika efek senyuman itu bisa meruntuhkan dinding keras yang selama ini mereka bangun untuk melindungi diri. Pikiran mereka menjadi liar jika Hero sudah mengeluarkan jurus handalnya, mengerling.“Aku tidak tahan dengan senyumannya.”“Kapten Hero, milikilah aku. Ah, sungguh aku rela memberikannya untukmu.”“Apa kau gila? Meskipun aku sangat menyukainya aku tidak aka
Jendela dengan dua pintu di dekat balkon terbuka lebar. Gorden putih yang menjuntai menyapu lantai beterbangan tersapu angin malam. Di tepi balkon Lusie menyendiri dengan segala pemikiran yang silih berganti menyerang kepalanya.Dua jam yang lalu ia ditinggalkan Hero usai diperlukakan seperti perempuan yang memperjual belikan tubuhnya untuk dinikamati. Padahal Lusie adalah istri sahnya, tidak peduli bagaimana pun pernikahan mereka berawal, Hero seharusnya memperlakukan ia selayaknya perempuan yang sudah ia nikahi.Mata Lusie memanas ketika melihat dari lantai bawah seorang perempuan keluar dari mobil membopong Hero dengan jalan terseok-seok. Astaga, itu Marina! Supermodel itu datang ke rumahnya saat pagi hampir tiba.Walaupun Lusie tidak begitu mencintai Hero, tetapi hatinya tetap merasa tersayat ketika seseorang yang seharusnya ada di sebelahnya saat ini pulang dalam kondisi setengah sadar dengan perempuan lain.&ldquo
Pagi ini Lusie sibuk mengurus keperluan Anea yang hendak pergi tour ke museum. Ia bahkan meninggalkan Hero yang masih tertidur sejak subuh tadi. Anea begitu bersemangat memakai ransel pink hadiah dari omanya. Selain membantu Anea, pagi ini Lusie juga harus berangkat ke rumah sakit. Sudah dua hari ia tidak mengunjungi Eric.Meskipun Lerry seorang dokter yang menangani Eric mengatakan kepada Lusie bahwa keadaan Eric semakin membaik dan ia tidak perlu datang. Lusie tetap saja bersikeras akan berkunjung.“Mama, dimana tumbler Anea?”“Ah, sebentar sayang. Marta, bawa tumbler di atas meja kemari.”Marta membungkuk sedikit. “Baik, nyonya.”Lusie menggendong Anea menuju kursi makan. Ia berencana tidak berangkat ke sekolah karena kasusnya harus diselesaikan terlebih dahulu. Lusie akan memanfaatkan momen ini untuk hal yang bermanfaat dengan bertemu Eric.“Anea di