Share

CAPTEN HERO IS MY HUSBAND
CAPTEN HERO IS MY HUSBAND
Penulis: Itari Raiansa

Bab 1

“Hei anak pelacur!”

“Dia sangat mirip sekali dengan pelacur!”

“Aku tidak sudi berteman dengan anak pelacur.”

Seorang gadis delapan belas tahun membuka matanya lebar-lebar. Bulu matanya yang panjang dan lentik menciptakan bayangan indah di bawah pipi. Dia mengerjap-ngejarp dan mengucek matanya yang bulat. 

Gadis itu mengangkat kepalanya—melihat suasana kelas yang masih sama dengan tiga puluh menit yang lalu. Dia tertidur karena lelah mendengar guru bahasa Indonesia nya mengoceh panjang lebar. 

“Lusie!”

Gadis dengan rambut panjang yang diikat kuda itu menatap seorang gadis dengan rambut seperti dora dihiasi kacamata besar yang membantunya melihat jelas. 

“Ada apa Falery?”

Lusie bertanya malas pada Falery Matthew. Anak pemegang saham di sekolah itu membuka bukunya di hadapan Lusie.

“Kau sudah tidur selama tiga puluh menit dan tidak tahu jika sekarang ada sosialisasi sekolah penerbangan di aula! Lihat, aku sudah mendapat tanda tangan Kapten Hero!”

Lusie mengerjap-ngerjap. Dia menangkup pipi Falery yang sangat tirus. Sungguh wajahnya kalah jauh ketimbang Dora the explorer yang tambun itu.

“Kapter Hero?! Pilot tampan itu ke sekolah kita?!”

“Astaga Lusie, jika kau ingin tahu bergegaslah!”

Sebelum Falery menyelesaikan omongannya, Lusie sudah lebih dulu mendorong kursi dan berlari menuju aula. Mimpi buruknya harus diakhiri. Harapan kebahagian dan matahari Lusie sedang menunggu di depan sana.

“Kapten Hero!!!”

Lusie berteriak lantang setibanya di aula. Kapten Hero yang sedang memberikan sosialisasi berhenti berpidato. Perhatian seluruh audiens mengarah pada Lusie.

“Kau ingin menjadi kekasihku?!” 

Lusie Agatha, siswi akhir di sekolah yang terkenal dengan sikap berandalnya itu membuat onar satu gedung. Gurunya memijiat pelipis dan meminta agar Lusie keluar dengan isyarat pelototan. Tentu saja itu tidak berlaku untuk Lusie.

“Maaf, sepertinya ada kesalahan disini.”

Murie Albert—guru kesenian Lusie yang selalu menjadi jendral sekolah karena menerapkan hukuman bak kemiliteran membawa Lusie keluar. Murie memberikan tatapan tajam. 

Lusie mendengus dan berusaha membersihkan tangan. Seakan-akan yang baru saja memeganganya adalah tangan kotor yang berlumpur. Murie menahan kekesalan. Ia sudah berselisih dengan Lusie sejak awal karena sikap Lusie yang sangat kontra dengan peraturannya.

“Kau gila?!"

“Aku ingin bertemu kapten Hero. Jika itu definisi gila, maka kalian semua yang ada disana adalah orang-orang yang lebih gila karena mendahuluiku.”

“Dengarkan ini, Lusie. Kapten Hero datang bukan karena ingin bertemu dengan siswi nakal yang mengharapkan dia untuk menikahinya. Kembali ke kelas atau kau akan mendapatkan hukuman dariku.”

Lusie melepaskan kuncirnya. Dia menggelengkan kepala dan membuat rambutnya terurai indah. Beberapa satpam yang melihat terpesona akan kecantikan dari wajah mungil yang bernyali besar itu.

“Ibu Murie, aku takkan diam ketika terakhir kali kau memfitnahku karena mencoret lukisanmu. Padahal kau hanya iri aku bisa lebih hebat darimu, kan?”

Murie mengepalkan tangan.

“Beberapa hari yang lalu kau juga menghukumku dengan cara yang paling ekstrim. Kau menyuruhku membersihkan kandang Dogi-dogi si anjing setengah gila hanya karena aku masuk ke ruanganmu dan melihat foto-foto teman-temanku dengan keadaan telanjang?”

Plak! Murie menampar Lusie. 

“Kau memang sama saja seperti ibumu. Suka mengancam, murahan dan memalukan! Enyahlah, gadis jalang!”

Lusie membersihkan ujung bibirnya yang berdarah. Ia tersenyum licik dan menatap Murie penuh kebencian.

“Tau apa Anda tentang ibu saya?”

Lusie semakin berteriak keras. “Jawab!”

Murie ciut dan meninggalkan Lusie sendirian. Murie kembali ke aula. Lusie tak mau tinggal diam. Ia mengikuti Murie dari belakang, lalu melemparkan sepatunya hingga membuat Murie jatuh tersungkur.

Suara dalam aula teredam oleh pemandangan itu. Murie bangkit berdiri meskipun kepalanya masih terasa pening. Bug! Ia kembali tersungkur setelah dilempar sepatu lagi.

“Lusie!”

Falery menarik tangan Lusie dan membawanya pergi dari aula sebelum ia ditangkap oleh satpam. Falery membawa Lusie menuju gedung apoteker. 

“Jika kau bodoh, setidaknya kau bisa menggunakan hatimu jika sulit menggunakan otakmu.”

Falery mengobati darah yang ada di sudut bibir Lusie. Seorang anak lelaki berusia sembilan belas tahun dengan iris mata berwarna hijau keluar dari ruangan apotek.

“Dia berbuat ulah lagi?” 

“Ya, hari ini dia melempar kepala Ibu Murie Albert dengan dua sepatunya.”

Lusie bersikap masa bodoh. Dia menghentikan Falery yang sedang mengobatinya. Lusie menatap anak lelaki dengan postur tinggi dan sedikit kurus itu.

“Hei tuan muda Hilbert. Berhenti bertanya dan antarkan aku pulang sekarang. Aku mungkin akan mati konyol jika diintograsi hari ini.”

Falery tertawa. “Tentu saja. Dia tidak akan mau dijelek-jelekan di depan Kapten Hero.”

“Sialan, aku ketahuan.”

Setelah berdiskusi panjang, Lusie akhirnya diantar oleh Farel Hilbert menggunakan layanan taksi online. Farel merupakan salah satu siswa yang aktif di bidang kesehatan. Ia sudah gigih dan merencanakan masa depan sebagai seorang dokter umum.

Farel mengeluarkan sapu tangan. Ia membersihkan darah di ujung bibir Lusie. Mata Lusie berputar malas dan menurunkan tangan Farel.

“Biarkan saja. Aku tidak mau menutupi apapun lagi dari ayah.”

“Tapi ayahmu akan marah.”

“Itu lebih baik daripada dia terus-terusan sibuk duduk di depan laptop.”

Mobil berhenti di perumahan elit kawasan Marciv Swiss. Lusie turun dari mobil dan melambaikan tangan kepada Farel.

“Terimakasih! Hati-hati di jalan, ya!”

Farel mengangguk. Lusie bersenandung sepanjang jalan. Ia berhenti tatkala melihat renovasi rumah di depannya. Lusie melihat seorang anak berusia empat tahun sedang duduk di atas ayunan sembari memakai kacamata besar. Ia terlihat seperti sedang berjemur.

“Hei.”

Anak kecil dengan rambut pirang menurunkan kacamatanya. Lusie dapat melihat warna mata coklat yang sangat terang.

“Kau siapa?”

“Lusie. Kau sendiri, siapa dan kenapa bisa ada di rumah ini?”

“Kata ayah, ini rumah baru kita.”

“Namamu?”

“Anea.”

Lusie menyubit pipi gembul Anea. Rambutnya sangat keriting, tapi itu menggemaskan dan membuat Lusie ikut duduk di ayunan sebelah. 

Sebuah mobil berwarna putih berhenti di depan gerbang. Anea bergegas berlari dan berteriak memanggil nama ‘ayah’.

“Ayah!”

Lusie tersenyum mungil. Sudah hampir sebulan rumah ini kosong. Akhirnya bisa terjual oleh keluarga yang nampaknya sangat hangat. Lima menit setelahnya, Lusie dibuat terkejut.

Seorang lelaki dengan kemeja putih yang dilapisi jas coklat turun dari mobil. Matanya yang biru bak batu safir yang mewah. Dia menggendong Anea ke dalam pelukannya. Lusie berdiri—memastikan matanya dan otaknya masih sinkron.

Lelaki itu menoleh ke depan. Ia sama terkejutnya ketika melihat Lusie.

“Kapten Hero?”

Hero. “…”

Lusie berlari dan hendak memeluk Hero.

“Kapten!!!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status