Share

Bab 2

Hero menatap Lusie dengan sinis. Dia membiarkan Lusie di luar sedangkan ia membawa Anea masuk. Tidak disangka, Lusie justru ikut mengekor di belakang dan membuat Hero berbalik.

“Maaf?”

“Ya, Kapten?”

Anea menarik kerah Hero. “Dia Lusie. Dia cantik, tapi sangat cerewet.”

Lusie ingin sekali munutup mulut Anea. Gadis ompong itu sungguh menghancurkan pendekatan Lusie kepada Hero. Lusie mengeluarkan kertas dan pena dari dalam tas. Ia mengacungkan kertas itu depan Hero.

“Saya sering melihat Kapten di majalah, internet dan berita.”

Hero menurunkan Anea. Ia meminta Anea untuk menunggunya di ruang makan. Hero menarik tangan Lusie ke depan gerbang. Hanya dipegang saja sudah membuat Lusie ingin terbang melayang. Namun, beberapa menit kemudian Hero dengan sengaja menyentak tubuh Lusie hingga gadis itu terhuyung mundur.

“Pergi, lha.”

Lusie terdiam.

“Jangan dekati rumah saya apalagi anak saya!”

“Kenapa?”

“Itu sangat mengganggu saya!”

Hero hendak menutup gerbang. Namun Lusie mencegah dan menatap Hero dengan lamat-lamat. 

“Setidaknya Anda harus menandatangani ini!”

Hero mengambil kertas dari tangan Lusie. Dia menandatanganinya lalu membuangnya ke wajah Lusie. Jelas itu menyulut emosi Lusie.

“Kau gadis yang telah melempar sepatu tadi, kan?”

Lusie. “…."

“Mungkin polisi akan datang ke rumahmu lima menit setelah ini. Jangan pernah menyebut namaku untuk menjadi saksi. Pergi dan jangan datang lagi!”

Brak! 

Lusie memandang gerbang putih di depannya. Ia menendang gerbang itu dan mencoba menarik napas perlahan-lahan. Lusie kembali ke rumah dan melihat ayahnya masih berada di depan laptop.

Ayahnya seorang konsultan investasi. Dia sering menghabiskan waktu bersama kliennya. Kondisi kesehatan ayahnya tidak memungkinkan untuk pergi kerja ke kantor.

Lusie memeluk ayahnya dari belakang—memandang wajah klien yang sedang berbicara tadi terhenti untuk beberapa saat. Nampaknya si klien agak terkejut ada gadis cantik dengan rambut sepinggang yang sedang memeluk lelaki tua.

“Ayah!”

“Kau tidak lihat ayah sedang apa?”

“Baru saja aku bertemu tetangga baru di depan rumah kita. Dia sangat angkuh!”

“Nanti kita bicara. Ayah sedang bekerja, Lusie.”

“Ya, karena aku tidak melihat ada tisu toilet di sini.”

Eric mengetuk kepala Lusie dengan buku. Lusie buru-buru kabur sambil tertawa. Dia berhenti di depan kamar Isabella yang nampak tenang dengan alunan musik opera. Lusie tidak berani masuk ke dalam kamar Isabella. Sebab Isabella tidak suka kehadiran Lusie di ruang pribadinya.

Lusie masuk ke dalam kamar dengan lebar 4 x 5. Ada berbagai macam lukisan yang terpajang di dalam kamarnya. Kamarnya lebih layak disebut galeri ketimbang sebuah tempat beristirahat.

Disana Lusie membuka jendela dengan lebar. Ia berdiri di tepi balkon—memandang rumah putih yang baru saja ia datangi. Lusie melihat siluet seorang perempuan berjalan di rumah Hero. Ia tidak ambil pusing mengenai itu. Sebab Lusie tahu, berita jika Hero memiliki anak sudah tersiar di media.

“Lusie?”

“Ayah?”

Eric—lelaki empat puluhan tahun itu memberikan cangkir dengan uap kopi kepada Lusie. Dengan sumringah Lusie lekas menyeruput kopi. Ia menyengir lebar menatap ayahnya yang juga tersenyum.

“Anak pintar.”

Kata-kata legenda yang menurut Lusie bukan bermakna secara harfiah untuknya. Lusie melihat ayahnya memiliki tiga tubuh yang sama-sama menatapnya datar. Rasa pening menyerang Lusie. Ayahnya mengambil cangkir dari Lusie, lantas menunggu Lusie ambruk tidak sadarkan diri.

Lusie terbangun pukul tiga sore. Ia melihat tangan dan kakinya terikat. Ayahnya mengasah kayu panjang sembari berdiri di depan kursi kerja. Ia seperti anak gadis yang baru saja diculik dan akan dijual ke pasar gelap.

“Ayah!”

“Jawaban jujur akan membantumu lepas dari hukuman ini.” Ayahnya duduk sambil menonton komedi drama Korea eulacha waikiki season 1. “Baru saja ayah didatangi polisi.”

Lusie mendengus, “Ibu Murie mengatakan jika aku—“ Lusie menahan mulutnya berbicara. “Dia selalu menyudutkanku dan memperlakukanku tidak adil.”

Brak! Isabella keluar dari kamar. Tubuh ideal dengan tinggi 160-an itu berjalan anggun menuruni tangga. Mata biru Isabella menatal Lusie yang diikat di tengah-tengah ruangan.

“Dimana sepatuku?”

Lusie menelan ludah. Eric seakan tahu bencana apa yang akan terjadi. Eric segera melepas ikatan Lusie dan menyembunyikan Lusie di belakang tubuhnya.

“Kau tidak membuangnya di wajah gurumu itu, kan?” tanya Eric setengah berbisik.

“Ayah, selamatkan aku.”

Eric menahan kekesalan. Ia menatap Isabella yang berdiri tegap bak Ratu istana yang sedang berbicara dengan pemberontak. Lusie berjalan pelang ke belakang. Ketika Eric hendak menarik Lusie, ia sudah lebih dulu ditahan Isabella.

“Aku tidak mau tau. Kalian harus mencarikan aku sepatu yang sama!”

“Isabel, ada banyak sepatu yang kau miliki.”

“Aku hanya ingin sepatuku kembali!”

Eric mengurut pangkal hidung. Isabella kembali naik ke tangga dan menutup kamarnya dengan rapat. Gadis itu memiliki ego yang sangat tinggi. Kemudian diperparah oleh kedatangan Lusie yang menjadi adik tiri Isabella setelah kematian ibunya.

Di lain tempat, Lusie memegang dadanya yang berdegup kencang. Ia melihat gerbang Hero terbuka sedikit. Lusie tersenyum licik—memikirkan hal gila yang hendak ia lakukan. Lusie ingin mengusir ketakutannya pada Isabella yang sedang marah.

“Maaf, Hero. Aku harus pergi.”

Lusie berlari ke arah pohon. Ia melihat wanita yang lebih tinggi dari kakaknya berjalan masuk ke dalam mobil BMW. Ia memakai kacamata hitam dengan tudung yang lumayang besar. Nampaknya ia orang penting yang sengaja menutupi identitas.

Lusie baru keluar setelah mobil hitam tadi pergi. Lusie menyusul Hero yang hendak masuk ke dalam rumah. Karena merasa janggal Hero berbalik. Ia tercekat melihat penampilan super berantakan Lusie.

“Kau?!”

“Hai, Kapten!”

Hero menarik tangan Lusie. Namun, kali ini Lusie sudah hafal trik Hero. Ia melingkarkan tangan ke leher Hero dan menatap lelaki dewasa itu dengan senyuman usil.

“Aku sudah punya banyak rahasia tentangmu. Menurutmu, harus aku apakan berita ini?”

“Keterlaluan!”

“Husssshhh.” 

Lusie menekan bibir Hero yang merah natural menggunakan jari telunjuknya. 

“Bagaimana dengan upah?”

Ayolah, Lusie sedang membutuhkan uang. Hero merupakan salah satu selebgram yang sedang naik daun popularitasnya karena pekerjaan dan tampang yang sangat mendukung. Serbuk berlian seperti hero sangat disayangkan untuk dilewati.

Hero mendorong tubuh Lusie. Kali ini menekan bahu Lusie hingga mereka tersudut di tembok gerbang. 

“Jangan pernah bermain-main denganku, karena aku bukan orang yang mudah kau kuasai.”

Untuk beberapa saat Lusie justru tersihir oleh wajah Hero yang sangat dekat dengan dirinya. Lusie berusaha menguasai diri. Ia berdehem—menekan dada Hero agar sedikit menjauh darinya.

“Bukankah, wanita tadi bukan orang biasa, kan?”

Hero menutup mulut Lusie. “Berapa pun yang kau mau, aku akan memberikannya.”

Lusie mengayunkan tangannya diam-diam. Bukan main senangnya bisa dengan cepat mendapatkan uang. Ia tidak perlu bertengkar hebat dengan Isabella. 

“Tapi aku punya syarat.”

“Syarat?”

“Ya. Kau harus menjaga Anea di rumahku, setidaknya selama satu minggu ini.”

Seumur hidup Lusie tak pernah mengurus anak kecil. Ia bahkan tidka tau bagaimana rasanya diasuh oleh seorang ibu. Ia sudah ditinggal sejak lahir. Lantas, bagaimana caranya ia memenuhi syarat Hero.

“Apa tidak ada syarat lain selain mengasuh anak?”

“Tidak! Jika kau menolak—“

“Baiklah, aku akan memikirkannya dahulu!”

Hero tersenyum samar. Ia melepas Lusie dari rengkuhannya. Mereka tercekat ketika melihat Eric—ayah Lusie yang hanya memakai sarung berdiri terperangah di luar gerbang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status