Hero menatap Lusie dengan sinis. Dia membiarkan Lusie di luar sedangkan ia membawa Anea masuk. Tidak disangka, Lusie justru ikut mengekor di belakang dan membuat Hero berbalik.
“Maaf?”“Ya, Kapten?”Anea menarik kerah Hero. “Dia Lusie. Dia cantik, tapi sangat cerewet.”Lusie ingin sekali munutup mulut Anea. Gadis ompong itu sungguh menghancurkan pendekatan Lusie kepada Hero. Lusie mengeluarkan kertas dan pena dari dalam tas. Ia mengacungkan kertas itu depan Hero.“Saya sering melihat Kapten di majalah, internet dan berita.”Hero menurunkan Anea. Ia meminta Anea untuk menunggunya di ruang makan. Hero menarik tangan Lusie ke depan gerbang. Hanya dipegang saja sudah membuat Lusie ingin terbang melayang. Namun, beberapa menit kemudian Hero dengan sengaja menyentak tubuh Lusie hingga gadis itu terhuyung mundur.“Pergi, lha.”Lusie terdiam.“Jangan dekati rumah saya apalagi anak saya!”“Kenapa?”“Itu sangat mengganggu saya!”Hero hendak menutup gerbang. Namun Lusie mencegah dan menatap Hero dengan lamat-lamat. “Setidaknya Anda harus menandatangani ini!”Hero mengambil kertas dari tangan Lusie. Dia menandatanganinya lalu membuangnya ke wajah Lusie. Jelas itu menyulut emosi Lusie.“Kau gadis yang telah melempar sepatu tadi, kan?”Lusie. “…."“Mungkin polisi akan datang ke rumahmu lima menit setelah ini. Jangan pernah menyebut namaku untuk menjadi saksi. Pergi dan jangan datang lagi!”Brak! Lusie memandang gerbang putih di depannya. Ia menendang gerbang itu dan mencoba menarik napas perlahan-lahan. Lusie kembali ke rumah dan melihat ayahnya masih berada di depan laptop.Ayahnya seorang konsultan investasi. Dia sering menghabiskan waktu bersama kliennya. Kondisi kesehatan ayahnya tidak memungkinkan untuk pergi kerja ke kantor.Lusie memeluk ayahnya dari belakang—memandang wajah klien yang sedang berbicara tadi terhenti untuk beberapa saat. Nampaknya si klien agak terkejut ada gadis cantik dengan rambut sepinggang yang sedang memeluk lelaki tua.“Ayah!”“Kau tidak lihat ayah sedang apa?”“Baru saja aku bertemu tetangga baru di depan rumah kita. Dia sangat angkuh!”“Nanti kita bicara. Ayah sedang bekerja, Lusie.”“Ya, karena aku tidak melihat ada tisu toilet di sini.”Eric mengetuk kepala Lusie dengan buku. Lusie buru-buru kabur sambil tertawa. Dia berhenti di depan kamar Isabella yang nampak tenang dengan alunan musik opera. Lusie tidak berani masuk ke dalam kamar Isabella. Sebab Isabella tidak suka kehadiran Lusie di ruang pribadinya.Lusie masuk ke dalam kamar dengan lebar 4 x 5. Ada berbagai macam lukisan yang terpajang di dalam kamarnya. Kamarnya lebih layak disebut galeri ketimbang sebuah tempat beristirahat.Disana Lusie membuka jendela dengan lebar. Ia berdiri di tepi balkon—memandang rumah putih yang baru saja ia datangi. Lusie melihat siluet seorang perempuan berjalan di rumah Hero. Ia tidak ambil pusing mengenai itu. Sebab Lusie tahu, berita jika Hero memiliki anak sudah tersiar di media.“Lusie?”“Ayah?”Eric—lelaki empat puluhan tahun itu memberikan cangkir dengan uap kopi kepada Lusie. Dengan sumringah Lusie lekas menyeruput kopi. Ia menyengir lebar menatap ayahnya yang juga tersenyum.“Anak pintar.”Kata-kata legenda yang menurut Lusie bukan bermakna secara harfiah untuknya. Lusie melihat ayahnya memiliki tiga tubuh yang sama-sama menatapnya datar. Rasa pening menyerang Lusie. Ayahnya mengambil cangkir dari Lusie, lantas menunggu Lusie ambruk tidak sadarkan diri.Lusie terbangun pukul tiga sore. Ia melihat tangan dan kakinya terikat. Ayahnya mengasah kayu panjang sembari berdiri di depan kursi kerja. Ia seperti anak gadis yang baru saja diculik dan akan dijual ke pasar gelap.“Ayah!”“Jawaban jujur akan membantumu lepas dari hukuman ini.” Ayahnya duduk sambil menonton komedi drama Korea eulacha waikiki season 1. “Baru saja ayah didatangi polisi.”Lusie mendengus, “Ibu Murie mengatakan jika aku—“ Lusie menahan mulutnya berbicara. “Dia selalu menyudutkanku dan memperlakukanku tidak adil.”Brak! Isabella keluar dari kamar. Tubuh ideal dengan tinggi 160-an itu berjalan anggun menuruni tangga. Mata biru Isabella menatal Lusie yang diikat di tengah-tengah ruangan.“Dimana sepatuku?”Lusie menelan ludah. Eric seakan tahu bencana apa yang akan terjadi. Eric segera melepas ikatan Lusie dan menyembunyikan Lusie di belakang tubuhnya.“Kau tidak membuangnya di wajah gurumu itu, kan?” tanya Eric setengah berbisik.“Ayah, selamatkan aku.”Eric menahan kekesalan. Ia menatap Isabella yang berdiri tegap bak Ratu istana yang sedang berbicara dengan pemberontak. Lusie berjalan pelang ke belakang. Ketika Eric hendak menarik Lusie, ia sudah lebih dulu ditahan Isabella.“Aku tidak mau tau. Kalian harus mencarikan aku sepatu yang sama!”“Isabel, ada banyak sepatu yang kau miliki.”“Aku hanya ingin sepatuku kembali!”Eric mengurut pangkal hidung. Isabella kembali naik ke tangga dan menutup kamarnya dengan rapat. Gadis itu memiliki ego yang sangat tinggi. Kemudian diperparah oleh kedatangan Lusie yang menjadi adik tiri Isabella setelah kematian ibunya.Di lain tempat, Lusie memegang dadanya yang berdegup kencang. Ia melihat gerbang Hero terbuka sedikit. Lusie tersenyum licik—memikirkan hal gila yang hendak ia lakukan. Lusie ingin mengusir ketakutannya pada Isabella yang sedang marah.“Maaf, Hero. Aku harus pergi.”Lusie berlari ke arah pohon. Ia melihat wanita yang lebih tinggi dari kakaknya berjalan masuk ke dalam mobil BMW. Ia memakai kacamata hitam dengan tudung yang lumayang besar. Nampaknya ia orang penting yang sengaja menutupi identitas.Lusie baru keluar setelah mobil hitam tadi pergi. Lusie menyusul Hero yang hendak masuk ke dalam rumah. Karena merasa janggal Hero berbalik. Ia tercekat melihat penampilan super berantakan Lusie.“Kau?!”“Hai, Kapten!”Hero menarik tangan Lusie. Namun, kali ini Lusie sudah hafal trik Hero. Ia melingkarkan tangan ke leher Hero dan menatap lelaki dewasa itu dengan senyuman usil.“Aku sudah punya banyak rahasia tentangmu. Menurutmu, harus aku apakan berita ini?”“Keterlaluan!”“Husssshhh.” Lusie menekan bibir Hero yang merah natural menggunakan jari telunjuknya. “Bagaimana dengan upah?”Ayolah, Lusie sedang membutuhkan uang. Hero merupakan salah satu selebgram yang sedang naik daun popularitasnya karena pekerjaan dan tampang yang sangat mendukung. Serbuk berlian seperti hero sangat disayangkan untuk dilewati.Hero mendorong tubuh Lusie. Kali ini menekan bahu Lusie hingga mereka tersudut di tembok gerbang. “Jangan pernah bermain-main denganku, karena aku bukan orang yang mudah kau kuasai.”Untuk beberapa saat Lusie justru tersihir oleh wajah Hero yang sangat dekat dengan dirinya. Lusie berusaha menguasai diri. Ia berdehem—menekan dada Hero agar sedikit menjauh darinya.“Bukankah, wanita tadi bukan orang biasa, kan?”Hero menutup mulut Lusie. “Berapa pun yang kau mau, aku akan memberikannya.”Lusie mengayunkan tangannya diam-diam. Bukan main senangnya bisa dengan cepat mendapatkan uang. Ia tidak perlu bertengkar hebat dengan Isabella. “Tapi aku punya syarat.”“Syarat?”“Ya. Kau harus menjaga Anea di rumahku, setidaknya selama satu minggu ini.”Seumur hidup Lusie tak pernah mengurus anak kecil. Ia bahkan tidka tau bagaimana rasanya diasuh oleh seorang ibu. Ia sudah ditinggal sejak lahir. Lantas, bagaimana caranya ia memenuhi syarat Hero.“Apa tidak ada syarat lain selain mengasuh anak?”“Tidak! Jika kau menolak—““Baiklah, aku akan memikirkannya dahulu!”Hero tersenyum samar. Ia melepas Lusie dari rengkuhannya. Mereka tercekat ketika melihat Eric—ayah Lusie yang hanya memakai sarung berdiri terperangah di luar gerbang.Harusnya ini akan menjadi berita bagus untuk kembali ke rumah. Setidaknya, Lusie sudah bisa mengganti sepatu milik Isabella. Namun, ketenangan itu menguap saat Lusie melihat wajah lebar ayahnya diikuti Isabella yang melipat tangannya di depan dada.Lusie hendak menjelaskan—apa saja yang baru ia lakukan dengan Hero. Lusie menatap Hero, tetapi lelaki itu justru terdiam di tempat. Ia memandang Isabella dengan wajah kaku yang diikuti semburat kemerahan. Lusie menggandeng tangan Hero. Ia refleks melakukannya.“Ayah, aku dan Kapten Hero—““Hanya berbicara biasa tentang insiden di sekolah tadi.” Hero menjelaskan dengan menyalip kalimat Lusie.Isabella melepas tangannya. Ia memandang tangan Lusie dan Hero yang saling bertautan. Eric melepas tautan itu dan menarik Lusie secara paksa. Lusie ingin Hero menolongnya—ia menampilkan wajah memelas dengan mengerucutkan bibirnya yang mungil.“Paman,” panggil Hero.Eric menoleh tajam. “Kenapa?!”
SMA Nusantara menutup gerbangnya pukul tujuh pagi. Lusie membungkuk lelah sebab ia telah berlari dari busway selama lima menit demi mengejar bapak satpam yang terlalu bersemangat menarik gerbang sekolah.“Lus.”Lusie menyelipkan poninya ke samping. Ia menyengir ketika Farel menenteng tas ransel di bahu samping.“Kau hampir terlambat pagi ini.”“Sebab itu aku berlari.”“Kau tidak pernah jera bangun siang.”“Berisik!”Lusie menjulurkan lidah. Sontak saja Farel memukul telah bibir Lusie dengan telapak tangan. Mata Lusie menutup rapat menahan sakit. Farel tergugup, ia kira ia telah menyakiti Lusie terlalu jauh.“Biarkan saja dia.”Falery menyusul dan ikut menambahi. Ia menggandeng tangan Farel sambil sesekali menoleh ke belakang.“Hei, kalian!!!”Lusie berteriak dengan tangan yang mengacung ke udara. Falery segera berlari dengan berpegangan pada tangan Farel. Mereka
Eric tak pernah meminta banyak hal pada Lusie. Ia hanya ingin Lusie menjalani hidupnya dengan benar. Seperti sekolah tepat waktu, tidak pulang terlambat, dan pergi dengan orang yang mau menjaganya.Hari ini Eric meminta sesuatu yang besar. Meskipun Lusie sangat menyukai Hero, tetapi menikah bukan lah suatu hal yang ia inginkan. Lusie bahkan tidak tahu apakah ia hanya suka atau kagum saja.Hero tidak banya berbicara. Sesekali ia hanya melirik Lusie lalu membuang muka. Semua itu terjadi terlalu singkat. Lusie tidak bisa mengelak, bahkan jika ia bisa. Eric terlalu lemah untuk ia bantah.Seminggu setelah itu acara pernikah dibuka secara privat. Hanya beberapa keluarga besar saja yang datang. Minus Isabella sebab ia masih mengadakan tur luar negeri. Tentu saja jika ia sempat ia tak akan datang. Media akan berdatangan dan membuka kehidupan Isabella yang sesungguhnya.Lusie masih diperbolehkan sekolah dengan berbagai diskusi panjang yang harus i
Hero menyapu bersih area mulut usai memakan sarapan pagi. Ia menatao Lusie dan Anea yang bersiap pergi ke sekolah dengan tas merah jambu yang sudah mereka tenteng. Melihat keduanya Hero justru merasa jika ia adalah ayah dari dua gadis tersebut.“Papa, apakah kau memiliki waktu untuk mengantar kami?”“Apa yang kau katakan, Anea? Tentu saja papa punya!” Lusie menyerobot jawaban Hero.Anea menoleh ke arah Hero dengan wajah sumringah. Hero menenteng koper besar yang sudah disiapkan pelayan rumah. Ia kembali mengenakan kacamata hitam dan berjalan ke arah Anea.“Tidak. Papa sangat sibuk hari ini. Mama Lusie akan mengantarmu ke sekolah.”Hero menunduk mensejajari tinggi Anea. Ia mengecup kening Anea yang kini mengerut sedih. Hero seakan tidak peka dengan perasaan Anea. Ia berjalan ke arah mobil putih yang terparkir di pekarangan.Lusie menyusul Hero dan menahan tangan Hero yang hendak membuka pintu mobil. Hero me
“Selamat sore, Kap.”“Sore, Kap.”“Hai, Kapten.”Sekumpulan wanita dengan seragam elegan maskapai penerbangan berkerumun di area bangku tunggu. Mereka tak henti-hentinya mencuri pandang pada seorang lelaki berseragam Pilot, Hero Louis.Seorang anak dari konglomerat di Korea yang memilih karir menjadi seorang pilot. Pesonanya tidak bisa disingkirkan dari kepala begitu saja. Menghantui seperti roh penasaran yang bergentayangan meminta pertanggung jawaban.Hero dengan santai tersenyum membalas sapaan para pramugari di maskapainya. Ia tidak tahu jika efek senyuman itu bisa meruntuhkan dinding keras yang selama ini mereka bangun untuk melindungi diri. Pikiran mereka menjadi liar jika Hero sudah mengeluarkan jurus handalnya, mengerling.“Aku tidak tahan dengan senyumannya.”“Kapten Hero, milikilah aku. Ah, sungguh aku rela memberikannya untukmu.”“Apa kau gila? Meskipun aku sangat menyukainya aku tidak aka
Jendela dengan dua pintu di dekat balkon terbuka lebar. Gorden putih yang menjuntai menyapu lantai beterbangan tersapu angin malam. Di tepi balkon Lusie menyendiri dengan segala pemikiran yang silih berganti menyerang kepalanya.Dua jam yang lalu ia ditinggalkan Hero usai diperlukakan seperti perempuan yang memperjual belikan tubuhnya untuk dinikamati. Padahal Lusie adalah istri sahnya, tidak peduli bagaimana pun pernikahan mereka berawal, Hero seharusnya memperlakukan ia selayaknya perempuan yang sudah ia nikahi.Mata Lusie memanas ketika melihat dari lantai bawah seorang perempuan keluar dari mobil membopong Hero dengan jalan terseok-seok. Astaga, itu Marina! Supermodel itu datang ke rumahnya saat pagi hampir tiba.Walaupun Lusie tidak begitu mencintai Hero, tetapi hatinya tetap merasa tersayat ketika seseorang yang seharusnya ada di sebelahnya saat ini pulang dalam kondisi setengah sadar dengan perempuan lain.&ldquo
Pagi ini Lusie sibuk mengurus keperluan Anea yang hendak pergi tour ke museum. Ia bahkan meninggalkan Hero yang masih tertidur sejak subuh tadi. Anea begitu bersemangat memakai ransel pink hadiah dari omanya. Selain membantu Anea, pagi ini Lusie juga harus berangkat ke rumah sakit. Sudah dua hari ia tidak mengunjungi Eric.Meskipun Lerry seorang dokter yang menangani Eric mengatakan kepada Lusie bahwa keadaan Eric semakin membaik dan ia tidak perlu datang. Lusie tetap saja bersikeras akan berkunjung.“Mama, dimana tumbler Anea?”“Ah, sebentar sayang. Marta, bawa tumbler di atas meja kemari.”Marta membungkuk sedikit. “Baik, nyonya.”Lusie menggendong Anea menuju kursi makan. Ia berencana tidak berangkat ke sekolah karena kasusnya harus diselesaikan terlebih dahulu. Lusie akan memanfaatkan momen ini untuk hal yang bermanfaat dengan bertemu Eric.“Anea di
Ding. Ponsel Hero berbunyi saat situasi membuat ia dan Lusie terdiam satu sama lain. Sepintas nama Marina tertangkap mata Lusie. Hero mengangkat panggilan dan tetap duduk di samping Lusie tanpa pergi seperti seorang suami yang hendak pergi dengan pacar gelapnya.“Aku sedang bersama seseorang.”“….”“Tidak, Marina.” Hero menoleh kepada Lusie. Hanya tatapan beberapa detik saja sebelum Hero kembali berbicara. “Kami hanya keluar.”“…."“Malam ini aku tidak bisa datang. Ada urusan yang masih harus aku tangani.”“….”“Marina, come on.”“….”“Baiklah. Tunggu aku nanti malam.”Hero mematikan ponsel. Dia tidak tahu jika malam ini Marina harus menghadapi operasi usus bantu. Mau tidak mau Hero harus meninggalkan Lusie.