Share

CAT-CH ME!
CAT-CH ME!
Author: Andp

Part 1. Sial

Tiga jam aku menunggu di ruangan bernuansa coklat ini bersama beberapa orang lainnya. Aku memeriksa tiap sudut ruangan, ada AC dimana-mana, tapi keringatku tak berhenti mengucur. Ini pertama kalinya aku dipanggil wawancara dan aku tak mengira rasanya akan sama mendebarkan seperti akan ujian nasional.

Perasaanku saja atau memang sejak tadi beberapa pelamar silih berganti memperhatikan aku? Memang ada yang salah?

"Kanaya."

Debaran jantungku semakin jadi saat namaku dipanggil. Ini giliranku untuk wawancara. Semoga lancar, Aamiin.

Ketika aku memasuki ruangan interview, pandangan beberapa orang di balik meja juga sama menelisiknya seperti pandangan para pesaingku di luar tadi. Astaga, aku semakin gugup.

Setelah aku duduk, pertanyaan pertama yang diajukan adalah, "kamu sudah baca semua persyaratannya?"

Aku mengangguk patah-patah.

"Sudah semua?"

"Sudah, pak."

Seorang wanita berkaca mata mencondongkan tubuhnya dan melihatku dari rambut hingga kaki, "kamu tidak baca di persyaratan pertama tertulis berpenampilan menarik?"

"Hah?"

Jujur saja aku terkejut. Pasalnya, di persyaratan yang ditunjukkan oleh Ranti tidak ada tuntutan akan penampilan menarik. Kecuali... Sial! Pasti Ranti sudah menipuku.

Sekarang gantian aku yang memperhatikan pakaian hingga sepatuku, lalu menelan ludah. Tidak ada hal yang menarik.

"Maaf bu, saya tidak teliti membaca persyaratannya."

Sepatu flatku yang usang sekarang jadi jauh lebih menarik untuk diperhatikan. Aku tak sanggup menatap wajah empat orang di depan sana, rasanya sangat malu.

"Dari tinggi kamu saja sudah kurang jauh dari syarat yang dicantumkan. Saya nggak paham kenapa berkas kamu bisa lolos."

"Saya kira tingginya bisa termaafkan dengan wajah yang enak dilihat, ternyata tidak juga. Yah, dari pasfotonya sudah terlihat tidak menarik memang," ujar seorang pria yang duduk paling pinggir.

Sialan memang si Ranti. Gara-gara dia aku harus menanggung malu sebegini besarnya. Lihat saja nanti.

Akhirnya aku keluar ruangan dengan wajah tertunduk dalam, tak sanggup lagi menatap para pesaing lain yang baru aku sadari ternyata cantik-cantik dengan wajah terawat. Astaga, seumur hidup aku tak akan pernah mau lagi menginjakkan kaki di tempat ini. Malunya pasti sampai aku punya cucu kelak.

-£-

Pintu kosku didrobak begitu saja saat aku sedang bersemedi di depan kipas sambil mengunyah sepotong eskrim mochi.

"Gimana interview-nya, Kay?"

Hoho lihat siapa yang datang merusak me time dan acara penghiburan diriku. Ya, orang yang sama dengan yang merusak kepercayaan diriku sampai anak cucu kelak.

"Tanya noh sama tembok. Males aku ngomong sama kamu."

"Dih jutek amat jawabnya."

"Ya situ pikir aja sendiri."

"Hmm kalo makan es mochi gini berarti reward buat diri sendiri nih. Jadi keterima dong?"

"Keterima ndasmu. Iya keterima jadi bahan olok-olokan di ruang interview."

Ntah kenapa dadaku panas seketika, lalu menjalar ke wajah dan mataku. Sialan, padahal sudah makan eskrim.

Rasanya banyak sekali benang semrawut dalam hatiku. Terlalu kusut sampai aku tidak tahu yang mana yang membuatku sedih. Sikap Ranti, orang-orang yang mewawancaraku tadi, atau sikap bodohku sendiri yang begitu saja percaya pada Ranti. Mungkin semuanya.

"Olok-olokan gimana maksud kamu?"

"Ya menurut kamu aku yang jelek, gak enak dipandang, dekil gini terlihat wajar ada di sana? Enggak Ran. Yang ada aku jadi bahan cemooh sama mereka. Kamu pikir aku cari kerja ini main-main sampai kamu seenaknya aja ngedit ulang brosur lowongannya?"

Setelah menumpahkan uneg-uneg, dadaku terasa sesak. Air mataku juga berjatuhan tanpa aku sadari. Aku tak bisa menepis rasa kecewaku pada Ranti.

Ada hening yang cukup lama sampai Ranti angkat suara, "aku minta maaf. Aku pikir setelah melihat kemampuan kamu, mereka bakal terima kamu kerja. Menurutku juga kamu enak dipandang kok, semua perempuan itu cantik, Kay. Aku emang salah banget karna udah edit brosurnya. Tapi kalau aku gak ngelakuin itu, kamu nggak akan mau coba daftar. Menurut aku kerjaan itu cocok banget buat kamu."

Hahaha, naif.

"Ngerti apa kamu soal semua perempuan cantik, Ran. Kamu beruntung karena terlahir sempurna. Tinggi, mancung, putih, rambut lembut, bisa perawatan terus, mulus. Gak gradakan kayak aku. Mudah buat kamu bilang semua perempuan cantik karena kamu nggak pernah ngerasain diperlakukan beda karna kamu jelek. Kamu nggak pernah ngerasain kayak apa malunya pas orang-orang ngejek hanya karna aku nggak sesuai sama standar kecantikan dimata mereka."

Aku memperhatikan Ranti dengan seksama. Lihat, bahkan harga pakaian yang dia pakai saja melebihi uang terbanyak yang bisa aku dapatkan selama sebulan. Lalu lihat fisiknya yang sempurna seperti model yang biasa berlenggok di Paris sana. Aku tidak iri. Perasaan itu sudah lama kubuang sejak aku menerima kenyataan bahwa aku memang terlahir pendek dan tidak menarik. Namun melihat orang yang bertindak sesuka hati hanya karena mereka tampan atau cantik, tanpa memikirkan perasaan orang lain sering kali membuatku sakit hati.

"A-aku cuma pengen kamu lebih percaya diri aja Kay, nggak ada maksud lain apalagi buat bikin kamu malu."

"Yah tapi ujung-ujungnya aku tetap dipermalukan, jadi makasih buat niat baik kamu."

Ranti hendak bicara lagi namun aku tahan, "aku lagi pengen sendiri, Ran. Mendingan kamu pulang aja."

-£-

Minggu pagiku yang damai diusik oleh gedoran pintu kos yang tidak bersahabat. Siapa sih?!

"Kalau ngetok pintu tuh biasa aja dong!" Hardikku pada orang yang entah siapa ini, aku nggak kenal.

Pria yang sepertinya beradik kakak dengan tiang listrik ini menatapku dengan sebelah alis terangkat, sudut bibirnya tersungging menyiratkan cemoohan, "ternyata kurcaci itu benar-benar ada."

Hah? Siapa yang dia bilang kurcaci?

Aku mundur beberapa langkah untuk melihatnya lebih seksama, demi kenyamanan leherku.

"Kamu ini siapa sih? Gedor-gedor pintu orang, gak pakai salam malah langsung body shamming."

"Well, berarti si Yadi belum cerita."

"Yadi siapa?"

Seorang pria awal tiga puluhan tergopoh-gopoh menghampiri kami dengan nafas menderu, sepertinya sehabis berlari. Dia Mas Lukman, pemilik kos-kosan yang aku tempati ini. Waduh gawat, dia pasti mau menagih uang kosku yang sudah terlambat dua minggu.

"Duh maaf mas saya nggak tau kalau mas Sada udah datang dari subuh," ujar Mas Lukman pada si manusia tiang listrik. Mas Lukman kelihatan sangat ketakutan.

Ooh jadi dia ini kenalannya Mas Lukman.

"Makanya jangan nonton bokep mulu lu semalaman. Gua datang aja lu nggak sadar."

Mas Lukman meringis salah tingkah.

Ewh apa-apaan pembicaraan pria-pria ini.

Mas Lukman beralih padaku. Tatapan takutnya yang seperti anak kucing tadi berubah menjadi segarang harimau. Dia berkacak pinggang. Uh hawa disini jadi tidak enak.

"Eh Naya. Kamu dari semalam kemana aja hah? Aku telfonin nomormu nggak aktif. Kamu mau main petak umpet?"

"Aku nggak kabur kok, Mas. Sumpah deh. Dari semalam aku emang nggak lihat hp. Mungkin baterainya habis."

"Pokoknya sekarang kamu nggak bisa ngelak lagi. Ini Mas Sada udah datang langsung buat nagih uang kos kamu."

"Ya Allah mas, nggak perlu sampai nyewa algojo gini dong buat nagih uang kos ke aku. Aku pasti bayar kok kalau udah ada uangnya."

"Sembarangan aja kamu. Mas Sada ini juragan yang punya semua kos dan kontrakan disini." Sembur Mas Lukman.

"Loh terus mas Lukman ini siapa dong?"

"Saya cuma tukang jaga sekaligus tukang tagih uang kos, karna selama ini mas Sada di Jakarta. Nggak bisa kesini sering-sering."

Nyaliku menciut saat kembali menatap pria bernama Sada ini. Sepertinya aku harus siap-siap angkut barang sebentar lagi.

"Mana uang kos lo? Gue nggak ada waktu lama-lama di sini. Urusan gue banyak."

Aku menelan ludah gugup "uangnya belum ada, Mas."

Sepertinya aku akan resmi menjadi gelandangan sebentar lagi.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status