Share

Part 2. Cats and Wibu

"Mana uang kos lo? Gue nggak ada waktu lama-lama di sini. Urusan gue banyak."

Aku menelan ludah gugup "uangnya belum ada, Mas."

Dia bersedekap dan menghembuskan nafas panjang, "yaudah kalau gitu lo keluarin bar-"

Meoww~~

Demi eyeliner firaun! Kenapa Mochi keluar dan ndusel-ndusel kakiku disaat genting seperti ini? Oh lihat matanya yang bulat dan sarat akan permohonan itu. Aku baru ingat aku belum memberi dia makan sejak tadi pagi. Terlalu galau membuat aku melupakan teman kecilku ini.

Aku sedikit menunduk dan berbisik padanya "Mochi, jangan minta makan dulu deh. Ini kita lagi terancam terusir nih.”

"Itu kucing lo?" Tanya si juragan kos.

"Iya."

"Hmm" dia memperhatikan Mochi dengan seksama "kelihatan terawat dan sehat. Untuk ukuran kucing kampung, kucing lo udah bagus banget."

Aku melotot tidak percaya. Setelah body shamming sekarang dia rasis terhadap kucing.

Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan. "Walaupun kucing kampung tapi Mochi aku rawat sepenuh hati, seperti anak sendiri. Dia nggak pernah kelaparan dan selalu dapat nutrisi cukup."

Si Sada itu mengangguk-angguk "lo masih boleh ngekos disini, tapi dengan satu syarat."

Persetan dengan apa yang membuat dia berubah pikiran secepat ini, karena kesempatan tidak datang dua kali. "Oke, apa syaratnya?"

"Lo harus mau ngurus majikan gue dengan benar. Gue nggak tega ninggalin dia di rumah sendirian dan nggak bisa juga bawa dia kemana-mana. Gue juga nggak percaya sama tempat penitipan hewan peliharaan."

"Ha?"

"Tenang aja. Untuk biaya perawatannya semua dari gue. Buat upahnya, uang kos lo gue potong dari nominal yang seharusnya."

Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Dia berubah pikiran hanya karena butuh perawat untuk kucingnya?

Belum sempat aku bertanya lebih jauh, Sada sudah membawa Mochi dalam gendongannya. Dia melihat Mochi seperti melihat belahan jiwa yang sudah lama tak bertemu. Seperti mempunyai radar untuk pria-pria tampan, Mochi bergelung dengan nyaman dalam lengan berotot itu. Cih, dasar kucing betina.

Setelah puas menggendong dan sedikit bercengkrama dengan Mochi, pria bernama Sada itu pergi untuk mengambil kucingnya. Sejujurnya sampai saat ini aku tidak percaya bahwa pria arab kesasar itu memiliki kasih sayang sebesar dunia untuk kucing.

Kenapa kusebut dia pria arab? Karena dia sangat mirip dengan orang arab sana. Rambut hitam lebat yang sengaja dipanjangkan, alis tebal, mata tajam, hidung dengan tulang yang tinggi, kumis dan brewok yang dirawat. Ah, jangan lupakan tingginya yang sulit diterima oleh aku yang mungil dan menggemaskan ini. Kalau dia tidak menghinaku dengan bahasa Indonesia, mungkin aku akan berpikir dia benar-benar orang arab kesasar.

Menurut Mas Lukman yang ternyata bernama Lukman Nuryadi, aku adalah orang yang sangat beruntung, karena biasanya Sada tidak akan pernah memberi keringanan bagi mereka yang menunggak uang kos. Business is business, tidak ada kasih mengasihani di dalamnya, begitu prinsip Sada. Beruntung dia sangat menghargai orang-orang yang menyayangi kucing hingga aku sangat mudah termaafkan.

Oh Mochi, aku berhutang nyawa padamu.

-£-

Dua makhluk menggemaskan yang sedang berguling-guling di lantai memecahkan fokusku. Mereka adalah Mochi dan Reo. Reo adalah kucing kampung yang sehat dan juga lincah, terlihat sangat maskulin untuk ukuran kucing jantan yang baru berusia empat bulan. Sada benar-benar merawatnya dengan baik. Tidak seperti pemiliknya, Reo sangat-sangat manis dan mudah akrab, baik denganku ataupun dengan Mochi. 

Setelah menitipkan Reo beberapa hari yang lalu, Sada menerorku setiap saat untuk memastikan anak kesayangannya aku jaga dengan aman. Dua jam sekali dia menanyakan keadaan Reo dan memintaku mengirimkan vidio kegiatannya. Aku yakin seribu persen dia mengambil kontakku dari Mas Lukman.

Tring!

Speaking of the devil.

Arab KW

Gue depan kos lo.

Buka pintunya.

Mataku melotot membaca isi pesannya, lalu bergegas membukakan pintu. Benar saja, dia berdiri disana dengan raut tak bersahabat.

"Lo nggak denger gue dari tadi manggil-manggil?"

Aku menggeleng.

"Ini pintu udah hampir jebol gue gedor-gedor dari tadi."

"Ya maaf. Aku pake headset, nyetel musik. Jadinya nggak dengar apa-apa."

Sada mendengus lalu menerobos masuk ke dalam kosku begitu saja. Dia duduk di kursi kerjaku dan melihat ke sekeliling, menilai sampai ke sudut ruangan.

"Ternyata lo beneran pengangguran. Yadi bilang dia nggak pernah liat lo keluar buat pergi kerja."

Ya ya ya, terserah. Aku menyusulnya dan duduk di kasur dekat meja kerjaku. Sada memutar kursi dan mengamati laptopku yang masih menyala. Butuh beberapa detik sampai dia menyadari apa yang sedang aku kerjakan.

"Lo penerjemah?"

Aku mengangkat bahu lalu mengibaskan rambut. "Seperti yang terlihat. Makanya jangan underestimate dulu sama orang. Nggak pernah keluar bukan berarti pengangguran."

Sada mengangguk-angguk lalu seenak jidat memasang headset imutku ke kepalanya hingga tak berapa lama dia tertawa keras sambil menatapku seperti aku adalah seonggok manusia hina, "lo wibu? Ahahaha astaga lo wibu. Sialan, sakit banget telinga gue denger musik jepun lo ini."

Tidak ada yang boleh mencela selera dan kegemaran orang lain. Itu adalah hak setiap insan. Aku tidak bisa mentolerir manusia yang menggap kesenangan orang lain adalah sesuatu yang layak untuk ditertawakan.

"Heh yang nyuruh kamu dengerin musik aku siapa? Walaupun kamu yang punya kos ini bukan berarti kamu bisa seenaknya sama barang-barangku, ngerti nggak? Ini namanya kamu udah melanggar privasi orang."

Aku tidak tahu manusia semenyebalkan ini benar-benar ada.

Seperti tak menganggap aku disini, Sada melanjutkan menginvansi laptopku. Dia tampak mengamati beberapa aplikasi dan mulai membuka berkas. Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan.

"Stop! Kamu ngapain sih?" aku berjalan kebelakangnya dan berniat menutup laptopku, tapi....

Tuk!

Layar laptopku jatuh dari sarangnya yang memang sudah tidak layak pakai. Kalian tahu bingkai monitor laptop yang sudah patah sehingga tidak bisa menyanggah layarnya lagi? Yap, seperti itulah keadaan laptopku. Aku lupa jika benda renta ini sudah tidak bisa ditutup.

Ya Tuhan, boleh tidak aku mencakar wajah yang terpahat dengan indah itu? Rasanya aku sudah kesal setengah mati. Aku ingin mengacak-acak wajahnya yang kini sedang memerah menahan tawa.

"Apa! Gak usah ketawa! Ini semua gara-gara kamu tau nggak?! Ngapain sih kamu kesini? Kamu tuh ganggu tau nggak? Emang kamu nggak punya kerjaan lain? Sekarang gimana coba nasib laptopku? Kerjaan aku belum selesai!"

Seperti tak paham lahar amarahku yang siap menyembur, Sada sialan ini malah terkikik sambil memegangi perutnya "ya siapa suruh lo kerja pake rongsokan gitu? Itu barang udah nggak layak pakai, buang aja lah."

Baru aku akan membalas perkataannya, perutku sudah lebih dulu menyela dengan bunyi gemuruh yang memalukan. Aku segera meringkuk untuk meredam bunyi laknat ini. Kenapa aku harus lapar disaat seperti ini sih?

Tambah jadilah tawa Sada. Dia tampak puas menertawaiku dalam kurun waktu kurang dari satu jam ini.

"Ternyata wibu selain malas mandi juga malas makan."

"Diam."

"Bentar gue telpon Yadi dulu."

Hanya Tuhan yang tahu apa isi kepala pria bersurai gondrong ini dan apa yang akan dia lakukan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status