***
"Ya, buat saling kenal. Gue 'kan siswa baru di kelas lo sama Senja, jadi gue mau berteman sama kalian berdua," jawab Devan sedikit gugup.
"Oh, gitu. Okey aku akan kasih tahu semuanya tentang Senja, biar kita bisa akrab dan berteman baik."
"Jadi, lo mau kasih tahu 'kan semuanya tentang Senja?"
Aura menyeringai senyumannya. "Iya, mau."
"Senja! Jangan hujan-hujanan!" tegur Langit membuat pandangan Aura dan Devan terputus, suara itu mengalihkan pandangan keduanya.
"Langit, harus terbiasa sama hujan." Senja meraih kedua tangan Langit, lantas mengajaknya berdansa di bawah guyuran air hujan.
"Lihat, Senja itu cewek yang selalu ceria. Dia, nggak pernah membagi kesedihannya ke orang lain, bahkan ke aku dia selalu kelihatan bahagia."
"Apa dia selalu menutupi lukanya?"
"Mungkin, dia membagi semua luka dan kesedihannya itu di buku diary."
"Makanan favorit, Senja itu apa?"
"Senja itu suka sama semua makanan, dia nggak pernah memilih makanan untuk di makan. Tapi, cuman satu cemilan yang dia suka."
"Cokelat kacang?" tebak Devan dibalas anggukan dari Aura, menandakan jika Senja menyukai cokelat kacang sebagai cemilan favoritnya.
"Tapi, Senja juga suka sama satu buah."
"Buah apa?"
"Buah Naga, Senja suka banget sama buah itu. Sampai-sampai nih, ya, dia nggak bisa makan kalo nggak ada buah naga."
"Jadi, buah naga dimakan pakai nasi?" duga Devan mengerucutkan kening.
Aura tertawa, ia menabok lengan Devan tanpa sengaja. "Ya, nggak gitu juga, Devan."
"Ya, terus apa dong."
Devan, kalo dilihat-lihat dari dekat kaya gini. Tambah ganteng, dia kelihatan baik juga, batin Aura.
"Yah, malah bengong."
"Sorry, sorry."
"Jadi, Senja itu suka makan buah naga. Setelah dia makan nasi, buah naga itu harus ada buat makanan penutupnya. Dan, Senja suka sama juice atau cake yang terbuat dari buah naga, dia juga pernah bawa buah naga ke sekolah," lanjut Aura.
"Terus, kesukaannya Senja?"
"Senja, itu cuman suka sama tiga hal."
"Yang pertama matahari tenggelam, yang kedua hujan dan yang ketiga dermaga," tambahnya.
"Dermaga?"
"Iya, tempat penyimpanan kapal-kapal besar. Dari sana, Senja bisa melihat matahari tenggelam. Dan dari sana juga, Senja bisa tenang setiap kali dia ada masalah."
"Terus, kebiasaan Senja?"
"Ya, Van. Kamu tahu sendiri lah, Senja itu kalo ke mana-mana selalu bawa buku diary. Jadi, kebiasaan Senja itu nulis buku diary."
"Hobinya??"
"Belajar."
"Cuman belajar? Nggak main game atau belanja gitu?"
"Itu bukan Senja namanya, karena Senja itu nggak suka sama yang namanya game ataupun belanja. Dia, lebih suka menulis, membaca dan belajar."
"Gue paham, dia anak kutu buku."
"Senja, jadi anak kutu buku. Itu semenjak bapaknya meninggal dunia, dan Senja masih duduk di kelas sepuluh SMA. Setelah bapaknya nggak ada, Senja jadi giat belajar untuk membahagiakan ibunya."
"Sekarang dia kelas sebelas SMA, jadi baru satu tahun bapaknya meninggal dunia? Dan baru satu tahun juga, Senja jadi kutu buku?"
"Sebenernya, Senja itu udah suka menulis sejak SMP. Bahkan, dia pernah buat novel di laptopnya, bareng aku waktu itu. Karena dulu SMP aku sama Senja itu sahabat dekat, jadi aku tahu semua tentang Senja. Dari keluarganya, sampai masalah percintaannya."
"Cuman, karena bapaknya jatuh sakit. Senja jadi putus asa, dia selalu gagal saat ikut lomba-lomba. Tapi, setelah bapaknya nggak ada Senja kembali bangkit. Katanya, dia mau menaikan derajat ibunya, dan dari belajar dia akan bisa membuat ibunya bahagia."
"Karena sering dapat piala dan selalu juara?" tebak Devan membuat Aura mengangguk. "Iya, Van."
"Okey, jadi cemilan favorit Senja itu cokelat kacang, buah kesukaannya buah naga, hal yang disukai Senja ada tiga. Matahari tenggelam, hujan dan dermaga. Kebiasaan Senja itu menulis buku diary dan hobinya belajar."
"Bener 'kan?"
"Iya, bener." Aura dan Devan saling berpandangan. Namun, lagi-lagi suara dari Langit memutuskan pandangan keduanya.
"Senja!!"
"Senja." Aura berdiri dari duduknya.
Devan pun berlari ke arah tengah taman, ia menghampiri Senja yang sudah berada di gendongan Langit. "Senja, bangun!"
"Lo nggak usah sentuh, Senja."
"Tapi, gue berhak bantu dia."
"Gue yang lebih berhak!"
"Aduh kenapa jadi berantem sih, cepat bawa Senja pulang." Aura mendekat, melerai pertikaian yang terjadi.
"Pakai mobil gue aja," usul Devan.
"Nggak perlu, taksi banyak," ketus Langit membuat Aura tambah kesal.
"Langit! Niat Devan itu baik, harusnya lo berterima kasih sama dia. Dan, lo nggak punya banyak waktu buat cari taksi dengan kondisi Senja yang kaya gini, Senja harus cepat dibawa pulang."
"Kenapa nggak dibawa ke rumah sakit aja?"
"Senja, cuman pingsan, Van. Dia nggak perlu ke rumah sakit, dia udah biasa kaya gini kalo main hujan," kata Aura. "Udah, Lang. Sekarang kamu bawa Senja pulang pakai mobil Devan, biar sepeda kamu Devan sama aku yang bawa," lanjutnya.
"Kamu bisa 'kan bawa sepeda?"
"Kunci mobilnya." Devan menyerahkan kunci mobil miliknya, kepada Langit.
Mereka pun beranjak dari area taman, Langit meletakkan tubuh Senja yang sudah basah kuyup di dalam mobil Devan. Sementara, Devan menaiki sepeda Langit bersama Aura.
Harusnya gue yang bawa Senja ke rumahnya, kenapa gue jadi boncengin Aura pakai sepeda kaya gini, ah, sial, batin Devan memukul-mukul stang sepeda.
"Asik juga, ya, Van. Naik sepeda, berduaan di bawa hujan kaya gini. Berasa kaya yang difilm-film romantis gitu, dan kita berdua jadi pemain utamanya," ujar Aura merangkul mesra Devan dari belakang.
"Aduh bisa nggak, biasa aja pegangannya."
"Kenapa sih, Van. Jujur aku merasa hangat dan nyaman diposisi kaya gini," sanggah Aura.
"Ya, tapi gue risih." Devan menghentikan kakinya untuk mengayuh sepeda.
"Gimana kalo lo aja yang bawa sepedanya, gue mau naik taksi."
"Eh, jangan dong, Van. Yaudah deh, aku janji nggak akan kaya tadi lagi," larang Aura murung.
"Biasa aja, ya, pegangannya."
"Iya."
Devan kembali mengayuh sepeda itu, tanpa Aura yang memegangnya dengan mesra lagi. Tidak ada perbincangan antara keduanya, suasana menjadi hening bersama dengan gemercik air hujan yang mulai mereda. Langit sore itu pun perlahan berwarna, karena matahari yang mulai tenggelam.
"Itu rumah Senja," tunjuk Aura.
"Senja!" panggil Aura memasuki rumah itu, disusul dengan Devan di belakangnya.
"Sssttt! Jangan teriak-teriak," larang Langit yang terduduk di ruang tamu.
"Senja, mana? Dia udah sadar?" tanya Aura panik.
"Dia lagi digantikan bajunya sama ibunya di kamar."
"Eh, Devan mau ke mana?" cegah Aura yang melihat Devan yang hendak menyelonong masuk, tanpa permisi.
"Mau ke kamar Senja."
"Langit, udah bilang. Senja lagi digantikan baju sama ibunya, jadi kamu nggak boleh masuk dong."
"Tapi, gue khawatir sama kondisinya dia."
"Ya, aku juga khawatir."
"Lagian, kenapa Senja nggak langsung dibawa ke rumah sakit aja sih? Kenapa harus dibawa ke rumah?"
"Heh, lo itu orang baru. Jadi, lo nggak ngerti apa-apa."
"Gue ngerti, karena gue lihat sendiri kalo Senja jatuh tadi!"
"Devan, tapi Senja udah biasa kaya gini. Senja, juga udah punya obat pribadinya kalo Senja tiba-tiba jatuh pingsan."
"Lo nggak usah sok tahu, dan lo lebih baik pulang!" usir Langit kasar.
"Nggak gitu juga Langit, Devan itu juga temannya Senja. Jadi, gakpapa kalo dia ada di sini."
"Terserah, yang penting lo nggak ganggu Senja. Kalo sampai lo macam-macam sama Senja, lo akan berurusan sama gue." Langit bergegas memasuki kamar Senja, ia mengetuk pintu sebelum Mawar mengizinkannya untuk masuk ke dalam.
"Senja, udah sadar, Bu?" tanya Langit mendekat.
"Langit."
"Setiap kali Senja bangun dari pingsannya, pasti yang pertama dia panggil itu nama, Langit," kata Mawar membuat Senja tersipu malu. Sementara, Langit bersikap biasa dengan mendatarkan ekspresinya.
"Ya, karena ikatan antara Senja dan Langit itu udah nggak bisa dipisahkan, Bu."
"Tapi, Senja sama Langit 'kan nggak punya hubungan apa-apa, Aura."
"Ja, kamu baik-baik aja 'kan?" tanya Langit tanpa ingin mendekat ke arah tempat tidur Senja.
"Senja, gakpapa."
"Tadi, aku udah larang Senja untuk nggak main hujan, Bu. Tapi, Senja keras kepala," adu Langit.
"Iya, Senja. Pingsan juga 'kan akhirnya," ledek Aura.
"Ini ... siapa?" tanya Mawar ketika melihat Devan, berada di belakang Langit.
"Itu teman baru Aura sama Senja, Bu. Dia siswa pindahan dari SMA Rajawali," sambar Aura tiba-tiba.
"Siapa namanya?" tanya Mawar mendekat.
"Devan Mahendra Aditama, Tante."
"Nggak usah panggil Tante, panggil saja Ibu. Kaya Aura dan Langit yang panggil Ibu, ya."
"Ahm, iya, Ibu."
Jadi, ini ibunya Senja. Istri dari Ahmad, yang udah mengkhianati keluarga gue dan buat bokap gue masuk penjara, batin Devan mencoba menahan amarahnya.
"Kalo gitu, Ibu tinggal dulu, ya. Tolong titip Senja, dan suruh dia minum obatnya," pesan Mawar lantas berlalu pergi.
"Ja, ngapain main hujan-hujanan kalo ujungnya jatuh pingsan kaya gini," ujar Aura terduduk di tepi tempat tidurnya.
Langit pun akhirnya mendekat, ia mengeluarkan beberapa butir obat di tangannya. "Minum obatnya," suruh Langit tanpa sedikit senyuman.
Senja menipiskan senyumannya, ia menerima butir obat itu dari tangan Langit. "Ini minumnya." Setelah butir obat masuk ke dalam mulutnya, Senja mengambil air putih dan meminumnya.
"Kalo udah minum obat, langsung tidur."
"Langit, Senja itu baru bangun dari pingsan. Masa disuruh tidur lagi sih, aneh banget," omel Aura.
"Senja, gimana kondisi lo?" Devan ikut mendekat ke tempat tidur Senja.
"Senja, baik-baik aja. Makasih, ya, udah khawatirin Senja."
"Apa nggak sebaiknya lo ke rumah sakit?"
"Nggak usah, Devan. Senja udah biasa kaya gini."
"Aku pulang, ya. Jangan lupa istirahat, dan jangan paksain diri kamu buat belajar terus," ujar Langit mengelus puncak rambut Senja, pelan. Setelah itu, beranjak keluar dari kamar Senja.
"Langit, memang anaknya kaya gitu, ya?" tanya Devan saat Langit sudah pulang.
"Kaya gitu gimana?"
"Dingin, cuek, terus emosian."
"Bukan emosian, tapi lebih tepatnya cemburuan, karena Langit itu udah anggap Senja kaya Adik kandungnya sendiri," timpal Aura.
Berarti, nggak menutup kemungkinan kalo Langit punya perasaan ke Senja. Bisa aja, sikap cemburunya itu buat Senja nyaman sama dia. Walaupun, Langit menganggap Senja Adiknya sendiri. Gue, harus tetap memisahkan Langit dan Senja, gue nggak mau rencana gue gagal cuman karena ada Langit yang menjadi penghalangnya, batin Devan.
"Devan, makasih sekali lagi, ya. Devan jadi basah kuyup kaya gitu, karena udah bawa Senja ke rumah," ujar Senja mehanyutkan lamunan Devan.
"Ja, bukan Devan yang bawa kamu ke rumah. Tapi, Langit."
"Iya, Langit yang udah bawa lo ke rumah. Tapi, gue yang khawatir sama lo, Ja."
Devan, segitu khawatirnya sama Senja? batin Aura memicingkan matanya terhadap Devan.
"Ra, gue mau ngomong berdua sama Senja. Lo boleh nggak keluar sebentar?" usir Devan secara halus.
"Mau ngomong apa? Memangnya, aku nggak boleh dengar?"
"Iya, ini tentang gue sama Senja. Jadi, lo tolong keluar dulu, ya."
"Yaudah, iya." Aura memajukan bibirnya, ia menghentakan kaki saat keluar dari kamar Senja, sesuai permintaan Devan.
"Mau ngomong tentang apa, Van?" tanya Senja lebih dulu.
"Ah, ini sebenernya ...."
"Sebenernya?" Senja menaikan kedua alisnya, memandang Devan yang bola matanya menatap ke bawah.
"Gue suka sama lo."
"Apa?" tanya Senja sedikit tidak mendengar perkataan Devan itu.
"Ahm, maksudnya gini. Gue 'kan siswa baru di kelas IPS dan gue juga belum terlalu mengenal lingkungan sekolah."
"Jadi?"
"Lo mau nggak jadi teman gue? Biar gue bisa mengenal lingkungan sekolah, dan gue jadi punya teman di kelas IPS."
"Kalo ditanya mau atau nggak, ya, jelas Senja mau. Karena Senja, nggak pernah menolak untuk berteman dengan siapa pun."
"Beneran mau?"
"Iya, mau, Van."
"Berarti, mulai besok Lo bisa bantu gue? Temenin gue keliling lingkungan sekolah, dan juga temenin gue belajar."
"Belajar, harus ditemenin juga?"
"Iya, soalnya pelajaran di SMA Rajawali sama SMA Nusa Bangsa itu beda. Dan, jujur gue belum paham sama materi Bahasa Indonesia kemarin," ujar Devan.
"Bahasa Indonesia itu 'kan, bahasa sehari-hari kita. Tapi, kamu masih nggak paham?"
"Iya, lo mau 'kan bikin gue paham tentang pelajaran Bahasa Indonesia. Dan, kalo ada tugas Matematika, lo mau bantu gue?"
"Tergantung sih."
"Lo minta bayaran?"
"Eh, bukan gitu. Maksud Senja itu, tergantung sama pelajarannya. Kalo menurut Devan susah, Senja bisa bantu. Tapi, kalo Devan udah bisa mengerjakan sendiri. Ya, Senja, nggak perlu bantu 'kan?"
Devan diam-diam meraih tangan Senja yang berada di pangkuan, ia mengelus lembut tangan Senja. "Makasih banyak, ya, Ja."
"Iya, sama-sama." Senja langsung melepaskan tangannya dari genggaman tangan Devan.
"Udah selesai belum ngomongnya!" teriak Aura dari luar, membuat Devan segera berdiri dari posisi duduknya itu.
"Masuk aja, Ra!" seru Senja membuat Aura memasuki kamarnya lagi.
"Kalian berdua ngomongin apa sih? Jangan-jangan kalian berdua ngomongin aku, ya?" tebak Aura percaya diri.
"Nggak usah terlalu percaya diri dulu, Ra," ucap Devan.
"Senja, gue pamit pulang, ya. Makasih waktunya, dan makasih bantuannya." Devan tersenyum.
"Senja, belum bantu apa-apa. Senja, minta maaf, ya. Karena Senja pingsan Devan jadi khawatir sama, Senja."
"Gakpapa, Ja. Gue justru senang, karena bisa khawatirin lo."
"Bucin banget sih, Van. Udah kalo mau pulang, ya, pulang aja." Aura mengusirnya.
"Aura, nggak boleh gitu."
Devan mengembuskan napasnya berat, kemudian tersenyum lebar sambil melangkah keluar dari kamar Senja. Setelah kepergian Devan, Aura pun langsung terduduk di samping Senja.
"Ja, apa yang udah Devan omongin sama kamu? Kayanya, secreet, ya?"
"Kalo kamu udah tahu rahasia, kenapa masih ditanyain?"
"Eh, kamu mau ngapain?" tanya Aura ketika Senja merebahkan tubuhnya, dan menarik selimut.
"Mau tidur, Senja ngantuk."
"Matahari tenggelam, Senja pun tertidur ketika sudah malam." Aura berbicara selayaknya tengah membacakan sebuah dongeng.
"Aura, pamit. Tidur yang nyenyak, Senja. Jangan lupa mimpiin Langit!!" seru Aura mematikan lampu kamar Senja, lantas berjalan keluar kamar sambil menutup pintu kamar itu.
"Langit, lagi apa sekarang?" tanya Senja dalam kegelapan, matanya masih terbuka. Mengerjap sesaat ketika memandang langit gelap, dengan bintang yang bercahaya dari balik jendela.
***
***Aura langsung menatap Senja. "Bukan gitu, Ja. Maksud aku ... kenapa Langit harus pacaran sama Neysa, kenapa nggak sama Perempuan lain.""Atau jangan-jangan, Aura suka sama Langit?" tuduh Senja."Ja, aku sama Langit itu sahabatan. Jadi, nggak mungkin aku suka sama dia," bantah Aura langsung meminta supir angkutan umum, untuk berhenti saat akan melewati persimpangan kompleks rumahnya."Aura, tunggu!" seru Senja menyusul Aura, yang sudah turun lebih dulu."Ja, Aura nggak mau bahas apa pun lagi tentang Langit. Jadi, kalo Senja tetap mau berteman sama Aura, jangan sebut-sebut nama Langit lagi, ya." Kening Senja berkerut, ia berjalan mengikuti langkah panjang dari kaki Aura. Lantas, Aura memasuki rumahnya tanpa berbicara kembali pada Senja. "Kenapa persahabatan kita bertiga, jadi berantakan kaya gini? Karena Senja menikah dengan Devan, semuanya jadi pergi meninggalkan Senja. Pertama, Langit dan sekarang Aura."Embusan napas kasar keluar dari hidung Senja, ia kembali berjalan gontai unt
***"Kapan acaranya, Van?" tanya Haikal."Setelah kelulusan gue bilang!" tegas Devan, lantas beranjak pergi dari ruang kelasnya."Devan, kenapa tiba-tiba membuat pesta kelulusan di rumahnya? Dan, mengajak seluruh kelas IPA?" tanya Aura bingung, begitu pun dengan Senja yang mulai berhenti menangis."Senja, harus bicara sama Devan," ujar Senja pergi menyusul Devan, yang sudah berada di ruang ujian."Devan, kenapa tiba-tiba membuat pesta kelulusan di rumah? Kita belum membicarakan sama orang tua kamu, dan belum ada persiapan juga. Ujian nasional tinggal dua hari lagi, dan setelah itu kita langsung mengadakan pesta kelulusan?""Gue cuman mau buat pesta kelulusan, sekalian merayakan pernikahan kita. Dan, lo nggak perlu pusing memikirkan persiapan buat pesta itu, gue yang akan mengatur semuanya," balas Devan tanpa ekspresi di wajahnya.Ujian nasional dilaksanakan selama tiga hari, dan hanya beberapa mata pelajaran saja yang diujikan, sesuai dengan jurusan yang ada di SMA Nusa Bangsa. Mata p
***"Kemarin waktu kamu nggak berangkat sekolah, karena menikah sama Devan. Langit sama Neysa udah resmi berpacaran."Senja hanya terdiam, ia enggan berkomentar saat ini tentang hubungan Langit dan Neysa, yang terjalin begitu cepat. Bel masuk pun berbunyi, membuat beberapa murid mulai mengeluarkan buku-bukunya, untuk mengikuti mata pelajaran di jam pertama.Senja, nggak percaya. Kalo Langit sama Neysa pacaran, karena Neysa pasti masih mencintai Devan. Nggak mungkin secepat itu, perasaan Neysa berpaling dari Devan, secara mereka berdua teman dari kecil, dan udah kenal lama, batin Senja."Ja, gimana malam pertama kamu sama Devan? Hum, pasti romantis 'kan," bisik Aura membuat lamunan Senja menghilang."Biasa aja," balas Senja datar, ia melanjutkan menulis materi, yang sudah diterangkan oleh guru di depan kelasnya."Nggak mungkin, biasa aja dong. Pasti kamu sama Devan udah melakukan itu 'kan?" tanya Aura membuat Senja berdiri dari duduknya."Senja, ada apa?" tegur guru itu."Ah, Bu. Senja
***"Bahagia kok," jawab Senja dengan senyuman kali ini."Yaudah, kalo gitu gue mau mandi dulu." Devan berlalu pergi dari hadapan Senja, tetapi sebelum memasuki kamar mandi. Devan lebih dulu melepas seluruh kancing kemejanya, dan membiarkan tubuh bagian atas terbuka begitu saja."Devan!!" seru Senja langsung menutup matanya dengan kedua tangan. Devan pun berbalik, keningnya berkerut karena teriakan dari Senja."Ada apa?" tanyanya santai."Buka bajunya 'kan bisa di dalam kamar mandi," protes Senja enggan membuka mata, apalagi mengalihkan kedua tangan dari depan matanya."Kenapa memangnya? Gue gerah, jadi gue bukan di luar sekalian." Senja terdiam, diamnya Senja justru membuat Devan melangkah mendekat.Senja yang mendengar langkah kaki Devan, langsung menghentikannya. "Stop! Devan, mau ngapain ke sini?!"Langkah Devan terhenti, saat Senja memintanya. "Lo sendiri kenapa tutup mata gitu? Apa badan gue seburuk itu?"Senja menggeleng, lalu merunduk malu. "Ja, lo lupa kalo kita berdua udah j
***"Sekarang, kalian berdua sudah resmi menjadi sepasang suami istri, dan silakan tanda tangan di buku nikah ini," ujar penghulu membuat Devan menggangguk. Setelah Devan bertanda tangan, giliran Senja yang perlahan meraih bolpoin untuk menandatanganinya, meski hatinya terasa berat.Senja masih tidak menyangka, nasib atau takdir yang saat ini ia dapatkan. Meskipun, Senja memiliki rasa terhadap Devan, akan tetapi pernikahan dini bukanlah keinginan Senja. "Ini semua udah terjadi," lirih Senja masih menangis, tanpa memperlihatkan air matanya. Sejak tadi, ia terus merunduk dan membungkam Isak tangisnya."Ja, gue bahagia banget hari ini, karena gue akhirnya bisa memiliki lo seutuhnya," ujar Devan tersenyum, lantas meraih tangan Senja di pangkuan. Namun, Senja menepisnya kasar. Kesabaran Senja sudah berakhir, pada saat Devan mengucapkan ijab qobul tersebut. Senja berdiri, ia menyeka air matanya kasar sambil memandang orang-orang di sana. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Senja berlalu pe
***"Senja, yang sama. Senja, yang aku ...."Bugh!Devan datang dengan amarahnya, ia langsung memukul pipi Langit. "Devan!" seru Senja membungkam mulutnya dengan kedua tangan. Setelah membuat pipi Langit lebam, Devan langsung menarik pergelangan tangan Senja."Besok kita berdua akan menikah, jadi lo tolong jauhi Senja!" kelakar Devan."Besok? Devan, tanggal pernikahan kita udah ditentukan. Dan, besok baru tanggal 23 Mei, sedangkan kita menikah tanggal 25 bertepatan dengan kelulusan sekolah dan ulang tahun Senja. Dan, tanggal 24 Mei kita 'kan harus ujian nasional."Devan tidak memperdulikan perkataan Senja, ia justru berlalu pergi bersama dengan Senja. Namun, perkataan Langit telah menghentikan kepergian mereka berdua. "Devan! Lo boleh menikah besok dengan Senja, karena setelah kelulusan gue juga akan pergi dari kehidupan kalian berdua.""Nggak!" Senja menepis genggaman tangan Devan, dan berbalik menatap Langit meski dari jara