Share

Bab 3-Buku Diary dan Cokelat Kacang

***

"Ja, kamu mau beli buku diary yang kaya gimana lagi?" tanya Langit saat keduanya sudah menaiki sepeda, untuk menuju ke toko buku langganan.

"Buku diary yang bisa buat simpan foto, Senja belum punya buku diary kaya gitu," jawab Senja tetap menjaga keseimbangannya, karena ia membonceng sepeda Langit di belakang, yang tidak ada jok-nya. Sehingga, Senja harus berdiri di kedua pedal sepeda supaya menjadi tumpuan kakinya.

"Langit, serius mau beliin Senja buku diary?" Ketika sampai di depan toko buku langganan mereka berdua, Senja turun dari sepeda itu dan bertanya.

"Serius." Langit langsung menstandarkan sepedanya, dan meraih tangan Senja untuk masuk ke dalam toko buku.

"Kamu tinggal pilih mau buku diary yang mana, nanti aku yang bayar," kata Langit.

"Senja, mau semuanya."

Langit mengembuskan napas berat, lantas menangkup pipi Senja. "Ja, uang aku nggak cukup buat beli semua buku diary di toko ini. Jadi ...."

"Iya, Langit. Senja bercanda kok, mana mungkin Langit bisa beliin semua buku diary ini buat Senja." Tawa kecil terlihat dari sederet gigi gingsul Senja, ia menepis tangan Langit kemudian memilih satu buku diary yang ia inginkan.

Nggak sekarang, Ja. Mungkin suatu saat, aku bisa membelikan kamu semua buku diary di toko ini, batin Langit menatap wajah Senja dari samping.

"Langit, buku diary ini bagus nggak? Warnanya biru muda, ada gambar laut sama kapal. Langit suka?" tanya Senja menyodorkan buku diary itu kepada Langit.

"Kamu sendiri suka nggak sama buku diary-nya?"

"Tapi, Senja nggak suka. Karena di sini ada pelabuhan, Senja nggak mau menulis di atas pelabuhan."

"Bukannya dermaga, itu tempat kesukaan kamu buat melihat matahari tenggelam?"

"Dermaga sama pelabuhan itu beda, Langit. Senja, nggak suka sama pelabuhan karena kapal-kapal yang singgah di pelabuhan hanya sesaat, tapi kapal-kapal akan berhenti di dermaga selamanya."

"Kalo gitu nggak usah dibeli."

"Yaudah, Senja nggak akan beli buku diary yang ini." Senja meletakkan buku itu kembali ke raknya. Dan, mencari buku diary yang lainnya.

"Kamu pasti suka sama buku diary ini," tunjuk Langit, membuat Senja tersenyum merekah.

"Ini buku diary yang udah lama Senja cari, buku diary yang bergambar cokelat kacang dan ada tempat untuk menyimpan foto di dalamnya," ujar Senja berjingkrak senang.

"Kira-kira kamu mau taruh foto siapa di buku diary itu?" tanya Langit saat Senja sudah menerima buku diary darinya.

"Foto Langit, Senja, sama Aura."

"Kenapa diam?" sambung Senja.

"Gakpapa, yaudah ke kasir. Biar aku bayar bukunya," suruh Langit lebih dulu berjalan ke kasir.

"Jadi lima puluh ribu, Mas."

"Mahal juga, ya," gerutu Senja.

"Mahal tapi bagus, Ra. Daripada murah, tapi cepat rusak," timpal Langit yang tidak sengaja mendengar Senja, tengah menggerutu di belakangnya.

"Makasih, ya, Mba." Langit menerima kantong plastik itu, setelah membayarnya.

"Wah, ada pulpen bentuknya cokelat." Senja menangkap begitu banyak jenis pulpen, yang terpajang di atas meja kasir.

"Kamu mau?" tanya Langit tanpa dibalas oleh Senja.

"Ini bagus banget, buat nulis dibuku diary yang bergambar cokelat juga," ujar Senja mengambil satu pulpen dari sana.

"Berapa, Mba, pulpennya?"

"Dua ribu, Mas." Langit langsung mengeluarkan dompetnya kembali, memberikan selembar uang untuk membayar pulpen yang Senja ambil itu.

"Udah jangan dimasukin lagi, 'kan udah dibayar," larang Langit.

"Beneran Langit beliin pulpen ini buat Senja."

"Iya, Ja. Kamu suka 'kan sama pulpennya?"

Senja mengangguk, lantas memasukan pulpen itu ke dalam kantong plastik yang sedari tadi Langit pegang. "Makasih banyak, Langit." Senja tersenyum setelah itu.

"Sama-sama, Ja." Langit hanya menyingkat senyumannya.

Senja dan Langit berjalan berdampingan keluar dari toko buku tersebut, namun keduanya tidak sengaja bertemu dengan Devan dan Aura.

"Loh, Ra? Ngapain kamu di sini?" tanya Senja lebih dulu.

"Eh, Senja! Aku sama Devan habis ke supermarket depan," jawabnya.

"Kita mau piknik," tambah Devan.

"Piknik di supermarket?" timpal Langit datar.

"Ih, nggak gitu Langit. Kita memang mau piknik, tapi sebelum itu kita beli makanan ringan di supermarket dulu," balas Aura.

"Terus, kalian berdua kok bisa ada di sini juga?" lanjutnya dengan pertanyaan.

"Iya, biasa, Ra. Langit habis beliin Senja buku diary baru," jawab Senja tersenyum.

"Oh, kebetulan kalo gitu. Gimana, kalo Senja sama Langit ikut kita berdua piknik, gakpapa 'kan, Van?"

"Iya, gakpapa. Gue setuju banget, kalo Senja sama Langit ikut piknik juga," balas Devan mengangguk.

"Ah, jangan, Ra. Senja, nggak mau ganggu acara piknik Aura sama Devan."

"Aduh, Senja. Gakpapa kali, santai aja. Anggap aja kita ini lagi doubel dating, iya, 'kan?"

"Doubel dating, gimana?" sambar Langit melipat tangannya di depan dada.

"Iya, Senja sama Langit. Dan, aku sama Devan," kata Aura membuat semuanya terbalalak.

"Nggak, Senja harus pulang. Ini udah mendung, sebentar lagi hujan." Langit menggenggam tangan Senja, lantas melangkah pergi.

"Langit, cuman hujan 'kan? Lagian kalo hujan, kita bisa cari tempat berteduh. Ayolah, sekali aja turutin permintaan Aura yang cantik dan imut ini,"  ujar Aura membuat langkah Langit dan Senja terhenti.

Senja terkekeh tawa. "Aura, cantik, imut?" gumam Senja membuat Langit menoleh ke arahnya.

"Kalian kalo mau piknik, yaudah piknik berdua aja. Jangan ajak Senja, karena dia harus pulang."

"Langit, katanya setia kawan!"

"Kita juga udah beli makanan ringan banyak, jadi nggak ada salahnya kalian berdua ikut kita piknik. Hitung-hitung biar kita semakin kenal dan dekat antara satu sama lain, gue 'kan siswa baru di SMA Nusa Bangsa, jadi gue belum punya banyak teman di sana," timpal Devan membuat Langit berbalik.

"Kalo Senja ikut, aku juga harus ikut."

"Tadi 'kan aku udah bilang doubel dating, ya, jelas kamu ikut, Langit Septian Dirgantara ...." Aura sengaja memanjangkan perkataannya yang terakhir itu, sebagai penegasan.

"Yaudah ayo." Langit tetap menggenggam tangan Senja, membawanya ke sebuah taman yang terletak tidak jauh dari toko buku dan supermarket itu.

"Ayo, Devan." Aura melingkarkan tangannya pada lengan Devan, tetapi justru Devan menepis tangan Aura.

"Sorry, gue nggak nyaman kalo di gandeng sama cewek," katanya, berlalu pergi tanpa berjalan beriringan dengan Aura.

"Gakpapa, Ra. Mungkin ini masih awal, nanti juga kalo udah jadi kebiasaan. Devan, pasti akan luluh dan menerima kamu dihatinya," ucap Aura pada diri sendiri.

"Senja, lo tadi habis beli buku diary apa?" susul Devan, mensejajarkan langkahnya dengan langkah Senja.

"Buku diary gambar cokelat kacang," jawab Senja.

"Kayanya lo suka banget sama cokelat kacang," tebak Devan tersenyum.

"Kita mau piknik di mana?" tanya Langit memutus pembicaraan antara Senja dan Devan.

"Di gazebo itu aja, biar kalo hujan ... Senja, nggak kehujanan," ujar Devan mengelus rambut Senja bagian belakang.

"Tapi, Senja suka sama hujan," balas Senja dengan senyuman.

"Kalo nanti hujan, jangan main hujan, ya. Aku nggak mau kamu sakit, Ja," pesan Langit membuat tangan Devan di belakang kepala Senja, turun ke bawah.

"Devan, kenapa aku ditinggal sih," decak Aura kesal.

"Sorry, soalnya tadi lo kelamaan jalannya."

Mereka menempati sebuah gazebo kosong yang berada di pinggir taman, lantas Aura pun mengeluarkan berbagai aneka makanan ringan. "Ja, kamu mau makan yang apa? Ada banyak jajan yang udah aku beli tadi sama Devan," tawar Aura dibalas gelengan kecil dari Senja.

"Senja, gue beli cokelat kacang buat lo."

"Bukannya cokelat kacangnya aku yang ambil di supermarket tadi?" sambar Aura.

"Iya, tapi 'kan Senja suka sama cokelat kacang. Jadi, gue kasih cokelat kacang ini buat Senja. Mau 'kan?"

Aku juga suka kali sama cokelat kacang, nggak cuman Senja doang yang suka, batin Aura kesal.

"Ja, ini buku diary-nya. Mau nulis sekarang, atau nggak?" tanya Langit menyodorkan buku diary itu ke Senja.

Cokelat kacang, atau buku diary, ya? Dua-duanya Senja suka, dan Senja nggak bisa pilih satu di antara keduanya, batin Senja kalut.

"Ja, jadi kamu pilih buku diary atau cokelat kacangnya?" tanya Aura, Senja pun memandangnya sebentar.

"Senja, nggak bisa menolak keduanya."

"Ya, kamu harus pilih salah satu dong, Ja. Jangan serakah jadi anak, biar nanti satu yang nggak kamu pilih. Bisa buat aku," kata Aura.

"Ih, yaudah kalo gitu. Senja, lebih pilih buku diary, karena Senja nggak mau buku diary ini jadi punya kamu." Senja langsung menerima buku diary di tangan Langit, lalu membukanya.

"Pelit banget sih, Ja. Tapi, buku diary-nya bagus. Ini Langit yang beliin, Ja?"

"Iya, Ra. Langit yang beliin dan Langit juga yang pilihin buku diary ini buat Senja," ujar Senja tersenyum.

"Tumben baik," sindir Aura membuat Langit memandangnya.

"Aku itu dari dulu baik, cuman kalian berdua aja yang nggak sadar sama kebaikan aku," katanya.

"Iya, deh percaya, kalo Langit itu baik. Tapi, Langit cuman baiknya ke Senja, nggak ke Aura," pekik Aura membuat Senja tertawa kecil.

"Terus, cokelat kacangnya?" Devan masih angkuh memegang cokelat kacang itu, dan menyodorkannya ke Senja.

"Ya, buat Senja!" seru Senja, mengambilnya dari tangan Devan.

"Katanya buat Aura!!" sembur Aura melipat wajahnya.

"Aura, biar makan yang lain. Tapi, jangan makan cokelat kacang punya Senja," larang Senja sambil membuka bungkus cokelat kacang itu.

"Kalo kurang, gue bakalan beliin lo seribu bungkus cokelat kacang. Kalo perlu, sekalian sama pabrik-pabriknya," cetus Devan sontak membuat Aura dan Senja tertawa.

"Kebanyakan makan cokelat nanti gigi Senja jadi ompong," hina Aura masih dengan tawanya.

"Enak aja, gigi Senja itu nggak pernah ompong, walaupun sering banget makan cokelat kacang."

"Yaudah, Ja. Bagi sedikit kenapa sih, aku juga pingin cokelat kacangnya," rengek Aura menatap cokelat yang sudah digigit setengah oleh Senja.

"Tapi, udah Senja gigit sedikit."

"Gakpapa, Ja. Sinih buat aku!" seru Aura merebut cokelat itu dari tangan Senja.

"Ra, kalo kamu mau cokelat kacangnya, tinggal beli. Jangan pernah mengambil sesuatu yang bukan milik kamu, apalagi dengan cara direbut kaya gitu," ucap Langit tiba-tiba.

"Iya, iya. Maaf, aku salah." Aura merunduk.

"Gakpapa, Ra. Aura itu 'kan sahabat Senja, jadi gakpapa kalo Aura mau apa pun yang Senja punya," ujar Senja membuat Aura kembali mendongak.

"Nggak semua, Ja. Nggak semua yang kamu miliki, harus Aura miliki juga. Meskipun, kalian berdua sahabatan. Tetap, hak Senja nggak boleh menjadi hak Aura juga," ketus Langit.

"Langit, kenapa sih? Langit, mau juga cokelat kacangnya?" ledek Senja.

"Nggak."

"Yaudah, Ra. Dimakan aja cokelat kacangnya, Senja mau nulis sesuatu di buku diary yang baru ini." Aura mengangguk, dan memakan cokelat kacang itu. Namun, belum semuanya Aura makan. Cokelat kacang itu, terjatuh tepat mengenai buku diary milik Senja.

"Buku diary, Senja."

"Yah, Senja ... maaf, ya, aku nggak sengaja," ujar Aura.

"Iya, gakpapa, Ra."

"Tapi, Ja. Noda cokelatnya, susah hilang. Aduh, buku diary baru kamu jadi kotor deh gara-gara aku," ucap Aura merasa bersalah.

Senja mengusap bahu Aura, memandangnya dengan senyuman. "Bukan salah kamu, Ra. Dan, gakpapa kalo buku diary-nya kotor."

"Apa perlu gue beli buku diary baru lagi buat lo, Ja?" tanya Devan.

Senja menggeleng, ia menjawab, "Engga usah, Van. Buku diary ini masih bisa dipakai kok, cuman satu halamannya aja yang kotor. Dan, masih ada halaman lainnya yang masih bersih," tolak Senja pelan.

"Maaf, ya, Ja," mohon Aura terus-menerus.

"Iya, Aura. Gakpapa kok, ini cuman kotor sedikit." Senja pun membalikkan halaman berikutnya, ia mulai melanjutkan tulisannya pada halaman yang masih putih bersih, tanpa noda.

"Sebenernya, apa yang lo tulis di buku diary itu, Ja?" tanya Devan penasaran.

"Menulis apa pun yang lagi Senja pikiran."

"Kenapa nggak di note ponsel lo aja? Kenapa harus di buku diary?"

"Karena kalo di note ponsel, pasti akan hilang dan kehapus tanpa sengaja. Jadi, Senja lebih suka menulis semuanya di buku diary," balasnya.

"Boleh gue lihat tulisan lo?"

"Kepo banget sih lo," celetuk Langit menatap Devan dengan sorot mata tajam.

"Gue cuman pingin lihat, nggak boleh?"

"Tapi, Senja nggak pernah kasih lihat tulisan Senja ke orang lain."

"Yaudah kalo gitu, gakpapa."

"Cuman aku yang tahu semua tulisan-tulisan Alzera Senja Maharani," timpal Aura menyombongkan diri.

Senja langsung membungkam mulut Aura, dan mendelik. "Diam, Ra. Jangan ngomong."

"Ehe, maaf-maaf, Ja." Aura melepaskan tangan Senja, lalu menyengir.

Gue harus manfaatin Aura, biar gue bisa masuk di kehidupannya Senja, batin Devan.

"Lang, kamu nggak mau makan jajan?" tanya Aura ketika melihat Langit terdiam, sejak tadi.

"Nggak lapar," tolaknya.

"Ja, udah nulisnya. Sekarang kamu makan jajan, soalnya ini banyak banget. Masa nggak di makan sih," ujar Aura.

"Iya, Ra, sebentar lagi."

Awan menggelap, hari semakin sore. Setetes air terjatuh dari langit, gumpalan awan pun semakin hitam. Rintik-rintik hujan menyambut dengan menderaskan airnya, Senja yang melihat air hujan langsung menutup buku diary itu.

"Hujan," lirih Senja.

Senja dan Langit saling melempar pandangan, namun Langit telah mengisyaratkan sesuatu dengan menggelengkan kepalanya. Akan tetapi, Senja dan sifat keras kepalanya telah membuat Langit mendengus kesal.

Senja beranjak dari tempatnya, dan berlari ke tengah taman untuk menikmati guyuran hujan sore itu. Tubuh ramping Senja berputar penuh, sembari memejamkan mata Senja menari di bawah derasnya air hujan.

"SENJA!!" teriak Langit langsung menyusul Senja di tengah taman.

"Tuh 'kan sifat keras kepalanya Senja mulai, kalo udah lihat hujan dia pasti hujan-hujanan," ujar Aura membuat Devan duduk mendekatinya.

"Padahal, Langit udah melarang dia buat nggak hujan-hujanan," imbuhnya.

"Kenapa memangnya?"

"Senja, kalo udah main hujan-hujanan pasti dia langsung jatuh sakit. Kelihatannya sih dia cewek yang kuat dan pemberani, tapi dia rapuh juga di dalamnya," jawab Aura tanpa melihat Devan di sampingnya, justru ia terus mengamati Senja dan Langit yang sedang bermain hujan-hujanan.

"Lo tahu banyak, ya, tentang Senja."

"Banyak banget, karena aku sama Senja udah berteman dari SMP. Jadi, sekitar tiga tahun lebih aku dan Senja bersama."

"Gue 'kan udah tahu, makanan favorit lo, kesukaan lo, kebiasaan dan hobi lo. Kalo sekarang, gue pingin tahu tentang makanan favoritnya Senja, kesukaannya Senja, kebiasaan dan hobinya Senja, boleh?"

Aura membelalak, ia menengok ke samping. "Buat apa kamu mau tahu semua itu? Dan, buat apa kamu mencari tahu tentang Senja?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status