***
"Ja, kamu mau beli buku diary yang kaya gimana lagi?" tanya Langit saat keduanya sudah menaiki sepeda, untuk menuju ke toko buku langganan.
"Buku diary yang bisa buat simpan foto, Senja belum punya buku diary kaya gitu," jawab Senja tetap menjaga keseimbangannya, karena ia membonceng sepeda Langit di belakang, yang tidak ada jok-nya. Sehingga, Senja harus berdiri di kedua pedal sepeda supaya menjadi tumpuan kakinya.
"Langit, serius mau beliin Senja buku diary?" Ketika sampai di depan toko buku langganan mereka berdua, Senja turun dari sepeda itu dan bertanya.
"Serius." Langit langsung menstandarkan sepedanya, dan meraih tangan Senja untuk masuk ke dalam toko buku.
"Kamu tinggal pilih mau buku diary yang mana, nanti aku yang bayar," kata Langit.
"Senja, mau semuanya."
Langit mengembuskan napas berat, lantas menangkup pipi Senja. "Ja, uang aku nggak cukup buat beli semua buku diary di toko ini. Jadi ...."
"Iya, Langit. Senja bercanda kok, mana mungkin Langit bisa beliin semua buku diary ini buat Senja." Tawa kecil terlihat dari sederet gigi gingsul Senja, ia menepis tangan Langit kemudian memilih satu buku diary yang ia inginkan.
Nggak sekarang, Ja. Mungkin suatu saat, aku bisa membelikan kamu semua buku diary di toko ini, batin Langit menatap wajah Senja dari samping.
"Langit, buku diary ini bagus nggak? Warnanya biru muda, ada gambar laut sama kapal. Langit suka?" tanya Senja menyodorkan buku diary itu kepada Langit.
"Kamu sendiri suka nggak sama buku diary-nya?"
"Tapi, Senja nggak suka. Karena di sini ada pelabuhan, Senja nggak mau menulis di atas pelabuhan."
"Bukannya dermaga, itu tempat kesukaan kamu buat melihat matahari tenggelam?"
"Dermaga sama pelabuhan itu beda, Langit. Senja, nggak suka sama pelabuhan karena kapal-kapal yang singgah di pelabuhan hanya sesaat, tapi kapal-kapal akan berhenti di dermaga selamanya."
"Kalo gitu nggak usah dibeli."
"Yaudah, Senja nggak akan beli buku diary yang ini." Senja meletakkan buku itu kembali ke raknya. Dan, mencari buku diary yang lainnya.
"Kamu pasti suka sama buku diary ini," tunjuk Langit, membuat Senja tersenyum merekah.
"Ini buku diary yang udah lama Senja cari, buku diary yang bergambar cokelat kacang dan ada tempat untuk menyimpan foto di dalamnya," ujar Senja berjingkrak senang.
"Kira-kira kamu mau taruh foto siapa di buku diary itu?" tanya Langit saat Senja sudah menerima buku diary darinya.
"Foto Langit, Senja, sama Aura."
"Kenapa diam?" sambung Senja.
"Gakpapa, yaudah ke kasir. Biar aku bayar bukunya," suruh Langit lebih dulu berjalan ke kasir.
"Jadi lima puluh ribu, Mas."
"Mahal juga, ya," gerutu Senja.
"Mahal tapi bagus, Ra. Daripada murah, tapi cepat rusak," timpal Langit yang tidak sengaja mendengar Senja, tengah menggerutu di belakangnya.
"Makasih, ya, Mba." Langit menerima kantong plastik itu, setelah membayarnya.
"Wah, ada pulpen bentuknya cokelat." Senja menangkap begitu banyak jenis pulpen, yang terpajang di atas meja kasir.
"Kamu mau?" tanya Langit tanpa dibalas oleh Senja.
"Ini bagus banget, buat nulis dibuku diary yang bergambar cokelat juga," ujar Senja mengambil satu pulpen dari sana.
"Berapa, Mba, pulpennya?"
"Dua ribu, Mas." Langit langsung mengeluarkan dompetnya kembali, memberikan selembar uang untuk membayar pulpen yang Senja ambil itu.
"Udah jangan dimasukin lagi, 'kan udah dibayar," larang Langit.
"Beneran Langit beliin pulpen ini buat Senja."
"Iya, Ja. Kamu suka 'kan sama pulpennya?"
Senja mengangguk, lantas memasukan pulpen itu ke dalam kantong plastik yang sedari tadi Langit pegang. "Makasih banyak, Langit." Senja tersenyum setelah itu.
"Sama-sama, Ja." Langit hanya menyingkat senyumannya.
Senja dan Langit berjalan berdampingan keluar dari toko buku tersebut, namun keduanya tidak sengaja bertemu dengan Devan dan Aura.
"Loh, Ra? Ngapain kamu di sini?" tanya Senja lebih dulu.
"Eh, Senja! Aku sama Devan habis ke supermarket depan," jawabnya.
"Kita mau piknik," tambah Devan.
"Piknik di supermarket?" timpal Langit datar.
"Ih, nggak gitu Langit. Kita memang mau piknik, tapi sebelum itu kita beli makanan ringan di supermarket dulu," balas Aura.
"Terus, kalian berdua kok bisa ada di sini juga?" lanjutnya dengan pertanyaan.
"Iya, biasa, Ra. Langit habis beliin Senja buku diary baru," jawab Senja tersenyum.
"Oh, kebetulan kalo gitu. Gimana, kalo Senja sama Langit ikut kita berdua piknik, gakpapa 'kan, Van?"
"Iya, gakpapa. Gue setuju banget, kalo Senja sama Langit ikut piknik juga," balas Devan mengangguk.
"Ah, jangan, Ra. Senja, nggak mau ganggu acara piknik Aura sama Devan."
"Aduh, Senja. Gakpapa kali, santai aja. Anggap aja kita ini lagi doubel dating, iya, 'kan?"
"Doubel dating, gimana?" sambar Langit melipat tangannya di depan dada.
"Iya, Senja sama Langit. Dan, aku sama Devan," kata Aura membuat semuanya terbalalak.
"Nggak, Senja harus pulang. Ini udah mendung, sebentar lagi hujan." Langit menggenggam tangan Senja, lantas melangkah pergi.
"Langit, cuman hujan 'kan? Lagian kalo hujan, kita bisa cari tempat berteduh. Ayolah, sekali aja turutin permintaan Aura yang cantik dan imut ini," ujar Aura membuat langkah Langit dan Senja terhenti.
Senja terkekeh tawa. "Aura, cantik, imut?" gumam Senja membuat Langit menoleh ke arahnya.
"Kalian kalo mau piknik, yaudah piknik berdua aja. Jangan ajak Senja, karena dia harus pulang."
"Langit, katanya setia kawan!"
"Kita juga udah beli makanan ringan banyak, jadi nggak ada salahnya kalian berdua ikut kita piknik. Hitung-hitung biar kita semakin kenal dan dekat antara satu sama lain, gue 'kan siswa baru di SMA Nusa Bangsa, jadi gue belum punya banyak teman di sana," timpal Devan membuat Langit berbalik.
"Kalo Senja ikut, aku juga harus ikut."
"Tadi 'kan aku udah bilang doubel dating, ya, jelas kamu ikut, Langit Septian Dirgantara ...." Aura sengaja memanjangkan perkataannya yang terakhir itu, sebagai penegasan.
"Yaudah ayo." Langit tetap menggenggam tangan Senja, membawanya ke sebuah taman yang terletak tidak jauh dari toko buku dan supermarket itu.
"Ayo, Devan." Aura melingkarkan tangannya pada lengan Devan, tetapi justru Devan menepis tangan Aura.
"Sorry, gue nggak nyaman kalo di gandeng sama cewek," katanya, berlalu pergi tanpa berjalan beriringan dengan Aura.
"Gakpapa, Ra. Mungkin ini masih awal, nanti juga kalo udah jadi kebiasaan. Devan, pasti akan luluh dan menerima kamu dihatinya," ucap Aura pada diri sendiri.
"Senja, lo tadi habis beli buku diary apa?" susul Devan, mensejajarkan langkahnya dengan langkah Senja.
"Buku diary gambar cokelat kacang," jawab Senja.
"Kayanya lo suka banget sama cokelat kacang," tebak Devan tersenyum.
"Kita mau piknik di mana?" tanya Langit memutus pembicaraan antara Senja dan Devan.
"Di gazebo itu aja, biar kalo hujan ... Senja, nggak kehujanan," ujar Devan mengelus rambut Senja bagian belakang.
"Tapi, Senja suka sama hujan," balas Senja dengan senyuman.
"Kalo nanti hujan, jangan main hujan, ya. Aku nggak mau kamu sakit, Ja," pesan Langit membuat tangan Devan di belakang kepala Senja, turun ke bawah.
"Devan, kenapa aku ditinggal sih," decak Aura kesal.
"Sorry, soalnya tadi lo kelamaan jalannya."
Mereka menempati sebuah gazebo kosong yang berada di pinggir taman, lantas Aura pun mengeluarkan berbagai aneka makanan ringan. "Ja, kamu mau makan yang apa? Ada banyak jajan yang udah aku beli tadi sama Devan," tawar Aura dibalas gelengan kecil dari Senja.
"Senja, gue beli cokelat kacang buat lo."
"Bukannya cokelat kacangnya aku yang ambil di supermarket tadi?" sambar Aura.
"Iya, tapi 'kan Senja suka sama cokelat kacang. Jadi, gue kasih cokelat kacang ini buat Senja. Mau 'kan?"
Aku juga suka kali sama cokelat kacang, nggak cuman Senja doang yang suka, batin Aura kesal.
"Ja, ini buku diary-nya. Mau nulis sekarang, atau nggak?" tanya Langit menyodorkan buku diary itu ke Senja.
Cokelat kacang, atau buku diary, ya? Dua-duanya Senja suka, dan Senja nggak bisa pilih satu di antara keduanya, batin Senja kalut.
"Ja, jadi kamu pilih buku diary atau cokelat kacangnya?" tanya Aura, Senja pun memandangnya sebentar.
"Senja, nggak bisa menolak keduanya."
"Ya, kamu harus pilih salah satu dong, Ja. Jangan serakah jadi anak, biar nanti satu yang nggak kamu pilih. Bisa buat aku," kata Aura.
"Ih, yaudah kalo gitu. Senja, lebih pilih buku diary, karena Senja nggak mau buku diary ini jadi punya kamu." Senja langsung menerima buku diary di tangan Langit, lalu membukanya.
"Pelit banget sih, Ja. Tapi, buku diary-nya bagus. Ini Langit yang beliin, Ja?"
"Iya, Ra. Langit yang beliin dan Langit juga yang pilihin buku diary ini buat Senja," ujar Senja tersenyum.
"Tumben baik," sindir Aura membuat Langit memandangnya.
"Aku itu dari dulu baik, cuman kalian berdua aja yang nggak sadar sama kebaikan aku," katanya.
"Iya, deh percaya, kalo Langit itu baik. Tapi, Langit cuman baiknya ke Senja, nggak ke Aura," pekik Aura membuat Senja tertawa kecil.
"Terus, cokelat kacangnya?" Devan masih angkuh memegang cokelat kacang itu, dan menyodorkannya ke Senja.
"Ya, buat Senja!" seru Senja, mengambilnya dari tangan Devan.
"Katanya buat Aura!!" sembur Aura melipat wajahnya.
"Aura, biar makan yang lain. Tapi, jangan makan cokelat kacang punya Senja," larang Senja sambil membuka bungkus cokelat kacang itu.
"Kalo kurang, gue bakalan beliin lo seribu bungkus cokelat kacang. Kalo perlu, sekalian sama pabrik-pabriknya," cetus Devan sontak membuat Aura dan Senja tertawa.
"Kebanyakan makan cokelat nanti gigi Senja jadi ompong," hina Aura masih dengan tawanya.
"Enak aja, gigi Senja itu nggak pernah ompong, walaupun sering banget makan cokelat kacang."
"Yaudah, Ja. Bagi sedikit kenapa sih, aku juga pingin cokelat kacangnya," rengek Aura menatap cokelat yang sudah digigit setengah oleh Senja.
"Tapi, udah Senja gigit sedikit."
"Gakpapa, Ja. Sinih buat aku!" seru Aura merebut cokelat itu dari tangan Senja.
"Ra, kalo kamu mau cokelat kacangnya, tinggal beli. Jangan pernah mengambil sesuatu yang bukan milik kamu, apalagi dengan cara direbut kaya gitu," ucap Langit tiba-tiba.
"Iya, iya. Maaf, aku salah." Aura merunduk.
"Gakpapa, Ra. Aura itu 'kan sahabat Senja, jadi gakpapa kalo Aura mau apa pun yang Senja punya," ujar Senja membuat Aura kembali mendongak.
"Nggak semua, Ja. Nggak semua yang kamu miliki, harus Aura miliki juga. Meskipun, kalian berdua sahabatan. Tetap, hak Senja nggak boleh menjadi hak Aura juga," ketus Langit.
"Langit, kenapa sih? Langit, mau juga cokelat kacangnya?" ledek Senja.
"Nggak."
"Yaudah, Ra. Dimakan aja cokelat kacangnya, Senja mau nulis sesuatu di buku diary yang baru ini." Aura mengangguk, dan memakan cokelat kacang itu. Namun, belum semuanya Aura makan. Cokelat kacang itu, terjatuh tepat mengenai buku diary milik Senja.
"Buku diary, Senja."
"Yah, Senja ... maaf, ya, aku nggak sengaja," ujar Aura.
"Iya, gakpapa, Ra."
"Tapi, Ja. Noda cokelatnya, susah hilang. Aduh, buku diary baru kamu jadi kotor deh gara-gara aku," ucap Aura merasa bersalah.
Senja mengusap bahu Aura, memandangnya dengan senyuman. "Bukan salah kamu, Ra. Dan, gakpapa kalo buku diary-nya kotor."
"Apa perlu gue beli buku diary baru lagi buat lo, Ja?" tanya Devan.
Senja menggeleng, ia menjawab, "Engga usah, Van. Buku diary ini masih bisa dipakai kok, cuman satu halamannya aja yang kotor. Dan, masih ada halaman lainnya yang masih bersih," tolak Senja pelan.
"Maaf, ya, Ja," mohon Aura terus-menerus.
"Iya, Aura. Gakpapa kok, ini cuman kotor sedikit." Senja pun membalikkan halaman berikutnya, ia mulai melanjutkan tulisannya pada halaman yang masih putih bersih, tanpa noda.
"Sebenernya, apa yang lo tulis di buku diary itu, Ja?" tanya Devan penasaran.
"Menulis apa pun yang lagi Senja pikiran."
"Kenapa nggak di note ponsel lo aja? Kenapa harus di buku diary?"
"Karena kalo di note ponsel, pasti akan hilang dan kehapus tanpa sengaja. Jadi, Senja lebih suka menulis semuanya di buku diary," balasnya.
"Boleh gue lihat tulisan lo?"
"Kepo banget sih lo," celetuk Langit menatap Devan dengan sorot mata tajam.
"Gue cuman pingin lihat, nggak boleh?"
"Tapi, Senja nggak pernah kasih lihat tulisan Senja ke orang lain."
"Yaudah kalo gitu, gakpapa."
"Cuman aku yang tahu semua tulisan-tulisan Alzera Senja Maharani," timpal Aura menyombongkan diri.
Senja langsung membungkam mulut Aura, dan mendelik. "Diam, Ra. Jangan ngomong."
"Ehe, maaf-maaf, Ja." Aura melepaskan tangan Senja, lalu menyengir.
Gue harus manfaatin Aura, biar gue bisa masuk di kehidupannya Senja, batin Devan.
"Lang, kamu nggak mau makan jajan?" tanya Aura ketika melihat Langit terdiam, sejak tadi.
"Nggak lapar," tolaknya.
"Ja, udah nulisnya. Sekarang kamu makan jajan, soalnya ini banyak banget. Masa nggak di makan sih," ujar Aura.
"Iya, Ra, sebentar lagi."
Awan menggelap, hari semakin sore. Setetes air terjatuh dari langit, gumpalan awan pun semakin hitam. Rintik-rintik hujan menyambut dengan menderaskan airnya, Senja yang melihat air hujan langsung menutup buku diary itu.
"Hujan," lirih Senja.
Senja dan Langit saling melempar pandangan, namun Langit telah mengisyaratkan sesuatu dengan menggelengkan kepalanya. Akan tetapi, Senja dan sifat keras kepalanya telah membuat Langit mendengus kesal.
Senja beranjak dari tempatnya, dan berlari ke tengah taman untuk menikmati guyuran hujan sore itu. Tubuh ramping Senja berputar penuh, sembari memejamkan mata Senja menari di bawah derasnya air hujan.
"SENJA!!" teriak Langit langsung menyusul Senja di tengah taman.
"Tuh 'kan sifat keras kepalanya Senja mulai, kalo udah lihat hujan dia pasti hujan-hujanan," ujar Aura membuat Devan duduk mendekatinya.
"Padahal, Langit udah melarang dia buat nggak hujan-hujanan," imbuhnya.
"Kenapa memangnya?"
"Senja, kalo udah main hujan-hujanan pasti dia langsung jatuh sakit. Kelihatannya sih dia cewek yang kuat dan pemberani, tapi dia rapuh juga di dalamnya," jawab Aura tanpa melihat Devan di sampingnya, justru ia terus mengamati Senja dan Langit yang sedang bermain hujan-hujanan.
"Lo tahu banyak, ya, tentang Senja."
"Banyak banget, karena aku sama Senja udah berteman dari SMP. Jadi, sekitar tiga tahun lebih aku dan Senja bersama."
"Gue 'kan udah tahu, makanan favorit lo, kesukaan lo, kebiasaan dan hobi lo. Kalo sekarang, gue pingin tahu tentang makanan favoritnya Senja, kesukaannya Senja, kebiasaan dan hobinya Senja, boleh?"
Aura membelalak, ia menengok ke samping. "Buat apa kamu mau tahu semua itu? Dan, buat apa kamu mencari tahu tentang Senja?"
***
***"Ya, buat saling kenal. Gue 'kan siswa baru di kelas lo sama Senja, jadi gue mau berteman sama kalian berdua," jawab Devan sedikit gugup."Oh, gitu. Okey aku akan kasih tahu semuanya tentang Senja, biar kita bisa akrab dan berteman baik.""Jadi, lo mau kasih tahu 'kan semuanya tentang Senja?"Aura menyeringai senyumannya. "Iya, mau.""Senja! Jangan hujan-hujanan!" tegur Langit membuat pandangan Aura dan Devan terputus, suara itu mengalihkan pandangan keduanya."Langit, harus terbiasa sama hujan." Senja meraih kedua tangan Langit, lantas mengajaknya berdansa di bawah guyuran air hujan."Lihat, Senja itu cewek yang selalu ceria. Dia, nggak pernah membagi kesedihannya ke orang lain, bahkan ke aku dia selalu kelihatan bahagia.""Apa dia selalu menutupi lukanya?""Mungkin, dia membagi semua luka dan kesedihannya itu di buku
***"Pagi, Senja ..," sapa Aura mendekat."Pagi juga, Ra. Tumben udah berangkat jam segini? Biasanya, masih ....""Masih tidur? Ya, nggak lah. Mulai hari ini, seorang Aura Margareta akan bangun pagi. Dan, berangkat sekolah lebih awal," potong Aura menyeringai senyuman, sambil memainkan kedua alisnya."Kesambet setan apa, Ra?" tanya Senja meledek."Kesambet cowok ganteng, yang lagi main basket di sana," tunjuk Aura terperangah."Banyak cowok yang lagi main basket di sana, Ra.""Ih, Senja! Itu loh, yang lagi pegang bola basket," tunjuk Aura lagi.Senja memicingkan mata, ia melihat seorang Devan yang tengah mendribble bola basket di tangannya, untuk memasukkannya ke dalam ring."Yes!! Masuk!!!" jerit Aura lompat-lompat kegirangan."Senja!" panggil seseorang dari belakang, membuatnya berbalik.
***"Langit, duduk di sini dulu, ya." Senja melepaskan genggaman tangan Langit, lantas ia memasuki kelasnya untuk mengambil tissu di dalam tas."Heh, lo nggak usah ngambil perhatiannya Senja. Gue tahu, lo cuman pura-pura mimisan biar Senja peduli sama lo 'kan." Devan tiba-tiba saja datang menghampiri Langit."Pura-pura mimisan gimana? Jelas-jelas lo yang udah buat gue kaya gini, apa lo sengaja melempar bola voli itu ke hidung gue tadi? Biar kelompok gue kalah?" Langit berdiri dari duduknya, mendorong Devan cukup kasar."Kalo gue sengaja kenapa? Gue lakuin itu, karena gue nggak mau Senja sedih.""Ini ada apa?" tanya Senja mendekat."Ja, obatin lukanya di kelas aja," ajak Langit meraih tangan Senja."Apa-apaan! Senja, harus merayakan kemenangan kelasnya.""Lo itu udah gede, masa obatin luka mimisan aja nggak bisa. Senja, nggak perlu bantu lo
***"Senja sama Devan nggak pacaran, Bu.""Alhamdulillah kalo gitu, biar kamu bisa Ibu jodohkan."Senja mengembuskan napas berat. "Senja, tetap nggak mau dijodohkan, Bu."Tuk! Tuk!"Biar Senja aja yang buka pintunya." Senja melangkah ke ruang tamu kembali, untuk membuka pintunya."Aura!!" seru Senja dibalas pelukan darinya. "Senja.""Om, Tante. Apa kabar?" tanya Senja meraih tangan keduanya, setelah berpelukan dengan Aura."Baik Senja.""Senja, siapa yang datang?" tanya Mawar menghampiri Senja di ambang pintu."Aura sama keluarganya, Bu.""Aura datang ke sini sama Papah dan Mamah, mau kasih oleh-oleh, buat Ibu dan Senja.""Ayo masuk dulu, Ra. Shinta kamu apa kabar? Lama kita nggak bertemu," ucap Mawar memeluk Shinta--Mamah Aura."Alhamdulillah, ak
***"Itu orangnya baik-baik aja nggak, ya? Aduh, bapak sih. Kenapa nyetirnya nggak hati-hati, jadinya tabrakan sama motor 'kan."Langit bergegas keluar dari mobil itu, menghampiri pemilik motor yang sempat ditabrak oleh mobilnya. "Mas, gakpapa?" tanya Langit."Gue sih gakpapa, tapi lihat motor gue lecet!" serunya memandang Langit."Lah, lo ...." Langit menganga, ketika mendapati pemilik motor itu; ialah Devan."Oh, jadi lo yang udah nabrak gue? Tanggung jawab, gue nggak mau tahu lo harus tanggung jawab.""Bukan gue yang nabrak lo, ya. Tapi supir taksi ini, lagi pula motor lo cuman keserempet sedikit, jadi gue nggak perlu buat tanggung jawab," bantah Langit."M-maaf, Mas. Saya nggak sengaja, soalnya tadi saya buru-buru mau mengantarkan penumpang ke Bandara." Supir taksi yang mengemudikan mobil itu pun merunduk, merasa bersalah."Bapak, ngga
***"Senja, bangun!!"Suara jam beaker tidak membangunkan Senja, bahkan teriakan dari Mawar pun tidak membuat Senja bangun dari tidurnya. Satu-satunya jalan, supaya Senja terbangun; ialah menyiram wajahnya menggunakan air dingin."DINGIN!" jerit Senja langsung terduduk di atas tempat tidurnya."Dingin 'kan?!" Suara di sampingnya, membuat Senja mengucek mata dan menengok."Ibu! Kenapa siram Senja pakai air!" sembur Senja."Ini baru air dingin, belum air panas.""Bu, ini hari Minggu. Jadi, gakpapa kalo Senja bangun siang, lagian setiap malam Senja itu sibuk belajar jadi sekarang Senja mau tidur seharian," ucap Senja."Hari ini nggak ada kata tidur! Kamu harus bangun, mandi dan siap-siap!" tegas Mawar berkacak pinggang."Siap-siap memangnya mau ke mana, Bu?""Orang tua jodoh kamu, mau bertamu lagi hari ini. D
***"Mau pulang sekarang?" tanya Devan mendekat."Biar gue yang antar Senja ke rumah aja," timpal Nabil."Iya, Sayang. Kakak gue aja yang mengantar Senja pulang, kita 'kan udah lama nggak bertemu. Masa, kamu mau pergi lagi sih," sambar Neysa."Cuman sebentar antar Senja pulang.""Ah, nggak usah, Devan. Biar Nabil aja yang antar Senja pulang, Devan di sini aja temani Neysa," tolak Senja meskipun menahan lara dalam hatinya."Gakpapa, Ja?""Iya, udah ayo, Nabil." Senja menggandeng tangan Nabil tanpa ragu, memperlihatkan jika ia baik-baik saja di depan Devan dan Neysa."Kayanya kalian berdua ini cocok, Kak Nabil dan Senja. Kenapa nggak pacaran aja?" Neysa mulai membuat keadaan panas kembali."Itu masalah nanti, Sa. Yang penting, Senja nyaman dulu sama gue. Kalo udah nyaman, 'kan jadi enak buat pacaran," ujar Nabil tersenyum da
***"Pagi, Tante. Senjanya ada?" Nabil lebih dulu datang ke rumah Senja, sebelum Senja bersiap diri.Mawar mengeryit kebingungan, ia mempersilakan Nabil untuk duduk. "Kamu siapanya Senja?""Saya ...." Belum sepenuhnya Nabil menjawab pertanyaan dari Mawar, Senja tiba-tiba datang."Dia pacar Senja, Bu."Pernyataan yang Senja lontarkan, berhasil membuat beku suasana. Nabil terperangah, begitu juga dengan Mawar yang mendengarnya. "Maksud kamu apa, Senja!" bentak Mawar."Maksud Senja, Nabil ini pacar Senja."Mawar mendelik, menarik pergelangan tangan Senja kasar. "Kamu jangan main-main sama, Ibu!""Bu, maaf kemarin Senja lupa bilang ke Ibu kalo Senja udah punya pacar. Dan, Senja mau kenalin Ibu sama pacar Senja. Dia namanya Nabil," ucap Senja memandang Nabil yang juga sedang kebingungan, atas perkataan Senja."Sejak kapan kalian berdua pacaran?!" tanya Mawar sambil menatap Senja dan Nabil, secara bergantian.