"Aku minta kau keluar dari ruangan ini sekarang juga."
Suara Damian memecah keheningan, dingin dan tajam seperti pisau es. Dr. Adrian baru saja meninggalkan ruangan untuk mengambil hasil tes tambahan, meninggalkan Damian dan Eliza dalam ketegangan yang menyesakkan.
Eliza berdiri di samping tempat tidur Damian, tangannya mencengkeram tali tas dengan erat. Wajahnya yang cantik kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang kemerahan. Sudah dua minggu dia nyaris tidak meninggalkan rumah sakit, menunggu Damian keluar dari koma.
"Damian, aku tahu ini berat untukmu, tapi—"
"Berat?" Damian mendengus, memotong kalimat Eliza. "Aku bangun dan menemukan seorang wanita asing mengklaim sebagai tunanganku. Yang benar saja."
Damian menggeser tubuhnya ke posisi duduk, mengabaikan rasa sakit yang menyengat di kepalanya. Dia mengamati Eliza dari atas ke bawah dengan tatapan penuh selidik. Wanita ini memang cantik, dengan pembawaan yang anggun. Tapi siapapun bisa melakukannya. Terlalu banyak penipu yang mengincar kekayaannya.
"Kau bisa menunjukkan seribu foto, tapi itu tidak membuktikan apapun di era digital ini," lanjut Damian dengan nada menuduh. "Apa yang kau inginkan sebenarnya? Uang? Akses ke perusahaanku?"
Eliza tersentak, seolah Damian baru saja menamparnya. Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya, namun kali ini dia menahannya.
"Aku tidak menginginkan apapun darimu," jawab Eliza dengan suara bergetar namun berusaha tegar. "Aku hanya ingin kau baik-baik saja."
"Oh, tentu saja," Damian tertawa sinis. "Semua orang yang mendekati seorang CEO selalu memiliki motif murni, bukan?"
Damian meraih ponsel yang Dr. Adrian tinggalkan di meja samping tempat tidur. Dia membuka galeri foto dan menggeser-geser foto yang ditunjukkan dokter sebelumnya. Dia dan Eliza di berbagai lokasi, terlihat bahagia. Sangat bahagia. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan Damian – atau setidaknya yang dia ingat.
"Bagaimana aku bisa yakin semua ini nyata?" tanya Damian, lebih kepada dirinya sendiri.
"Kau melamarku di restoran Altitude pada tanggal 14 November tahun lalu," Eliza berkata pelan. "Hujan turun sangat deras malam itu. Kau lupa membawa payung dan jas mahalmu basah kuyup. Kau bilang tidak masalah karena kehangatan hatiku sudah cukup untuk mengeringkanmu."
Damian menatapnya, mencari tanda kebohongan di wajahnya.
"Kau alergi kacang. Kau selalu bangun pukul lima pagi untuk lari, tidak peduli selarut apapun kau tidur. Kau punya tiga bekas luka di punggung dari kecelakaan motor saat SMA yang kau sembunyikan dari orangtuamu."
Eliza berhenti sejenak, suaranya mulai pecah.
"Kau selalu mengetuk jari telunjukmu tiga kali sebelum membuat keputusan besar. Seperti sebuah ritual. Kau melakukannya sebelum memutuskan untuk melamarku."
Damian merasakan tenggorokannya mengering. Detail-detail itu terlalu spesifik, terlalu personal. Tidak mungkin seorang penipu mengetahuinya. Tapi dia tetap tidak bisa mengingat wanita ini.
"Aku tetap tidak mengingatmu," kata Damian akhirnya, suaranya melunak sedikit. "Dan aku tidak bisa mempercayai seseorang yang tidak kukenal."
Eliza menarik napas dalam, berusaha menguatkan diri.
"Dr. Adrian menyarankan agar aku memberimu ruang," katanya. "Jadi aku akan melakukannya. Tapi aku tidak akan menyerah padamu, Damian. Tidak setelah semua yang kita lalui."
Pintu ruangan terbuka, dan seorang perawat masuk dengan membawa nampan berisi obat-obatan.
"Maaf mengganggu," kata perawat itu. "Waktunya minum obat, Tuan Lesmana."
"Tolong panggilkan keamanan," pinta Damian tiba-tiba. "Aku ingin wanita ini dikeluarkan dari kamarku dan tidak diizinkan masuk kembali."
Perawat itu terlihat bingung, menatap bergantian antara Damian dan Eliza.
"Tapi, Tuan, Nona Valentina adalah—"
"Lakukan saja," potong Damian dengan nada final. "Ini adalah permintaan resmi dari pasien."
Eliza menunduk, menyembunyikan air mata yang akhirnya jatuh. Tanpa menunggu keamanan datang, dia mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu.
"Aku akan kembali besok dengan Dr. Adrian," kata Eliza pelan. "Mungkin setelah istirahat, kau akan lebih siap menerima situasi ini."
"Jangan kembali," jawab Damian dingin. "Aku tidak ingin melihatmu lagi."
Eliza menatapnya sekali lagi, matanya basah namun ada keteguhan di dalamnya.
"Kau pernah berjanji tidak akan pernah meninggalkanku, Damian. Sekarang aku berjanji hal yang sama padamu."
Dengan itu, Eliza berbalik dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Damian dengan sejuta pertanyaan dan kemarahan yang tidak bisa dia jelaskan.
Begitu pintu tertutup, Damian melempar ponsel ke tempat tidur dengan frustrasi. Kepalanya berdenyut lebih kuat sekarang. Bagaimana mungkin dia kehilangan tiga tahun hidupnya? Bagaimana mungkin dia bertunangan dengan seseorang yang sama sekali tidak dia kenal?
"Tuan, Anda perlu minum obat ini," kata perawat, masih berdiri di samping tempat tidur dengan ekspresi tidak nyaman.
"Hubungi Rafi Pratama," perintah Damian, mengabaikan obat yang disodorkan. "Dia wakil direktur LTI. Dia harus datang ke sini sekarang juga."
Perawat mengangguk ragu. "Baik, Tuan. Tapi perlu Anda ketahui, Tuan Pratama sudah datang setiap hari selama Anda koma."
Damian mengernyit. Setidaknya Rafi adalah orang yang dia kenal. Seseorang yang bisa dipercaya untuk menjelaskan apa yang terjadi selama tiga tahun terakhir.
Di lorong rumah sakit, Eliza bersandar di dinding, tubuhnya berguncang oleh isakan tertahan. Dia tidak menyadari seseorang mengawasinya dari kejauhan.
Vianna Darmawan tersenyum tipis, merapikan blazernya yang sempurna. Dia berjalan menuju lift, mengirim pesan singkat dari ponselnya:
"Fase pertama berjalan sesuai rencana. Mereka terpisah."
Di ujung lorong yang lain, Dr. Adrian mengamati hasil scan otak Damian dengan dahi berkerut. Ada sesuatu yang aneh dengan pola kerusakan otak ini. Sesuatu yang tidak konsisten dengan trauma benturan biasa.
Dia mengangkat telepon dan menghubungi seorang kolega.
"Hari, aku butuh analisis toksikologi lengkap untuk pasien Damian Lesmana. Ada sesuatu yang tidak beres dengan kasus ini."
Laboratorium GlobalPharm, 4 tahun lalu.Vianna Darmawan berdiri dengan punggung tegak di depan Direktur Penelitian, Dr. Hendrik Santoso. Ruangan kantor itu dingin, baik dari suhu AC maupun dari atmosfer pembicaraan yang sedang berlangsung. Cahaya dari jendela kaca besar menyorot wajah Vianna yang tenang, namun matanya menyimpan determinasi kuat."Jadi kau ingin pindah ke divisi eksekutif?" Dr. Hendrik mengangkat alisnya, menatap Vianna dengan skeptis. "Setelah semua investasi yang kami tanamkan untuk pelatihanmu di divisi neuropharmaceutical?""Dengan segala hormat, Dr. Hendrik," Vianna tersenyum profesional, merapikan blazernya, "bakatku lebih cocok di bidang manajemen dan pemasaran. Dua tahun di lab sudah cukup memberiku pemahaman tentang produk kita.""Kau adalah salah satu peneliti paling berbakat dalam tim MX series," Dr. Hendrik bersandar di kursinya, melepas kacamata. "Keputusan ini akan menghambat karirmu.""Atau justru mempercepa
Dengan tangan sedikit gemetar, Damian membawa album foto ke kamarnya. Ia mengunci pintu, tidak ingin terganggu oleh siapapun, bahkan Kirana. Duduk di tepi tempat tidur, ia menarik napas dalam sebelum membuka cover navy blue album tersebut.Halaman pertama menampilkan tulisan tangan yang rapi:"Untuk Damian, cinta dan sahabat terbaikku. Tiga tahun yang mengubah hidupku. Tiga tahun penuh tawa, air mata, dan cinta yang terus bertumbuh. Ini kisah kita, dan masih banyak halaman kosong untuk diisi bersama. Selamanya. — Eliza."Tanggal di sudut halaman menunjukkan bahwa album ini diberikan hanya dua minggu sebelum kecelakaannya.Damian membalik ke halaman berikutnya dan menemukan foto pertama—dirinya dan Eliza di Kafe Enigma, Eliza tampak malu dengan noda kopi di kemejanya, sementara Damian tertawa. Di bawahnya tertulis: "Pertemuan pertama. Noda kopi dan permintaan maaf yang mengubah segalanya."Halaman demi halaman berisi kenangan yang tidak bi
Kafe Enigma terletak di sudut jalan yang tenang di kawasan Kemang, jauh dari kantor-kantor di area bisnis Jakarta. Damian tiba lima belas menit lebih awal, memilih meja di sudut yang tersembunyi namun memberinya pandangan jelas ke pintu masuk dan jalan di luar.Ia telah mengambil beberapa langkah pencegahan—menggunakan taksi biasa alih-alih mobil pribadinya, mengenakan pakaian kasual dan topi, serta meninggalkan ponsel utamanya di rumah, hanya membawa ponsel cadangan yang baru diaktifkan.Tepat pukul 7, Eliza memasuki kafe. Meski Damian tidak sepenuhnya mengingatnya, ada perasaan familiar yang hangat saat melihatnya—rambut hitam panjang yang tergerai, mata cokelat yang ekspresif, dan postur yang anggun namun sedikit tegang. Dia mengenakan jeans dan kemeja putih sederhana, jauh berbeda dari gambaran "perempuan matre" yang dijelaskan Vianna."Damian," Eliza tersenyum ragu saat menghampiri mejanya. "Terima kasih sudah m
"Halo? Damian?" suara Eliza terdengar tidak percaya di ujung sambungan."Eliza," Damian menjawab, suaranya lebih lembut dari yang ia perkirakan. "Aku... aku perlu bicara denganmu.""Apa kau..." Eliza terdengar ragu, "...kau mengingatku?""Tidak sepenuhnya," jawab Damian jujur. "Tapi aku baru saja mengalami semacam kilasan ingatan. Tentang kita, berlari di bawah hujan."Jeda sejenak. "Menuju studio lukis," Eliza melanjutkan dengan suara bergetar. "Kau datang memperingatkanku tentang badai, dan aku terpeleset.""Kau ingat," gumam Damian, merasa aneh menemukan konfirmasi atas memori yang bahkan tidak sepenuhnya ia yakini nyata. "Eliza, apa yang sebenarnya terjadi? Antara kita, kecelakaanku, Vi
Hujan masih turun deras ketika mobil Damian memasuki pekarangan mansion. Meski Vianna menawarkan untuk menginap di mansionnya, Damian dengan halus menolak, beralasan perlu menyiapkan presentasi untuk besok pagi. Kenyataannya, ia membutuhkan ruang untuk berpikir tanpa pengaruh siapapun."Kita bertemu besok di kantor?" tanya Vianna, masih duduk di mobil."Tentu," jawab Damian. "Terima kasih untuk makan malamnya."Begitu mobil Vianna menghilang di balik gerbang, Damian merasakan kelegaan aneh. Ia berdiri sejenak di teras, memandangi taman yang basah oleh hujan."Tuan mau saya siapkan teh hangat?" tanya Kirana, kepala pelayan yang sudah melayani keluarga Lesmana selama dua dekade."Terima kasih
Restaurant Skye di lantai 56 sebuah gedung pencakar langit menawarkan pemandangan Jakarta yang memukau. Cahaya lampu kota berpendar di bawah, sementara langit malam masih diselimuti mendung. Damian Lesmana duduk di meja dekat jendela, berhadapan dengan Vianna Darmawan yang mengenakan gaun hitam elegan. Malam ini adalah makan malam perayaan keberhasilan penyelamatan saham LTI dari jatuh lebih dalam."Mengesankan bagaimana kau bisa meyakinkan para investor hanya dalam tiga hari," puji Vianna, mengangkat gelasnya. "Kurasa insting bisnismu tetap tajam meski ingatanmu tidak."Damian tersenyum tipis. "Sebuah perusahaan adalah seperti tubuh. Bahkan jika kau lupa namanya, kau masih bisa merasakan bagaimana ia bekerja."Mereka bersulang, namun Damian tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menggan