"Amnesia retrograde total akibat trauma kepala yang parah."
Dr. Adrian Wijaya meletakkan hasil scan otak Damian di meja, memastikan cahaya dari negatoskop menerangi area yang ia tunjuk. Ruangan konsultasi itu sunyi, hanya terdengar deru halus dari pendingin udara. Damian duduk di kursi roda—sesuatu yang ia tolak keras namun dipaksa oleh protokol rumah sakit—sementara Rafi Pratama berdiri di belakangnya, wajahnya menunjukkan keprihatinan.
"Kerusakan terjadi di area hippocampus dan lobus temporal, bagian otak yang berperan kunci dalam pembentukan dan penyimpanan memori jangka panjang," lanjut Dr. Adrian. "Benturan yang kau alami saat kecelakaan pesawat cukup parah, Damian."
Damian menatap hasil scan dengan dahi berkerut. Baru kemarin ia terbangun dari koma dua minggu, dan sekarang ia harus menerima kenyataan bahwa tiga tahun terakhir dari hidupnya lenyap tanpa bekas.
"Bisakah kau jelaskan secara spesifik apa itu amnesia retrograde?" tanya Damian, ingin memahami kondisinya dengan jelas.
"Amnesia retrograde adalah ketidakmampuan untuk mengakses ingatan yang terbentuk sebelum kejadian traumatis," jawab Dr. Adrian. "Dalam kasusmu, trauma kepala telah menghapus tiga tahun terakhir dari ingatanmu. Kau masih mengingat siapa dirimu, keterampilan yang kau miliki, dan pengetahuan faktual, tapi ingatan episodik—pengalaman personal dan peristiwa yang kau alami selama tiga tahun terakhir—tidak bisa diakses."
Rafi Pratama, sahabat Damian sejak Harvard dan wakil direktur LTI, bergeser gelisah. Ia tiba satu jam yang lalu, segera setelah menerima panggilan dari perawat. Pertemuan mereka dipenuhi campuran kelegaan dan kebingungan. Damian masih mengenali Rafi, tapi ingatan terakhirnya tentang sahabatnya itu adalah dari 2020, saat mereka merencanakan ekspansi Lesmana Tech Innovations (LTI) ke Asia Tenggara.
"Dari sudut pandang medis, ini adalah kasus klasik," lanjut Dr. Adrian. "Tapi setiap pasien berbeda dalam hal pemulihan."
"Jadi, apa prognosisnya?" tanya Damian, suaranya tegang. "Apa ingatanku akan kembali?"
Dr. Adrian duduk di hadapan Damian, tatapannya langsung dan jujur. "Aku tidak bisa memberikan jaminan, Damian. Dalam kasus amnesia retrograde akibat trauma, sekitar 80-90% pasien mendapatkan kembali sebagian besar ingatan mereka dalam kurun waktu enam bulan hingga dua tahun."
"Sebagian besar? Jadi tidak semuanya?" Damian menekankan.
"Benar. Mungkin ada beberapa ingatan yang tidak akan kembali. Otak manusia sangat kompleks, dan proses penyembuhan tidak selalu sempurna."
Damian mengepalkan tangannya, mencoba mengontrol emosi yang berkecamuk. Dia sudah cukup terkejut mendengar dari Rafi tentang semua yang terjadi selama tiga tahun terakhir—ekspansi LTI ke Singapura dan Vietnam, peluncuran HomeSense yang sukses besar, dan tentu saja, pertunangannya dengan Eliza Valentina, seorang desainer grafis yang bahkan wajahnya tidak ia kenali.
"LTI adalah perusahaan teknologi yang kau dirikan setelah kematian orangtuamu," Rafi menjelaskan dengan lembut, menyadari kebingungan di wajah Damian. "Kita mengembangkannya dari perusahaan teknologi skala menengah menjadi konglomerat multinasional dalam lima tahun terakhir. HomeSense, sistem rumah pintar terintegrasi, adalah produk unggulan kita yang mendominasi pasar Asia Tenggara."
Damian mengangguk perlahan. Dia ingat mendirikan LTI dan visinya untuk teknologi rumah pintar, tapi semua perkembangan berikutnya terasa seperti cerita tentang orang lain.
"Yang membuatku bingung," kata Damian, "adalah bagaimana mungkin aku bisa lupa segalanya? Seluruh tiga tahun, tanpa sisa?"
"Benturan parah pada bagian kepala tertentu bisa menyebabkan hal ini," jelas Dr. Adrian. "Kejadian traumatis kadang menjadi semacam 'garis pemisah' dalam memori. Segala sesuatu sebelum tanggal kecelakaan pesawat masih bisa kau ingat, tapi tidak setelahnya."
"Dan wanita itu... Eliza," Damian mengucapkan namanya dengan ragu, "dia benar-benar tunanganku?"
Rafi menghela napas. "Ya, Dam. Kalian bertemu sekitar tiga tahun lalu di Kafe Enigma, saat dia tidak sengaja menumpahkan kopi ke kemejamu. Kau melamarnya enam bulan lalu di restoran Altitude. Aku ada di sana, menyaksikan semuanya."
Damian mengusap wajahnya, frustasi. "Bagaimana mungkin aku bertunangan dengan seseorang yang bahkan tidak kukenali sekarang?"
"Eliza mengubahmu, Dam," kata Rafi dengan senyum kecil. "Kau tetap CEO yang brilian, tapi bersamanya, kau lebih bahagia, lebih seimbang. Tidak lagi workaholic yang tidur di kantor lima malam seminggu."
Dr. Adrian berdeham, mengembalikan fokus pembicaraan. "Ada beberapa pendekatan terapi yang bisa kita coba untuk membantu pemulihan ingatanmu. Terapi kognitif, paparan bertahap pada lingkungan dan orang-orang dari periode yang hilang, dan stimulasi dengan objek-objek yang memiliki nilai emosional."
"Seperti foto dan barang kenangan?" tanya Damian.
"Tepat. Itulah mengapa kehadiran orang-orang terdekatmu sangat penting dalam proses ini," Dr. Adrian melirik ke arah Rafi. "Mereka bisa membantu menghubungkan kembali neuron-neuron yang terputus dengan menyediakan konteks dan petunjuk emosional."
Saat mereka berbicara, ponsel Rafi bergetar. Dia melihat layarnya dan mengernyit.
"Eliza ada di luar," kata Rafi pelan. "Dia membawa beberapa dokumen dan foto yang mungkin bisa membantu, seperti yang disarankan Dr. Adrian."
Damian terdiam, konflik terpancar di wajahnya. Kemarin ia mengusir wanita itu dari kamarnya, menuduhnya sebagai penipu. Sekarang, setelah konfirmasi dari Rafi dan diagnosis medis yang jelas, ia mulai mempertimbangkan kemungkinan bahwa Eliza memang berkata jujur.
"Aku belum siap," kata Damian akhirnya. "Aku masih perlu waktu untuk mencerna semua ini."
Dr. Adrian mengangguk memahami. "Tidak perlu terburu-buru, Damian. Pemulihan adalah proses, bukan balapan."
"Tapi, Dam," Rafi menimpali dengan lembut, "Eliza membawa bukti-bukti yang mungkin bisa membantumu memahami apa yang terjadi selama tiga tahun terakhir. Bukti objektif, bukan hanya kata-katanya."
Damian menatap pintu ruangan, kemudian kembali pada hasil scan otaknya. Tiga tahun hilang. Sebuah pertunangan yang tak ia ingat. Dan sekarang, di luar sana, seorang wanita yang mengklaim sebagai pusat dari kehidupan barunya menunggu untuk memberikan bukti.
"Baiklah," kata Damian akhirnya, suaranya terdengar lelah namun tegas. "Biarkan dia masuk. Tapi aku ingin kalian berdua tetap di sini."
Rafi mengangguk dan mengirim pesan singkat. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka perlahan, dan Eliza melangkah masuk. Berbeda dengan hari sebelumnya, kali ini dia tampak lebih tenang dan terkontrol. Dia membawa tas berisi folder dan sebuah album tebal.
"Terima kasih sudah mengizinkanku masuk," kata Eliza dengan suara lembut namun tegas. "Aku tahu ini sulit, Damian. Tapi aku membawa sesuatu yang mungkin bisa membantumu memahami hubungan kita."
Eliza meletakkan album foto di meja, kemudian mengeluarkan beberapa dokumen dari tasnya. Di antaranya ada sertifikat pertunangan, foto-foto resmi acara lamaran, dan kontrak pembelian cincin berlian dari toko perhiasan ternama dengan tanda tangan Damian.
"Ini bukan untuk memaksamu mengingat," kata Eliza hati-hati, menyadari kecemasan di wajah Damian. "Tapi untuk memberimu bukti objektif bahwa apa yang kukatakan itu benar."
Damian meraih dokumen-dokumen itu dengan tangan sedikit gemetar. Itu memang tanda tangannya. Itu memang wajahnya di foto-foto tersebut, terlihat bahagia bersama wanita yang kini berdiri gugup di hadapannya.
Dr. Adrian dan Rafi bertukar pandang, menyadari bahwa ini adalah langkah pertama yang penting dalam perjalanan panjang pemulihan Damian.
Di luar ruangan konsultasi, seorang wanita dengan blazer rapi melintas di koridor, matanya sekilas menatap pintu ruangan sebelum berjalan menuju lift. Vianna Darmawan mengecek jam tangannya dan tersenyum tipis. Semuanya masih berjalan sesuai jadwal.
Album foto itu terbuka di pangkuan Damian, halaman pertamanya menampilkan foto yang membuat dadanya terasa sesak. Dirinya dan Eliza di Kafe Enigma, tempat yang selama ini jadi favoritnya untuk menikmati espresso sebelum meeting pagi. Dalam foto itu, mereka duduk di sudut jendela, Damian tertawa lepas—ekspresi yang jarang ia tunjukkan di depan umum—sementara Eliza menyandarkan kepalanya di bahu Damian, tersenyum ke arah kamera."Ini diambil sekitar dua bulan setelah kita bertemu," Eliza menjelaskan dengan suara tenang. "Rafi yang memotretnya. Kau selalu menyebut ini sebagai 'bukti bahwa kecelakaan bisa berubah menjadi keajaiban.'""Kecelakaan?" tanya Damian, masih menatap foto tersebut dengan dahi berkerut."Pertemuan kita," Eliza tersenyum kecil. "Aku menumpahkan kopi ke kemeja putihmu. Kemeja Brioni yang kau bilang adalah favoritmu."Rafi tertawa pelan. "Kau marah besar, Dam. Tapi kemudian Eliza menawarkan untuk membayar biaya dry cleaning dan mengajakmu minum kopi sebagai permintaan
Laboratorium rumah sakit hampir kosong pada pukul 11 malam ini. Hanya Dr. Adrian Wijaya yang masih membungkuk di atas mikroskop, jemarinya dengan teliti menggeser slide berisi sampel darah Damian. Kantong mata menghiasi wajahnya yang lelah, tapi tatapannya penuh konsentrasi. Ini adalah hari ketiga sejak Damian Lesmana sadar dari koma, dan sesuatu dalam hasil tesnya terus mengganggu Dr. Adrian."Lagi-lagi menjadi dokter detektif, Adrian?"Dr. Maya Suryadi, kepala departemen neurologi, tersenyum dari ambang pintu. Wanita berusia lima puluhan itu dikenal sebagai salah satu ahli neurologi terbaik di Asia Tenggara."Ada sesuatu yang salah pada sampel darah Damian," jawab Adrian tanpa mengalihkan tatapannya dari mikroskop. "Lihat ini."Dr. Maya mendekat, mengambil alih mikroskop. "Hmm. Sel darah merah dengan struktur membran yang tidak normal. Kau yakin ini bukan karena reaksi obat-obatan yang kita berikan selama dia koma?""Positif. Aku sudah memeriksa semua obat dalam protokol perawatanny
Gerbang besar mansion Lesmana terbuka perlahan, menyambut kedatangan Range Rover hitam yang membawa Damian pulang. Di balik kaca gelap, Damian menatap bangunan bergaya modern minimalis yang sudah tiga tahun tidak ia ingat. Bentuk fisik mansionnya tetap sama seperti dalam ingatannya, tapi entah kenapa terasa seperti milik orang lain."Selamat datang kembali, Tuan," sambut Kirana, kepala pelayan berusia lima puluhan yang telah mengabdi pada keluarga Lesmana selama lebih dari dua dekade. Wajahnya yang teduh memancarkan kegembiraan tulus melihat Damian kembali."Terima kasih, Kirana," Damian mengangguk, berusaha tersenyum. Setidaknya wanita ini masih sama seperti yang ia ingat—tidak ada perubahan signifikan selain beberapa kerutan baru dan rambut yang lebih banyak beruban.Eliza berjalan beberapa langkah di belakang Damian, memberikan ruang sembari mengawasi dengan cemas. Dia tahu betapa sulitnya situasi ini—kembali ke rumah yang tidak lagi terasa seperti rumah."Kau ingin langsung berist
Fajar baru saja menyingsing ketika Damian terbangun dengan napas terengah. Mimpi yang sama—serpihan memori tentang dirinya melukis, tangan Eliza menuntun tangannya. Kepalanya masih berdenyut, efek samping dari kilasan ingatan semalam.Ia menyibakkan selimut dan berjalan ke jendela. Dari kamarnya di lantai dua, ia bisa melihat guest house di kejauhan. Lampu di sana sudah menyala, menandakan Eliza sudah bangun. Pandangannya beralih ke bangunan kecil dengan dinding kaca di ujung taman—studio lukis yang kemarin menarik perhatiannya. Ia melihat sosok Eliza berjalan dari guest house menuju studio, membawa sesuatu yang tampak seperti termos.Sejak bangun, pikiran Damian terus kembali pada kilasan ingatan semalam. Ia tak pernah melukis. Namun kenapa ia bisa mengingat sensasi kuas di tangannya dengan begitu jelas? Tekstur cat, aroma turpentin, tawa lembut Eliza di telinganya... Sensasi-sensasi itu terasa nyata, meski ia yakin tak pernah mengalaminya.
Suara denting pecahan kaca memecah keheningan studio. Damian berdiri dengan napas memburu, tangan kanannya masih terkepal setelah menghantam bingkai lukisan di dinding. Serpihan kaca berserakan di lantai kayu, memantulkan cahaya pagi yang masuk melalui jendela tinggi studio."Semua ini bohong!" teriaknya, suaranya bergema di ruangan yang sekarang terasa terlalu sempit untuk menampung amarahnya.Eliza mundur perlahan, matanya melebar menyaksikan Damian yang baru saja menghancurkan salah satu lukisan favorit mereka—pemandangan danau dengan dua siluet berpelukan di atas perahu kecil."Damian, kumohon..." bisiknya, suaranya bergetar.Tapi Damian tidak mendengar. Atau lebih tepatnya, ia memilih untuk tidak mendengar. Pandangannya kini beralih ke lukisan "Memori yang Hilang" yang telah ia robek. Dengan langkah berat, ia mendekati tumpukan kanvas lain yang tersandar di dinding."Aku bukan kegelapan!" Damian mencengkeram tepi kanvas berikutnya. "Dan kau...
Matahari mulai condong ke barat ketika Eliza akhirnya meninggalkan studio. Setelah berjam-jam mengumpulkan serpihan lukisan dan merapikan kekacauan, wajahnya kini pucat dan kosong—seperti kanvas yang belum tersentuh kuas. Jejak air mata masih jelas terlihat, tapi ia sudah tidak mampu menangis lagi.Di tangannya tergenggam sebuah kotak kayu berukir, kotak yang biasa ia gunakan untuk menyimpan peralatan sketsanya yang paling berharga. Kini kotak itu berisi fragmen-fragmen lukisan yang bisa ia selamatkan—satu-satunya bukti fisik dari karya seninya yang telah hancur."Nona Eliza?" Kirana berdiri di pintu belakang mansion, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Tuan Damian mencari Anda."Eliza tersenyum lemah. "Dimana dia?""Di ruang kerjanya, dengan Tuan Rafi. Mereka sedang membahas sesuatu tentang perusahaan." Kirana mengamati keadaan Eliza dengan seksama. "Anda baik-baik saja, Nona? Mau saya buatkan teh?""Tidak perlu, Kirana. Terima kasih." Eliza mengg
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Eliza bangun dari tidur singkatnya. Lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan ia hampir tidak tidur semalaman. Dengan gerakan yang hampir otomatis, ia bersiap untuk hari yang ia tahu akan menjadi salah satu hari terberat dalam hidupnya.Meja kerjanya berantakan dengan sketsa desain yang belum selesai dan contoh font untuk proyek terbarunya—semua terlupakan di tengah kekacauan emosional. Dengan helaan napas berat, Eliza mengirim pesan singkat ke kliennya, meminta sedikit perpanjangan waktu. Biasanya ia tidak pernah terlambat menyelesaikan proyek, tapi kali ini situasinya berbeda.Kirana sudah aktif di dapur mansion ketika Eliza memasuki pintu belakang. Mata pelayan setia itu langsung menangkap ekspresi Eliza."Nona baik-baik saja?" tanyanya khawatir.Eliza mengangguk, mencoba tersenyum. "Apa Damian sudah bangun?""Belum, Nona. Masih sangat pagi," jawab Kirana, melirik jam dinding yang menunjukkan pu
Lalu lintas Jakarta siang itu terasa lebih padat dari biasanya. Dari jendela Mercedes hitam yang dikemudikan Rafi, Damian memandang ke luar dengan pikiran kosong. Cincin pertunangan Eliza aman tersimpan di laci meja kerjanya, tapi liontin matahari miliknya masih berada di saku Damian—sentuhan dingin logam yang entah kenapa memberikan ketenangan aneh."Kau yakin tentang ini, Dam?" tanya Rafi, memecah keheningan. "Bertemu Vianna di kantor?""Lebih baik di kantor," jawab Damian datar. "Tempat netral, banyak saksi."Rafi mengangguk setuju, tapi ekspresinya tetap cemas. "Aku sudah mengirimkan file-file tentang pemecatan Vianna ke emailmu. Mungkin sebaiknya kau membacanya sebelum bertemu dengannya.""Nanti," gumam Damian, tatapannya masih tertuju ke luar jendela. Pikirannya masih dipenuhi surat Eliza, kata-kata yang begitu tulus hingga terasa seperti pisau yang mengiris. Bagaimana mungkin ia melupakan seseorang yang begitu berarti?Mobil berbelok masuk k
Laboratorium GlobalPharm, 4 tahun lalu.Vianna Darmawan berdiri dengan punggung tegak di depan Direktur Penelitian, Dr. Hendrik Santoso. Ruangan kantor itu dingin, baik dari suhu AC maupun dari atmosfer pembicaraan yang sedang berlangsung. Cahaya dari jendela kaca besar menyorot wajah Vianna yang tenang, namun matanya menyimpan determinasi kuat."Jadi kau ingin pindah ke divisi eksekutif?" Dr. Hendrik mengangkat alisnya, menatap Vianna dengan skeptis. "Setelah semua investasi yang kami tanamkan untuk pelatihanmu di divisi neuropharmaceutical?""Dengan segala hormat, Dr. Hendrik," Vianna tersenyum profesional, merapikan blazernya, "bakatku lebih cocok di bidang manajemen dan pemasaran. Dua tahun di lab sudah cukup memberiku pemahaman tentang produk kita.""Kau adalah salah satu peneliti paling berbakat dalam tim MX series," Dr. Hendrik bersandar di kursinya, melepas kacamata. "Keputusan ini akan menghambat karirmu.""Atau justru mempercepa
Dengan tangan sedikit gemetar, Damian membawa album foto ke kamarnya. Ia mengunci pintu, tidak ingin terganggu oleh siapapun, bahkan Kirana. Duduk di tepi tempat tidur, ia menarik napas dalam sebelum membuka cover navy blue album tersebut.Halaman pertama menampilkan tulisan tangan yang rapi:"Untuk Damian, cinta dan sahabat terbaikku. Tiga tahun yang mengubah hidupku. Tiga tahun penuh tawa, air mata, dan cinta yang terus bertumbuh. Ini kisah kita, dan masih banyak halaman kosong untuk diisi bersama. Selamanya. — Eliza."Tanggal di sudut halaman menunjukkan bahwa album ini diberikan hanya dua minggu sebelum kecelakaannya.Damian membalik ke halaman berikutnya dan menemukan foto pertama—dirinya dan Eliza di Kafe Enigma, Eliza tampak malu dengan noda kopi di kemejanya, sementara Damian tertawa. Di bawahnya tertulis: "Pertemuan pertama. Noda kopi dan permintaan maaf yang mengubah segalanya."Halaman demi halaman berisi kenangan yang tidak bi
Kafe Enigma terletak di sudut jalan yang tenang di kawasan Kemang, jauh dari kantor-kantor di area bisnis Jakarta. Damian tiba lima belas menit lebih awal, memilih meja di sudut yang tersembunyi namun memberinya pandangan jelas ke pintu masuk dan jalan di luar.Ia telah mengambil beberapa langkah pencegahan—menggunakan taksi biasa alih-alih mobil pribadinya, mengenakan pakaian kasual dan topi, serta meninggalkan ponsel utamanya di rumah, hanya membawa ponsel cadangan yang baru diaktifkan.Tepat pukul 7, Eliza memasuki kafe. Meski Damian tidak sepenuhnya mengingatnya, ada perasaan familiar yang hangat saat melihatnya—rambut hitam panjang yang tergerai, mata cokelat yang ekspresif, dan postur yang anggun namun sedikit tegang. Dia mengenakan jeans dan kemeja putih sederhana, jauh berbeda dari gambaran "perempuan matre" yang dijelaskan Vianna."Damian," Eliza tersenyum ragu saat menghampiri mejanya. "Terima kasih sudah m
"Halo? Damian?" suara Eliza terdengar tidak percaya di ujung sambungan."Eliza," Damian menjawab, suaranya lebih lembut dari yang ia perkirakan. "Aku... aku perlu bicara denganmu.""Apa kau..." Eliza terdengar ragu, "...kau mengingatku?""Tidak sepenuhnya," jawab Damian jujur. "Tapi aku baru saja mengalami semacam kilasan ingatan. Tentang kita, berlari di bawah hujan."Jeda sejenak. "Menuju studio lukis," Eliza melanjutkan dengan suara bergetar. "Kau datang memperingatkanku tentang badai, dan aku terpeleset.""Kau ingat," gumam Damian, merasa aneh menemukan konfirmasi atas memori yang bahkan tidak sepenuhnya ia yakini nyata. "Eliza, apa yang sebenarnya terjadi? Antara kita, kecelakaanku, Vi
Hujan masih turun deras ketika mobil Damian memasuki pekarangan mansion. Meski Vianna menawarkan untuk menginap di mansionnya, Damian dengan halus menolak, beralasan perlu menyiapkan presentasi untuk besok pagi. Kenyataannya, ia membutuhkan ruang untuk berpikir tanpa pengaruh siapapun."Kita bertemu besok di kantor?" tanya Vianna, masih duduk di mobil."Tentu," jawab Damian. "Terima kasih untuk makan malamnya."Begitu mobil Vianna menghilang di balik gerbang, Damian merasakan kelegaan aneh. Ia berdiri sejenak di teras, memandangi taman yang basah oleh hujan."Tuan mau saya siapkan teh hangat?" tanya Kirana, kepala pelayan yang sudah melayani keluarga Lesmana selama dua dekade."Terima kasih
Restaurant Skye di lantai 56 sebuah gedung pencakar langit menawarkan pemandangan Jakarta yang memukau. Cahaya lampu kota berpendar di bawah, sementara langit malam masih diselimuti mendung. Damian Lesmana duduk di meja dekat jendela, berhadapan dengan Vianna Darmawan yang mengenakan gaun hitam elegan. Malam ini adalah makan malam perayaan keberhasilan penyelamatan saham LTI dari jatuh lebih dalam."Mengesankan bagaimana kau bisa meyakinkan para investor hanya dalam tiga hari," puji Vianna, mengangkat gelasnya. "Kurasa insting bisnismu tetap tajam meski ingatanmu tidak."Damian tersenyum tipis. "Sebuah perusahaan adalah seperti tubuh. Bahkan jika kau lupa namanya, kau masih bisa merasakan bagaimana ia bekerja."Mereka bersulang, namun Damian tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menggan
DS Gallery berdiri megah di kawasan elit Menteng, menempati bangunan kolonial yang direstorasi dengan sempurna. Fasadnya putih dengan aksen hitam, jendela-jendela tinggi bergaya art deco, dan taman kecil terawat di bagian depan. Eliza berdiri di depan pintu kaca besar, mengamati detail arsitektur sambil mengumpulkan keberanian.Setelah perdebatan panjang dengan Nadira pagi tadi, Eliza akhirnya datang sendirian. Bukan untuk menerima tawaran—setidaknya itulah yang ia terus katakan pada dirinya sendiri—tapi untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri."Kau benar-benar datang," suara Dani menyambutnya begitu ia melangkah ke dalam lobi. Pria itu mengenakan setelan abu-abu dengan dasi biru tua, terlihat jauh lebih dewasa dan sukses dari Dani yang Eliza kenal di masa kuliah."Aku penas
Eliza duduk meringkuk di tepi tempat tidur kamar tamu Nadira, mengenakan sweater abu-abu yang kebesaran. Di luar, hujan masih setia mengguyur Jakarta sejak tiga hari lalu. Ia menatap kosong pada portfolio yang terbuka di laptopnya—desain-desain yang dulu ia kerjakan dengan penuh semangat kini terasa tanpa makna."Masih belum ada inspirasi?" Nadira muncul di ambang pintu, membawa secangkir teh hangat.Eliza menggeleng lemah. "Aku bahkan tidak bisa menyelesaikan desain yang paling sederhana. Pikiranku terus... kembali padanya."Nadira duduk di sampingnya, menyodorkan teh yang diterima Eliza dengan tangan sedikit gemetar. "Sudah coba menghubunginya lagi?""Nomornya sudah diblokir," jawab Eliza, tersenyum getir. "Atau mungkin diganti. Ent
Ponsel Eliza masih berdering. Pesan Dr. Adrian menampilkan peringatan jelas, tapi juga instruksi untuk bersikap normal. Dengan tangan sedikit gemetar, Eliza menggeser tombol hijau dan mengaktifkan speaker."Jangan tutup teleponnya!" suara Dani terdengar mendesak, seolah membaca keraguan Eliza.Eliza menatap Nadira dengan was-was, pesan Dr. Adrian masih terbuka di layar tablet di sampingnya. "Apa maumu, Dani?" tanyanya, berusaha terdengar dingin namun tidak mencurigakan."Aku tahu kau sedang kesulitan setelah... yang terjadi dengan Damian," suara Dani terdengar prihatin, hampir terlalu sempurna untuk menjadi tulus. "Aku hanya ingin membantu.""Membantuku?" Eliza tertawa getir, tidak perlu berpura-pura untuk bagian ini. "Seperti kau 'membantu