"Amnesia retrograde total akibat trauma kepala yang parah."
Dr. Adrian Wijaya meletakkan hasil scan otak Damian di meja, memastikan cahaya dari negatoskop menerangi area yang ia tunjuk. Ruangan konsultasi itu sunyi, hanya terdengar deru halus dari pendingin udara. Damian duduk di kursi roda—sesuatu yang ia tolak keras namun dipaksa oleh protokol rumah sakit—sementara Rafi Pratama berdiri di belakangnya, wajahnya menunjukkan keprihatinan.
"Kerusakan terjadi di area hippocampus dan lobus temporal, bagian otak yang berperan kunci dalam pembentukan dan penyimpanan memori jangka panjang," lanjut Dr. Adrian. "Benturan yang kau alami saat kecelakaan pesawat cukup parah, Damian."
Damian menatap hasil scan dengan dahi berkerut. Baru kemarin ia terbangun dari koma dua minggu, dan sekarang ia harus menerima kenyataan bahwa tiga tahun terakhir dari hidupnya lenyap tanpa bekas.
"Bisakah kau jelaskan secara spesifik apa itu amnesia retrograde?" tanya Damian, ingin memahami kondisinya dengan jelas.
"Amnesia retrograde adalah ketidakmampuan untuk mengakses ingatan yang terbentuk sebelum kejadian traumatis," jawab Dr. Adrian. "Dalam kasusmu, trauma kepala telah menghapus tiga tahun terakhir dari ingatanmu. Kau masih mengingat siapa dirimu, keterampilan yang kau miliki, dan pengetahuan faktual, tapi ingatan episodik—pengalaman personal dan peristiwa yang kau alami selama tiga tahun terakhir—tidak bisa diakses."
Rafi Pratama, sahabat Damian sejak Harvard dan wakil direktur LTI, bergeser gelisah. Ia tiba satu jam yang lalu, segera setelah menerima panggilan dari perawat. Pertemuan mereka dipenuhi campuran kelegaan dan kebingungan. Damian masih mengenali Rafi, tapi ingatan terakhirnya tentang sahabatnya itu adalah dari 2020, saat mereka merencanakan ekspansi Lesmana Tech Innovations (LTI) ke Asia Tenggara.
"Dari sudut pandang medis, ini adalah kasus klasik," lanjut Dr. Adrian. "Tapi setiap pasien berbeda dalam hal pemulihan."
"Jadi, apa prognosisnya?" tanya Damian, suaranya tegang. "Apa ingatanku akan kembali?"
Dr. Adrian duduk di hadapan Damian, tatapannya langsung dan jujur. "Aku tidak bisa memberikan jaminan, Damian. Dalam kasus amnesia retrograde akibat trauma, sekitar 80-90% pasien mendapatkan kembali sebagian besar ingatan mereka dalam kurun waktu enam bulan hingga dua tahun."
"Sebagian besar? Jadi tidak semuanya?" Damian menekankan.
"Benar. Mungkin ada beberapa ingatan yang tidak akan kembali. Otak manusia sangat kompleks, dan proses penyembuhan tidak selalu sempurna."
Damian mengepalkan tangannya, mencoba mengontrol emosi yang berkecamuk. Dia sudah cukup terkejut mendengar dari Rafi tentang semua yang terjadi selama tiga tahun terakhir—ekspansi LTI ke Singapura dan Vietnam, peluncuran HomeSense yang sukses besar, dan tentu saja, pertunangannya dengan Eliza Valentina, seorang desainer grafis yang bahkan wajahnya tidak ia kenali.
"LTI adalah perusahaan teknologi yang kau dirikan setelah kematian orangtuamu," Rafi menjelaskan dengan lembut, menyadari kebingungan di wajah Damian. "Kita mengembangkannya dari perusahaan teknologi skala menengah menjadi konglomerat multinasional dalam lima tahun terakhir. HomeSense, sistem rumah pintar terintegrasi, adalah produk unggulan kita yang mendominasi pasar Asia Tenggara."
Damian mengangguk perlahan. Dia ingat mendirikan LTI dan visinya untuk teknologi rumah pintar, tapi semua perkembangan berikutnya terasa seperti cerita tentang orang lain.
"Yang membuatku bingung," kata Damian, "adalah bagaimana mungkin aku bisa lupa segalanya? Seluruh tiga tahun, tanpa sisa?"
"Benturan parah pada bagian kepala tertentu bisa menyebabkan hal ini," jelas Dr. Adrian. "Kejadian traumatis kadang menjadi semacam 'garis pemisah' dalam memori. Segala sesuatu sebelum tanggal kecelakaan pesawat masih bisa kau ingat, tapi tidak setelahnya."
"Dan wanita itu... Eliza," Damian mengucapkan namanya dengan ragu, "dia benar-benar tunanganku?"
Rafi menghela napas. "Ya, Dam. Kalian bertemu sekitar tiga tahun lalu di Kafe Enigma, saat dia tidak sengaja menumpahkan kopi ke kemejamu. Kau melamarnya enam bulan lalu di restoran Altitude. Aku ada di sana, menyaksikan semuanya."
Damian mengusap wajahnya, frustasi. "Bagaimana mungkin aku bertunangan dengan seseorang yang bahkan tidak kukenali sekarang?"
"Eliza mengubahmu, Dam," kata Rafi dengan senyum kecil. "Kau tetap CEO yang brilian, tapi bersamanya, kau lebih bahagia, lebih seimbang. Tidak lagi workaholic yang tidur di kantor lima malam seminggu."
Dr. Adrian berdeham, mengembalikan fokus pembicaraan. "Ada beberapa pendekatan terapi yang bisa kita coba untuk membantu pemulihan ingatanmu. Terapi kognitif, paparan bertahap pada lingkungan dan orang-orang dari periode yang hilang, dan stimulasi dengan objek-objek yang memiliki nilai emosional."
"Seperti foto dan barang kenangan?" tanya Damian.
"Tepat. Itulah mengapa kehadiran orang-orang terdekatmu sangat penting dalam proses ini," Dr. Adrian melirik ke arah Rafi. "Mereka bisa membantu menghubungkan kembali neuron-neuron yang terputus dengan menyediakan konteks dan petunjuk emosional."
Saat mereka berbicara, ponsel Rafi bergetar. Dia melihat layarnya dan mengernyit.
"Eliza ada di luar," kata Rafi pelan. "Dia membawa beberapa dokumen dan foto yang mungkin bisa membantu, seperti yang disarankan Dr. Adrian."
Damian terdiam, konflik terpancar di wajahnya. Kemarin ia mengusir wanita itu dari kamarnya, menuduhnya sebagai penipu. Sekarang, setelah konfirmasi dari Rafi dan diagnosis medis yang jelas, ia mulai mempertimbangkan kemungkinan bahwa Eliza memang berkata jujur.
"Aku belum siap," kata Damian akhirnya. "Aku masih perlu waktu untuk mencerna semua ini."
Dr. Adrian mengangguk memahami. "Tidak perlu terburu-buru, Damian. Pemulihan adalah proses, bukan balapan."
"Tapi, Dam," Rafi menimpali dengan lembut, "Eliza membawa bukti-bukti yang mungkin bisa membantumu memahami apa yang terjadi selama tiga tahun terakhir. Bukti objektif, bukan hanya kata-katanya."
Damian menatap pintu ruangan, kemudian kembali pada hasil scan otaknya. Tiga tahun hilang. Sebuah pertunangan yang tak ia ingat. Dan sekarang, di luar sana, seorang wanita yang mengklaim sebagai pusat dari kehidupan barunya menunggu untuk memberikan bukti.
"Baiklah," kata Damian akhirnya, suaranya terdengar lelah namun tegas. "Biarkan dia masuk. Tapi aku ingin kalian berdua tetap di sini."
Rafi mengangguk dan mengirim pesan singkat. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka perlahan, dan Eliza melangkah masuk. Berbeda dengan hari sebelumnya, kali ini dia tampak lebih tenang dan terkontrol. Dia membawa tas berisi folder dan sebuah album tebal.
"Terima kasih sudah mengizinkanku masuk," kata Eliza dengan suara lembut namun tegas. "Aku tahu ini sulit, Damian. Tapi aku membawa sesuatu yang mungkin bisa membantumu memahami hubungan kita."
Eliza meletakkan album foto di meja, kemudian mengeluarkan beberapa dokumen dari tasnya. Di antaranya ada sertifikat pertunangan, foto-foto resmi acara lamaran, dan kontrak pembelian cincin berlian dari toko perhiasan ternama dengan tanda tangan Damian.
"Ini bukan untuk memaksamu mengingat," kata Eliza hati-hati, menyadari kecemasan di wajah Damian. "Tapi untuk memberimu bukti objektif bahwa apa yang kukatakan itu benar."
Damian meraih dokumen-dokumen itu dengan tangan sedikit gemetar. Itu memang tanda tangannya. Itu memang wajahnya di foto-foto tersebut, terlihat bahagia bersama wanita yang kini berdiri gugup di hadapannya.
Dr. Adrian dan Rafi bertukar pandang, menyadari bahwa ini adalah langkah pertama yang penting dalam perjalanan panjang pemulihan Damian.
Di luar ruangan konsultasi, seorang wanita dengan blazer rapi melintas di koridor, matanya sekilas menatap pintu ruangan sebelum berjalan menuju lift. Vianna Darmawan mengecek jam tangannya dan tersenyum tipis. Semuanya masih berjalan sesuai jadwal.
Laboratorium GlobalPharm, 4 tahun lalu.Vianna Darmawan berdiri dengan punggung tegak di depan Direktur Penelitian, Dr. Hendrik Santoso. Ruangan kantor itu dingin, baik dari suhu AC maupun dari atmosfer pembicaraan yang sedang berlangsung. Cahaya dari jendela kaca besar menyorot wajah Vianna yang tenang, namun matanya menyimpan determinasi kuat."Jadi kau ingin pindah ke divisi eksekutif?" Dr. Hendrik mengangkat alisnya, menatap Vianna dengan skeptis. "Setelah semua investasi yang kami tanamkan untuk pelatihanmu di divisi neuropharmaceutical?""Dengan segala hormat, Dr. Hendrik," Vianna tersenyum profesional, merapikan blazernya, "bakatku lebih cocok di bidang manajemen dan pemasaran. Dua tahun di lab sudah cukup memberiku pemahaman tentang produk kita.""Kau adalah salah satu peneliti paling berbakat dalam tim MX series," Dr. Hendrik bersandar di kursinya, melepas kacamata. "Keputusan ini akan menghambat karirmu.""Atau justru mempercepa
Dengan tangan sedikit gemetar, Damian membawa album foto ke kamarnya. Ia mengunci pintu, tidak ingin terganggu oleh siapapun, bahkan Kirana. Duduk di tepi tempat tidur, ia menarik napas dalam sebelum membuka cover navy blue album tersebut.Halaman pertama menampilkan tulisan tangan yang rapi:"Untuk Damian, cinta dan sahabat terbaikku. Tiga tahun yang mengubah hidupku. Tiga tahun penuh tawa, air mata, dan cinta yang terus bertumbuh. Ini kisah kita, dan masih banyak halaman kosong untuk diisi bersama. Selamanya. — Eliza."Tanggal di sudut halaman menunjukkan bahwa album ini diberikan hanya dua minggu sebelum kecelakaannya.Damian membalik ke halaman berikutnya dan menemukan foto pertama—dirinya dan Eliza di Kafe Enigma, Eliza tampak malu dengan noda kopi di kemejanya, sementara Damian tertawa. Di bawahnya tertulis: "Pertemuan pertama. Noda kopi dan permintaan maaf yang mengubah segalanya."Halaman demi halaman berisi kenangan yang tidak bi
Kafe Enigma terletak di sudut jalan yang tenang di kawasan Kemang, jauh dari kantor-kantor di area bisnis Jakarta. Damian tiba lima belas menit lebih awal, memilih meja di sudut yang tersembunyi namun memberinya pandangan jelas ke pintu masuk dan jalan di luar.Ia telah mengambil beberapa langkah pencegahan—menggunakan taksi biasa alih-alih mobil pribadinya, mengenakan pakaian kasual dan topi, serta meninggalkan ponsel utamanya di rumah, hanya membawa ponsel cadangan yang baru diaktifkan.Tepat pukul 7, Eliza memasuki kafe. Meski Damian tidak sepenuhnya mengingatnya, ada perasaan familiar yang hangat saat melihatnya—rambut hitam panjang yang tergerai, mata cokelat yang ekspresif, dan postur yang anggun namun sedikit tegang. Dia mengenakan jeans dan kemeja putih sederhana, jauh berbeda dari gambaran "perempuan matre" yang dijelaskan Vianna."Damian," Eliza tersenyum ragu saat menghampiri mejanya. "Terima kasih sudah m
"Halo? Damian?" suara Eliza terdengar tidak percaya di ujung sambungan."Eliza," Damian menjawab, suaranya lebih lembut dari yang ia perkirakan. "Aku... aku perlu bicara denganmu.""Apa kau..." Eliza terdengar ragu, "...kau mengingatku?""Tidak sepenuhnya," jawab Damian jujur. "Tapi aku baru saja mengalami semacam kilasan ingatan. Tentang kita, berlari di bawah hujan."Jeda sejenak. "Menuju studio lukis," Eliza melanjutkan dengan suara bergetar. "Kau datang memperingatkanku tentang badai, dan aku terpeleset.""Kau ingat," gumam Damian, merasa aneh menemukan konfirmasi atas memori yang bahkan tidak sepenuhnya ia yakini nyata. "Eliza, apa yang sebenarnya terjadi? Antara kita, kecelakaanku, Vi
Hujan masih turun deras ketika mobil Damian memasuki pekarangan mansion. Meski Vianna menawarkan untuk menginap di mansionnya, Damian dengan halus menolak, beralasan perlu menyiapkan presentasi untuk besok pagi. Kenyataannya, ia membutuhkan ruang untuk berpikir tanpa pengaruh siapapun."Kita bertemu besok di kantor?" tanya Vianna, masih duduk di mobil."Tentu," jawab Damian. "Terima kasih untuk makan malamnya."Begitu mobil Vianna menghilang di balik gerbang, Damian merasakan kelegaan aneh. Ia berdiri sejenak di teras, memandangi taman yang basah oleh hujan."Tuan mau saya siapkan teh hangat?" tanya Kirana, kepala pelayan yang sudah melayani keluarga Lesmana selama dua dekade."Terima kasih
Restaurant Skye di lantai 56 sebuah gedung pencakar langit menawarkan pemandangan Jakarta yang memukau. Cahaya lampu kota berpendar di bawah, sementara langit malam masih diselimuti mendung. Damian Lesmana duduk di meja dekat jendela, berhadapan dengan Vianna Darmawan yang mengenakan gaun hitam elegan. Malam ini adalah makan malam perayaan keberhasilan penyelamatan saham LTI dari jatuh lebih dalam."Mengesankan bagaimana kau bisa meyakinkan para investor hanya dalam tiga hari," puji Vianna, mengangkat gelasnya. "Kurasa insting bisnismu tetap tajam meski ingatanmu tidak."Damian tersenyum tipis. "Sebuah perusahaan adalah seperti tubuh. Bahkan jika kau lupa namanya, kau masih bisa merasakan bagaimana ia bekerja."Mereka bersulang, namun Damian tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menggan