Home / Romansa / CEO Baru Itu Mantan Rivalku / Sebelum Kau Terlalu Jauh

Share

Sebelum Kau Terlalu Jauh

Author: Moon_L03
last update Last Updated: 2025-04-26 19:36:12

Langit malam kota Seoul memantulkan ribuan cahaya neon di atas jalanan basah. Seon Woo membuka pintu bar mewah di lantai tertinggi sebuah hotel elit. Musik jazz lembut mengalun, memenuhi ruangan yang dipenuhi tamu bersuit rapi, duduk santai di sofa kulit mahal.

Ia memilih meja di pojok, memesan satu gelas whiskey terbaik tanpa banyak bicara.

Tak lama kemudian, Shin Hyuk muncul, mengenakan setelan santai namun tetap berkelas. Ia menurunkan kacamata hitamnya sambil berjalan mendekat.

"Oh, pangeran murung sudah datang lebih dulu ternyata," ledek pria itu sambil menjatuhkan diri ke kursi di seberangnya.

Seon Woo hanya mendengus. "Lambat."

"Aku harus parkir. Hidupku lebih susah daripada CEO penuh masalah sepertimu," sahut Shin Hyuk santai.

Namanya Shin Hyuk, teman dekat Seon Woo sekaligus partner dalam bisnis kecil yang mereka rintis bersama di luar Cheonghwa.

"Oke. Sekarang keluarkan semua amarahmu sebelum kau meledak dan membuat semua orang di sini trauma."

"Aku tidak ingin bicara," ucap Seon Woo tanpa menoleh. "Hanya butuh teman minum."

Shin Hyuk meliriknya dari ujung mata, lalu melambaikan tangan ke bartender. "Satu gelas kosong tambahan untuk meja penuh luka batin ini, ya."

Ia menatap Seon Woo lama. "Kamu pikir aku nggak tahu? Ekspresimu itu… sudah seperti detector krisis."

Seon Woo tetap diam.

"Woo-ya, c'mon. Kita sudah berteman sejak kau pindah kampus. Aku bisa bedakan ekspresi 'aku capek' dan 'aku ingin meledakkan seseorang dengan tatapan'.” Shin Hyuk menyender santai. “Dan sekarang, jelas-jelas yang kedua."

Seon Woo mendesah pelan, jari-jarinya menggenggam gelas seolah menahan amarah. "Han Ji An."

Shin Hyuk mengangkat tinggi alisnya. "Ah. Musuh legendaris muncul lagi."

Seon Woo menahan diri untuk tidak menghela napas lagi, tapi Shin Hyuk tak pernah menyerah.

"Oke, dia membakar kantor? Atau menghina dasi sutramu di depan semua staf?"

"Dia menggali sesuatu. Sesuatu yang berbahaya," gumam Seon Woo akhirnya. "Dia pikir ini tugas biasa. Tapi aku tahu, ini jauh dari itu."

Shin Hyuk menyilangkan tangan, kini benar-benar mendengarkan. Meski, sudut bibirnya masih mengulas senyum tipis.

"Dengar. Kau terlalu mengenalnya, dan aku terlalu mengenalmu. Kita tahu ini bukan cuma soal pekerjaan."

Seon Woo menatap kosong ke gelasnya. Lalu, tanpa melihat, ia bergumam, "Aku tidak mau dia terluka."

Shin Hyuk tersenyum tipis, lalu menuangkan whiskey ke gelas kosong yang baru saja datang.

"Begini," katanya ringan. "Ada dua pilihan."

Seon Woo mendengus. "Kau mulai lagi."

"Tentu saja. Ini bagian favoritku." Ia mengangkat satu jari. "Satu, tarik dia keluar dari masalah. Secara paksa. Gendong dia keluar dari ruangan kalau perlu. Pakai otoritas CEO-mu. Buat drama Korea itu nyata!"

Seon Woo menggeleng.

"Atau," lanjut Shin Hyuk, "nikahi dia. Supaya kau bisa bilang, ‘Maaf, istriku terlalu cantik untuk stres soal laporan keuangan.’"

Seon Woo melempar tatapan dingin, lalu menenggak minuman dalam sekali tegak.

"Lebih baik kau diam," ketusnya.

"Kenapa? Ideku kurang jenius?" cecar Shin Hyuk, suaranya melengking sampai Seon Woo mengernyit.

"Kelihatannya opsi satu lebih masuk akal," gumam Seon Woo datar. "Walaupun sama-sama konyol."

"Tapi opsi dua lebih seru," sahut Shin Hyuk cepat.

Seon Woo memejamkan mata sejenak, mencoba menahan rasa frustasi yang bercampur geli. Shin Hyuk memang idiot kadang-kadang.

Mereka terdiam sesaat, menikmati minuman dan musik jazz yang mengalun lembut di latar. Hingga Shin Hyuk kembali bicara.

"Atau…," katanya sambil mencondongkan badan.

Seon Woo melirik malas.

"Ini serius. Coba buat dia sibuk."

"Sibuk?"

Shin Hyuk mengangguk yakin. "Beri dia proyek padat. Sesuatu yang aman, menantang, dan yang membuat dia nggak punya waktu untuk mencari masalah. Kalau dia terlalu sibuk, dia nggak akan sempat menyinggung bahaya."

Seon Woo terdiam. Tangannya berhenti memutar gelas.

"Ini masuk akal," desak Shin Hyuk lembut.

Dan untuk pertama kalinya malam itu, Seon Woo tampak benar-benar mempertimbangkannya.

"Kau benar," katanya akhirnya, suara pelan.

Shin Hyuk tersenyum puas. "Akhirnya, seseorang mendengarkan suara kebijaksanaan."

"Tapi kalau ini gagal," lanjut Seon Woo dingin, "Aku akan pastikan semua orang tahu itu idemu."

Shin Hyuk mengangkat gelas. "Tulis saja: Shin Hyuk sang Visioner."

Seon Woo menahan senyum tipis.

Han Ji An…

Aku akan membuatmu terlalu sibuk untuk mencari masalah.

Atau… terlalu sibuk sampai aku sendiri takut kehilangan kendali.

---

Beberapa saat kemudian, Shin Hyuk pamit ke kamar mandi, meninggalkan Seon Woo sendirian dengan pikirannya.

Suasana bar yang remang-remang, dentingan gelas, dan rasa panas dari whiskey perlahan menariknya ke dalam kenangan.

Dulu, sebelum masuk dunia perkuliahan, Seon Woo tidak pernah peduli pada orang lain. Hidupnya hanya soal persaingan. Menang. Menjadi yang terbaik.

Sampai Han Ji An datang — gadis keras kepala yang berani menantangnya di tengah kelas, ketika semua orang lain memilih diam.

"Park Seon Woo, jawabanmu salah besar," kata Ji An waktu itu, dengan mata menyala-nyala. "Kau pikir kau jenius, tapi bahkan tidak membaca lampiran ketiga!"

Seon Woo masih ingat rasa panas di wajahnya. Rasa malu. Rasa yang asing... tapi membekas.

Sejak saat itu, ia mulai memperhatikan Ji An lebih.

Mereka bertengkar di kelas, di perpustakaan, di kafe kampus — adu argumen tanpa akhir. Tapi dari semua itu, lahir sesuatu yang lebih dari sekadar persaingan.

Sebuah ketertarikan yang bahkan Seon Woo sendiri terlalu bodoh untuk menyadarinya saat itu.

Tapi sebelum semuanya bisa berkembang... ia pergi.

Sebuah panggilan darurat dari keluarganya mengubah segalanya. Ia menghilang tanpa perpisahan. Tanpa penjelasan.

Malam itu, sambil menatap kosong ke gelasnya, Seon Woo tahu:

Han Ji An mungkin sudah melupakannya.

Tapi dirinya—belum pernah sekalipun berhenti mengingat.

Atau berhenti peduli.

---

Shin Hyuk kembali dengan ekspresi riang, seolah mereka baru saja membahas cuaca.

"Jadi, kapan rencana penculikan dimulai?" canda pria itu.

Seon Woo mengangkat gelas kosongnya, menatap Shin Hyuk sejenak, lalu meletakkannya kembali dengan suara ringan di atas meja.

"Aku lebih memilih menghadapi sidang pemegang saham… daripada menghadapi Han Ji An dalam mode pemberontak," desisnya.

Shin Hyuk terkekeh. "Yah, setidaknya sidang nggak akan melempar sepatumu."

Seon Woo menutup matanya sejenak, menarik napas dalam.

Satu hal yang pasti…

Mulai besok, ia harus menemukan cara untuk membuat Han Ji An terlalu sibuk untuk mencari masalah.

Kalau tidak…

Mungkin dia sendiri yang akan benar-benar kehilangan akal.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CEO Baru Itu Mantan Rivalku   Kamu Tidak Bisa Larang Aku Lagi!

    [Rumah Keluarga Ji An – Pukul 06.12]Langit masih gelap. Embun masih bergelayut di jendela ketika Ji An mendorong pintu rumah, tubuhnya lunglai dan mata nyaris tak terbuka sempurna. Ia bahkan belum sempat mengganti baju kantor sejak malam tadi. Lelahnya bukan cuma karena jam kerja, tapi karena hidup yang tak pernah memberi jeda.Begitu masuk, aroma bubuk kopi menyambut, disusul suara lembut yang terlalu manis untuk pagi hari.“Ji An-ah, kamu sudah pulang? Ayo sarapan dulu sebentar.”Ibunya berdiri di dapur, mengenakan apron motif bunga yang sudah mulai lusuh. Di meja makan, ada dua piring nasi, dan satu kursi kosong yang sudah disiapkan untuknya.Ji An, masih setengah sadar, mengangguk kecil. “Nanti, Bu. Aku ganti baju dulu...”“Nggak usah lama-lama. Ibu cuma mau bicara sebentar kok.”Nada suara ibunya terlalu halus. Terlalu terencana. Ji An merasakannya langsung.Ia mendesah pelan, lalu duduk perlahan di kursi. Matanya menyapu ruangan. Adiknya belum bangun, dan ayahnya belum pulang d

  • CEO Baru Itu Mantan Rivalku   Kebenaran Yang Tak Diinginkan

    "Han Ji An-ssi. Apa yang kamu lakukan?"Suara itu membuat Ji An tersentak.Ia menoleh cepat. Di belakangnya berdiri Kang Seo Jun, dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana dan ekspresi bingung namun serius di wajahnya.“Han Ji An?”Suaranya tenang, tapi ada tekanan yang membuat bulu kuduk Ji An meremang.Ji An mematung. “Seo Jun sunbae... ini...”Seo Jun melangkah mendekat. Tatapannya tertuju pada layar yang masih terbuka, menampilkan email dengan subjek:[URGENT] Konfirmasi Transfer (Opsional)Beberapa detik mereka hanya terdiam. Lalu Seo Jun bertanya, suaranya rendah dan nyaris seperti bisikan, “Kamu dapat email ini dari mana?”Tidak ada gunanya berbohong. Yang bisa Ji An lakukan hanyalah jujur.“Aku... lihat ada transaksi mencurigakan. Aku cocokkan datanya, lalu tembus ke folder backup. Sistem audit server simpan salinan semua transaksi besar di atas seratus juta, kan?”“Kamu tahu folder itu seharusnya tidak diakses sembarangan?” Nada suara Seo Jun makin berat. “Apalagi oleh st

  • CEO Baru Itu Mantan Rivalku   Akses Terlarang

    [Ruang Rapat CEO]Langit gelap menekan jendela kaca kantor saat suara ketukan pelan terdengar di pintu ruangannya.Seon Woo menoleh dari layar laptopnya, ekspresinya datar seperti biasa. “Masuk.”Pintu terbuka. Sekretarisnya masuk lebih dulu, lalu diikuti empat orang penting dari struktur perusahaan: Kepala Divisi Legal, HR, Operasional, dan Audit.Tanpa banyak basa-basi, mereka langsung menempati kursi masing-masing di meja rapat kaca panjang. Wajah-wajah mereka tegang, tanpa senyum basa-basi yang biasanya menyertai pertemuan formal.Seon Woo duduk tenang di ujung meja, tangan kanan melipat di depan dada, mata mengamati satu per satu. “Kelihatan seperti kalian menemukan mayat di laci akuntan,” gumamnya ringan, tapi dengan nada tajam.Kepala Audit, Pak Jang, membuka rapat lebih dulu. Suaranya kaku.“Kami menemukan indikasi penyisipan transaksi fiktif selama dua bulan terakhir. Jumlahnya tidak kecil, dan dilakukan lewat vendor yang tidak terdaftar secara resmi di sistem.”“Nama vendor?

  • CEO Baru Itu Mantan Rivalku   Kantor yang Menyimpan Mayat

    Ji An keluar dari ruang CEO dengan langkah cepat dan kepala tertunduk. Wajahnya menegang, rahangnya terkunci, dan napasnya sedikit tersengal—bukan karena lelah, tapi karena emosi yang membuncah tanpa jalan keluar.Kesal. Malu. Dan bodoh.Itu tiga kata yang paling tepat untuk menggambarkan dirinya saat ini.Ia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan—sikap Seon Woo yang dingin seolah tidak pernah terjadi apa-apa, atau kenyataan bahwa ia masih berharap pria itu akan menunjukkan sedikit saja kepedulian. Sedikit saja.Ia membanting tubuhnya ke kursi, membiarkan punggungnya menyentuh sandaran dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Beberapa rekan kerja di seberangnya sempat melirik, tapi tak ada yang berani menyapa. Aura Ji An terlalu panas pagi ini.Belum lima detik ia mencoba menenangkan diri, suara hak sepatu yang familiar terdengar mendekat.“Ji An-ah.”Ia mendongak cepat dan mendapati Min Ji berdiri di sisi mejanya, membawa map biru dan ekspresi lelah akibat lembur semalam.“Ada dokume

  • CEO Baru Itu Mantan Rivalku   Maaf yang Tak Datang / Dua Miliar yang Hilang

    Pagi itu, Ji An datang dengan kepala penuh amarah yang dibungkus rapi dalam senyum tipis dan ketukan ringan di pintu. Satu malam penuh ia berperang dengan pikirannya sendiri, mengulang setiap detik kebersamaannya dengan Seon Woo—mulai dari sundulan isengnya di rak es krim, kalimat ambigu sebelum tertidur, sampai... napas mereka yang terlalu dekat di ruang tamu.Ia sudah mempersiapkan beberapa kalimat pembuka: mungkin sedikit sarkasme, mungkin pertanyaan frontal, atau setidaknya satu tuntutan maaf.Tapi begitu pintu terbuka, semua yang ia siapkan langsung hancur.Seon Woo berdiri di depan mejanya sambil memeriksa dokumen, lengkap dengan ekspresi datarnya yang biasa. Seolah-olah malam kemarin tidak pernah ada.“Oh, Han Ji An-ssi,” ucapnya ringan. “Kamu datang tepat waktu. Aku mau bahas laporan transaksi bulan lalu. Duduklah.”Ji An mematung sejenak.Ia menatap Seon Woo dalam diam, menunggu kode—sekecil apa pun—bahwa pria itu akan menyebutkan sesuatu. Bahkan satu kalimat basa-basi pun ta

  • CEO Baru Itu Mantan Rivalku   CEO Yang Terbakar Api Sendiri

    Begitu suara pintu tertutup rapat, Seon Woo membuka sebelah matanya perlahan. Sunyi. Ia mengintip ke arah pintu, memastikan Ji An benar-benar pergi. Setelah yakin tidak ada suara langkah kaki atau napas penuh kekesalan dari arah dapur, ia menghela napas lega dan… duduk tegak. Tidak, ia tidak mabuk. Seon Woo menyandarkan punggungnya ke sofa, lalu memutar lehernya pelan. “Toleransi alkoholku masih oke, ternyata,” gumamnya lirih sambil memijat perutnya yang sedikit nyeri. “Tapi tendangannya juga masih tetap berbahaya. Apa dia latihan MMA sekarang?” Ia memicingkan mata ke arah gelas yang masih berisi setengah di meja. Sebenarnya, satu-satunya alasan ia bersikap seperti itu adalah karena… ia tidak sengaja mendengar Ji An dan Seo Jun merencanakan sesuatu di restoran. Pergi ke tempat baru, katanya. Naik mobil yang sama, katanya. Dan entah kenapa, Seon Woo merasa... tidak suka. Hanya sedikit. Sedikit banget. Bukan karena cemburu, tentu saja. Bukan karena takut kehilangan. Hanya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status