Telepon berdering saat Seon Woo baru saja menekan tombol enter terakhir di laptopnya.
Ia sempat mengabaikannya. Tapi nada dering itu tak berhenti. Dua kali. Tiga kali. Akhirnya ia menghela napas dan mengangkat tanpa melihat layar. “Apa?” “Sopan sedikit, Woo-ya. Kau bicara pada kakekmu,” jawab suara tua itu dari seberang, terdengar setengah tergesa, setengah senang. “Maaf. Aku sedang kerja.” “Bagus. Kau bisa sekalian bantu.” Seon Woo memijat pelipisnya. “Tolong jangan bilang aku harus datang ke kantor, Kek.” “Kau harus datang ke kantor. Ada dokumen penting yang tertinggal di ruanganku. Dokumen itu berada di atas meja kerjaku. Tolong antarkan ke ruang rapat lantai 15. Sekarang.” “Kek... bukankah sekretarismu bisa….,” belum sempat Seon Woo menyelesaikan ucapannya, sang kakek lebih dulu menyela. “Dia sedang menyiapkan materi tambahan. Lagipula, ini hanya lima belas menit dari tempatmu. Anggap saja olahraga ringan." Seon Woo mendongak ke langit-langit apartemennya, nyaris frustasi. “Kau sengaja menyuruhku datang sendiri, ya?” “Aku ingin kau tahu lebih banyak soal Cheonghwa. Bukan cuma dari cerita. Datanglah, Woo-ya. Anggap saja mampir.” Klik. Telepon ditutup tanpa kesempatan membantah. Tentu saja itu disengaja. Sepanjang perjalanan ke kantor Cheonghwa Group, Seon Woo hanya bisa menggeleng. Ia tahu betul gaya sang kakek, berpura-pura butuh bantuan kecil, padahal sedang menyusun rencana besar. Entah ini yang keberapa kalinya. Ia sampai lima belas menit kemudian, membawa map dokumen dalam tasnya. Sempat disambut resepsionis yang tampak kikuk mengenali wajahnya. Seon Woo menarik napas panjang begitu melangkah keluar dari lift. Seorang wanita paruh baya dengan setelan navy dan clipboard ditangan berdiri di depan ruang rapat. Rambutnya disanggul rapi, kacamata tipis bertengger di ujung hidungnya. Tatapannya tajam, tapi senyum yang muncul melihat Seon Woo mengandung keakraban. “Tumben, Tuan Park tanpa drama,” godanya ringan sambil melirik jam tangan. Seon Woo mengangkat alis, setengah malas, setengah geli. “Tumben juga kau enggak bawa sekeranjang dokumen buat ditandatangani kakek.” “Sudah saya letakkan tadi pagi. Beliau bilang kau akan datang….jadi kupikir sekalian saja bawa kopi susu favoritmu,” balas Sekretaris Choi, lalu menyodorkan kaleng kopi dingin dari tas kecilnya. Seon Woo menatapnya curiga. “Apa kau dan kakekku bersekongkol?” Sekretaris Choi terkekeh. “Bukan bersekongkol, hanya…tahu apa yang terbaik untukmu.” Ia lalu menerima map dari tangan Seon Woo dan memeriksanya cepat. “Ini sudah lengkap. Tapi Ketua ingin kamu sendiri yang menyerahkan ke dalam. Katanya, ‘Seon Woo harus lihat langsung suasana di medan perang.” Ia menirukan suara tua sang Ketua dengan gaya familiar. Seon Woo mendesah, tapi menerima kaleng kopi itu juga. “Its so crazy.” Sekretaris Choi memberi anggukan ke arah pintu. “Mereka lagi bahas keuangan. Kalau mau tahu, sekarang waktu yang tepat.” Seon Woo melangkah pelan. Tapi suara dari dalam mulai terdengar jelas sebelum ia mengetuk. “….laporan audit terakhir sangat janggal. Ada indikasi penyelewengan dana.” “Sistem internal kita lemah. Tak ada transparansi.” “Kita butuh orang luar system. Pegawai baru yang bersih. Sudah disetujui satu nama, Han Ji An.” Langkah Seon Woo terhenti. Suhu di koridor seketika turun beberapa derajat. Han Ji An? Ia berdiri diam, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Pasti cuma kebetulan. Nama itu umum di luaran sana. Seon Woo sempat menghela napas sebelum akhirnya mendorong pintu ruang rapat perlahan. Suasana dalam langsung menyambutnya, datar, serius, dan penuh ketegangan. Para eksekutif mengenakan setelan rapi, duduk melingkar di meja panjang. Kakeknya duduk ditengah, ekspresinya tak bisa dibaca. Di ujung ruangan, layar proyektor menampilkan grafik laporan audit keuangan yang penuh angka merah. “Ah, Seon Woo,” ujar Ketua Park saat menyadari kehadirannya. Nada suaranya ringan, tapi penuh makna. “Kau datang tepat waktu.” Semua kepala menoleh. Beberapa tampak terkejut, beberapa hanya sekilas memberi hormat. “Dokumennya,” kata Seon Woo singkat, menyerahkan map kepada kakeknya. Ketua Park menerima tanpa komentar, lalu menyelipkannya ke bawah berkas lain. Sebelum sempat berbalik, Seon Woo mendengar salah satu direktur berkata, “…sudah disiapkan satu nama pegawai baru yang belum terlibat system. Latar belakangnya bersih. Dengan nama Han Ji An.” Seon Woo menoleh sedikit, pandangannya menangkap wajah-wajah para petinggi itu, beberapa tampak ragu, beberapa mengangguk menyetujui. “Rekrutan baru itu akan jadi alat uji system. Kalau ada kebocoran lagi, kita bisa lacak dari jalur dia masuk,” ujar yang lain. Seon Woo berdiri diam di sisi pintu. Dalam hitungan detik, semua potongan kalimat tadi menyatu dalam pikirannya. Han Ji An. Pegawai baru. Jalur pelacak. Mata sang kakek meliriknya dari sudut ruangan , seolah tahu betul apa yang sedang dipikirkan cucunya. “Aku keluar dulu,” ujar Seon Woo datar, lalu membalikkan badan dan menutup pintu rapat perlahan. --- Langit siang itu terik, tapi suasana hatinya terang. Ji An melangkah keluar dari ruang wawancara dengan langkah ringan dan senyum puas di wajahnya. Tidak jauh darinya, Min Ji sudah menunggu di dekat lift, melambai semangat seperti biasa. “Bagaimana? Kamu berhasil bikin pewawancara itu jatuh cinta?” goda Min Ji sambil menyodorkan lengan untuk digandeng. “Cinta apanya. Aku cuma jawab pertanyaan, Min Ji-ya.” Ji An tertawa kecil. “Tapi... kayaknya lumayan lancar.” “Yaaaay! Ku panggil kamu sunbae mulai besok ya!” Mereka tertawa bersama, lalu memutuskan berhenti sejenak di lobi untuk membeli kopi dari kios kecil dekat dinding kaca. Sambil menunggu pesanan mereka diproses, Ji An memutar tubuh, pandangan matanya melayang ke sekitar, dan tiba-tiba terhenti. Langkahnya membeku. Di ujung ruangan, berdiri seseorang dengan wajah yang sangat ia kenal. Rambut hitamnya sedikit berantakan, wajahnya seperti biasa, dingin dan serius, dengan alis yang sedikit berkerut saat menatap ponsel di tangannya. Park Seon Woo. Seketika, tubuh Ji An bereaksi lebih cepat dari pikirannya. Ia meraih lengan Min Ji dan menariknya ke arah pot tanaman besar di sisi kanan ruangan. “Eh? Eh?! Kenapa kita sembunyi?!” bisik Min Ji cepat, kebingungan. “Diam, diam dulu,” bisik Ji An panik. “Siapa sih itu?” “Enggak tahu... Maksudku... ya tahu sih. Tapi…. ah, aku juga enggak tahu kenapa harus sembunyi!” “Maksud kamu apa sih?” Jantung Ji An berdegup cepat. Matanya hanya bisa menatap punggung tegap pria itu dari balik pot. Sudah lama sejak terakhir kali ia melihatnya. Terlalu lama. Ia tidak melakukan kesalahan. Tapi tetap saja, rasanya tak siap. Ia ingin berbalik, ingin lari, tapi kakinya menolak bergerak. Lalu tiba-tiba…. “Aaaaaaaa!” Min Ji berteriak. Seekor serangga besar. Entah dari mana datangnya, berkeliaran tepat di depan wajahnya. Min Ji melonjak panik, dan tanpa sadar mendorong tubuh Ji An yang sedang berjongkok. Dan dengan satu dorongan penuh tenaga... “Brukk—!” Ji An terlempar ke depan. Tepat. Di. Depan. Park Seon Woo. Waktu berhenti sejenak. Seon Woo menatapnya, dan Ji An mendongak dengan ekspresi yang tak kalah kaget. “…kau?” gumam Seon Woo. Sial. Lebih baik pingsan saja sekalian, pikir Ji An. ---[Rumah Keluarga Ji An – Pukul 06.12]Langit masih gelap. Embun masih bergelayut di jendela ketika Ji An mendorong pintu rumah, tubuhnya lunglai dan mata nyaris tak terbuka sempurna. Ia bahkan belum sempat mengganti baju kantor sejak malam tadi. Lelahnya bukan cuma karena jam kerja, tapi karena hidup yang tak pernah memberi jeda.Begitu masuk, aroma bubuk kopi menyambut, disusul suara lembut yang terlalu manis untuk pagi hari.“Ji An-ah, kamu sudah pulang? Ayo sarapan dulu sebentar.”Ibunya berdiri di dapur, mengenakan apron motif bunga yang sudah mulai lusuh. Di meja makan, ada dua piring nasi, dan satu kursi kosong yang sudah disiapkan untuknya.Ji An, masih setengah sadar, mengangguk kecil. “Nanti, Bu. Aku ganti baju dulu...”“Nggak usah lama-lama. Ibu cuma mau bicara sebentar kok.”Nada suara ibunya terlalu halus. Terlalu terencana. Ji An merasakannya langsung.Ia mendesah pelan, lalu duduk perlahan di kursi. Matanya menyapu ruangan. Adiknya belum bangun, dan ayahnya belum pulang d
"Han Ji An-ssi. Apa yang kamu lakukan?"Suara itu membuat Ji An tersentak.Ia menoleh cepat. Di belakangnya berdiri Kang Seo Jun, dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana dan ekspresi bingung namun serius di wajahnya.“Han Ji An?”Suaranya tenang, tapi ada tekanan yang membuat bulu kuduk Ji An meremang.Ji An mematung. “Seo Jun sunbae... ini...”Seo Jun melangkah mendekat. Tatapannya tertuju pada layar yang masih terbuka, menampilkan email dengan subjek:[URGENT] Konfirmasi Transfer (Opsional)Beberapa detik mereka hanya terdiam. Lalu Seo Jun bertanya, suaranya rendah dan nyaris seperti bisikan, “Kamu dapat email ini dari mana?”Tidak ada gunanya berbohong. Yang bisa Ji An lakukan hanyalah jujur.“Aku... lihat ada transaksi mencurigakan. Aku cocokkan datanya, lalu tembus ke folder backup. Sistem audit server simpan salinan semua transaksi besar di atas seratus juta, kan?”“Kamu tahu folder itu seharusnya tidak diakses sembarangan?” Nada suara Seo Jun makin berat. “Apalagi oleh st
[Ruang Rapat CEO]Langit gelap menekan jendela kaca kantor saat suara ketukan pelan terdengar di pintu ruangannya.Seon Woo menoleh dari layar laptopnya, ekspresinya datar seperti biasa. “Masuk.”Pintu terbuka. Sekretarisnya masuk lebih dulu, lalu diikuti empat orang penting dari struktur perusahaan: Kepala Divisi Legal, HR, Operasional, dan Audit.Tanpa banyak basa-basi, mereka langsung menempati kursi masing-masing di meja rapat kaca panjang. Wajah-wajah mereka tegang, tanpa senyum basa-basi yang biasanya menyertai pertemuan formal.Seon Woo duduk tenang di ujung meja, tangan kanan melipat di depan dada, mata mengamati satu per satu. “Kelihatan seperti kalian menemukan mayat di laci akuntan,” gumamnya ringan, tapi dengan nada tajam.Kepala Audit, Pak Jang, membuka rapat lebih dulu. Suaranya kaku.“Kami menemukan indikasi penyisipan transaksi fiktif selama dua bulan terakhir. Jumlahnya tidak kecil, dan dilakukan lewat vendor yang tidak terdaftar secara resmi di sistem.”“Nama vendor?
Ji An keluar dari ruang CEO dengan langkah cepat dan kepala tertunduk. Wajahnya menegang, rahangnya terkunci, dan napasnya sedikit tersengal—bukan karena lelah, tapi karena emosi yang membuncah tanpa jalan keluar.Kesal. Malu. Dan bodoh.Itu tiga kata yang paling tepat untuk menggambarkan dirinya saat ini.Ia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan—sikap Seon Woo yang dingin seolah tidak pernah terjadi apa-apa, atau kenyataan bahwa ia masih berharap pria itu akan menunjukkan sedikit saja kepedulian. Sedikit saja.Ia membanting tubuhnya ke kursi, membiarkan punggungnya menyentuh sandaran dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Beberapa rekan kerja di seberangnya sempat melirik, tapi tak ada yang berani menyapa. Aura Ji An terlalu panas pagi ini.Belum lima detik ia mencoba menenangkan diri, suara hak sepatu yang familiar terdengar mendekat.“Ji An-ah.”Ia mendongak cepat dan mendapati Min Ji berdiri di sisi mejanya, membawa map biru dan ekspresi lelah akibat lembur semalam.“Ada dokume
Pagi itu, Ji An datang dengan kepala penuh amarah yang dibungkus rapi dalam senyum tipis dan ketukan ringan di pintu. Satu malam penuh ia berperang dengan pikirannya sendiri, mengulang setiap detik kebersamaannya dengan Seon Woo—mulai dari sundulan isengnya di rak es krim, kalimat ambigu sebelum tertidur, sampai... napas mereka yang terlalu dekat di ruang tamu.Ia sudah mempersiapkan beberapa kalimat pembuka: mungkin sedikit sarkasme, mungkin pertanyaan frontal, atau setidaknya satu tuntutan maaf.Tapi begitu pintu terbuka, semua yang ia siapkan langsung hancur.Seon Woo berdiri di depan mejanya sambil memeriksa dokumen, lengkap dengan ekspresi datarnya yang biasa. Seolah-olah malam kemarin tidak pernah ada.“Oh, Han Ji An-ssi,” ucapnya ringan. “Kamu datang tepat waktu. Aku mau bahas laporan transaksi bulan lalu. Duduklah.”Ji An mematung sejenak.Ia menatap Seon Woo dalam diam, menunggu kode—sekecil apa pun—bahwa pria itu akan menyebutkan sesuatu. Bahkan satu kalimat basa-basi pun ta
Begitu suara pintu tertutup rapat, Seon Woo membuka sebelah matanya perlahan. Sunyi. Ia mengintip ke arah pintu, memastikan Ji An benar-benar pergi. Setelah yakin tidak ada suara langkah kaki atau napas penuh kekesalan dari arah dapur, ia menghela napas lega dan… duduk tegak. Tidak, ia tidak mabuk. Seon Woo menyandarkan punggungnya ke sofa, lalu memutar lehernya pelan. “Toleransi alkoholku masih oke, ternyata,” gumamnya lirih sambil memijat perutnya yang sedikit nyeri. “Tapi tendangannya juga masih tetap berbahaya. Apa dia latihan MMA sekarang?” Ia memicingkan mata ke arah gelas yang masih berisi setengah di meja. Sebenarnya, satu-satunya alasan ia bersikap seperti itu adalah karena… ia tidak sengaja mendengar Ji An dan Seo Jun merencanakan sesuatu di restoran. Pergi ke tempat baru, katanya. Naik mobil yang sama, katanya. Dan entah kenapa, Seon Woo merasa... tidak suka. Hanya sedikit. Sedikit banget. Bukan karena cemburu, tentu saja. Bukan karena takut kehilangan. Hanya