Tubuh Ji An membeku. Detik-detik terasa lambat ketika ia mendarat tepat di depan sepasang sepatu kulit hitam yang berdiri kaku di lantai lobi.
Sepatu itu milik seseorang yang tak asing. Seseorang yang tak pernah benar-benar hilang dari kepalanya, meski sudah bertahun-tahun berlalu. Park Seon Woo. Ji An tak langsung mendongak. Ia menatap ujung jas pria itu dengan napas tercekat, berusaha meyakinkan dirinya bahwa dunia tidak sekejam itu untuk mempertemukannya secepat ini. Tapi saat suara dingin dan datar itu terdengar, seluruh tubuhnya ikut bergetar. “Masih suka jatuh di tempat yang tidak tepat, Han Ji An?” Ia akhirnya mendongak. Pandangan mereka bertemu. Dan waktu tiba-tiba menariknya kembali ke hari itu, bertahun-tahun lalu. Ketika masa-masa ia berkuliah dan terlibat dengan Seon-Woo. “Siapa yang ngasih kamu ide absurd soal kebijakan fiskal itu?” Suara Seon Woo memotong diskusi kelas, membuat semua kepala menoleh. Termasuk Ji An yang berdiri dengan spidol di tangan, baru saja menyelesaikan presentasinya. “Kalau kamu ingin menjatuhkan sistem, mungkin kamu cocok jadi aktivis, bukan ekonom,” lanjutnya, nada tenangnya selalu berhasil membuat orang lain terlihat bodoh dan membuat dosen mengangguk. Tapi Ji An bukan tipe yang diam. Ia tersenyum kecil, lalu membalas dengan suara tajam, “Atau mungkin kamu terlalu takut berpikir di luar buku teks, Park Seon Woo.” Kelas mendadak hening. Lalu gemuruh tawa kecil terdengar dari beberapa mahasiswa. Sejak hari itu, nama mereka hampir selalu disebut berurutan. Lomba debat ekonomi kampus? Han Ji An vs Park Seon Woo. Presentasi kelompok? Mereka selalu minta dipisahkan. Bahkan dosen-dosen mengaku mereka seperti kutub berlawanan yang tak pernah bisa menyatu. Ji An mengingat bagaimana Seon Woo selalu tenang, tepat, dan nyaris sempurna. Tapi juga dingin dan tak pernah benar-benar membuka diri. Ia datang ke kelas, menyampaikan argumen logis yang tak terbantahkan, lalu pergi seperti bayangan. Sebaliknya, Ji An bicara dengan api. Emosional, berani, dan tak takut salah. Ia sering dianggap terlalu keras kepala, tapi juga terlalu jujur untuk pura-pura. Mereka berbeda. Tapi saling mendorong satu sama lain. Mereka musuh, tapi juga alasan satu sama lain berkembang. Sampai suatu hari, Seon Woo menghilang. Tepat sebelum kompetisi nasional debat ekonomi yang mereka nanti-nantikan. Tanpa penjelasan. Tanpa pamit. Dan Ji An kalah telak karena harus berdebat dengan pengganti dadakan. Sejak hari itu, ia menyimpan luka kecil dan amarah yang belum punya tempat untuk dikeluarkan. --- [Kembali ke Lobi Cheonghwa Group] “Park Seon Woo,” gumam Ji An akhirnya, suara yang ia coba buat tenang tapi terdengar retak. Seon Woo tidak membalas langsung. Ia hanya memandangi Ji An sejenak, seolah menimbang sesuatu. “Empat tahun, ya?” katanya pelan. “Kau masih dramatis seperti dulu.” Ji An berdiri cepat, membersihkan rok kerjanya sambil memaksakan senyum. “Dan kau masih menyebalkan seperti biasa.” Min Ji menatap keduanya bergantian, penuh rasa ingin tahu tapi cukup pintar untuk tidak ikut campur. Seon Woo menatap Ji An sebentar, lalu melangkah pergi tanpa penjelasan lebih lanjut. Seperti dulu. Dan Ji An kembali berdiri di tempatnya, dengan dada sesak yang anehnya… tidak berasal dari rasa malu karena jatuh di depan umum, tapi karena sesuatu yang lebih rumit. Lebih dalam. --- Langkahnya mantap, tapi pikirannya tidak. Hingga tanpa sadar ia berbalik, dan kembali menaiki lift. Park Seon Woo menekan tombol lift tanpa menoleh ke belakang. Matanya masih menyimpan bayangan gadis yang tadi terjatuh di depannya, seseorang yang seharusnya tidak ada di sini. Seseorang yang tidak ia sangka akan kembali masuk ke dalam hidupnya. Han Ji An. Sebuah nama yang selama ini ia abaikan di ruang rapat tadi, kini menggema begitu keras di kepalanya. Ia masuk ke lift dan berdiri dalam diam. Punggungnya bersandar pada dinding logam dingin, dan jari-jarinya mengepal pelan. Ji An masih sama. Tatapannya masih menyala. Dan senyumnya… masih bisa membuatnya kesal tanpa sebab. Ia menghela napas panjang. ‘Kenapa dia harus jadi bagian dari ini semua?’ Padahal ia sudah memutuskan untuk tidak ikut campur. Ia hanya diminta mengantar dokumen, lalu pulang. Tapi semuanya berubah sejak mendengar nama itu, dan kini….melihatnya langsung. ‘Apa dia tahu tentang rencana para direksi?’ Kemungkinan besar tidak. Wajah Ji An tadi murni terkejut. Bahkan canggung. Itu bukan ekspresi orang yang sedang bermain dalam skenario jebakan. Seon Woo menatap pantulan dirinya di cermin lift. Ekspresi datar seperti biasa, tapi dadanya terasa berat. Ia bukan orang yang percaya takdir, tapi pertemuan barusan terlalu kebetulan untuk diabaikan. ‘Kalau dia benar-benar dijadikan umpan…’ Pintu lift terbuka. Ia keluar dengan langkah lebih cepat dari biasanya. Sekretaris kakeknya menghampiri, hendak memberikan laporan, tapi Seon Woo hanya mengangkat tangan. “Nanti. Kirim saja lewat email." Ia perlu waktu sendiri. Ia masuk ke ruangan rapat kosong di lantai atas, ruangan yang biasanya hanya digunakan oleh direktur utama. Di dalamnya, hanya ada satu meja panjang, kursi besar, dan rak buku berisi dokumen penting perusahaan. Ia berdiri di depan jendela besar, menatap pemandangan kota. ‘Aku tidak bisa membiarkannya terlibat.’ Kata-kata itu muncul begitu saja. Bukan karena dia masih peduli. Bukan karena perasaan yang dulu pernah ada, kalau memang itu pernah benar-benar ada. Tapi karena Ji An bukan orang yang pantas dijadikan pion. Apalagi oleh orang-orang seperti mereka. ‘Kalau aku harus jadi CEO untuk menghentikan ini, maka…’ Ponselnya bergetar. Pesan dari sekretaris kakeknya. ‘Ketua Direktur menanyakan keputusan Anda terkait tawaran jabatan CEO. Para direksi sedang menunggu jawaban.’ Seon Woo menutup pesan itu. Lalu, tanpa ragu, ia mengangkat telepon. Suaranya datar, tapi mantap. “Beri tahu mereka. Aku akan ambil posisi itu.” ---Langkahnya terdengar mantap di atas lantai marmer putih mengilap lobi Cheonghwa Group. Gedung pencakar langit itu menjulang angkuh di tengah kota, tapi pagi ini, Han Ji An merasa ia mampu menyainginya, setidaknya untuk beberapa jam ke depan.Dengan blazer abu muda, kemeja putih bersih, dan sepatu hitam yang sedikit menyakiti tumitnya, Ji An menarik napas dalam. "Mulai hari ini, aku bukan pengangguran lagi," bisiknya pelan pada diri sendiri.Masih ada sepuluh menit sebelum waktu briefing pertamanya.Belum sempat ia mengambil langkah lagi, suara familiar memanggilnya dari samping.“Ji An!”Min Ji datang sambil menggenggam dua cangkir kopi dan sandwich segitiga yang dibungkus rapi. Dengan senyum lebarnya dan poni yang sedikit berantakan karena angin, gadis itu nyaris terlihat seperti sambutan resmi perusahaan.“Akhirnya resmi jadi pegawai Cheonghwa! Gimana perasaanmu?”“Campur aduk,” Ji An tergelak, mencoba meredakan gugup di dadanya. “Excited, gugup, takut nyasar ke toilet direksi.”Min
Dari lantai tertinggi Cheonghwa Group, kota Seoul terlihat seperti papan catur raksasa. Jalan-jalan menjadi garis, gedung-gedung jadi bidak. Dan manusia? Mereka pion. Bergerak sesuai aturan, tunduk pada tangan yang mengatur permainan.Seon Woo menyukai ketinggian. Ia bisa melihat semuanya dari atas. Jauh dari kebisingan, jauh dari distraksi. Tapi hari ini, satu pion tertentu menarik perhatiannya.Han Ji An.Nama itu muncul dalam berkas yang ia buka beberapa hari lalu. Awalnya ia mengabaikannya. Nama seperti ribuan lainnya. Tapi begitu melihat wajah di berkas perekrutan, semuanya berubah.Waktu tidak banyak mengubah Ji An. Masih punya tatapan yang sama, keras kepala, menantang, dan menyebalkan. Tapi sekarang… ia terlihat lebih dewasa. Lebih tajam. Lebih... rapuh.Dan hari ini, saat matanya secara tidak sengaja bertemu milik Ji An di antara kerumunan staf, Seon Woo tahu satu hal:Dinding antara masa lalu dan masa kini telah runtuh.Ia meletakkan cangkir kopinya. Berdiri. Jarinya menyent
Dari balik layar kaca ruangannya, Seon Woo memperhatikan interaksi itu.Lee Seo Jun.Namanya tidak asing. Nama yang ada pada daftar karyawan Divisi Akutansi yang ia pantau malam itu. Lulusan Magna Cumlaude dari Universitas Keuangan, Direkrut langsung oleh Cheonghwa tiga tahun lalu. Pintar, karir yang melonjak sukses, dan yang paling penting adalah…terlalu ramah untuk ukuran orang yang bekerja di dunia yang penuh angka dingin.Seon Woo menyipitkan mata saat melihat Ji An tertawa.Tertawa.Sudah berapa lama sejak ia melihat gadis itu tertawa seperti itu?Terlalu lama.Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia tahu itu tidak penting. Itu bukan urusannya. Tapi tetap saja, ada sesuatu dalam sorot mata Seo Jun yang membuat darahnya naik beberapa derajat.Bukan karena pria itu salah.Tapi karena Ji An tersenyum seperti tak ada apa-apa.Padahal ia sedang berada dalam bahaya.Dan sialnya… satu-satunya orang yang tahu sejauh mana bahaya itu….adalah dirinya.Seon Woo menghela napas, panjang dan be
Langit malam kota Seoul memantulkan ribuan cahaya neon di atas jalanan basah. Seon Woo membuka pintu bar mewah di lantai tertinggi sebuah hotel elit. Musik jazz lembut mengalun, memenuhi ruangan yang dipenuhi tamu bersuit rapi, duduk santai di sofa kulit mahal.Ia memilih meja di pojok, memesan satu gelas whiskey terbaik tanpa banyak bicara.Tak lama kemudian, Shin Hyuk muncul, mengenakan setelan santai namun tetap berkelas. Ia menurunkan kacamata hitamnya sambil berjalan mendekat."Oh, pangeran murung sudah datang lebih dulu ternyata," ledek pria itu sambil menjatuhkan diri ke kursi di seberangnya.Seon Woo hanya mendengus. "Lambat.""Aku harus parkir. Hidupku lebih susah daripada CEO penuh masalah sepertimu," sahut Shin Hyuk santai.Namanya Shin Hyuk, teman dekat Seon Woo sekaligus partner dalam bisnis kecil yang mereka rintis bersama di luar Cheonghwa."Oke. Sekarang keluarkan semua amarahmu sebelum kau meledak dan membuat semua orang di sini trauma.""Aku tidak ingin bicara," ucap
Han Ji An terbangun dengan sentakan keras, hampir menjatuhkan pulpen yang masih tergenggam di tangannya.Beberapa kepala menoleh ke arahnya, termasuk Min Ji di seberang meja yang menatap dengan tatapan ‘Kamu serius tidur di kantor?’.Ji An hanya bisa nyengir kaku, berusaha memperbaiki posisi duduk sambil berpura-pura membaca laporan di depannya. Padahal, detak jantungnnya masih berdebar kencang.Bukan karena malu, meskipun, ya, itu juga faktor besar…tapi juga karena mimpi aneh yang baru saja mengusirnya dari dunia mimpi.Ia bermimpi…Tentang pertengkaran paling konyol dengan Park Seon Woo.“Apa kamu buta huruf? Lampiran ketiga, Park Seon Woo! Ketiga!”“Kalau kau mau sok pintar, setidaknya baca soal lengkap dulu, Han Ji An!”Suara mereka masih terngiang di telinga, adu argument sengit di depan kelas, tatapan saling membunuh… lalu, anehnya, di dalam mimpi itu, Seon Woo tiba-tiba memegang wajahnya dan..-Ji An langsung mengibas-ngibaskan pipinya sendiri untuk mengusir bayangan aneh itu.
Ji An membuka pintu rumah dengan langkah pelan. Sepatunya ia lepas dengan satu tendangan lelah. Aroma makanan menyambut dari dapur, membuat perutnya berontak. Meski tubuhnya lunglai setelah diperbudak habis-habisan sepanjang hari, dan belum sempat untuk makan dengan benar, ia sempatkan untuk pulang tanpa membawa beban bagi orang rumah.“Aku pulang,” ucapnya sambil menatap ruang tengah yag penuh cahaya hangat.Ibunya muncul dari dapur sambil membawa mangkuk. “Pas banget! Makan malam baru siap nih. Cuci tangan dulu ya, Ji An.”Di meja makan, sang ayah tengah menuangkan sup, sementara adknya duduk dengan nyaman, menggulir layar ponsel seperti biasa.Ji An duduk di ujung meja setelah mencuci tangan. Tak lama, mereka mulai makan dalam suasana yang cukup tenang.“Gimana kerjaan hari ini?” tanya ayahnya sambil menyendok nasi.“Lumayan. Banyak yang dipelajari, tapi sejauh ini bisa ku ikuti kok.”“Bagus kalau gitu. Memang anak Ayah, cepat tanggap,” puji ayahnya sambil tertawa kecil.Ji An hany
Han Ji An dan Min Ji baru keluar dari bus. Keduanya memang sepakat untuk berangkat bersama, karena rumah Ji An dengan Min Ji satu jalur."Min Ji, kau yakin tahan nggak minum kopi pagi-pagi gini?" Ji An menunjuk ke arah kedai kopi kecil yang ada di pojokan jalan, tak jauh dari gedung tempat mereka bekerja.Min Ji mengangkat alis. “Oke, kamu menang. Satu kopi, tapi jangan sampai kita telat.”Mereka pun berjalan masuk ke dalam kedai, aroma kopi langsung menyambut mereka. Saat Ji An berdiri di antrean, suara tak asing tiba-tiba terdengar dari belakangnya.“Eh? Han Ji An? Serius ini kamu?”Ji An menoleh. Seorang perempuan dengan blazer abu dan gaya rambut terikat rapi berdiri di belakangnya, ekspresi antusias seperti baru menemukan harta karun.“Yoon So Ri?”So Ri tertawa kecil sambil menyambar pelukan singkat. “Wah, kamu sekarang makin kelihatan... dewasa, ya.”Ji An hanya tersenyum, agak kaku. “Kamu juga. Sekarang kerja di mana?”“Masih di dunia PR, ngurus klien drama Korea yang tingkahn
Jam dinding berdetak lambat. Di luar, suara mobil yang melintas di jalan utama terdengar sayup melewati jendela kecil kamar Ji An. Di dalam ruangan sempit berukuran tak lebih dari dua belas meter persegi itu, seorang perempuan duduk bersandar di kursi rotan yang mulai reot. Pakaian rumahnya lusuh, rambutnya dicepol asal, dan wajahnya tampak lelah. Namun, matanya penuh tekad saat menatap layar laptop yang mulai memanas di pangkuannya.Nama lengkapnya, Han Ji An! Tertulis rapi di sudut kiri atas dokumen yang sedang ia susun.Lamaran kerja.Tangannya berhenti sejenak di atas keyboard. Ia menarik napas panjang, lalu melirik ke arah kalender tempel di dinding. Tanggal 27. Sudah hampir sebulan sejak dia keluar dari tempat kerja sebelumnya, dan tiga minggu sejak ia memutuskan untuk berhenti menggantungkan harapan pada siapa pun, termasuk orang tuanya.Notifikasi dari ponsel mengalihkan pikirannya. Pesan dari Min Ji.‘Kau lihat pengumuman lowongan di Cheonghwa Group? Divisi keuangan akhirnya
Han Ji An dan Min Ji baru keluar dari bus. Keduanya memang sepakat untuk berangkat bersama, karena rumah Ji An dengan Min Ji satu jalur."Min Ji, kau yakin tahan nggak minum kopi pagi-pagi gini?" Ji An menunjuk ke arah kedai kopi kecil yang ada di pojokan jalan, tak jauh dari gedung tempat mereka bekerja.Min Ji mengangkat alis. “Oke, kamu menang. Satu kopi, tapi jangan sampai kita telat.”Mereka pun berjalan masuk ke dalam kedai, aroma kopi langsung menyambut mereka. Saat Ji An berdiri di antrean, suara tak asing tiba-tiba terdengar dari belakangnya.“Eh? Han Ji An? Serius ini kamu?”Ji An menoleh. Seorang perempuan dengan blazer abu dan gaya rambut terikat rapi berdiri di belakangnya, ekspresi antusias seperti baru menemukan harta karun.“Yoon So Ri?”So Ri tertawa kecil sambil menyambar pelukan singkat. “Wah, kamu sekarang makin kelihatan... dewasa, ya.”Ji An hanya tersenyum, agak kaku. “Kamu juga. Sekarang kerja di mana?”“Masih di dunia PR, ngurus klien drama Korea yang tingkahn
Ji An membuka pintu rumah dengan langkah pelan. Sepatunya ia lepas dengan satu tendangan lelah. Aroma makanan menyambut dari dapur, membuat perutnya berontak. Meski tubuhnya lunglai setelah diperbudak habis-habisan sepanjang hari, dan belum sempat untuk makan dengan benar, ia sempatkan untuk pulang tanpa membawa beban bagi orang rumah.“Aku pulang,” ucapnya sambil menatap ruang tengah yag penuh cahaya hangat.Ibunya muncul dari dapur sambil membawa mangkuk. “Pas banget! Makan malam baru siap nih. Cuci tangan dulu ya, Ji An.”Di meja makan, sang ayah tengah menuangkan sup, sementara adknya duduk dengan nyaman, menggulir layar ponsel seperti biasa.Ji An duduk di ujung meja setelah mencuci tangan. Tak lama, mereka mulai makan dalam suasana yang cukup tenang.“Gimana kerjaan hari ini?” tanya ayahnya sambil menyendok nasi.“Lumayan. Banyak yang dipelajari, tapi sejauh ini bisa ku ikuti kok.”“Bagus kalau gitu. Memang anak Ayah, cepat tanggap,” puji ayahnya sambil tertawa kecil.Ji An hany
Han Ji An terbangun dengan sentakan keras, hampir menjatuhkan pulpen yang masih tergenggam di tangannya.Beberapa kepala menoleh ke arahnya, termasuk Min Ji di seberang meja yang menatap dengan tatapan ‘Kamu serius tidur di kantor?’.Ji An hanya bisa nyengir kaku, berusaha memperbaiki posisi duduk sambil berpura-pura membaca laporan di depannya. Padahal, detak jantungnnya masih berdebar kencang.Bukan karena malu, meskipun, ya, itu juga faktor besar…tapi juga karena mimpi aneh yang baru saja mengusirnya dari dunia mimpi.Ia bermimpi…Tentang pertengkaran paling konyol dengan Park Seon Woo.“Apa kamu buta huruf? Lampiran ketiga, Park Seon Woo! Ketiga!”“Kalau kau mau sok pintar, setidaknya baca soal lengkap dulu, Han Ji An!”Suara mereka masih terngiang di telinga, adu argument sengit di depan kelas, tatapan saling membunuh… lalu, anehnya, di dalam mimpi itu, Seon Woo tiba-tiba memegang wajahnya dan..-Ji An langsung mengibas-ngibaskan pipinya sendiri untuk mengusir bayangan aneh itu.
Langit malam kota Seoul memantulkan ribuan cahaya neon di atas jalanan basah. Seon Woo membuka pintu bar mewah di lantai tertinggi sebuah hotel elit. Musik jazz lembut mengalun, memenuhi ruangan yang dipenuhi tamu bersuit rapi, duduk santai di sofa kulit mahal.Ia memilih meja di pojok, memesan satu gelas whiskey terbaik tanpa banyak bicara.Tak lama kemudian, Shin Hyuk muncul, mengenakan setelan santai namun tetap berkelas. Ia menurunkan kacamata hitamnya sambil berjalan mendekat."Oh, pangeran murung sudah datang lebih dulu ternyata," ledek pria itu sambil menjatuhkan diri ke kursi di seberangnya.Seon Woo hanya mendengus. "Lambat.""Aku harus parkir. Hidupku lebih susah daripada CEO penuh masalah sepertimu," sahut Shin Hyuk santai.Namanya Shin Hyuk, teman dekat Seon Woo sekaligus partner dalam bisnis kecil yang mereka rintis bersama di luar Cheonghwa."Oke. Sekarang keluarkan semua amarahmu sebelum kau meledak dan membuat semua orang di sini trauma.""Aku tidak ingin bicara," ucap
Dari balik layar kaca ruangannya, Seon Woo memperhatikan interaksi itu.Lee Seo Jun.Namanya tidak asing. Nama yang ada pada daftar karyawan Divisi Akutansi yang ia pantau malam itu. Lulusan Magna Cumlaude dari Universitas Keuangan, Direkrut langsung oleh Cheonghwa tiga tahun lalu. Pintar, karir yang melonjak sukses, dan yang paling penting adalah…terlalu ramah untuk ukuran orang yang bekerja di dunia yang penuh angka dingin.Seon Woo menyipitkan mata saat melihat Ji An tertawa.Tertawa.Sudah berapa lama sejak ia melihat gadis itu tertawa seperti itu?Terlalu lama.Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia tahu itu tidak penting. Itu bukan urusannya. Tapi tetap saja, ada sesuatu dalam sorot mata Seo Jun yang membuat darahnya naik beberapa derajat.Bukan karena pria itu salah.Tapi karena Ji An tersenyum seperti tak ada apa-apa.Padahal ia sedang berada dalam bahaya.Dan sialnya… satu-satunya orang yang tahu sejauh mana bahaya itu….adalah dirinya.Seon Woo menghela napas, panjang dan be
Dari lantai tertinggi Cheonghwa Group, kota Seoul terlihat seperti papan catur raksasa. Jalan-jalan menjadi garis, gedung-gedung jadi bidak. Dan manusia? Mereka pion. Bergerak sesuai aturan, tunduk pada tangan yang mengatur permainan.Seon Woo menyukai ketinggian. Ia bisa melihat semuanya dari atas. Jauh dari kebisingan, jauh dari distraksi. Tapi hari ini, satu pion tertentu menarik perhatiannya.Han Ji An.Nama itu muncul dalam berkas yang ia buka beberapa hari lalu. Awalnya ia mengabaikannya. Nama seperti ribuan lainnya. Tapi begitu melihat wajah di berkas perekrutan, semuanya berubah.Waktu tidak banyak mengubah Ji An. Masih punya tatapan yang sama, keras kepala, menantang, dan menyebalkan. Tapi sekarang… ia terlihat lebih dewasa. Lebih tajam. Lebih... rapuh.Dan hari ini, saat matanya secara tidak sengaja bertemu milik Ji An di antara kerumunan staf, Seon Woo tahu satu hal:Dinding antara masa lalu dan masa kini telah runtuh.Ia meletakkan cangkir kopinya. Berdiri. Jarinya menyent
Langkahnya terdengar mantap di atas lantai marmer putih mengilap lobi Cheonghwa Group. Gedung pencakar langit itu menjulang angkuh di tengah kota, tapi pagi ini, Han Ji An merasa ia mampu menyainginya, setidaknya untuk beberapa jam ke depan.Dengan blazer abu muda, kemeja putih bersih, dan sepatu hitam yang sedikit menyakiti tumitnya, Ji An menarik napas dalam. "Mulai hari ini, aku bukan pengangguran lagi," bisiknya pelan pada diri sendiri.Masih ada sepuluh menit sebelum waktu briefing pertamanya.Belum sempat ia mengambil langkah lagi, suara familiar memanggilnya dari samping.“Ji An!”Min Ji datang sambil menggenggam dua cangkir kopi dan sandwich segitiga yang dibungkus rapi. Dengan senyum lebarnya dan poni yang sedikit berantakan karena angin, gadis itu nyaris terlihat seperti sambutan resmi perusahaan.“Akhirnya resmi jadi pegawai Cheonghwa! Gimana perasaanmu?”“Campur aduk,” Ji An tergelak, mencoba meredakan gugup di dadanya. “Excited, gugup, takut nyasar ke toilet direksi.”Min
Tubuh Ji An membeku. Detik-detik terasa lambat ketika ia mendarat tepat di depan sepasang sepatu kulit hitam yang berdiri kaku di lantai lobi.Sepatu itu milik seseorang yang tak asing.Seseorang yang tak pernah benar-benar hilang dari kepalanya, meski sudah bertahun-tahun berlalu.Park Seon Woo.Ji An tak langsung mendongak. Ia menatap ujung jas pria itu dengan napas tercekat, berusaha meyakinkan dirinya bahwa dunia tidak sekejam itu untuk mempertemukannya secepat ini. Tapi saat suara dingin dan datar itu terdengar, seluruh tubuhnya ikut bergetar.“Masih suka jatuh di tempat yang tidak tepat, Han Ji An?”Ia akhirnya mendongak. Pandangan mereka bertemu.Dan waktu tiba-tiba menariknya kembali ke hari itu, bertahun-tahun lalu. Ketika masa-masa ia berkuliah dan terlibat dengan Seon-Woo.“Siapa yang ngasih kamu ide absurd soal kebijakan fiskal itu?”Suara Seon Woo memotong diskusi kelas, membuat semua kepala menoleh. Termasuk Ji An yang berdiri dengan spidol di tangan, baru saja menyelesa
Telepon berdering saat Seon Woo baru saja menekan tombol enter terakhir di laptopnya.Ia sempat mengabaikannya. Tapi nada dering itu tak berhenti. Dua kali. Tiga kali. Akhirnya ia menghela napas dan mengangkat tanpa melihat layar.“Apa?”“Sopan sedikit, Woo-ya. Kau bicara pada kakekmu,” jawab suara tua itu dari seberang, terdengar setengah tergesa, setengah senang.“Maaf. Aku sedang kerja.”“Bagus. Kau bisa sekalian bantu.”Seon Woo memijat pelipisnya. “Tolong jangan bilang aku harus datang ke kantor, Kek.”“Kau harus datang ke kantor. Ada dokumen penting yang tertinggal di ruanganku. Dokumen itu berada di atas meja kerjaku. Tolong antarkan ke ruang rapat lantai 15. Sekarang.”“Kek... bukankah sekretarismu bisa….,” belum sempat Seon Woo menyelesaikan ucapannya, sang kakek lebih dulu menyela.“Dia sedang menyiapkan materi tambahan. Lagipula, ini hanya lima belas menit dari tempatmu. Anggap saja olahraga ringan."Seon Woo mendongak ke langit-langit apartemennya, nyaris frustasi. “Kau se