Home / Romansa / CEO Baru Itu Mantan Rivalku / Rival yang Tak Terlupakan

Share

Rival yang Tak Terlupakan

Author: Moon_L03
last update Last Updated: 2025-03-05 21:42:51

Tubuh Ji An membeku. Detik-detik terasa lambat ketika ia mendarat tepat di depan sepasang sepatu kulit hitam yang berdiri kaku di lantai lobi.

Sepatu itu milik seseorang yang tak asing.

Seseorang yang tak pernah benar-benar hilang dari kepalanya, meski sudah bertahun-tahun berlalu.

Park Seon Woo.

Ji An tak langsung mendongak. Ia menatap ujung jas pria itu dengan napas tercekat, berusaha meyakinkan dirinya bahwa dunia tidak sekejam itu untuk mempertemukannya secepat ini. Tapi saat suara dingin dan datar itu terdengar, seluruh tubuhnya ikut bergetar.

“Masih suka jatuh di tempat yang tidak tepat, Han Ji An?”

Ia akhirnya mendongak. Pandangan mereka bertemu.

Dan waktu tiba-tiba menariknya kembali ke hari itu, bertahun-tahun lalu. Ketika masa-masa ia berkuliah dan terlibat dengan Seon-Woo.

“Siapa yang ngasih kamu ide absurd soal kebijakan fiskal itu?”

Suara Seon Woo memotong diskusi kelas, membuat semua kepala menoleh. Termasuk Ji An yang berdiri dengan spidol di tangan, baru saja menyelesaikan presentasinya.

“Kalau kamu ingin menjatuhkan sistem, mungkin kamu cocok jadi aktivis, bukan ekonom,” lanjutnya, nada tenangnya selalu berhasil membuat orang lain terlihat bodoh dan membuat dosen mengangguk.

Tapi Ji An bukan tipe yang diam.

Ia tersenyum kecil, lalu membalas dengan suara tajam, “Atau mungkin kamu terlalu takut berpikir di luar buku teks, Park Seon Woo.”

Kelas mendadak hening. Lalu gemuruh tawa kecil terdengar dari beberapa mahasiswa.

Sejak hari itu, nama mereka hampir selalu disebut berurutan.

Lomba debat ekonomi kampus? Han Ji An vs Park Seon Woo.

Presentasi kelompok? Mereka selalu minta dipisahkan.

Bahkan dosen-dosen mengaku mereka seperti kutub berlawanan yang tak pernah bisa menyatu.

Ji An mengingat bagaimana Seon Woo selalu tenang, tepat, dan nyaris sempurna. Tapi juga dingin dan tak pernah benar-benar membuka diri. Ia datang ke kelas, menyampaikan argumen logis yang tak terbantahkan, lalu pergi seperti bayangan.

Sebaliknya, Ji An bicara dengan api. Emosional, berani, dan tak takut salah. Ia sering dianggap terlalu keras kepala, tapi juga terlalu jujur untuk pura-pura.

Mereka berbeda. Tapi saling mendorong satu sama lain.

Mereka musuh, tapi juga alasan satu sama lain berkembang.

Sampai suatu hari, Seon Woo menghilang. Tepat sebelum kompetisi nasional debat ekonomi yang mereka nanti-nantikan.

Tanpa penjelasan. Tanpa pamit.

Dan Ji An kalah telak karena harus berdebat dengan pengganti dadakan.

Sejak hari itu, ia menyimpan luka kecil dan amarah yang belum punya tempat untuk dikeluarkan.

---

[Kembali ke Lobi Cheonghwa Group]

“Park Seon Woo,” gumam Ji An akhirnya, suara yang ia coba buat tenang tapi terdengar retak.

Seon Woo tidak membalas langsung. Ia hanya memandangi Ji An sejenak, seolah menimbang sesuatu.

“Empat tahun, ya?” katanya pelan. “Kau masih dramatis seperti dulu.”

Ji An berdiri cepat, membersihkan rok kerjanya sambil memaksakan senyum.

“Dan kau masih menyebalkan seperti biasa.”

Min Ji menatap keduanya bergantian, penuh rasa ingin tahu tapi cukup pintar untuk tidak ikut campur.

Seon Woo menatap Ji An sebentar, lalu melangkah pergi tanpa penjelasan lebih lanjut.

Seperti dulu.

Dan Ji An kembali berdiri di tempatnya, dengan dada sesak yang anehnya… tidak berasal dari rasa malu karena jatuh di depan umum, tapi karena sesuatu yang lebih rumit.

Lebih dalam.

---

Langkahnya mantap, tapi pikirannya tidak. Hingga tanpa sadar ia berbalik, dan kembali menaiki lift.

Park Seon Woo menekan tombol lift tanpa menoleh ke belakang. Matanya masih menyimpan bayangan gadis yang tadi terjatuh di depannya, seseorang yang seharusnya tidak ada di sini. Seseorang yang tidak ia sangka akan kembali masuk ke dalam hidupnya.

Han Ji An.

Sebuah nama yang selama ini ia abaikan di ruang rapat tadi, kini menggema begitu keras di kepalanya.

Ia masuk ke lift dan berdiri dalam diam. Punggungnya bersandar pada dinding logam dingin, dan jari-jarinya mengepal pelan. Ji An masih sama. Tatapannya masih menyala. Dan senyumnya… masih bisa membuatnya kesal tanpa sebab.

Ia menghela napas panjang.

‘Kenapa dia harus jadi bagian dari ini semua?’

Padahal ia sudah memutuskan untuk tidak ikut campur.

Ia hanya diminta mengantar dokumen, lalu pulang.

Tapi semuanya berubah sejak mendengar nama itu, dan kini….melihatnya langsung.

‘Apa dia tahu tentang rencana para direksi?’

Kemungkinan besar tidak. Wajah Ji An tadi murni terkejut. Bahkan canggung. Itu bukan ekspresi orang yang sedang bermain dalam skenario jebakan.

Seon Woo menatap pantulan dirinya di cermin lift. Ekspresi datar seperti biasa, tapi dadanya terasa berat. Ia bukan orang yang percaya takdir, tapi pertemuan barusan terlalu kebetulan untuk diabaikan.

‘Kalau dia benar-benar dijadikan umpan…’

Pintu lift terbuka.

Ia keluar dengan langkah lebih cepat dari biasanya.

Sekretaris kakeknya menghampiri, hendak memberikan laporan, tapi Seon Woo hanya mengangkat tangan. “Nanti. Kirim saja lewat email."

Ia perlu waktu sendiri.

Ia masuk ke ruangan rapat kosong di lantai atas, ruangan yang biasanya hanya digunakan oleh direktur utama. Di dalamnya, hanya ada satu meja panjang, kursi besar, dan rak buku berisi dokumen penting perusahaan.

Ia berdiri di depan jendela besar, menatap pemandangan kota.

‘Aku tidak bisa membiarkannya terlibat.’

Kata-kata itu muncul begitu saja.

Bukan karena dia masih peduli.

Bukan karena perasaan yang dulu pernah ada, kalau memang itu pernah benar-benar ada.

Tapi karena Ji An bukan orang yang pantas dijadikan pion.

Apalagi oleh orang-orang seperti mereka.

‘Kalau aku harus jadi CEO untuk menghentikan ini, maka…’

Ponselnya bergetar. Pesan dari sekretaris kakeknya.

‘Ketua Direktur menanyakan keputusan Anda terkait tawaran jabatan CEO. Para direksi sedang menunggu jawaban.’

Seon Woo menutup pesan itu.

Lalu, tanpa ragu, ia mengangkat telepon.

Suaranya datar, tapi mantap.

“Beri tahu mereka. Aku akan ambil posisi itu.”

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CEO Baru Itu Mantan Rivalku   Kamu Tidak Bisa Larang Aku Lagi!

    [Rumah Keluarga Ji An – Pukul 06.12]Langit masih gelap. Embun masih bergelayut di jendela ketika Ji An mendorong pintu rumah, tubuhnya lunglai dan mata nyaris tak terbuka sempurna. Ia bahkan belum sempat mengganti baju kantor sejak malam tadi. Lelahnya bukan cuma karena jam kerja, tapi karena hidup yang tak pernah memberi jeda.Begitu masuk, aroma bubuk kopi menyambut, disusul suara lembut yang terlalu manis untuk pagi hari.“Ji An-ah, kamu sudah pulang? Ayo sarapan dulu sebentar.”Ibunya berdiri di dapur, mengenakan apron motif bunga yang sudah mulai lusuh. Di meja makan, ada dua piring nasi, dan satu kursi kosong yang sudah disiapkan untuknya.Ji An, masih setengah sadar, mengangguk kecil. “Nanti, Bu. Aku ganti baju dulu...”“Nggak usah lama-lama. Ibu cuma mau bicara sebentar kok.”Nada suara ibunya terlalu halus. Terlalu terencana. Ji An merasakannya langsung.Ia mendesah pelan, lalu duduk perlahan di kursi. Matanya menyapu ruangan. Adiknya belum bangun, dan ayahnya belum pulang d

  • CEO Baru Itu Mantan Rivalku   Kebenaran Yang Tak Diinginkan

    "Han Ji An-ssi. Apa yang kamu lakukan?"Suara itu membuat Ji An tersentak.Ia menoleh cepat. Di belakangnya berdiri Kang Seo Jun, dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana dan ekspresi bingung namun serius di wajahnya.“Han Ji An?”Suaranya tenang, tapi ada tekanan yang membuat bulu kuduk Ji An meremang.Ji An mematung. “Seo Jun sunbae... ini...”Seo Jun melangkah mendekat. Tatapannya tertuju pada layar yang masih terbuka, menampilkan email dengan subjek:[URGENT] Konfirmasi Transfer (Opsional)Beberapa detik mereka hanya terdiam. Lalu Seo Jun bertanya, suaranya rendah dan nyaris seperti bisikan, “Kamu dapat email ini dari mana?”Tidak ada gunanya berbohong. Yang bisa Ji An lakukan hanyalah jujur.“Aku... lihat ada transaksi mencurigakan. Aku cocokkan datanya, lalu tembus ke folder backup. Sistem audit server simpan salinan semua transaksi besar di atas seratus juta, kan?”“Kamu tahu folder itu seharusnya tidak diakses sembarangan?” Nada suara Seo Jun makin berat. “Apalagi oleh st

  • CEO Baru Itu Mantan Rivalku   Akses Terlarang

    [Ruang Rapat CEO]Langit gelap menekan jendela kaca kantor saat suara ketukan pelan terdengar di pintu ruangannya.Seon Woo menoleh dari layar laptopnya, ekspresinya datar seperti biasa. “Masuk.”Pintu terbuka. Sekretarisnya masuk lebih dulu, lalu diikuti empat orang penting dari struktur perusahaan: Kepala Divisi Legal, HR, Operasional, dan Audit.Tanpa banyak basa-basi, mereka langsung menempati kursi masing-masing di meja rapat kaca panjang. Wajah-wajah mereka tegang, tanpa senyum basa-basi yang biasanya menyertai pertemuan formal.Seon Woo duduk tenang di ujung meja, tangan kanan melipat di depan dada, mata mengamati satu per satu. “Kelihatan seperti kalian menemukan mayat di laci akuntan,” gumamnya ringan, tapi dengan nada tajam.Kepala Audit, Pak Jang, membuka rapat lebih dulu. Suaranya kaku.“Kami menemukan indikasi penyisipan transaksi fiktif selama dua bulan terakhir. Jumlahnya tidak kecil, dan dilakukan lewat vendor yang tidak terdaftar secara resmi di sistem.”“Nama vendor?

  • CEO Baru Itu Mantan Rivalku   Kantor yang Menyimpan Mayat

    Ji An keluar dari ruang CEO dengan langkah cepat dan kepala tertunduk. Wajahnya menegang, rahangnya terkunci, dan napasnya sedikit tersengal—bukan karena lelah, tapi karena emosi yang membuncah tanpa jalan keluar.Kesal. Malu. Dan bodoh.Itu tiga kata yang paling tepat untuk menggambarkan dirinya saat ini.Ia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan—sikap Seon Woo yang dingin seolah tidak pernah terjadi apa-apa, atau kenyataan bahwa ia masih berharap pria itu akan menunjukkan sedikit saja kepedulian. Sedikit saja.Ia membanting tubuhnya ke kursi, membiarkan punggungnya menyentuh sandaran dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Beberapa rekan kerja di seberangnya sempat melirik, tapi tak ada yang berani menyapa. Aura Ji An terlalu panas pagi ini.Belum lima detik ia mencoba menenangkan diri, suara hak sepatu yang familiar terdengar mendekat.“Ji An-ah.”Ia mendongak cepat dan mendapati Min Ji berdiri di sisi mejanya, membawa map biru dan ekspresi lelah akibat lembur semalam.“Ada dokume

  • CEO Baru Itu Mantan Rivalku   Maaf yang Tak Datang / Dua Miliar yang Hilang

    Pagi itu, Ji An datang dengan kepala penuh amarah yang dibungkus rapi dalam senyum tipis dan ketukan ringan di pintu. Satu malam penuh ia berperang dengan pikirannya sendiri, mengulang setiap detik kebersamaannya dengan Seon Woo—mulai dari sundulan isengnya di rak es krim, kalimat ambigu sebelum tertidur, sampai... napas mereka yang terlalu dekat di ruang tamu.Ia sudah mempersiapkan beberapa kalimat pembuka: mungkin sedikit sarkasme, mungkin pertanyaan frontal, atau setidaknya satu tuntutan maaf.Tapi begitu pintu terbuka, semua yang ia siapkan langsung hancur.Seon Woo berdiri di depan mejanya sambil memeriksa dokumen, lengkap dengan ekspresi datarnya yang biasa. Seolah-olah malam kemarin tidak pernah ada.“Oh, Han Ji An-ssi,” ucapnya ringan. “Kamu datang tepat waktu. Aku mau bahas laporan transaksi bulan lalu. Duduklah.”Ji An mematung sejenak.Ia menatap Seon Woo dalam diam, menunggu kode—sekecil apa pun—bahwa pria itu akan menyebutkan sesuatu. Bahkan satu kalimat basa-basi pun ta

  • CEO Baru Itu Mantan Rivalku   CEO Yang Terbakar Api Sendiri

    Begitu suara pintu tertutup rapat, Seon Woo membuka sebelah matanya perlahan. Sunyi. Ia mengintip ke arah pintu, memastikan Ji An benar-benar pergi. Setelah yakin tidak ada suara langkah kaki atau napas penuh kekesalan dari arah dapur, ia menghela napas lega dan… duduk tegak. Tidak, ia tidak mabuk. Seon Woo menyandarkan punggungnya ke sofa, lalu memutar lehernya pelan. “Toleransi alkoholku masih oke, ternyata,” gumamnya lirih sambil memijat perutnya yang sedikit nyeri. “Tapi tendangannya juga masih tetap berbahaya. Apa dia latihan MMA sekarang?” Ia memicingkan mata ke arah gelas yang masih berisi setengah di meja. Sebenarnya, satu-satunya alasan ia bersikap seperti itu adalah karena… ia tidak sengaja mendengar Ji An dan Seo Jun merencanakan sesuatu di restoran. Pergi ke tempat baru, katanya. Naik mobil yang sama, katanya. Dan entah kenapa, Seon Woo merasa... tidak suka. Hanya sedikit. Sedikit banget. Bukan karena cemburu, tentu saja. Bukan karena takut kehilangan. Hanya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status