Home / Romansa / CEO Bertopeng Giok / 21. Gema di Dalam Topeng

Share

21. Gema di Dalam Topeng

Author: Ethan Zachary
last update Last Updated: 2025-07-20 16:44:02

Ruang meditasi di Perpustakaan Senja terasa sunyi, namun keheningan itu bergetar dengan antisipasi yang begitu tebal hingga terasa seperti tekanan fisik. Waktu seolah berhenti, menanti keputusan dua orang yang duduk berhadapan di atas bantal anyaman. Di satu sisi, Kian Alvaro, pria yang terbiasa mengendalikan kerajaan bisnis bernilai triliunan, kini harus belajar mengendalikan gemuruh di dalam jiwanya. Di sisi lain, Elara, gadis yang beberapa minggu lalu hanya tahu cara membuat latte art, kini memegang nasib pria itu di tangannya.

Kian duduk bersila, punggungnya lurus seperti baja, tetapi buku-buku jarinya yang terkepal di atas lutut memutih, mengkhianati ketegangan luar biasa yang ia rasakan. Matanya terpejam, tetapi Elara bisa melihat kelopak matanya bergetar.

"Tarik napas, Tuan," bisik Elara, suaranya yang lembut dan tenang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. "Seperti yang diajarkan Rama. Tarik napas melalui hidung, rasakan udaranya mengisi pa
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • CEO Bertopeng Giok   25. Garis Darah dan Benang Takdir

    Keheningan yang menyelimuti ruang meditasi setelah penyelaman kedua Kian terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang tegang dan penuh antisipasi, melainkan keheningan yang lembut dan rapuh, seperti ketenangan setelah badai dahsyat berlalu. Kian duduk bersandar di dinding, tubuhnya masih lelah, tetapi gejolak panik di matanya telah digantikan oleh sebuah ketenangan yang kosong dan introspektif. Air mata telah mengering di pipinya, meninggalkan jejak kerapuhan yang belum pernah ada sebelumnya. Elara duduk tidak jauh darinya, memberinya ruang, namun kehadirannya terasa seperti sebuah jangkar yang kokoh. Ia menyiapkan secangkir teh hangat—kali ini teh melati biasa tanpa ramuan apa pun—dan meletakkannya di meja rendah di antara mereka. Sebuah gestur normal di tengah situasi yang sama sekali tidak normal. Pintu ruangan terbuka tanpa suara. Rama masuk, ekspresinya yang biasanya tenang kini diwarnai oleh sebersit rasa hormat saat ia menatap Kian.

  • CEO Bertopeng Giok   24. Jembatan Empati

    Keheningan di dalam ruang meditasi terasa sakral. Waktu seolah melambat, setiap detik berdenyut dengan bobot dari apa yang akan terjadi. Kian Alvaro, pria yang membangun hidupnya di atas pondasi kontrol dan logika, kini duduk bersila, bersiap untuk melakukan tindakan penyerahan diri yang paling mutlak. Di hadapannya, Elara duduk dengan punggung lurus, menjadi perwujudan dari ketenangan dan kekuatan, meskipun jantungnya sendiri berdebar kencang seperti genderang perang. Ia telah meminum ramuan penenang, tubuhnya sedikit lebih rileks dari hari sebelumnya. Ia menatap Elara untuk terakhir kalinya, sebuah tatapan yang mengandung segalanya: rasa takut, keraguan, dan sebersit kepercayaan yang baru tumbuh. Elara hanya mengangguk pelan, sebuah janji tanpa kata bahwa ia akan berada di sana untuk menariknya kembali. Kian memejamkan mata. Penyelaman kali ini terasa berbeda. Jika sebelumnya ia seperti jatuh ke dalam jurang, kali ini ia melangkahinya d

  • CEO Bertopeng Giok   23. Membongkar Ruang Terkunci

    Satu hari. Dua puluh empat jam. Waktu yang biasanya terasa begitu singkat bagi seorang Kian Alvaro yang jadwalnya dipadatkan dalam interval lima belas menitan, kini terasa membentang seperti sebuah gurun tak bertepi. Tugasnya hari ini tidak tertera di tablet mana pun. Tidak ada rapat, tidak ada laporan, tidak ada data untuk dianalisis. Tugasnya adalah sesuatu yang jauh lebih sulit: menelusuri kembali koridor-koridor berdebu di dalam ingatannya sendiri dan memilih satu kepingan jiwa yang paling rapuh untuk dipersembahkan pada sebuah entitas yang selama ini ia anggap sebagai monster. Pagi itu, suasana di Perpustakaan Senja terasa berat. Rama telah memberi mereka ruang, menghilang di antara rak-rak buku yang tak berujung, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang sarat makna. Kian tidak bisa diam. Ia mondar-mandir di ruang duduk mereka, energi kegelisahannya begitu kuat hingga seolah membuat udara bergetar. Ia mencoba melakukan hal yang biasa ia lakukan saat meras

  • CEO Bertopeng Giok   22. Rencana Musuh

    Perjalanan kembali dari Palung Jiwa tidaklah instan. Meskipun tubuh Kian telah kembali ke ruang meditasi, kesadarannya terasa seperti pecahan kaca yang berserakan, butuh waktu untuk menyatu kembali. Elara dengan sabar mendampinginya, membantunya bangkit dengan gestur yang kini terasa alami, seolah merawat kerapuhan pria itu telah menjadi bagian dari ritme hidupnya. Ia menuntun Kian yang masih gemetar menuju ruang duduk yang lebih nyaman di perpustakaan, di mana Rama telah menunggu dengan tiga cangkir teh herbal hangat yang aromanya menenangkan. Kian duduk tersungkur di sofa empuk, jubah kebesarannya sebagai CEO yang tak terkalahkan kini terasa seperti kostum yang kebesaran. Ia menatap kosong ke cangkir tehnya, bayangan dari badai zamrud dan inti cahaya yang terbelenggu itu masih menari-nari di balik matanya. Untuk waktu yang lama, ia hanya diam, mencoba menjembatani antara realitas mengerikan yang baru saja ia saksikan dengan realitas aman di perpustakaan kuno ini.

  • CEO Bertopeng Giok   21. Gema di Dalam Topeng

    Ruang meditasi di Perpustakaan Senja terasa sunyi, namun keheningan itu bergetar dengan antisipasi yang begitu tebal hingga terasa seperti tekanan fisik. Waktu seolah berhenti, menanti keputusan dua orang yang duduk berhadapan di atas bantal anyaman. Di satu sisi, Kian Alvaro, pria yang terbiasa mengendalikan kerajaan bisnis bernilai triliunan, kini harus belajar mengendalikan gemuruh di dalam jiwanya. Di sisi lain, Elara, gadis yang beberapa minggu lalu hanya tahu cara membuat latte art, kini memegang nasib pria itu di tangannya. Kian duduk bersila, punggungnya lurus seperti baja, tetapi buku-buku jarinya yang terkepal di atas lutut memutih, mengkhianati ketegangan luar biasa yang ia rasakan. Matanya terpejam, tetapi Elara bisa melihat kelopak matanya bergetar. "Tarik napas, Tuan," bisik Elara, suaranya yang lembut dan tenang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. "Seperti yang diajarkan Rama. Tarik napas melalui hidung, rasakan udaranya mengisi pa

  • CEO Bertopeng Giok   20. Peta Menuju Palung Jiwa

    Kata "baiklah" yang diucapkan Kian menggantung di udara perpustakaan yang hening, terasa rapuh namun memiliki bobot yang luar biasa. Itu adalah suara dari sebuah benteng yang telah menyerah, sebuah pengakuan kalah dari seorang pejuang yang telah berperang seumur hidupnya. Untuk pertama kalinya, Kian Alvaro tidak punya rencana, tidak punya strategi, dan tidak punya kendali. Ia hanya punya secercah harapan yang menakutkan, yang disodorkan oleh seorang gadis yang seharusnya menjadi bawahannya. Rama, sang penjaga buku, mengangguk dengan khidmat, seolah menghormati keberanian yang dibutuhkan untuk mengucapkan satu kata itu. "Keputusan yang bijaksana, Tahanan Giok," katanya. "Sekarang, pekerjaan yang sesungguhnya dimulai." Ia memimpin mereka menjauh dari anjungan utama yang megah, menuju sebuah ruangan samping yang lebih kecil dan lebih intim. Tidak ada rak buku yang menjulang di sini. Dindingnya terbuat dari kayu gelap yang hangat, lantainya ditutupi oleh ti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status