Share

Berangkat Ke Ibukota (Area 21+)

Perlahan-lahan kereta eksekutif yang dinaiki Kirana menjauh dari kota kelahirannya. Kota yang menyimpan begitu banyak cerita terutama kenangan bersama Ibunda tercinta.

Diambilnya novel klasik milik Jane Austeen dari dalam tas ranselnya untuk membunuh waktu perjalanannya. Kirana menoleh ke belakang untuk mengira-ngira jarak dengan bangku belakangnya sebelum ia menurunkan sandaran kursinya, agar tak mengganggu penumpang yang duduk di belakangnya.

Gadis berpenampilan sederhana itu memang selalu berhati-hati dalam setiap tindakannya. Selalu berusaha agar apa yang dilakukannya jangan sampai merugikan orang lain. Beruntung bangku di belakang dan sampingnya kosong, hingga ia bisa merasa leluasa.

Kirana mengeluarkan kue bolu pemberian Bu Hadi dan mengirisnya dengan pisau plastik yang sudah disediakan. Seorang anak yang duduk di bangku depannya melirik ke arah Kirana yang tengah memotong kue. 

Gadis berkulit kuning langsat itu pun tersenyum dan menyodorkan roti pada anak itu. 

"Kamu mau?" tanya Kirana.

Anak itu terlihat ragu-ragu, kemudian melirik ke arah Ibunya, meminta persetujuan. Sang Ibu yang sedari tadi sibuk dengan gadget pun menoleh ke arah yang ditunjuk anak laki-lakinya. Wanita dengan hijab punuk onta itu pun berbisik pada putranya hingga senyum terkembang pada wajah polos itu. Bocah kecil itu pun mengarah pada Kirana dan sang Ibu tersenyum mengangguk.

"Tadi kata Mama boleh ambil kuenya tapi sedikit aja," kata anak kecil itu polos.

Kirana mengambil tissue dan meletakkan empat iris kue bolu di sana, lalu memberikannya pada anak itu.

"Siapa namamu anak manis?" 

"Rafli, tante."

"Ini buat kamu, dimakan sama Mama ya!" Kirana mengusap lembut rambut anak itu.

"Makasih," jawabnya kemudian berjalan cepat kembali ke tempat duduknya.

Kembali Kirana melihat Ibu dari Rafli melirik ke arahnya dan mengucapkan terima kasih. Wanita itu kemudian kembali sibuk dengan gawainya tanpa mempedulikan anaknya yang berkali-ki memutar posisi duduknya lantaran merasa bosan.

Kirana hanya menggeleng-geleng kepalanya, heran karena benda pipih itu mampu membuat anak menjadi asing dengan Ibunya sendiri. Dia berjanji dalam hati, kelak jika memiliki anak tak akan menomor duakan demi sebuah benda pipih. 

Kirana pun melanjutkan membaca novel Pride and Prejudice milik Jane Austeen sambil menikmati kue bolu buatan Bu Hadi. Terus terhanyut dalam bacaannya, hingga seorang petugas memeriksa tiketnya. Kemudian ia pun kembali terhanyut pada bacaannya sampai tertidur di kereta.

                             ***

Darell menekan pelipisnya, sambil kedua matanya menatap laptop. Banyak sekali email yang harus diperiksa, namun tak satupun yang dibuka olehnya. Ia sangat pusing dengan permintaan Ayahnya.

"Huh ada-ada saja," keluhnya.

Tok! Tok!

Ketukan di pintu ruang kerja Darell membuatnya kembali tersadar kalau ia harus mengesampingkan masalah yang dihadapinya saat ini. 

"Masuk!" serunya dari dalam ruangan.

Seorang wanita di akhir dua puluh tahunan masuk ke dalam ruangannya. Ia mengenakan rok sepan yang panjangnya setengah pahanya saja. Blazer berwarna hitam yang senada dengan roknya menutupi kemeja merah yang tiga kancing teratasnya terbuka.

Bunyi tap tap yang diciptakan melalui langkah kakinya membuat Darell melirik sekilas lalu mengusap wajahnya kemudian tersenyum. Seolah dirinya mendapatkan suatu ide brilian.

Sambil duduk, Darell mengundurkan kursinya lalu melebarkan kakinya. Memandang wanita yang datang ke arahnya.

"Saya nggak suka blazer kamu Juwita!" protesnya.

Wanita itu adalah sekretaris Darell yang sangat patuh. Ia cekatan dan kerjanya bagus sekali termasuk dalam mengurus kebutuhan Darell lainnya. 

Mendengar komentar Darell wanita itu pun langsung melepas blazernya dan meletakkannya di lengan kursi yang ada di hadapan Darell. Tampak lengannya yang putih karena kemeja yang dikenakannya adalah tanpa lengan.

"Nah itu lebih baik."

Juwita pun menunduk dan tersenyum mendengar pujian Darell. Dia jelas tahu apa maksud dari Boss nya.

"Ada perlu apa?" tanya Darell.

"Ada beberapa berkas yang perlu Bapak tanda-tangani," jawabnya dengan suara serak yang dibuat-buat.

Darell menepuk-nepuk pahanya sambil mengarahkan pandangannya ke arah Juwita. Sekretarisnya pun tahu apa yang harus ia lakukan. Tanpa ragu Juwita langsung duduk di atas pangkuan Darell.

"Good girl," komentar Darell dibalas dengan senyuman manja Juwita.

"Aku baca dulu ya berkasnya, kamu duduk aja di sini jangan kemana-mana!"

"Iya Bos ku sayang."

Darell membaca semua berkas yang diberikan oleh Juwita sambil sesekali mengusap-usap paha mulus sekretarisnya. Setelah membaca semua, Darell langsung menandatangani berkasnya dan menempelkan kepalanya pada bukit kembar Juwita yang montok.

"Haus," rengek Darell manja.

Juwita pun paham apa maksud Darell, segera ia membuka semua kancing bajunya dan pengait bra miliknya yang berada di depan. Darell memang memerintahkan sekaligus mensponsorinya untuk memakai bra dengan pengait di bagian depan tiap kali ke kantor.

CEO Cassanova itu pun langsung mendaratkan mulutnya di sana. Menghujani Juwita dengan ciuman dan sapuan lidah. Sesekali ia menggigit lembut dan membuat sekretarisnya mendesah. 

Tangan kiri Darell menyingkap rok sepan Juwita ke atas lalu menurunkan pakaian dalamnya agar jarinya bebas bergerilya. Juwita memejamkan kedua matanya sambil mendongak, menikmati apa yang dilakukan boss nya terhadap dirinya.

"Sssh teruskan Boss!" bisiknya.

Merasa tertantang oleh permintaan Juwita, Darell pun meneruskan aksinya. Membuat tangannya dibanjiri oleh cairan kenikmatan perempuan dalam pangkuannya.

"You done honey?"

"Yessh," desah Juwita.

"Now it's my turn!"

Darell meminta perempuan berambut pendek itu untuk berjongkok di hadapannya dan memasukkan senjatanya ke dalam mulut Juwita.

"Suck it baby!" titahnya.

Juwita terlihat kewalahan dengan ukuran Darell, namun ia tetap melakukannya. Menggerakkan kepalanya maju mudur hingga Darell menyuruhnya berhenti.

"Now sit on my desk, i'll make u fly for twice!

Dengan patuh Juwita pun duduk di atas meja kerja Darell dan melebarkan kakinya. Membiarkan Darell untuk menyelesaikan hasratnya. 

Juwita tahu pasti kalau Boss nya sedang ada masalah. Bukan sekali dua kali Boss nya melakukan hal ini padanya. Tiap kali ada masalah di kantor, dirinya selalu jadi pelampiasan. 

Juwita tak pernah keberatan dengan kebiasaan Bossnya. Karena tiap pria blasteran Australia ini pun tak segan-segan mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya setiap kali mereka selesai berhubungan. Namun baru kali ini ia melihat Bossnya bertindak bodoh, bercinta dengannya tanpa menggunakan pengaman.

Meski heran, namun Juwita senang. Ia justru mengharapkan kejadian ini membuatnya hamil anak dari Boss nya. Jika itu terjadi, dengan segera status sosialnya semakin meningkat. 

"Pak Darell, Bapak ada masalah apa?" tanya Juwita yang baru keluar dari kamar mandi di ruang kerja Darell dengan penampilan yang kembali rapi.

"Bukan urusan kamu!" jawab Darell ketus sambil memainkan ponselnya.

"Sepuluh juta udah masuk ke rekening kamu," tambahnya.

"Makasih sayang. Oh iya Pak, kalau Bapak butuh saya di luar kantor juga bisa koq," jawabnya genit.

"Di luar perempuan seperti kamu banyak," jawab Darell.

"Hmm ya terserah sih, tapi kayaknya cuma saya yang bisa bikin Bapak ketagihan."

"Jangan ngelunjak kamu!"

"Nggak ngelunjak Bapak, cuma bicara kenyataan aja, kalau saya nggak bikin Bapak puas kenapa selalu dengan saya kalau di kantor. Bapak kan bisa panggil perempuan-perempuan di luar sana kemari, toh ini kan kantor Pak Darell, atau bisa memilih perempuan dari divisi lain di kantor."

Apa yang dikatakan Juwita ada benarnya juga. Memang banyak yang mengaguminya di kantornya karena penampilan fisik, kecerdasan dan pasti kekayaannya. Tak jarang perempuan-perempuan di kantornya bersikap sok seksi untuk menarik perhatiannya, namun tak ada yang senekad Juwita, dan yang terpenting setelah bermesraan dengan Juwita Darell selalu mendapat penyelesaian masalah, seperti saat ini. Ia sudah mendapatkan ide untuk nanti sore.

"Sok tahu, sudah sana kembali kerja!"

"Ok Pak, by the way Bapak hebat banget sih hari ini gak pakai pengaman," cibir Juwita meninggalkan ruangan Darell.

Kini giliran Darell yang mematung menyadari kebodohannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status