Share

Menginjakkan Kaki

Darell menegak air putih di meja kerjanya sepeninggal Juwita. Apa yang dikatakan sekretarisnya, lebih tepatnya sexcretary mengganggu pikirannya.

"Sial! Gara-gara masalah perjodohan itu aku jadi lupa pakai pengaman," runtuk Darell.

Terlihat ada sedikit ketakutan di wajahnya. Takut kebodohannya akan menghalangi kebebasannya. Apa kata keluarganya kalau Juwita sampai hamil anaknya.

"Eh, tapi aku kan baru sekali melakukannya tanpa pengaman, masa' iya bisa langsung jadi. Lagipula Juwita itu kan perempuan nggak bener, gak mungkin dia melakukan itu cuma sama aku," gumam Darell sambil melirik arloji rolex di tangan kirinya.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Artinya dua setengah jam lagi perempuan yang akan dijodohkan dengannya akan datang. 

"Hmm selamat datang Kirana, selamat menikmati kehidupanmu yang baru," gumamnya sambil tersenyum sinis. 

Darell pun segera menghubungi cafe favoritnya dan melakukan reservasi. Selanjutnya ia menghubungi teman-teman dekatnya, Bastian dan juga Rio.

                            ***

Getar ponsel di saku celana jeans membangunkan Kirana. Gadis itu menutup mulutnya yang menguap lalu mengambil ponselnya dan mendapati nama Budhe Iswari terutulis di sana.

"Assalamualaikum Budhe," jawabnya.

Melalui sambungan seluler, mereka pun berbasa-basi sejenak. Suara Budhe Iswari terdengar gembira mengetahui Kirana tak lama lagi akan datang.

Budhe Iswari pun berkata kalau Darelllah yang akan menjemputnya di stasiun nanti.

"Mmm maaf Budhe, saya sedikit lupa dengan wajah Mas Darell," tutur Kirana jujur.

Ibu Darell pun menjanjikan untuk mengirimkan foto putra pertamanya kepada Kirana setelah mengakhiri panggilan dengan calon menantunya.

Ting! Sebuah pesan whatsapp masuk ke dalam ponsel Kirana. Gadis bermata bulat itu pun memperhatikan foto yang dikirim oleh Ibunya Darell.

"Cukup tampan," batin Kirana memperhatikan sosok Darell yang gagah dalam balutan jas hitam dan dasi biru terang. Rambutnya disisir rapi dan diberi pomade. Hidungnya mancung, dan senyuman yang manis dari bibir tipisnya. Bola mata hazel dan alis tebal semakin memperindah penampilannya 

Sejenak Kirana tersenyum melihat wajah pria yang dijodohkan dengannnya. Namun sejenak kemudian ia menunduk dan memperhatikan dirinya.

"Mas Darell ganteng banget, apa iya mau sama aku yang kayak gini," batinnya.

Kirana menghembuskan napas panjang dan melirik jam di tangannya, tiga puluh menit lagi ia akan tiba di tempat tujuan. Segera gadis itu menyimpan novel yang tergeletak di pangkuannya dan menyimpan ke dalam tas. Kemudian memperhatikan jendela sambil menunggu kereta tiba.

Pemandangan di luar jendela terlihat hampir sama, situasi perkotaan dengan mobil-mobil yang membentuk barisan. Rumah-runah semi permanen di sekitaran rel kereta api. Sungguh pemandangan yang kontras di Ibukota. Dimana berdiri gedung bertingkat yang megah, sementara di belakangnya rumah-rumah berdinding kayu yang sewaktu-waktu akan digusur karena tak berizin.

Kirana segera menurunkan barang bawaannya begitu kerete berhenti. Ia telah berada di stasiun pemberhentian terakhir yang memang menjadi tujuannya. Kirana menenteng sebuah tas besar berwarna cokelat serta dua buah kardus bekas mie instant yang diikat tali rafia. Satu kardus memang dibawanya dari rumah sebagai buah tangan dari Ayahnya, satu lagi pemberian dari warga kampung sebagai bekal Kirana.

Untung saja Kirana terbiasa untuk bekerja keras, jadi bawaan seperti ini tak membuatnya kewalahan. Tangan kirinya memegang kardus yang lebih berat sedang tangan kanannya membawa kardus dan tas tempatnya menyimpan pakaian. Sementara bekal kue bolu yang tersisa disimpan ke dalam tas ranselnya.

"Huft," Kirana meletakkan barang bawaannya di depan kursi ruang tunggu kedatangan penumpang. Dia segera menoleh ke kanan dan kiri sambil sesekali melirik ponselnya melihat foto Darell. Namun sosok yang dicarinya belum juga terlihat.

Kirana pun memutuskan untuk duduk dan menunggu kedatangan Darell sambil membaca novel dan menikmati sisa kue bolu pemberian Bu Hadi. Saking asyiknya, gadis berambut lurus itu pun tak menyadari kalau adzan maghrib sudah berkumandang.

"Yah, udah maghrib. Kira-kira kalau Mas Darell akubl tinggal sholat dulu gimana ya?" batin Kirana. 

Ia tak keberatan untuk menunggu Darell namun khawatir kalau ditinggal, Darell akan kewalahan mencarinya. Sejenak gadis itu menimbang-nimbang akhirnya ia memutuskan untuk melakukan ibadah sholat maghrib dulu dan menitipkan bawang bawaannya di tempat penitipan stasiun. Gadis itu kemudian mengirim pesan singkat pada whatsapp Darell kalau ia akan melaksanakan sholat di mushola dulu agar pria itu tak khawatir.

Kirana kembali merapikan rambutnya kemudian mengusap wajahnya dengan bedak baby supaya terlihat lebih segar. Gadis itu pun segera mengambil bawaannya dan kembali ke ruang tunggu, namun Darell tak juga muncul. Pesan yang dikirimkan ke ponsel Darell pun belum juga dibaca oleh pria yang kelak akan menjadi suaminya itu.

"Koq Mas Darell belum juga datang ya," keluh Kirana dalam hati.

"Mungkin masih di jalan kali ya, atau masih ada kesibukan lain," pikirnya lagi.

Kirana pun memutuskan untuk menunggu tiga puluh menit lagi sambil memainkan game dalam ponselnya. Namun lagi-lagi Darell tak kunjung datang.

                                ***

Di sebuah cafe tak jauh dari stasiun tiga orang pemuda tengah berkumpul sambil tertawa. Lebih tepatnya hanya dua orang yang tertawa sedangkan satu lagi orang lagi terlihat mengerucutkan bibirnya.

"Puas loe berdua?" tanya pria bermata hazel pada kedua temannya.

"Puas banget," jawab kedua temannya bebarengan.

"Kalian nih ya temen lagi susah bukannya bantuin malah ngetawain," keluh pria berwajah blasteran itu sambil mengacak-acak rambutnya yang berpomade.

"Susah macam mana Rell, loe kan mau dikawinin eh dinikahin koq bilang susah," lanjut kawannya yang berkepala nyaris plontos, Bastian.

"Gimana bisa seneng, gue beneran gak siap buat nikah. Mending kalo calonnya cakep lha ini,"  protes Darell.

"Emang kenapa?" tanya temannya yabg berkacamata, Rio.

Darell pun mengambil ponselnya lalu menyodorkannya pada kedua temannya. Dia menunjukkan foto yang baru saja dikirim oleh Ibunya. Seorang perempuan berambut lurus dengan mata bulat dan bibir merah alami. Wajahnya terlihat kusam dan berminyak, memakai kaos longgar bergambar kartun disney.

"Loe ngapain nyimpen foto pembokat (asisten rumah tangga) loe Rell?" ledek Rio setelah melihat foto yang disodorkan oleh Darell.

"Itu cewek yang mau dijodohin ama gue," keluh Darell.

Bastian dan Rio tertawa lagi, kemudian saling pandang.

"Gini ya Rell, bukannya gue bermaksud menghina, tapi menurut gue ni cewek bukan type loe banget. Kliatan kampungan banget, bener deh," jelas Bastian.

"Iya loe lihat aja wajahnya yang kliatan dekil, Bokap loe kenapa sih milih itu anak? Dia tajir banget? Anak pengusaha mana atau mungkin anak pejabat?" tanya Rio yang tak mengerti dengan selera Ayah Darell.

"Bokapnya (Bapak) petani, punya penggilingan padi. Meskipun sawah dan kebunnya berhektar-hektar tapi ya begitulah,-" Darell tak sanggup menjelaskan kalimatnya, namun ia tahu kalau teman-temannya mengerti apa maksudnya.

"Ya kalau cuma jual hasil sawah dan kebun gak bisa nyaingi kekayaan keluarga loe Rell " sahut Bastian.

"Ya biarpun gak terlalu kaya seenggaknya enak dilihat lah, bersih, modis gitu. Jangan nunjukin kalo dari kampung gitu maksud gue " timpal Rio.

"Ya maksud gue juga itu. Loe boleh dari kampung asal jangan kampunganlah," jelas Darell. Ia pun menceritakan pengalamannya saat bertemu Kirana beberapa tahun lalu pada kedua temannya. Mereka pun sama herannya dengan Darell.

"Ya ampun sampe segitunya ya Rell," keluh Bastian.

"Iya, parah banget kan dia. Emang menurut loe sikap gue berlebihan ya?" tanya Darell meminta dukungan pada kedua temannya.

"Nggak lah, maksud loe kan kasih support dia. Siapa sih yang gak sedih ditinggal orang tua selamanya. Koq bisa dia mikir loe mau memperkosa dia, kaya' loe nafsu aja ama dia," timpal Rio.

"Itu dia, nggak banget kan?

"Terus rencana loe gimana?" tanya Rio lagi.

"Gue bikin dia gak betah aja biar dia yang nolak dijodohin sama gue. Percuma juga gue mohon-mohon ke Daddy, pasti bakal gak diturutin," papar Darell.

"Hmm kayaknya ide loe pas banget tuh Rell. Gue tahu banget gimana bokap loe, kalau udah ngomong A ya pasti A, gal bakal bisa loe bantah. Tapi kalau tuh cewek yang nolak gak mungkin kan bokap loe maksa dia," komentar Bastian.

"Iya itu maksud gue. Kalo Kirana gak mau, Bokap gue gak bakal bis Maksain tuh anak."

"Terus, loe bakal apain dia?" tanya Bastian penasaran, sementara Rio sibuk cuci mata, mencari perempuan yang bisa didekatinya.

"Gue bikin dia nyesel kenal sama gue. Ini aja gue harusnya jemput dia di stasiun, tapi gue biarin aja dia nunggu."

"Sadis loe Rell. Anak orang tuh, kalau dia ilang gimana?" seru Bastian.

"Yaela, mau ilang kemana. Penculik juga eneg liat mukanya. Lagian udah gede juga, masa' iya gak bisa mikir kudu gimana kalau gue gak jemput-jemput."

"Emang jam berapa jadwalnya dia datang?" Bastian kembali bertanya.

"Jam setengah lima sore, " jawab Darell enteng.

"Gila loe ya Rell, anak temen bokap loe itu," balas Bastian.

"Loe mau sama dia, koq keliatannya kuatir banget Bas," ledek Darell.

"Bukannya gitu, tapi kalau bokap loe tahu loe nelantarin tu cewek, apa yang bakal bokap loe lakuin?" tanya Bastian.

"Bener juga loe ya, koq gue gak mikir ke sana ya. Ya udah deh gue cabut dulu, moga tuh anak masih nungguin gue," pamit Darell meraih kunci mobilnya yang tergeletak di meja kopi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status