"Nduk, Bapak nggak ngantar ya," kata Pak Ridwan pada Kirana pagi itu sambil memegangi lututnya.
"Nggak pa pa Pak, Kirana bisa koq berangkat sendiri, kemarin Mas Aria sudah pesankan mobil Pak Hadi."
"Maaf ya Na, Mas Aria nggak bisa antar juga karena harus apel pagi," tambah Mbak Fika.
Kirana punya dua orang kakak laki-laki, yang pertama Aria yang berprofesi sebagai PNS di kantor kecamatan. Kakaknya yang kedua merantau di tambang batubara Kalimantan. Kirana sendiri memiliki usaha pengolahan hasil tani yang kini di tangani dari jauh.
Kirana memang pernah berjanji untuk memajukan desanya. Memanfaatkan setiap potensi yang ada bersama para warganya, dan ia berhasil. Sayang, saat ini ia harus pergi.
"Nduk, kamu simpan ini ya!" kata Pak Ridwan menyerahkan kantong kecil ke dalam genggaman Kirana.
"Apa ini Pak?" Kirana menatap pria yang sudah berkeriput di hadapannya.
"Punya Ibumu, kamu simpan buat bekal kamu di sana."
"Tapi Pak,-" sangkal Kirana.
"Sudah, kamu simpan saja!" Pak Ridwan tampak memaksa.
Kirana menunduk, dia taampak tak enak hati. Apalagi kakak iparnya Fika juga ada di sana. Kakak iparnya sendiri juga orang baik padanya dan keluarga.
"Ibumu sudah membagi rata untuk kalian bertiga, jadi ini memang hak mu Nduk," balas Pak Ridwan yang memahami apa yang ada di pikiran Kirana.
Sejenak Kirana melirik kakak iparnya yang berhijab lebar. Wanita penyabar itu mengangguk dan tersenyum, melihat respons yang diberikan Fika, barulah Kirana memiliki keberanian mengambil pemberian Ayahnya.
"Kirana bawa ya Pak."
"Bawalah Nduk, gunakan sebaik mungkin."
Kirana mengangguk dan segera membawa tas nya karena melihat mobil Pak Hadi sudah di depan pekarangan rumahnya. Pria paruh baya itu datang bersama istrinya.
"Assalamualaikum," sapa Pak Hadi.
"Waalaikumsalam," jawab Ayah Kirana.
"Mbak Kirana, mau berangkat sekarang?" tanya Pak Hadi.
Kirana melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Jarum jam sudah mendekati pukul setengah tujuh, sementara jadwal keretanya berangkat pukul delapan lewat dua puluh menit.
"Ya sepertinya kita harus berangkat sekarang. Lebih baik meninggu di stasiun," jawab Kirana.
Gadis berambut panjang itu meraih tangan ayahnya dan menciumnya takzim, kemudian kakak iparnya. Dengan senyum yang terkembang oleh bibir merahnya, mencoba menahan untuk tidak menangis. Kirana pun digandeng oleh Bu Hadi menuju mobil suaminya, sementara Pak Hadi membawa tas miliki Kirana.
Gadis yang menegenakan kemeja kotak-kotak longgar serta celana jeans itu pun dikejutkan oleh pemandangan yang didapati di samping mobil Pak Hadi. Beberapa Ibu-Ibu telah menunggu di sana ditemani dua sahabat masa kecilnya yang membantu mengurus bisnisnya, Sekar dan Bayu.
"Bayu, Sekar, Ibu-Ibu," sapa Kirana yang masih tak menyangka mereka berkumpul di sini.
Wanita-wanita itu adalah orang-orang yang ikut membantu usaha Kirana. Kehadiran mereka sangat membantu Kirana dalam melancarkan usahanya. Tangan terampil mereka bisa menciptakan aneka manisan, selai dan aneka kue yang dibuat dari hasil pertanian unggulan di desanya.
Tanpa Kirana sadari, sebenarnya dirinyalah yang membantu mereka. Dengan mempekerjakan warga di desanya dan membeli hasil pertanian warga desanya dengan harga layak yang pastinya memperbaiki perekonomian mereka.
Seorang Ibu bertubuh tambun mendekati Kirana. Wanita itu menenteng kardus dan memberikannya pada Kirana, serta sebuah amplop untuknya.
"Ini ada sedikit dari kami untuk Mbak Kirana. Jangan dilihat harganya ya Mbak," paparnya.
"Apa ini Bu?" tanya Kirana yang telapak tangannya sudah diselipi amplop oleh Ibu tambun tadi.
"Buat pegangan Mbak Kirana di sana."
"Bu, nggak usah repot-repot," Kirana mencoba untuk menolak secara halus. Ia tahu pasti kalau keluarga mereka sebenarnya lebih membutuhkan dibandingkan dirinya.
Sahabatnya, Sekar mendekat ke arahnya dan berbisik, meminta Kirana untuk tidak menolak pemberian mereka. Bayu yang di samping Sekar pun mengangguk membenarkan perkataan sahabatnya.
"Ya ampun Ibu-Ibu, maturnuwun sanget njih, (terima kasih banyak ya) Semoga kebaikan Ibu-Ibu sekalian dibalas oleh Allah," balas Kirana.
"Mbak Kirana, kalau nanti sudah di kota jangan lupa sama kami ya. Kalau bisa sekali-sekali main ke tempat kami," seru salah seorang Ibu yang diikuti oleh sahutan ya dari Ibu-Ibu lainnya.
"Njih Bu (Iya Bu)," jawab Kirana menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada.
Para wanita itu pun merangkul Kirana dan menyalaminya. Memperlakukannya seolah Kirana adalah anak perempuan mereka yang akan pergi jauh.
"Ibu-Ibu sudah dulu ya, nak Kirana biar berangkat dulu, takut ketinggalan kereta," cegah Bu Hadi sambil menggandeng Kirana untuk segera masuk ke dalam mobil suaminya.
***
Mobil berjenis Van itu pun segera meluncur perlahan-lahan menjauh dari kediaman Pak Ridwan. Kirana menoleh ke belakang dan melihat kerumunan Ibu-Ibu masih di sana. Sementara Bayu dan Sekar mengikutinya menggunakan sepeda motor.
Sebenarnya Ibu-Ibu itu ingin sekali ikut mengantar Kirana di stasiun. Namun karena kapasitas mobil yang tak mungkin untuk menampung sembilan orang lagi akhirnya terpaksa Bu Hadi menolak permintaan mereka.
Kirana merasa dirinya seperti hendak menunaikan ibadah haji. Dilepaskan dengan penuh cinta kasih dan diiringi doa. Dia tak pernah menyangka akan mendapatkan perhatian yang begitu hangat dari warga desanya.
"Nak Kirana," tegur Bu Hadi yang duduk di samping kemudi.
"Iya Bu."
Wanita itu kemudian menyodorkan tas plastik berisi makanan untuknya.
"Nak, ini ada sedikit bekal dari Ibu buat dinikmati saat si kereta nanti."
"Ya Allah Bu, merepotkan sekali saya. Sudah kemarin mas Aria tidak boleh bayar jasa Bapak, sekarang malah dibawakan bekal makanan. Terima kasih sekali ya Bu, semoga kebaikan Ibu dan Bapak dibalas oleh Gusti Pangeran," jawab Kirana sambil mencium aroma kue bolu yang menembus tas plastik dari Bu Hadi.
Bagian bawah tas plastik itu masih hangat, itu artinya Bu Hadi membuatnya dini hari. Sekali lagi, gadis berhidung lancip itu merasa terharu karena kebaikan orang-orang di sekitarnya.
***
Dengan malas Darell turun ke ruang makan dan menikmati sarapan bersama kedua orang tuanya. Namun dalam Keluarga Maxwell apabila keempat anggota keluarga mereka berada di rumah, wajib hukumnya untuk makan bersama dalam satu meja.
"Malas sekali untuk turun, pasti ujung-ujungnya bahas perjodohan konyol itu," gumam Darell sambil memperbaiki dasinya.
Darell melihat Ayah, Ibu dan adiknya Audrey sudah berkumpul di meja makan. Darell pun segera mengambil tempat di seberang Audrey yang hanya memakan buah-buahan untuk sarapan.
"Jangan lupa, kereta Kirana akan datang jam setengah lima sore. Kamu harus sudah di sana sebelum keretanya tiba!" perintah Ayah Darell tepat saat Darell meletakkan dua helai roti gandum di piringnya.
"Who is Kirana?" tanya Audrey tiba-tiba.
"She will be your sister in law," balas Dad.
"Wait, kuping gue gak salah denger kan kalau ternyata abang gue yang super playboy ini mau nikah," ejek Audrey yang membuat mood Darell semakin buruk.
"Berisik loe!" balas Darell.
"Seperti apa dia, anak pengusaha mana?" tanya Audrey pada orang tuanya.
"Dia anak sahabat Ayah dan Ibu, Oom Ridwan," jawab Mom.
"Tunggu-tunggu Oom Ridwan itu kalau gak salah temen Dad yang petani itu kan?"
"Ya benar."
"Kalau dipikir-pikir Oom Ridwan aneh juga ya, perusahaannya yang waktu itu maju malah dijual dan dipakai buat beli sawah dan kebun di desa bukannya malah gedein perusahaannya," komentar Audrey kali ini mampu menimbulkan inspirasi bagi Darell, ia berharap sekali kalau Audrey bisa jadi sekutunya.
"Ya kalau dilihat dari kelakuan Bapaknya yang aneh, sudah pasti kelakuan anaknya bakal aneh," jelas Darell mengompori Audrey.
"Darell, Jangan bicara hal buruk tentang calon mertua dan istrimu!" tegur James Maxwell dengan tegas.
"Tapi Dad,-"
"Ayah dan Ibu sudah mengatur semua, kau tinggal jalani saja. Ingat, jangan sampai membuat Kirana menunggu!" tambah Ibunya.
"Iya tuh nggak baik calon Istri dibiarin nunggu, bisa-bisa loe bakal gagal nikah," goda Audrey.
"Emang itu yang gue harepin, loe pasti bakalan kesel kalau liat orangnya," balas Darell.
Ayah Darell pun membulatkan matanya dan membuat kedua putra-putrinya yang telah dewasa ini menunduk melanjutkan makannya. Dengan kesal Darell mengunyah roti gandum yang telah diolesi selai kacang.
"Selamat datang di kandang singa Kirana," batin Darell yang tiba-tiba menemukan sebuah ide brilian untuk menghancurkan Kirana.
Perlahan-lahan kereta eksekutif yang dinaiki Kirana menjauh dari kota kelahirannya. Kota yang menyimpan begitu banyak cerita terutama kenangan bersama Ibunda tercinta.Diambilnya novel klasik milik Jane Austeen dari dalam tas ranselnya untuk membunuh waktu perjalanannya. Kirana menoleh ke belakang untuk mengira-ngira jarak dengan bangku belakangnya sebelum ia menurunkan sandaran kursinya, agar tak mengganggu penumpang yang duduk di belakangnya.Gadis berpenampilan sederhana itu memang selalu berhati-hati dalam setiap tindakannya. Selalu berusaha agar apa yang dilakukannya jangan sampai merugikan orang lain. Beruntung bangku di belakang dan sampingnya kosong, hingga ia bisa merasa leluasa.Kirana mengeluarkan kue bolu pemberian Bu Hadi dan mengirisnya dengan pisau plastik yang sudah disediakan. Seorang anak yang duduk di bangku depannya melirik ke arah Kirana yang tengah memotong kue.Gadis berkulit kuning lang
Darell menegak air putih di meja kerjanya sepeninggal Juwita. Apa yang dikatakan sekretarisnya, lebih tepatnya sexcretary mengganggu pikirannya."Sial! Gara-gara masalah perjodohan itu aku jadi lupa pakai pengaman," runtuk Darell.Terlihat ada sedikit ketakutan di wajahnya. Takut kebodohannya akan menghalangi kebebasannya. Apa kata keluarganya kalau Juwita sampai hamil anaknya."Eh, tapi aku kan baru sekali melakukannya tanpa pengaman, masa' iya bisa langsung jadi. Lagipula Juwita itu kan perempuan nggak bener, gak mungkin dia melakukan itu cuma sama aku," gumam Darell sambil melirik arloji rolex di tangan kirinya.Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Artinya dua setengah jam lagi perempuan yang akan dijodohkan dengannya akan datang."Hmm selamat datang Kirana, selamat menikmati kehidupanmu yang baru," gumamnya sambil tersenyum sinis.Darell pun segera menghubung
"Hey, Iswari kenapa mengintip jendela terus menerus?" tanya James Maxwell suaminya.Sedari tadi Ibu Darell tak henti-henti memandang keluar jendela ruang tamu. Walaupun sejauh pandangan matanya hanya terlihat halaman rumahnya saja."I am waiting for her, Honey," jawab Ibu Darell."Who? Kirana?""Ya, seharusnya dia sudah di sini sekarang," jawab Ibu Darell yang terlihat khawatir."Mungkin Darell mengajaknya mampir ke restoran atau ke kantornya dulu, tak perlu berlebihan seperti itu!"Ibu Darell mengerutkan dahinya. Ia tak setuju dengan pendapat suaminya. Sejak semalam Darell berusaha menolak mentah-mentah perjodohannya, dan putranya terlihat enggan untuk bertemu dengan Kirana."Sepertinya tidak mungkin Darell mengajaknya pegi. Sejak tadi wajahnya mengisyaratkan keterpaksaan saat diminta menjemput Kirana di stasiun.""Mungkin dia berubah pikiran karen
[Sekarang juga ke rumah Dad!]Begitu pesan yang baru muncul pada ponsel Darell bersamaan dengan pesan yang baru diterimanya dari Kirana. Tanpa menunggu lama Darell segera mengarahkan kemudinya ke arah rumah orang tuanya."Huh memyebalkan, pasti perempuan kampung itu yang ngadu macam-macam," gerutu Darell sambil memegang kemudi.Jika dia mendapatkan perintah dari Sang Ayah sudah pasti harus dilaksanakan. Ayahnya memang terkenal tegas, apapun perintahnya harus dilakukan segera, namun beliau orang yang penyayang."Ngeselin banget itu anak," omelnya lagi.Darell menambah kecepatan mobilnya dan memilih melewati jalan tol untuk mempersingkat waktu. Sambil terus-terusan mengomel sendiri sepanjang perjalanan. ***Kirana mengenakan kaos bergambar kartun yang sebagian gamb
"Dad tidak bisa melakukan ini padaku!" protes Darell tak bisa menerima keputusan Ayahnya."Kenapa tidak? Bukankah semua aset masih atas namaku?""Ini tak adil, selama ini aku yang bekerja keras untuk perusahaan sementara Audrey yang sibuk dengan dunianya akan mendapatkan semuanya.""Dad tak mengatakan akan memberikan semua pada Audrey."Wajar jika Darell merasa cemburu oleh adik perempuannya. Audrey sama sekali enggan melibatkan diri dengan perusahaan Maxwell. Gadis itu justru lebih suka berkutat dengan dunia animasinya.Perusahaan Maxwell pernah mengalami penurunan angka yang signifikan, namun berkat inovasi yang dilakukan Darell, perlahan-lahan angkanya mulai naik. Darell tak yakin jika Maxwell group akan stabil jika ditangani oleh Audrey yang masih labil dan bersikap seolah tak menikirkan masa depan."Lalu?" tanya Darell penasaran."Kau akan mengetahuinya n
Seperti biasa, hidangan beraneka ragam tersaji di meja saat sarapan. Aneka roti dan pelengkapnya serta nasi dan kawan-kawannya. Untuk pagi hari, aneka sajian memang sudah tersedia di meja, tidak menunggu permintaan baru dibuatkan seperti saat siang dan malam.Yang membedakan adalah, hari ini ada pemandangan yang sedikit berbeda. Iswari menata meja dengan ditemani seorang perempuan dan bukan pelayan di rumah mewah itu.Meski ada pelayan, Iswari selalu ikut serta menata meja menyiapkan keperluan suaminya. Darell terlihat tak semangat pagi ini, terlebih saat Ibunya menyenggol gadis yang menemaninya. Dengan patuh gadis itu pun mendekat ke arah Darell."Mas mau sarapan apa?" tanya Kirana yang sudah berada di samping Darell.Darell hanya memandangnya sinis, tak menjawab dan memilih untuk duduk."Kirana, Darell biasa minum kopi hitam saat sarapan, kamu buatin sana!" perintah Ibunya,
"Solusi?" tanya Darell mengeryitkan dahi."Ya, tiba-tiba saja aku kepikiran suatu ide.""Apa idemu?" tanya Darell tak sabar."Loe kudu nikah Rell.""Sialan loe, gue kira apaan. Sama aja kayak ide kemauan bokap gue. Enggak ah gue nggak bakal mau nikah sama cewek macam dia."Bastian tertawa melihat sahabatnya yang terkenal playboy itu. Ini pertama kalinya Bastian melihat Darell dipusingkan oleh seorang perempuan. Biasanya sahabatnya punya sejuta cara untuk menolak perempuan yang mengejar-ngejarnya."Tenang dulu Bro, gue kan belum kelar ngomongnya.""Apalagi kalau bukan nikah dengan Kirana. Loe tega ngeliat gue sengsara seumur hidup.""Yaela nggak gitu juga kali Rell, atau jangan-jangan loe beneran ngebet mau nikah sama dia."Darell meletakkan kotak rokoknya dengan kasar ke atas meja. Ia sungguh tak setuju dengan pernyataan Bastian.
"Kenapa Darell?" tanya gadis itu sambil memainkan rambut panjangnya."Nggak ... nggak ada apa-apa kok," jawab Darell menutupi keterkejutannya.Perempuan yang menegurnya adalah Jenny, gadis yang pernah dikencaninya beberapa hari saat mengunjungi kerabat Ayahnya di Sydney dua tahun lalu. Saat itu Jenny masih menjadi mahasiswa di sana."Kok sepertinya kamu kaget.""Iya kaget banget donk, kamu tinggal di sini?""Iya aku sudah hampir satu tahun tinggal di sini, dan hanya ini yang tersisa," jawabnya sedikit lirih."Kok aku nggak pernah lihat kamu, apa karena tempatku cuma aku jadikan tujuan istirahat saja ya.""Bisa jadi, aku pun juga bekerja sekarang.""Oh kamu kerja, sudah lulus ya berarti."Gadis itu tak menjawab pertanyaan Darell, sejenak ia menunduk, jelas terlihat perubahan pada raut wajah Jenny. Dia yang tadinya senang melihat Dare