"Yes, you are right. You gonna marry her!" tegas Ayah Darell dan menyuapkan potongan sandwhich ke mulutnya.
"Dad, sekarang sudah bukan abad ke delapan belas dan aku sudah bisa menentukan pilihanku sendiri. Lagi pula usiaku juga baru tiga puluh satu," keluh Darell yang mendadak kehilangan selera makannya.
"Dan sudah waktunya kamu untuk menikirkan masa depan."
"Oh, come on Dad, memangnya mana yang membuatku tak pernah memikirkan masa depan. Aku serius dalam melakukan pekerjaanku, selama aku menjadi CEO mana semua lancar-lancar saja kan?" Darell mencoba untuk membantah.
"Ya, tapi kau terlalu banyak bersenang-senang di luar sana. Dad sudah terlalu sering mendengar tentangmu terutama yang berurusan dengan perempuan."
"Dad, aku sudah bekerja keras seharian, wajar kan jika aku ingin sedikit bersenang-senang untuk merefresh pikiranku."
"Lagipula, aku nggak mau dijodoh-jodohkan terutama,-"
"Kirana anak yang baik," potong Ayah Darell sebelum putra sulungnya menyelesaikan kalimatnya.
"Benar kata Ayahmu, perempuan seperti Kirana ini sudah jarang sekali di zaman sekarang. Perempuan yang menjunjung tinggi tata krama, menghormati orang tua dan selalu bisa menjaga dirinya. Kamu harusnya merasa beruntung dijodohkan dengannya," Ibu Darell, Iswari yang sedari tadi diam mulai angkat bicara.
Darell menggaruk kepalanya dan memikirkan perkataan Ibunya. Merasa beruntung adalah frase yang terdengar janggal di telinganya.
Kirana memang bukan sosok asing baginya, dia adalah putri bungsu dari sahabat kedua orang tuanya. Terakhir kali dia bertemu Kirana adalah saat Ibunya meninggal beberapa tahun lalu.
Kirana memang perempuan kampung yang sederhana. Ayah dan Ibunya memilih untuk mengurus tanah pertaniannya di Jawa Tengah ketimbang berkarir di Ibukota.
Penampilannya sangat sederhana, sama seperti perempuan-perempuan yang datang melayat saat Ibunya meninggal dulu. Rambutnya hitam alami, tak memakai riasan dan sebagainya.
Tak pernah ada rasa tertarik yang mincul saat Darell bertatapan dengannya. Waktu itu Darell hendak memeluknya sebagai ungkapan belasungkawa karena baru saja kehilangan seorang Ibu. Sayang, gadis itu malah lari dan sepertinya mengira Darell ingin berbuat tidak-tidak.
"Huh dasar Ge-er, gak nyadar apa ya tampang loe kayak gimana, sama ART di rumah bokap gue aja lebih modis dia," batin Darell.
"Darell," tegur Ibunya membuyarkan lamunan Darell.
"Mom, please don't be like Dad!" pintanya.
"Apa kamu punya alasan untuk menolak Kirana?" tanya Mom.
"Ada beberapa alasan. Pertama aku masih belum memikirkan tentang pernikahan. Kedua, aku tak menyukai gadis kampung itu."
"Kirana, namanya Kirana Maheswari," lanjut Ibu Darell cepat.
"Yah itulah Mom, yang jelas aku tak menyukainya."
"Apa Kirana pernah menyakitimu? Kamu cuma beberapa kali bertemu dengannya kan?" tanya Ayah Darell.
"Ya, waktu menemani Mom dan Dad ke rumahnya yang di pelosok sana saat Ibunya meninggal."
"Apa yang dia perbuat sampai kau tidak suka dengannya?" tanya Ayahnya lagi.
Memang benar Kirana tak berbuat apa-apa. Dia lebih banyak mengurung diri, sangat terguncang oleh kematian Ibunya.
"Dia pernah mengira aku mau berbuat macam-macam dengannya, saat aku hendak memeluknya, padahal maksudku cuma memberi dukungan, sebagai ungkapan bela sungkawa saja," Darell tiba-tiba menemukan sebuah alasan yabg tepat untuk menolak Kirana.
Menganggap penolakan Kirana sebagai runtuhnya harga diri seorang playboy sepertinya.
"Cuma itu?" tanya Mom.
"Dad rasa itu bagus. Artinya dia tak bisa sembarang menerima pelukan dari laki-laki yang bukan suami atau saudaranya kan."
"Ya, artinya Kirana mampu menjaga dirinya. Tidak seperti perempuan-perempuan yang selama ini kamu temui, termasuk sekretaris kamu."
Darell menghembuskan napas panjang. Dia tak mengerti apa yang dipikirkan orang tuanya. Membandingkan Kirana dengan perempuan-perempuan yang selalu dikencaninya termasuk sekretarisnya Juwita.
Jelas Kirana tak ada apa-apanya. Dari cara berpakaian saja jelas beda jauh. Tidak ada yang menarik dari Kirana, sedangnkan perempuan-perempuan itu sungguh cantik, sexy dan modern. Juwita salah satunya yang cukup mengusik gairahDarell. Bahkan dia tak segan-segan menolak ajakan Darell ke hotel, atau di ruangannya.
Darell pun yakin kalau Kirana bukan orang yang berpendidikan. Ia menduga kalau keahliah Kirana hanya seputaran dapur dan sumur, untuk kasur dia tak mempercayainya. Kirana pasti akan seperti batang pohon pisang yang kaku saat di ranjang nanti, dan Darell tak suka itu.
"Sorry aku nggak bisa," Darell kembali mengungkapkan penolakannya.
"Darell, kamu tidak bisa menilai seseorang itu baik atau tidak tanpa kamu mengenalnya lebih dulu. Mom yakin kamu pasti akan menyukai Kirana, mungkin tidak saat ini tapi suatu hari nanti."
"Oh Mom, please!"
"Satu lagi, besok Kirana akan datang, kamu jemput dia di stasiun!" perintah Dad yang membuat dahi Darell berkerut.
Ayah dan Ibu Darell pun kembali menikmati santap pagi mereka. Tak peduli dengan apa yang dipikirkan oleh putranya saat ini.
***
Di suatu desa di Jawa Tengah, seorang gadis 25 tahun tampak menata pakaian di kamarnya.
Tok! Tok!
"Nduk, Bapak boleh masuk?" tegur sebuah suara setelah bunyi pintu kamarnya diketuk.
"Njih (Ya), Pak," jawabnya mengizinkan Ayahnya untuk masuk.
"Kamu sudah siap untuk ke tempat Budhe Iswari?"
"Sudah Pak, Budhe juga sudah kirim tiket buat Kirana," balas gadis itu lembut.
Kirana mengikat rambutnya, kemudian duduk di samping tas nya yang tak terlalu besar. Ia memandang ke arah Ayahnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Kali ini terasa berat bagi Kirana untuk meninggalkan Ayahnya.
"Jaga dirimu baik-baik ya Nduk!"
"Pasti Pak!"
"Bapak yakin mengizinkan Kirana pergi dan menerima undangan Budhe Iswari dan Pakdhe Jim?" tanya Kirana meraih telapak tangan Ayahnya yang mengeras.
"Iya Nduk, tapi semua terserah kamu, kalau kamu memang nggak bisa terima rencana Bapak dengan Pakdhe dan Budhe ya nggak masalah, nanti biar Bapak yang sampaikan."
"Lho, mboten (tidak) Pak, Kirana mau koq. Apa yang Bapak dan almarhum Ibu pilihkan buat Kirana Insya Allah baik untuk Kirana. Lagipula tak baik untuk membatalkan pinangan secara sepihak," jawabnya patuh.
Beberapa waktu lalu, James dan Iswari Maxwell memang datang ke rumah Kirana. Suami Istri yang biasa dipanggil Pakdhe Jim dan Budhe Is oleh Kirana ini datang dengan niat baik. Meminta Kirana pada ayahnya agar menjadikan menantu mereka, sesuai rencana masa muda orang tua mereka.
Sayang, putra mereka Darell tak ikut serta lantaran harus menyelesaikan urusan bisnis di luar negri. Kirana yang sudah mengenal keluarga Maxwell dengan baik pun menerima pinangan itu.
Sejak kecil Kirana memang tak pernah membuat masalah di lingkungan keluarganya, sama seperti kedua kakaknya. Dia sopan, rajin dan cekatan.
"Kirana cuma mikir Bapak. Kalau saya pergi, siapa yang akan merawat Bapak di sini?" tanyanya sambil menunduk.
Beberapa waktu lalu Pak Ridwan baru saja jatuh dan membuat tempurung lututnya bergeser. Karena usia yang tak lagi muda, maka proses penyembuhannya jauh lebih lama.
"Nggak usah mikirin Bapaklah, Bapak masih bisa jalan koq. Lagi pula Bapak juga gak kemana-mana."
"Bener dek, nggak usah pusingin soal Bapak, Mbak sama Mas kan ada," Rafika, kakak ipar Kirana tiba-tiba muncul di pintu kamar yang terbuka.
"Eh, Mbak."
"Maaf, tadi Mbak gak sengaja dengar pas lewat kamarmu, jadi Mbak ikutan deh."
"Kamu denger sendiri kan kalo ada Fika dan Mas mu Aria di sini."
"Nggak pa pa Mbak? Mbak Fika kan juga punya dua anak kecil?"
"Walah Ki, Ki ngurus orang tua koq repot, piye (bagaimana) to Nduk?"
Lengkungan tipis tercipta di wajah Kirana yang polos tanpa riasan.
"Makasih Mbak, Kirana titip Bapak ya?"
"Iya, kamu nggak usah khawatir."
"Kamu yang sabar di sana ya Nduk. Kamu dan Darell memang belum terlalu dekat, mungkin bakal ada perbedaan kebiasaan kamu di sini dan di tempat Pakdhe, kamu yang pintar menyesuaikan diri ya," nasihat Pak Ridwan.
"Iya Pak."
Fika pun mulai duduk menjejeri Kirana dan merangkul adik iparnya.
"Pertahankan sikapmu yang rendah hati, santun seperti ini ya. Mbak harap kamu nggak berubah, tetap jadi anak yang rajin, taat dan hormat pada orang tua. Kamu juga harus bisa ngeladeni Darell calon suami kamu."
"Iya Mbak, Kirana banyak belajar dari Mbak."
***
Darell pun masuk ke dalam kamar tidur. Kamar yang selalu digunakannya jika berkunjung ke rumah kedua orang tuanya. Berdiri di balkon sambil memandangi kolam renang.
"Heran, kenapa sih Mom dan Dad ngotot banget jodohin aku dengan Kirana," gerutunya sendiri.
Sampai kini ia tak bisa menerima keputusan kedua orang tuanya yang dilakukan secara sepihak itu. Darell terus saja memikirkan bagaimana caranya agar perjodohannya dengan Kirana dibatalkan.
"Hmm, kalo gue gak bisa bikin Mom and Dad batalin perjodohan, apa mungkin Kirana bisa ngelakuinnya ya? Ok Kirana kita lihat nanti, gue bakal bikin loe nggal betah di sini dan nolak permintaan orang tua gue," gumam Darell tersenyum penuh kemenangan.
"Nduk, Bapak nggak ngantar ya," kata Pak Ridwan pada Kirana pagi itu sambil memegangi lututnya."Nggak pa pa Pak, Kirana bisa koq berangkat sendiri, kemarin Mas Aria sudah pesankan mobil Pak Hadi.""Maaf ya Na, Mas Aria nggak bisa antar juga karena harus apel pagi," tambah Mbak Fika.Kirana punya dua orang kakak laki-laki, yang pertama Aria yang berprofesi sebagai PNS di kantor kecamatan. Kakaknya yang kedua merantau di tambang batubara Kalimantan. Kirana sendiri memiliki usaha pengolahan hasil tani yang kini di tangani dari jauh.Kirana memang pernah berjanji untuk memajukan desanya. Memanfaatkan setiap potensi yang ada bersama para warganya, dan ia berhasil. Sayang, saat ini ia harus pergi."Nduk, kamu simpan ini ya!" kata Pak Ridwan menyerahkan kantong kecil ke dalam genggaman Kirana."Apa ini Pak?" Kirana menatap pria yang sudah berkeriput di hadapannya."Punya
Perlahan-lahan kereta eksekutif yang dinaiki Kirana menjauh dari kota kelahirannya. Kota yang menyimpan begitu banyak cerita terutama kenangan bersama Ibunda tercinta.Diambilnya novel klasik milik Jane Austeen dari dalam tas ranselnya untuk membunuh waktu perjalanannya. Kirana menoleh ke belakang untuk mengira-ngira jarak dengan bangku belakangnya sebelum ia menurunkan sandaran kursinya, agar tak mengganggu penumpang yang duduk di belakangnya.Gadis berpenampilan sederhana itu memang selalu berhati-hati dalam setiap tindakannya. Selalu berusaha agar apa yang dilakukannya jangan sampai merugikan orang lain. Beruntung bangku di belakang dan sampingnya kosong, hingga ia bisa merasa leluasa.Kirana mengeluarkan kue bolu pemberian Bu Hadi dan mengirisnya dengan pisau plastik yang sudah disediakan. Seorang anak yang duduk di bangku depannya melirik ke arah Kirana yang tengah memotong kue.Gadis berkulit kuning lang
Darell menegak air putih di meja kerjanya sepeninggal Juwita. Apa yang dikatakan sekretarisnya, lebih tepatnya sexcretary mengganggu pikirannya."Sial! Gara-gara masalah perjodohan itu aku jadi lupa pakai pengaman," runtuk Darell.Terlihat ada sedikit ketakutan di wajahnya. Takut kebodohannya akan menghalangi kebebasannya. Apa kata keluarganya kalau Juwita sampai hamil anaknya."Eh, tapi aku kan baru sekali melakukannya tanpa pengaman, masa' iya bisa langsung jadi. Lagipula Juwita itu kan perempuan nggak bener, gak mungkin dia melakukan itu cuma sama aku," gumam Darell sambil melirik arloji rolex di tangan kirinya.Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Artinya dua setengah jam lagi perempuan yang akan dijodohkan dengannya akan datang."Hmm selamat datang Kirana, selamat menikmati kehidupanmu yang baru," gumamnya sambil tersenyum sinis.Darell pun segera menghubung
"Hey, Iswari kenapa mengintip jendela terus menerus?" tanya James Maxwell suaminya.Sedari tadi Ibu Darell tak henti-henti memandang keluar jendela ruang tamu. Walaupun sejauh pandangan matanya hanya terlihat halaman rumahnya saja."I am waiting for her, Honey," jawab Ibu Darell."Who? Kirana?""Ya, seharusnya dia sudah di sini sekarang," jawab Ibu Darell yang terlihat khawatir."Mungkin Darell mengajaknya mampir ke restoran atau ke kantornya dulu, tak perlu berlebihan seperti itu!"Ibu Darell mengerutkan dahinya. Ia tak setuju dengan pendapat suaminya. Sejak semalam Darell berusaha menolak mentah-mentah perjodohannya, dan putranya terlihat enggan untuk bertemu dengan Kirana."Sepertinya tidak mungkin Darell mengajaknya pegi. Sejak tadi wajahnya mengisyaratkan keterpaksaan saat diminta menjemput Kirana di stasiun.""Mungkin dia berubah pikiran karen
[Sekarang juga ke rumah Dad!]Begitu pesan yang baru muncul pada ponsel Darell bersamaan dengan pesan yang baru diterimanya dari Kirana. Tanpa menunggu lama Darell segera mengarahkan kemudinya ke arah rumah orang tuanya."Huh memyebalkan, pasti perempuan kampung itu yang ngadu macam-macam," gerutu Darell sambil memegang kemudi.Jika dia mendapatkan perintah dari Sang Ayah sudah pasti harus dilaksanakan. Ayahnya memang terkenal tegas, apapun perintahnya harus dilakukan segera, namun beliau orang yang penyayang."Ngeselin banget itu anak," omelnya lagi.Darell menambah kecepatan mobilnya dan memilih melewati jalan tol untuk mempersingkat waktu. Sambil terus-terusan mengomel sendiri sepanjang perjalanan. ***Kirana mengenakan kaos bergambar kartun yang sebagian gamb
"Dad tidak bisa melakukan ini padaku!" protes Darell tak bisa menerima keputusan Ayahnya."Kenapa tidak? Bukankah semua aset masih atas namaku?""Ini tak adil, selama ini aku yang bekerja keras untuk perusahaan sementara Audrey yang sibuk dengan dunianya akan mendapatkan semuanya.""Dad tak mengatakan akan memberikan semua pada Audrey."Wajar jika Darell merasa cemburu oleh adik perempuannya. Audrey sama sekali enggan melibatkan diri dengan perusahaan Maxwell. Gadis itu justru lebih suka berkutat dengan dunia animasinya.Perusahaan Maxwell pernah mengalami penurunan angka yang signifikan, namun berkat inovasi yang dilakukan Darell, perlahan-lahan angkanya mulai naik. Darell tak yakin jika Maxwell group akan stabil jika ditangani oleh Audrey yang masih labil dan bersikap seolah tak menikirkan masa depan."Lalu?" tanya Darell penasaran."Kau akan mengetahuinya n
Seperti biasa, hidangan beraneka ragam tersaji di meja saat sarapan. Aneka roti dan pelengkapnya serta nasi dan kawan-kawannya. Untuk pagi hari, aneka sajian memang sudah tersedia di meja, tidak menunggu permintaan baru dibuatkan seperti saat siang dan malam.Yang membedakan adalah, hari ini ada pemandangan yang sedikit berbeda. Iswari menata meja dengan ditemani seorang perempuan dan bukan pelayan di rumah mewah itu.Meski ada pelayan, Iswari selalu ikut serta menata meja menyiapkan keperluan suaminya. Darell terlihat tak semangat pagi ini, terlebih saat Ibunya menyenggol gadis yang menemaninya. Dengan patuh gadis itu pun mendekat ke arah Darell."Mas mau sarapan apa?" tanya Kirana yang sudah berada di samping Darell.Darell hanya memandangnya sinis, tak menjawab dan memilih untuk duduk."Kirana, Darell biasa minum kopi hitam saat sarapan, kamu buatin sana!" perintah Ibunya,
"Solusi?" tanya Darell mengeryitkan dahi."Ya, tiba-tiba saja aku kepikiran suatu ide.""Apa idemu?" tanya Darell tak sabar."Loe kudu nikah Rell.""Sialan loe, gue kira apaan. Sama aja kayak ide kemauan bokap gue. Enggak ah gue nggak bakal mau nikah sama cewek macam dia."Bastian tertawa melihat sahabatnya yang terkenal playboy itu. Ini pertama kalinya Bastian melihat Darell dipusingkan oleh seorang perempuan. Biasanya sahabatnya punya sejuta cara untuk menolak perempuan yang mengejar-ngejarnya."Tenang dulu Bro, gue kan belum kelar ngomongnya.""Apalagi kalau bukan nikah dengan Kirana. Loe tega ngeliat gue sengsara seumur hidup.""Yaela nggak gitu juga kali Rell, atau jangan-jangan loe beneran ngebet mau nikah sama dia."Darell meletakkan kotak rokoknya dengan kasar ke atas meja. Ia sungguh tak setuju dengan pernyataan Bastian.