Selesai menghadiri acara wisuda di JCC Senayan, Bara langsung pulang ke kantor. Begitu melangkah keluar dari aula wisuda yang masih ramai oleh keluarga para wisudawan yang sibuk berfoto, Bara hanya membalas sapaan beberapa tamu penting dengan anggukan singkat.Di pelataran gedung, sopir pribadinya sudah sigap berdiri membukakan pintu belakang mobil hitam obsidian yang terparkir rapi di bawah terik matahari siang. Sedangkan Sofyan selalu setia mengiringi langkahnya, dengan tablet dan map dokumen di tangannya.Bara masuk ke dalam mobil tanpa sepatah kata, membiarkan AC dingin meredam panas matahari di jas hitamnya. Ia hanya memberi isyarat kecil dengan telapak tangan, membuat Sofyan segera masuk ke kursi penumpang depan, tablet terbuka di pangkuannya.Sepanjang perjalanan ke kantor, Bara hanya menatap ke luar jendela. Langit siang yang cerah sama sekali tak mampu mengusir awan gelap di kepalanya, bayang-bayang Cheryl tetap melekat di sudut matanya.Masih teringat jelas prosesi wisuda ta
“Terima kasih buat makan siangnya. Aku harus segera balik ke rumah sakit, masih ada urusan,” ujar Valen sambil berdiri, bersiap pergi.Axel langsung menyusulnya. Memeluk om kesayangannya itu, menepuk-nepuk pelan pundaknya. “Makasih buat waktunya yang berharga, Om.”Nyonya Linda tersenyum, ikut berdiri di sisi Valen, matanya menatap lembut pada adiknya itu. “Senang sekali kamu bisa datang ke sini, Val.” Ia merasa terharu karena perhatian Valen yang besar pada Axel. Keberadaan Valen telah mengisi kekosongan putranya akan figur seorang ayah.“Saya juga pamit. Terima kasih buat jamuan makan siangnya,” ujar Cheryl sambil ikut berdiri, menghampiri Nyonya Linda.“Serius mau pulang sekarang?” Axel menatap Cheryl, jelas ada nada enggan di suaranya, seperti ingin menahan gadis itu sedikit lebih lama di rumahnya.“Janjinya cuma makan siang, kan?” sahut Cheryl pelan. Senyum tipisnya membuat Axel terpaksa menghela napas, menyerah pada jawaban itu.“Oke, kuantar kamu pulang,” kata Axel akhirnya, na
“Fyi, Ma. Aku udah beberapa kali nembak Cheryl tapi ditolak. Dan sekarang, Mama pengen aku nembak Cheryl lagi? Di depan Mama? Mama siap tengsin ngeliat anak bujang semata wayang ini bakal ditembak lagi?” cerocos Axel setengah bercanda, setengah serius. Mulut Nyonya Linda membulat dramatis. “Wah, kasihan sekali anak lelakiku satu-satunya ini?” godanya dengan nada pura-pura prihatin, padahal sorot matanya jelas-jelas menyimpan tawa.Axel mendengus. ‘Mama macam apa ini?’ batinnya. Bukannya membela, malah senang saat anaknya gagal di medan percintaan.Sementara itu Nyonya Linda hanya mengulum senyum. Ia melirik Cheryl, lalu berkata dengan nada ringan, “Bagus, Cheryl. Kamu masih muda, pintar, dan cantik. Masa depanmu masih panjang. Sekarang ini… lebih baik kamu sibuk mengembangkan karirmu, daripada terbuai rayuan gombal lelaki yang belum tentu bisa kasih kamu jaminan kesejahteraan di masa depan.”Axel langsung manyun. Hih! Bukannya membantu menaikkan pamornya sebagai ‘calon pewaris tungga
Cheryl duduk kaku di kursinya. Di depannya, meja makan marmer putih terbentang dengan deretan piring porselen dan vas bunga segar yang wangi. Aroma steak wagyu panggang, sup krim jamur, dan salad segar memenuhi ruangan, membuat perut Cheryl yang sedari tadi berontak langsung bergolak lagi.Axel duduk di sebelahnya, menuangkan air minum ke gelas Cheryl. Sementara di ujung meja, Nyonya Linda memandang Cheryl dengan senyum hangat yang sama sekali tak terasa dibuat-buat.“Ayo makan, Cheryl. Jangan malu-malu,” ujar Nyonya Linda sambil mendorong mangkuk salad ke arah Cheryl.Cheryl buru-buru tersenyum sopan, berusaha menelan gugup di tenggorokan. “Terima kasih, Tante,” katanya pelan.“Tadi kudengar dari Axel, kamu dapat beasiswa S2?” tanya Nyonya Linda, mencondongkan badan sedikit ke depan. Tatapannya tajam tapi hangat—mata seorang ibu yang tulus ingin tahu.Cheryl mengangguk singkat. “Iya, beasiswa dari Sinar Abadi Foundation. Kebetulan… saya memang ingin melanjutkan kuliah sambil kerja.”
Mesin Lamborghini meraung pelan, ban sportnya berdecit ringan saat melewati portal keamanan di sebuah kawasan elite Kebayoran Baru—Jakarta Selatan. Cheryl terbelalak, menatap deretan rumah megah di sisi kanan-kiri jalanan paving yang rapi. Kanopi pohon-pohon mahal meredam terik matahari, memantulkan kilau jingga di kap mobil oranye terang itu.Cheryl terkejut saat Axel membelokkan setir, masuk ke jalur batu koral putih, menuju sebuah gerbang rumah besar yang terbuka otomatis begitu sensor mendeteksi mobil mereka. Pilar-pilar tinggi, lampu taman elegan, dan taman depan yang asri langsung menyambut. Di ujung jalur, terpampang rumah modern minimalis dengan desain kaca tinggi, kayu solid, dan sentuhan marmer di fasadnya. Terlihat luas, tenang, tapi juga memancarkan aura kelas atas.“Axel, kita ke mana ini? Memangnya di sini ada restoran?” tanya Cheryl bingung. Suaranya terdengar bergetar, seiring Lamborghini melaju perlahan melewati gerbang terbuka.Axel hanya tersenyum kecil, tak menja
Mesin Lamborghini meraung halus di jalan protokol Senayan. Di luar kaca jendela yang sedikit gelap, gedung-gedung tinggi SCBD lewat bagai klip musik super mahal.Di dalam kabin supercar berbalut kulit hitam dan aksen emas itu, suasana justru terasa jauh lebih santai dibanding tampilan luarnya yang sangar.Hembusan AC dingin dari ventilasi di dashboard Lamborghini menampar halus kulit leher Cheryl, menepis sisa hawa panas Jakarta siang itu. Aroma kulit asli yang mahal, bercampur wangi maskulin parfum Axel, memenuhi ruang sempit kabin. “Kita mau ke mana sih? Buruan, aku udah lapar, tau! Jangan cuma muter-muter nggak jelas cuma buat pamer mobilmu,” omel Cheryl sambil memangku plakat penghargaan dengan satu tangan, sementara tangan satunya memeluk buket bunga dan boneka beruang raksasa yang nyaris memenuhi setengah kabin.Bahunya sedikit terangkat, berusaha menahan plakat agar tidak tergores sabuk pengaman. Sesekali boneka beruang itu bergeser, menabrak lututnya setiap kali Axel memindah