Cheryl mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, menatap satu per satu perabot yang mengisi rumahnya. Sofa empuk di ruang tamu, meja makan kayu jati dengan ukiran sederhana, lemari TV yang sudah menjadi tempatnya menaruh buku-buku dan koleksi kecil. Barang-barang itu bukan hanya harta benda, melainkan saksi bisu banyak kenangan yang pernah ia lalui di sini bersama bapak. Namun, keadaan menuntutnya untuk harus segera melepas semua itu. Tak mungkin semua barang ini bisa ia bawa jika batas kesanggupannya hanyalah menyewa kamar kos kecil. Dengan berat hati, ia memutuskan menjualnya kepada tetangga dengan harapan bisa mendapatkan uang tambahan. Lima belas tahun hidup berdampingan sebagai tetangga, membuat simpati mereka untuk Cheryl cukup kuat. Akhirnya, satu demi satu tetangga bersedia membeli barang-barang itu, meskipun mungkin sebenarnya mereka tak betul-betul sedang membutuhkannya. Sofa ruang tamu dan AC dibeli Pak Budi untuk anaknya yang baru menikah. Meja makan berbahan ka
Di dalam sebuh ruangan yang hening, terdengar bunyi detik jam di dinding. Bara duduk tegak di kursinya, matanya yang tajam memindai layar laptop di depannya. Pintu diketuk pelan, lalu terbuka. Seorang wanita melangkah masuk membawa setumpuk dokumen dan berdiri di depan meja Bara.“Dokumen untuk rapat nanti sore, Pak,” ujar sekretarisnya dengan nada hormat, meletakkan dokumen dengan hati-hati di atas meja.Bara tak segera menoleh. Jari-jarinya masih bergerak mengetik beberapa kalimat terakhir di laptop sebelum akhirnya berhenti. Dia mengambil dokumen pertama dari tumpukan. Tidak ada basa-basi. Dia langsung membaca.Sekretarisnya berdiri diam, menunggu. Sementara itu Bara membalik halaman demi halaman, matanya mengamati setiap detail dengan cermat. Di salah satu halaman, alisnya sedikit terangkat. Dia menunjuk sebuah baris dengan ujung pulpennya.“Apa ini?” tanyanya, nada suaranya datar tapi mengandung tekanan.“Saya pikir itu… data yang relevan, Pak,” jawab si sekretaris dengan nada se
Air hangat menyentuh kulit Cheryl seperti pelukan yang menenangkan, menghilangkan rasa lelah yang menghantui tubuhnya sejak pagi. Seharian tadi, ia memenuhi dua panggilan perusahaan sekaligus untuk tes dan interview. “Ini masih bukan apa-apa… perjuanganku masih panjang,” gumamnya seraya berbaring di bathtub dengan mata terpejam, membiarkan aroma lavender dari gelembung sabun memenuhi indra penciumannya. Pikiran Cheryl melayang, mencoba melepaskan diri dari semua kekhawatiran tentang pekerjaan, uang, dan masa depan yang belum pasti.“Untuk sementara waktu, hanya aku dan ketenangan ini,” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan kepada dirinya sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi relaksasi yang perlahan menyelimuti seluruh tubuhnya.Setelah selesai mandi, Cheryl mengenakan piyama longgar yang nyaman dan merapikan rambutnya sebentar sebelum berbaring di tempat tidur. Tubuhnya terasa lebih ringan, dan pikirannya sedikit lebih tenang setelah menikmati waktu relaksasi di
“Setelah kemarin-kemarin ia memintaku untuk tinggal di rumahnya—seolah betul-betul peduli, sekarang dia pura-pura tak mengenaliku?” Dengan langkah menghentak, Cheryl meninggalkan lobi, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian barusan. Namun, ia berhenti sejenak sambil memegangi perutnya yang keroncongan.“Duh, kenapa harus sekarang?” keluhnya sambil menahan rasa lapar yang sejak tadi ia abaikan.Menyadari ia tak mungkin bertahan di perjalanan tanpa makanan, Cheryl akhirnya menuju kafetaria terdekat yang ada di gedung itu. Meskipun sudah tahu harga menu di sana lebih mahal, saat ini ia tak punya pilihan lain.Di kafetaria, Cheryl memerhatikan menu yang terpampang di layar digital dengan alis berkerut. Hampir semua makanan yang ditawarkan memiliki harga fantastis untuk ukuran kantongnya. Ia menghela napas panjang, lalu memilih satu menu termurah yang masih masuk akal.“Pesan nasi putih dengan sup ayam saja,” ujarnya kepada pelayan. Dalam hatinya ada rasa getir karena harus begitu
Bus Transjakarta itu sudah penuh sesak sejak halte pertama, dan semakin lama semakin tak manusiawi. Desakan dari tubuh-tubuh di sekelilingnya membuat Cheryl nyaris kehilangan napas.Cheryl berdiri dengan satu tangan memegang gantungan, sementara tangan lainnya berusaha melindungi tasnya agar tak terselip di antara kerumunan. "Maaf, geser sedikit, Bu," katanya pada penumpang di sebelahnya, tapi permintaannya berlalu seperti angin. Suaranya tenggelam dalam hiruk-pikuk percakapan, keluhan, dan deru mesin.Cheryl menghela napas pasrah seraya mengalihkan pandangan ke luar jendela. Jalan protokol Jakarta dilewati mobil-mobil mewah yang melaju dengan anggun. Ia mendengus pelan. "Enaknya punya mobil sendiri," gumamnya getir. "Tinggal duduk manis disopirin kemana-mana, nggak perlu begini, desak-desakan kayak ikan pepes."Tanpa sadar, pikirannya melayang pada sosok Bara yang juga memiliki mobil mewah seperti yang sedang melintas di sana. Cheryl akui, pria itu seperti paket lengkap yang diidamka
Pesan Cheryl muncul di layar ponsel Bara—pendek, namun memancing perhatiannya. Tak lama, sebuah pesan lanjutan masuk, menyertakan alamat tempat Cheryl tinggal. Usai membacanya, senyum tipis muncul di bibir Bara.“Drama lagi,” gumamnya, nada suaranya dingin, nyaris tak peduli.Dia memasukkan ponselnya ke saku jas, melangkah melewati lobi "Apex Insight Solutions." Ketukan langkahnya terdengar berirama di lantai lobi. Para pegawai yang berlalu-lalang segera menyapa dengan senyum dan anggukan hormat. Bara hanya membalas dengan anggukan kecil. “Selamat siang, Pak,” sapa petugas keamanan dengan nada sopan, berdiri tegak di dekat portal akses menuju area lift. Bara hanya mengangguk ringan tanpa menghentikan langkahnya.Di dalam lift VIP yang mewah, bayangan Bara di dinding logam yang mengilap menarik perhatiannya sejenak. “Apa dia melamar kerja di sini?” gumamnya lirih.Saat pintu lift terbuka, Bara berjalan keluar dengan langkah tegas, auranya yang dingin namun karismatik langsung terasa di
"Macet banget ya, Pak." Sopir taksi yang ditumpangi Bara mencoba mencairkan suasana seraya melirik ke kaca spion. Tetapi Bara hanya diam, sibuk memainkan ponsel di tangannya."Jakarta makin hari makin parah saja macetnya," lanjut sopir itu, tak menyerah pada keheningan. "Dulu saya pikir gubernur baru bisa bawa perubahan. Tapi nyatanya, siapa pun yang pegang jabatan, macet tetap ada."Bara menghela napas panjang, masih memilih diam. Pikirannya terlalu penuh dengan urusan bisnis dan juga Milena. Dia tak punya waktu untuk mendengarkan keluhan soal kemacetan.Sopir itu terdiam sejenak, menyadari bahwa penumpangnya tidak tertarik pada basa-basinya. Iapun tersenyum sendiri dan bergumam pelan, “Ah, Cheryl kan lagi sidang skripsi hari ini. Semoga lancar-lancar ya, Nak. Bapak udah doakan siang-malam buat kelancaran sidangmu hari ini. Semoga dosen pengujimu nggak ada yang rese.”Gumaman kecil itu membuat Bara melirik ke arah spion. Tanpa sengaja, sopir itu juga mengangkat pandangannya ke arah
Dering telepon di meja kerja Bara memecahkan lamunannya. Ia mengedipkan mata, mengusir bayangan kecelakaan yang masih membekas jelas di pikirannya. Tanpa menunggu lama, ia mengangkat gagang telepon.Suara Nina, sekretarisnya, terdengar dari ujung sambungan. “Pak, saya sudah bertanya ke bagian HRD. Memang ada kandidat karyawan bernama Cheryl Anindita. Tapi dia sudah gugur di tes akhir hari ini karena terlambat datang.”Bara bersandar di kursinya, matanya menyipit. “Selain karena terlambat datang, apa ada alasan lain?” selidiknya, ia mulai sedikit penasaran.“Ada kandidat lain yang lebih kuat, Pak," jelas Nina. "Oya. Seperti yang Bapak minta tadi, saya sudah mengirimkan CV Cheryl ke email Bapak."Bara mendengarkan dengan tenang, tapi pikirannya bergejolak. Ia teringat pada cerita si sopir taksi tentang Cheryl. Gadis itu memiliki kemampuan akademis yang mengesankan, begitu kata bapaknya. Tapi jika benar ia terlambat, bagaimana mungkin seseorang dengan reputasi seperti itu membiarkan diri
Bara tahu apa maksud Milena. Ia tahu itu bukan tentang pekerjaan. Itu tentang penundukan. Tentang mempermalukan. Tentang membalas dendam dengan cara paling elegan namun menyakitkan.Lelaki itu berdiri tegap di samping Cheryl. Matanya terpaku pada wajah kakeknya, lalu beralih tajam ke arah Milena yang duduk di atas kursi rodanya dengan ekspresi puas, seolah baru saja memenangkan permainan yang telah dirancangnya sejak awal.‘Brengsek. Mereka boleh saja menekanku, aku siap menghadapi mereka dengan cara apapun. Tapi mereka tidak boleh melakukan ini pada Cheryl, pada istri yang kucintai,’ geramnya dalam hati.Dadanya terasa mengencang, seolah ada bara api yang menyala dan membakar dari dalam. Otot rahangnya menegang seperti kawat baja yang hampir putus. Ia melihat segalanya dalam gerak lambat: tatapan Milena yang seperti menelan Cheryl hidup-hidup, ekspresi Tuan Sigit yang dingin dan menghakimi, serta Cheryl yang berdiri kaku di sampingnya, dengan bahu sedikit bergetar dan sorot mata yang
Milena terpana di atas kursi rodanya. Ia duduk tegak, punggung lurus seolah tak ingin memberi celah sedikit pun bagi rasa lemah untuk terlihat. Jari-jarinya yang terletak di pangkuan sempat mengepal, namun segera ia renggangkan kembali dengan tenang, menjaga penampilannya tetap anggun.“Dari mana kamu mendapat cincin dan kalung itu, Cheryl?” ucapnya lirih.Nada suaranya tak meninggi, tapi mengandung ketegasan yang dingin dan menusuk. Tidak perlu berteriak. Kalimat itu meluncur ringan, namun cukup nyaring terdengar.Hening mendadak menyelimuti udara, bersama semua mata yang kini memandang ke arah Cheryl.Sorot mata Milena tajam, dingin, dan menyala dengan kekecewaan yang berusaha ia redam. Tubuhnya mungkin tak mampu melangkah mendekat, tapi keangkuhan dan harga dirinya tetap tegak berdiri. Kepalanya sedikit dimiringkan, seolah tengah menilai seseorang yang telah melewati batas.“Itu… milikku,” lanjutnya dengan suara yang sedikit lebih berat. “Bara membelikannya untukku di Paris. Kamu m
Di dapur, Cheryl tersentak. Suara Bara terdengar jelas, bulat, dan tanpa ragu. Kalimat itu, “Dia sangat berharga untukku,” menghempas dirinya seperti angin kencang yang datang tanpa aba-aba.Tubuhnya membeku, seolah waktu berhenti tepat saat kalimat itu mengalun dari bibir pria yang diam-diam telah menjadi pusat dari segala yang ia jaga. Dadanya bergetar hebat, seolah jantungnya menabrak dinding rusuk berulang kali. Sebuah rasa hangat meledak dari dalam dadanya, menyebar cepat hingga membuat jemarinya gemetar dan kakinya nyaris tak berpijak. Ia tak pernah berani membayangkan akan mendengar pengakuan itu secara terbuka. Dan ketika itu terjadi… rasanya terlalu indah untuk menjadi nyata.Namun kebahagiaan itu tak datang sendirian.Secepat gelombang hangat itu menyapu tubuhnya, datang pula dingin yang menggigit, mencengkeram tengkuknya dengan kuku-kuku tajam bernama ketakutan. Ditambah, suara berat Tuan Sigit yang menyusul kemudian, menyayat udara seperti belati.“Cheryl berharga? Seber
Di ruang makan, semua mata kini tertuju pada Bara. Sorot terkejut tergambar jelas di wajah Tuan Sigit. Bahkan, Nyonya Dania yang semula tertawa ringan, kini mematung dalam diam. Tapi yang paling mencolok adalah Milena, tangannya yang semula santai menggenggam pegangan kursi rodanya kini menegang. Jari-jarinya mencengkeram plastik pelapis kursi seperti mencoba mencari pegangan atas realita yang tiba-tiba berubah dingin.Bara menatap ke depan, tak bergerak. Biarpun dalam dadanya berdegup kencang, namun wajahnya tetap tenang, seperti topeng yang sudah lama ia pelajari untuk dikenakan. Ia tahu apa yang baru saja ia ucapkan bisa menimbulkan riak yang lebih dari sekadar kemarahan orangtua Milena dan kakeknya. Tapi prioritasnya saat ini adalah mempertahankan Cheryl. Masih lekat dalam ingatannya ketegaran yang ia lihat di mata wanita itu ketika berpaling, adalah sesuatu yang tak bisa lagi ia abaikan. Tidak. Bara tak ingin kehilangan Cheryl, tidak sekarang atau besok. Jika ia harus melawan
Air hangat yang menyapu kulitnya seperti selimut lembut dari langit, membuat Cheryl perlahan merasa tenang. Uap tipis memenuhi kamar mandi, membungkus tubuhnya dalam kehangatan, cukup menenangkan badai yang bergemuruh dalam pikirannya. Ia menutup mata, membiarkan air itu jatuh dari bahunya, meresap hingga ke pori-pori, seakan bisa membilas luka yang tinggal karena pernikahan sirinya dengan Bara kini berada di ujung jurang.Cheryl lelah. Letih yang tak lagi bisa ditawar. Dan kali ini, ia memilih menyerah. Karena apa gunanya mempertahankan sebuah ikatan yang bahkan hukum pun tidak mengakuinya? Terlebih, Bara telah resmi bertunangan dengan Milena. Di depan keluarga besar mereka, di hadapan dunia. Cheryl kalah. Dan kekalahan itu terasa begitu nyata, seperti pecahan kaca yang menusuk setiap inci hatinya.Selesai mandi, Cheryl melangkah pelan ke arah lemari. Jemarinya menyentuh gaun-gaun indah, pakaian serba mahal yang dibelikan Bara, yang pernah membuatnya merasa dicintai, membuatnya sep
Bara menggertakkan rahang. Rasanya, ia ingin sekali membanting pintu dapur, berteriak, bahkan mengusir semua orang dari rumah ini. Tapi ia tahu, semua itu hanya bisa ia lakukan dalam khayalannya saja. Ia menunduk sejenak, mengatur napas. Menelan bulat-bulat kekecewaan yang belum sempat ia sembuhkan pagi ini. Kemudian, ia meletakkan kembali nampan ke atas meja. Matanya masih menatap makanan yang ingin ia sajikan untuk Cheryl itu beberapa detik, penuh rasa berat yang tak terkatakan, sebelum akhirnya ia berbalik dan berjalan menuju ruang tamu. Setiap langkahnya bergema dalam kesunyian rumah, dan setiap detik terasa seperti pengkhianatan terhadap niat awalnya hari ini, yang ingin mempersembahkan waktunya penuh untuk Cheryl. Tapi kini ia harus menghadapi sesuatu yang tak ia undang. Begitu sampai di ambang ruang tamu, Bara menarik napas dalam-dalam. Ia menegakkan tubuh, mengatur raut wajah, dan melangkah masuk. Tuan Sigit berdiri dengan angkuh, seperti biasa. Di sebelahnya, Milen
Cahaya pagi yang samar menyusup melalui sela tirai, mengguratkan warna keemasan di dinding kamar. Cheryl mengerjapkan mata pelan, merasakan sisa perih di sudut-sudutnya. Tubuhnya masih berat, pikirannya buram. Tapi saat pandangannya mulai fokus, jantungnya terhenti sejenak ketika menyadari bahwa Bara adalah sosok yang pertama kali ia lihat hari ini.Lelaki itu duduk di sisi tempat tidur, diam, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, antara penyesalan dan kelegaan.Cheryl tersentak bangun, napasnya tercekat. Untuk sesaat, begitu saja, ia hampir merentangkan tangan, ingin menarik lelaki itu dalam pelukannya, mencari hangat yang dulu selalu menenangkan. Tapi kesadaran datang seperti tamparan keras.Lelaki ini... lelaki inilah yang membuatnya lelah menangis semalaman."Kenapa kamu di sini?" suaranya serak, hampir berbisik, lebih kepada dirinya sendiri daripada untuk didengar Bara.“Aku… nggak mau jauh dari kamu. Aku mau kamu tetap sama aku, Cheryl. Apapun yang terjadi. Demi kamu,
Cheryl tak langsung menyalakan lampu saat memasuki kamarnya. Ia berdiri dalam gelap, membiarkan sepi menyambutnya seperti pelukan dingin dari dunia yang telah kehilangan warna.Napasnya membeku di udara, berat dan tersendat, seolah paru-parunya pun enggan menerima kenyataan. Yang paling menyakitkan bukanlah ditinggalkan, melainkan kenyataan bahwa ia sendirilah yang memilih pergi dari pria yang masih ia cintai, tapi tak sanggup lagi ia percaya.Ia teringat pada hari pertama ia mengizinkan dirinya mencintai Bara. Pada senyum lembut pria itu. Pada pelukan hangatnya yang dulu terasa seperti rumah. Tapi kini semua kenangan itu terasa seperti belati, menyayat tanpa ampun.Cheryl perlahan merosot ke lantai, membiarkan tubuhnya ambruk dalam keheningan yang memekakkan. Tangannya terulur ke arah ranjang… tempat di mana ia pernah menyerahkan seluruh dirinya, bukan hanya tubuh, tapi juga cinta, keyakinan, dan kehormatan.Masih terngiang bagaimana malam pertama mereka terjadi hari itu…"Bara. Kita
“Bertunangan dengan Milena bukan keputusan hatiku. Itu keputusan keluarga. Mereka menyatukan dua perusahaan besar melalui pertunangan itu, dan aku… aku terlalu lemah untuk menolaknya. Tapi aku bersumpah, Cheryl, tidak sedetik pun aku mencintai Milena. Hanya kamu, Sayang. Cuma kamu yang kucintai.”Ucapan itu menghantam Cheryl seperti badai yang tak bisa dihindari. Meski suara Bara bergetar, penuh penyesalan, hatinya tetap menolak untuk luluh. Pria itu berdiri di hadapannya, memohon dimengerti. Namun yang Cheryl rasakan hanya sesak. Seolah seluruh dadanya dihantam palu kebenaran yang selama ini coba ia tolak.Tubuhnya mulai gemetar. Bukan hanya karena marah atau kecewa, tapi karena sesuatu dalam dirinya mulai goyah. Dinding-dinding yang selama ini ia bangun rapat untuk menjaga hatinya tetap aman, kini retak perlahan.“Jika aku terang-terangan melawan Opa, Apex bisa hancur sebentar lagi… sebab untuk saat ini, aku masih membutuhkan Opa untuk membuat Apex tetap berdiri. Opa akan membantuku