“Apakah sudah muncul reaksi dari metode pengobatan terakhir kita?” “Ada respons positif, Dok.” Valen menyipitkan mata mendengar jawaban dari dr. Aditya — menyimak lebih serius. “Kami mencatat reaksi refleks tendon di ekstremitas bawah pasien mulai muncul lagi, tonus ototnya juga membaik, dan dosis steroid sudah kami turunkan bertahap,” lapor dr. Aditya.Senyum tipis mengembang di bibir Valen. “Akhirnya,” desahnya dalam hati. “Kenapa saya baru dapat kabar ini sekarang?”“Maaf, Dok. Sebenarnya kami ingin rutin melapor, tapi ada pesan dari Pak Reno, katanya Anda sedang tidak ingin diganggu seharian ini. Kami kira—”“Aku ke rumah sakit sekarang,” potong Valen sebelum dr. Aditya sempat melanjutkan ucapannya.Ada kilat antusias di mata Valen saat ia menarik gagang pintu hotel. Sorot matanya sempat meredup tatkala pandangannya langsung membentur pintu kamar Bara yang berada tepat di seberang kamar 1805.Hatinya memang sempat tercubit memikirkan Bara mungkin sedang memeluk Cheryl di balik
“Valen bukan dokter sembarangan, dia tahu apa yang dia lakukan! Jangan asal bicara, Bara. Bisa-bisa nanti dia menuntutmu,” omel Cheryl dengan raut cemas yang sulit ditutupi meski suaranya terdengar lantang.“Aku cuma bicara apa yang aku tahu.” Bara melontarkan kalimat itu seremeh melempar puntung rokok ke asbak. Pria itu kemudian mencondongkan tubuhnya sedikit, separuh bibirnya tersenyum sinis. “Bagaimana denganmu, Cheryl? Kamu sendiri suka sekali menuduhku.”Cheryl tertegun sesaat, lalu melotot. “Tuduhan apa?!” semburnya cepat.“Tuduhan kamu, tentang… aku selingkuh sama Baby, tentang aku masih cinta sama Milena, tentang aku lebih milih mereka ketimbang kamu.” Bara menyebutkan satu-satu, nadanya terdengar malas. Tetapi sorot matanya menajam seolah menantang Cheryl untuk menyangkal semuanya di depan wajahnya sendiri.“Faktanya memang begitu!” semprot Cheryl.Bara terkekeh pendek, ada rasa lelah yang terselip di sudut senyumnya. Yeah. Cheryl menuduhnya macam-macam, padahal dia sendiri
Bara menatap Valen dengan sorot yang membakar—terlalu gelap, terlalu penuh amarah untuk seorang pria yang biasanya dikenal tenang dan rasional. Tangannya dengan cepat menarik lengan Cheryl, mencabut tubuh mungil itu dari dekapan Valen dengan paksa, hingga bahu Cheryl nyaris terhempas ke dadanya.Valen menahan tangan Cheryl di sisi lain, tatapannya dingin, tapi tetap menenangkan Cheryl yang terjepit di antara dua pusat gravitasi itu.“Lepaskan dia, Bara,” suara Valen tenang, nadanya datar, hanya sedikit bergetar di tepinya—tanda pengendalian diri yang sempurna.“Dia sudah memutuskan meninggalkanmu,” tegasnya penuh peringatan.Bara mendengus. “Keputusannya tidak berlaku kalau aku tidak bersedia melepaskannya.” Rahangnya menegang. Genggamannya di lengan Cheryl makin erat, seolah menegaskan siapa pemilik yang sah di antara mereka.Valen menajamkan tatapannya. “Kalau dia mau pergi, kamu harus belajar menghormatinya, Bara.” Nadanya tetap datar, tapi ada percikan api di balik suaranya—tajam,
Cheryl menggeliat pelan. Kelopak matanya bergetar, merespons cahaya pagi yang menyusup malu-malu dari celah tirai tebal. Ia mengucek matanya dengan malas. Kepala terasa berat, berdenyut tak enak, seperti dihantam palu semalaman.Perlahan, matanya mengerjap. Bukan kamarnya. Bukan penthouse Valen. Semuanya terasa asing.“Ah, iya… Aku kan lagi nginap di hotel,” gumamnya parau.Tapi belum sempat ia meresapi kenyamanan selimut tebal yang membungkus kakinya dalam suhu AC yang dingin ini, detak jantung Cheryl seketika melompat liar saat matanya bertemu sepasang tatapan gelap yang menusuknya dari tepi ranjang.Bara duduk di sana. Tangannya terlipat di dada. Mengawasinya lurus-lurus. Cheryl menjerit, seperti baru melihat hantu. Tangannya refleks meraih bantal dan melemparkannya ke arah Bara. “Ih. Ngapain kamu di sini, setan?!”Bantal itu terhenti di lengan Bara, yang bahkan tidak bergerak sejengkal pun. Lelaki itu hanya menaikkan sebelah alis, senyumnya tipis, nyaris mengejek.“Sudah sadar?
Cheryl masih tenggelam dalam pusaran alkohol yang mengacak-acak pikirannya. Bibirnya terus bergerak, meracau nama Valen seolah nama itu satu-satunya jangkar yang menahan kesadarannya agar tak sepenuhnya karam. Matanya setengah terpejam, kata-katanya berhamburan, nyaris tak terangkai rapi, tapi justru di situlah letak kepedihan yang memukul dada Bara tanpa ampun.“Kalau dilihat-lihat… bibir kamu bagus juga, Val. Kayak bibirnya Bara.” Cheryl tertawa kecil, tawa pendek, putus-putus, sedikit pecah, seolah ada sisa luka yang tersembunyi di ujungnya. Jemarinya, hangat dan sedikit gemetar, menelusuri bibir dan garis rahang Bara yang tegang. “Kamu sudah 40 tahun, kan? Tapi kamu terlihat masih semuda Bara,” ocehnya lagi, jari-jari lentiknya tanpa dosa terus membelai setiap senti wajah Bara.Kadang tangannya berhenti di dagu Bara, lalu bergerak lagi ke pipi, seolah ia lupa arah. Bau alkohol, menyusup di sela napas gadis itu, bercampur dengan bau sabun dan sisa parfum manis di rambutnya.Bara
Dari tempatnya duduk di sudut bar, Reno mengawasi Cheryl yang tertawa kecil, membiarkan kepalanya terayun ke kanan dan kiri seperti balon helium yang baru saja dia nyanyikan.Sesekali senyum tipis lolos dari bibir Reno.“Bahkan saat mabuk pun dia tetap terlihat manis. Pantas saja bikin Mas Axel tergila-gila sampai tega meninju Omnya sendiri,” gumamnya, setengah miris, setengah geli.Jarum jam di pergelangan tangannya terus bergerak, menandai waktu yang meluruh bersama denting gelas dan irama jazz yang mengalun di bar itu.Beberapa tamu sudah berganti, bartender tetap sibuk bekerja, dan Cheryl… perlahan kepalanya tampak terkulai di atas meja bar, bahu mungilnya merosot. Masih meracau, menggumamkan potongan lagu anak-anak yang makin tak jelas nadanya.Reno tetap menunggu hingga beberapa jam. Akhirnya, ia mendekat saat Cheryl sudah tak bergerak lagi, entah ketiduran atau pingsan. Tangannya terulur, siap menahan tubuh gadis itu kalau benar-benar tumbang di kursi tinggi.Tapi rupanya suda