Cheryl keluar dari ruangan Sofyan dengan langkah berat. Wajahnya kusut, matanya merah, tapi ia berusaha tetap tegak, biarpun langkahnya nyaris tak menapak lantai. Rasanya… separuh nyawanya tercabut dari dalam tubuhnya. Di lorong, Nina muncul dari arah berlawanan. Ia menghentikan langkah begitu melihat Cheryl. Satu alisnya terangkat, dan tangan kirinya otomatis bersedekap. Bibirnya mengulas senyum kecil yang sulit dibaca, antara puas dan mengolok.Nina memiringkan kepala sedikit. “Kena marah Mas Sofyan? Baru tahu ya,” gumamnya santai, tapi cukup nyaring untuk didengar, “marahnya bisa kayak singa betina mau lahiran. Sabar, ya.”Ia terkekeh pelan, lalu berjalan melewati Cheryl dengan langkah ringan, seolah baru saja menonton drama yang ia tunggu-tunggu.Cheryl tak menoleh. Ia menarik napas panjang, mengangkat dagu, dan terus melangkah keluar dari gedung Apex. Sudah cukup.Ini hari terakhirnya di sini.Kata-kata Sofyan tadi memang menyakitkan, tapi juga penuh kebenaran. “Mas Sofyan benar
Cheryl langsung berlutut di depan Sofyan, kedua tangannya menekan lantai untuk menahan tubuhnya yang terasa lemas. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca, dan bibirnya bergetar hebat."Mas... aku betul-betul minta maaf! Ini salahku, aku—"Belum sempat Cheryl menyelesaikan kalimatnya, Sofyan sudah meledak."Ya iyalah ini salah kamu! Terus kenapa kalau kamu minta maaf?!" bentaknya, suaranya tajam menusuk. "Apa maaf kamu bisa bikin dokumen ini bersih lagi? Bisa balikin waktu ke satu jam yang lalu?!" serunya sambil menatap Cheryl dengan sorot seperti ingin mencabik-cabik.Cheryl tersentak. Kedua matanya membesar seperti tak percaya. Ia paham Sofyan marah, tapi tidak menyangka akan diserang sekeras ini. Tangisnya tertahan, gemetar, tapi ia tidak menunduk lebih dalam. Ia mencoba tetap menatap pria itu meski tubuhnya menggigil."Cher, kalau Apex hancur hari ini, kamulah penyebabnya! Dan memang… kamu sudah menghancurkannya sejak awal!" Kata-kata itu menghujam seperti belati ke dadanya. Cheryl
Di balik meja kerjanya yang dipenuhi tumpukan berkas dan secangkir kopi yang sudah dingin, Sofyan tampak gelisah. Matanya berkedut, dan kakinya mengetuk-ngetuk lantai tanpa sadar. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, menyapu peluh dan frustrasi yang mulai membanjiri pikirannya. Pandangannya sesekali melirik ke arah jam dinding yang seolah berdetak terlalu cepat. Ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya memukul dada.Jonathan—Asisten Pribadi Pak Juna.Sofyan menelan ludah. Ia menghela napas panjang, dalam-dalam, seolah mencoba menenangkan badai dalam dadanya. Tangannya bergerak cepat meraih ponsel, dan dengan suara yang dibuat setenang mungkin, ia menjawab, "Halo, Pak Jonathan?"Suara di seberang langsung menyergap, cepat dan setengah mendesak. "Mas Sofyan, gimana nih, kok dokumennya belum datang juga? Pak Juna sebentar lagi mau berangkat ke bandara, loh. Beliau mau ke luar negeri selama dua minggu, dan kalau sudah di sana nggak bisa diganggu sama sekali. You k
Begitu helikopter mendarat, Cheryl cepat-cepat turun dan berlari-lari kecil, langsung menuju lift. Jantungnya berdentum kencang seperti genderang perang, apalagi ketika angka-angka di layar lift terasa bergerak lebih lambat dari biasanya. Begitu sampai di lantai Divisi IT, ia langsung menerobos ke dalam ruangan yang penuh dengan dengungan mesin dan ketukan keyboard yang nyaris tanpa jeda. Ruangan itu dipenuhi meja-meja kerja yang dijejali monitor ganda, kabel berseliweran tak karuan, dan gelas kopi kering yang menumpuk di sudut-sudut meja. Di beberapa layar, bar kode dan deretan script berlarian seperti tak pernah lelah. Seorang staf tampak sedang berdebat lewat telepon, sementara yang lain memasang headset sambil mengutuk pelan ke layar monitor. Bau kopi dan AC yang terlalu dingin menciptakan atmosfer kacau namun khas ruangan IT yang terlalu hidup dan terlalu sibuk untuk urusan emosi orang lain.Cheryl menatap sekeliling, matanya menyapu liar hingga menemukan sosok yang dicarinya
Cheryl ingin menjerit. Mulutnya menganga, tapi tak satu pun suara keluar. Ia menatap layar ponselnya dengan tatapan nanar, baru sadar bahwa ia tidak pernah minta nomor telepon Fendi. Bodoh. Bodoh. Bodoh!“Astaga, Cheryl... kamu tuh kenapa bego banget sih hari ini?!” gerutunya sambil menepuk kening sendiri.Tanpa pikir panjang, ia buru-buru menelepon ke kantor divisi IT. Mencari tahu tentang si Fendi.Sekali. Tak diangkat. Dua kali. Sunyi. Tiga kali. Tetap tak ada jawaban.“Pada budeg apa ya satu kantor? Nggak ada yang denger suara telepon bunyi?!” Sial.Dengan tangan yang masih gemetaran, ia membuka aplikasi ojek online. Dia harus sampai kantor secepatnya naik ojek. Tapi aplikasinya malah loading seperti kura-kura pensiun. “Duh! Mana ini udah mulai jam macet lagi. Mau sampai jam berapa aku sampai kantor kalau naik taksi?” gumamnya sembari menghapus air matanya yang mulai menetes, tangisnya mulai meluncur tanpa bisa ditahan.“Cheryl?”Mendengar teguran halus yang memanggil namanya
Cheryl gelisah di depan ruang IGD, mondar-mandir menyusuri lantai koridor yang dingin. Sesekali ia melirik ke arah pintu yang tertutup rapat, berharap ada satu wajah perawat yang muncul membawa kabar.“Kok lama banget, sih?” gerutunya dalam hati, jemarinya sibuk memelintir ujung blouse yang dikenakannya.Sudah hampir setengah jam, tapi rasanya sudah berjam-jam sejak Axel dibawa masuk dalam keadaan pingsan. Enggan menunggu lebih lama lagi, Cheryl akhirnya menerobos masuk ke dalam ruang IGD, langsung bertanya pada seorang perawat yang kebetulan melintas di depannya.“Sus. Gimana ya kondisi teman saya yang namanya Axel, pasien rujukan dari Klinik PT Apex tadi? Dia baik-baik aja, kan?” Perawat itu menoleh santai, menampilkan senyum ringan yang bagi Cheryl terlalu tenang untuk situasi genting.“Oh, aman… pasien sudah siuman, Mbak. Dokter bilang pasien mengalami kelelahan akut, jadi perlu dirawat inap untuk observasi lebih lanjut.” Cheryl menarik napas lega. “Jadi… bukan serangan jantung,