Bara Wardhana memegang setir mobil sport hitamnya, Porsche Panamera Turbo terbaru, unit rakitan Jerman yang ia pilih sendiri. Bukan mobil dinas, bukan juga yang biasa ia bawa untuk rapat lintas kota. Malam ini ia mengemudi sendiri, tanpa Sofyan dan tanpa supir pribadi.Hanya dia, dan rindunya pada Cheryl yang tak lagi bisa dijinakkan.Di parkiran khusus dosen tamu, di dalam mobil mewah itu, Bara menyandarkan tengkuk ke sandaran jok kulit. Matanya terus memandang ke dalam gedung, menunggu dengan gelisah, membayangkan satu wajah yang tak kunjung muncul. Hari ini. Sudah enam bulan lebih sejak hari itu, ketika ia mencoba memohon lebih dalam agar Cheryl sudi kembali ke pelukannya. “Kalau aku bisa berhenti mencintai kamu, Cher… Aku pasti sudah melakukannya.”Namun, Cheryl justru menjawab datar, begitu tega. “Mungkin kamu belum benar-benar mencobanya. Jadi mari kita coba. Anggap kita nggak pernah saling kenal. Dan jangan pernah saling mencari.”Bara tahu kerasnya kepala Cheryl. Memaksakan
Bara Wardhana berdiri tegak di depan papan tulis, meletakkan laptop tipis di atas meja dosen. Tangannya menyesuaikan mikrofon headset di sisi rahang. Suaranya mengalir lancar, nyaris tanpa jeda gugup.“Perkenalkan, saya Bara Wardhana. Saat ini saya menjabat sebagai CEO di Apex Insight Solutions, perusahaan yang bergerak di bidang teknologi finansial dan big data analytics.”Beberapa mahasiswa tampak saling berbisik pelan, terkesima. Nama Bara Wardhana memang kerap wara-wiri di artikel bisnis dan majalah ekonomi digital. Di depan mereka malam ini berdiri orang yang membangun reputasi sebagai salah satu otak muda paling berpengaruh di industri teknologi keuangan.“Topik malam ini: Strategic Business Growth in the Digital Era. Saya ingin kita semua membedah bagaimana transformasi digital bukan hanya tren, tapi keharusan. Bisnis apapun—besar atau kecil—harus bisa adaptif dan agile kalau mau tumbuh pesat di pasar yang cepat berubah.”Bara berjalan pelan ke sisi kiri papan tulis, menulis be
Cheryl berdiri di depan microwave, merapikan rambutnya sambil menunggu bunyi ting tanda lauk-pauk hangat siap disantap. Begitu microwave terbuka, aroma daging rendang langsung mengepul. Kehangatan sederhana, tapi diam-diam sangat berarti bagi orang yang tidak bisa masak sepertinya. Kulkas dua pintu yang berdiri di sudut dapur nyaris penuh dengan kotak-kotak makanan berisi aneka lauk yang dilabeli tanggal. Semalam Mimi datang membawakan semua itu. “Ini lauk untuk tiga hari, Nona. Tinggal dihangatkan saja. Tiga hari sekali saya akan ke sini membawa yang baru. Tapi kalau sebelum tiga hari sudah habis, kabari saja saya.”“Mimi, aku sebenarnya tidak suka merepotkan kamu begini.”“Sama sekali tidak, Nona.” Mimi hanya tersenyum simpul. “Tolong makan yang rutin. Dihabiskan, ya?”Cheryl mengangguk dan dalam hati berjanji akan melakukan apa yang diminta Mimi. Biarpun Bara menggajinya untuk ini, tapi dia tahu… Mimi tulus melakukannya. Lagipula, apa susahnya tinggal makan?Cheryl menghirup uap
Cheryl melangkah pelan melewati ambang pintu rumah lamanya, membiarkan debar di dadanya memukul pelan tapi pasti, seolah jantungnya tahu betul di sinilah semua ingatan pernah bermuara. Udara di dalam ruangan itu masih punya aroma kayu tua yang menenangkan — meski cat dinding sudah diperbarui, atap diperkuat, lantai dipoles ulang — tapi ruang tamu kecil di dekat jendela besar itu tetap sama. Tempat ayahnya dulu biasa duduk sambil membaca koran, menyalakan rokok kretek yang baunya sering membuatnya pura-pura batuk agar sang ayah mematikan puntungnya.Tangannya terulur, menyentuh sisi sofa usang yang ternyata masih dipertahankan Bara di sudut ruang, seolah sepotong bukti bahwa kenangan tak pernah benar-benar musnah meski rumah ini sudah berdiri lebih kokoh dari sebelumnya. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Untuk sedetik saja, Cheryl merasa ayahnya berdiri di ambang dapur, menatapnya pulang.Di belakangnya, Bara berdiri tenang dan tersenyum melihat bagaimana gadis yang selalu membu
“Apakah sudah muncul reaksi dari metode pengobatan terakhir kita?” “Ada respons positif, Dok.” Valen menyipitkan mata mendengar jawaban dari dr. Aditya — menyimak lebih serius. “Kami mencatat reaksi refleks tendon di ekstremitas bawah pasien mulai muncul lagi, tonus ototnya juga membaik, dan dosis steroid sudah kami turunkan bertahap,” lapor dr. Aditya.Senyum tipis mengembang di bibir Valen. “Akhirnya,” desahnya dalam hati. “Kenapa saya baru dapat kabar ini sekarang?”“Maaf, Dok. Sebenarnya kami ingin rutin melapor, tapi ada pesan dari Pak Reno, katanya Anda sedang tidak ingin diganggu seharian ini. Kami kira—”“Aku ke rumah sakit sekarang,” potong Valen sebelum dr. Aditya sempat melanjutkan ucapannya.Ada kilat antusias di mata Valen saat ia menarik gagang pintu hotel. Sorot matanya sempat meredup tatkala pandangannya langsung membentur pintu kamar Bara yang berada tepat di seberang kamar 1805.Hatinya memang sempat tercubit memikirkan Bara mungkin sedang memeluk Cheryl di balik
“Valen bukan dokter sembarangan, dia tahu apa yang dia lakukan! Jangan asal bicara, Bara. Bisa-bisa nanti dia menuntutmu,” omel Cheryl dengan raut cemas yang sulit ditutupi meski suaranya terdengar lantang.“Aku cuma bicara apa yang aku tahu.” Bara melontarkan kalimat itu seremeh melempar puntung rokok ke asbak. Pria itu kemudian mencondongkan tubuhnya sedikit, separuh bibirnya tersenyum sinis. “Bagaimana denganmu, Cheryl? Kamu sendiri suka sekali menuduhku.”Cheryl tertegun sesaat, lalu melotot. “Tuduhan apa?!” semburnya cepat.“Tuduhan kamu, tentang… aku selingkuh sama Baby, tentang aku masih cinta sama Milena, tentang aku lebih milih mereka ketimbang kamu.” Bara menyebutkan satu-satu, nadanya terdengar malas. Tetapi sorot matanya menajam seolah menantang Cheryl untuk menyangkal semuanya di depan wajahnya sendiri.“Faktanya memang begitu!” semprot Cheryl.Bara terkekeh pendek, ada rasa lelah yang terselip di sudut senyumnya. Yeah. Cheryl menuduhnya macam-macam, padahal dia sendiri